Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT "Rembulan di langit mengejar sang surya, Nona dibumi mengejar kekasihnya, Sang Surya naik di Timur, Sang Rembulan silam di Barat, Bidadari di istana rembulan sia-sia berduka.... Layung sore menabur langit biru, Sinar sang Surya menyinari sang Rembulan, Meski sang Surya dapat dikatakan tak berbudi, Tetapi si Gagak Emas tetap mendampingi si Kelinci Kumala, Oh, engko, Kenapa kau tak menoleh memandang daku?" I. Berkejar-kejaran. Sang Surya telah menyilam akan tetapi sinar layungnya masih bertebaran, di saat itu sang angin sore telah bertiup mengantarkan suara nyanyian yang perlahan....nyanyian yang menggenggam rasa penasaran, rasa kekaguman, bagaikan tangisan mengeluh, hingga burung2 yang berterbangan pulang kerimbanya mesti terbang ber-putar2 diatas rimba, tak turun kebawah. Walaupun demikian halus nyanyian itu mengalun, nyanyian itu masih tak dapat menahan seekor kuda pilihan yang berlari didalam lembah. Penunggang kuda itu adalah seorang muda dengan baju putih yang tampan rupanya, dia bukannya tidak mengetahui yang dibelakangnya ada si nona remaja, yang mengejar dia, yang bernyanyi untuknya, ia tapinya telah mengeraskan hatinya, ia mengaburkan terus kudanya itu. Setelah suara nyanyian hilang lenyap dan lembah menjadi sunyi kosong, diam segala apa, barulah ia menghela napas dan bersenandung: "Sungai Ek Sui tenang diam, angin barat yang dingin berdesir, si orang agah sekali pergi tak kembali, Mengadu jiwa hanya mengandali sebatang pedang panjang tiga kaki, biarpun cintanya sangat tetapi dia menoleh kebelakang, ia tidak cuma dapat mensia-siakan si nona belia...." Kemudian ia menoleh kebelakang ia tidak melihat seorang juga, Kudanya itu kuda jempolan yang bagaikan dapat 'mengejar kilat menguber angin,' maka dengan kaburnya barusan, dia telah meninggalkan jauh si nona hingga terpisah dengan beberapa bukit.... Pemuda itu adalah Tan Hian Ki dan ia tengah menjalankan tugas yang berat yang dibebankan kepadanya, ialah untuk membunuh seorang ahli silat kenamaan yang tinggal mendiamkan diri, bersembunyi di gunung Holan San. Maka itu jangankan ia memangnya tak berniat menyintakan si nona, taruh kata ia menyintainya dengan sangat, didalam saatnya seperti ini, tidak dapat ia terhalang oleh nyanyian itu. Memang nyanyian itu telah dapat menggoncang hati sanubarinya, dilain pihak si nona telah terpisah dengan beberapa lapis gunung, dari itu nona itu tak dapat mendengar helaan napas dan senandungnya itu dan tak dapat melihat juga air yang mengembang pada kedua matanya.... Matahari telah berturun, angin berhawa dingin, maka sang magrib datang makin lama makin suram, Tan Hian Kie mengangkat kepalanya, memandang kearah depan, Disana samar2 terlihatlah puncak dari gunung Holan-san itu, Tanpa merasa hatinya menjadi tegang sendirinya, Segera ia membiluki kudanya, dengan mengayunkan cambuknya, ia malarikannya ke barat. Sekeluarnya dari mulut lembah, pemuda ini mulai mendaki dijalan pegunungan yang ber-liku2, Ia sekarang berada dalam ragu-ragu, Kudanya memang kuda jempolan, tetapi ia berada dijalan pegunungan yang sesukar itu, pula didepan ada seorang musuh yang lihay sekali, walaupun ia tidak jeri, apabila ia menunda perjalanan untuk melewatkan sang malam disitu, ia bisa mendapat kesulitan dari si nona.... Bagaimana kalau nona itu dapat menyandak ia dan karenanya ia menjadi kena terlibat? Tengah ia bersangsi itu, bimbang hati, tiba2 kupingnya mendengar suara tindakan kaki dari seekor kuda, yang datangnya dari arah depan, Hanya sekejap saja, kuda itu sudah tiba didepannya, hampir saja kedua binatang saling tabrak, atau mendadak saja penunggangnya telah berlompat turun, tangannya diulur untuk mencegah tabrakan itu. Kudanya si anak muda berjingkrak berdiri seraya memperdengarkan ringkikan yang keras, tetapi dia tidak dapat maju terus, maka itu si anak muda sendiripun mesti berlompat turun, Sekarang dapatlah ia melihat dihadapannya seorang muda dengan alis yang kereng dan mata yang besar yang wajahnya bermuran durja, dingin seperti tak ada perasaannya, sedang disaat magrib seperti itu, cuaca remang2, dia nampaknya seram.... Hanya sedetik Tan Hian Ki tercengang, lantas ia mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat: "Saudara Siangkoan, sungguh beruntung, sungguh beruntung untuk pertemuan kita ini!" katanya. Anak muda itu mengasi dengar suara dingin: "Hm! Memang, sungguh beruntung pertemuan kita ini!" berkata dia, tawar. "Mana Un Lan?" "Dia berada dibelakang," menyahut Hian Ki. "Jikalau kau melintasi gunung itu, mungkin kau dapat bertemu dengannya." Dengan tangannya, ia menunjuk. Terbangun sepasang alisnya anak muda itu, wajahnya nampak terlebih muram: "Jadi dia menyusul kau?" tanyanya. Parasnya Hian Ki menjadi bersemu merah: "Jangan bergurau, saudara Siangkoan." Tetapi sianak muda, yang dipanggil 'saudara Siangkoan' itu, menjadi gusar: "Siapa bergurau denganmu?" bentaknya "Aku cuma hendak menanya kau, kau menginginkan dia atau tidak?" "Eh, saudara Siangkoan, kau bicara apakah?" tanya Hian Ki keras, "Terhadap enci Un Lan itu belum pernah aku memikir yang tidak2!" "Jikalau demikian adanya, kau cuma mempermainkan dia, kau memincuknya, lalu sekarang kau men-sia2kannya?" Parasnya Hian Ki berubah: "Saudara Siangkoan, kau pandang aku orang macam apa?" dia kata nyaring. "Terhadap Un Lan aku cuma memandang sebagai saudara, maka mana dapat kau membilangnya tentang mempermainkan dan memincuknya?" Pemuda itu tertawa dingin: "Jadi, menurut kau, Un Lan adalah yang memincukmu?" katanya. Hian Ki mengerutkan kening, yang benar memang Un Lan yang 'melibat' padanya, Akan tetapi, mana dapat ia mengatakannya terus terang? Tidakkah itu akan merusak nama baiknya anak dara itu? Pemuda itu, pemuda she Siangkoan, bernama Thian Ya, maju dua tindak: "Tan Hian Ki, kau kembalilah!" katanya bengis. "Kau menghendaki apa?" Hian Ki tanya. "Kau menghaturkan maaf terhadap Un Lan, lalu kau bersumpah bahwa serlanjutnya kau tidak akan men-sia2kan lagi padanya!" berkata Thian Ya tetap bengis, "Hendak aku mengawasi kau bersumpah itu, aku melarang kau menyangkalnya!" Bengis suaranya pemuda itu akan tetapi akhirnya bernada sedih, seperti juga ia tengah memohon terhadap Hian Ki yang mulanya ia perlakukan hebat sekali. Hian Ki mundur dua tindak: "Saudara Siangkoan, aku mengerti maksudmu, aku tahu hatimu." ia berkata, "Kau menyintai enci Un Lan, mengapa kau menyimpannya itu didalam hati saja?" "Tidak salah!" menjawab Thian Ya: "Dialah orang satu2nya yang aku sangat menyintainya, maka itu tidak nanti aku membuatnya dia berduka, tidak nanti aku membiarkannya kau men-sia2kan padanya!" "Saudara Siangkoan, kau tidak mengetahui hatiku!" kata Hian ki: "Dengan setulusnya aku berdoa supaya kamu berdua menjadi pasangan yang berbahagia! kenapa kau bercuriga? kau membuatnya aku jadi menyesal." Hian Ki telah membeberkan hatinya itu, akan tetapi Thian Ya beradat tinggi, ia menerimanya secara keliru. Ia menganggap bahwa ia justeru dipermainkan. Ia menduga Hian Ki adalah sipemenang dalam perebutan asmara ini. Tentu sekali, inilah diluar dugaan pemuda she Tan itu. Wajah Thian Ya kembali menjadi muram, kedua matanya dibuka lebar: "Tan Hian Ki, jangan banyak omomg pula!" ia membentak: "Kau hendak kembali atau tidak?" Hian Ki melihat kelangit, melihat cuaca, hatinya cemas: "Kau tidak mengerti, saudaraku aku tidak bisa membilang apa2 lagi," katanya: "Tetapi aku ada punya urusan yang sangat penting, aku minta sukalah kau membagi jalan padaku...." Kata-kata itu belum habis diucapkannya, atau "Sret!" maka Thian Ya telah menarik keluar sepasang gaetannya: "Aku justeru tidak hendak melepaskan padamu, lelaki tidak berbudi!" bentaknya. Bukan main mendongkolnya Hian Ki: "Apa sangkutannya aku denganmu, aku berbudi atau tidak?" pikirnya. Tapi tengah ia berpikir itu, didepan mukanya telah berkelebat gaetan orang, yang bersinar kuning bagaikan emas. "Masih kau tidak hendak menghunus pedangmu?" Thian Ya berseru. "Saudara Thian Ya, sabar," berkata Hian Ki berkelit, "Dengar dulu aku." "Kau hendak ngaco apa lagi?" kata Thian Ya dengan dingin. "Kau masih hendak banyak omong pula?" "Kalau saudara pasti hendak memberikan pelajaran padaku, tidak berani aku menolaknya," berkata Hian Ki sabar, sedang hatinya panas dan berduka, "Hanya benar2 hari ini aku mempunyai urusan yang sangat penting. Begini saja, selang sepuluh hari nanti aku datang pula kemari untuk menerima pengajaranmu itu. Umpama kata pada hari yang aku janjikan itu aku tidak muncul, bukanlah aku salah janji, hanya terang aku telah kena orang bunuh. Dengan begitu tak usahlah saudara menjadi mencapaikan tangan lagi." Thian Ya melengak, Tapi hanya sejenak: "Kau tidak mempunyai tempo, apakah kau sangka aku sempat menantikanmu?" katanya keras. "Lekas geraki tanganmu, disini kita memastikan menang atau kalah, supaya Un Lan tidak lagi berduka!" Sambil mengucap demikian, Thian Ya menggeraki kedua tangannya, menyambar dari kiri dan kanan. Dengan terpaksa Hian Ki mencabut pedangnya. Maka juga gaetan dan pedang bentrok keras sekali, sampai pedangnya Hian Ki hampir terlepas terbang dari cekalannya. Siangkoan Thian Ya tertawa lebar menyaksikan pedang orang mental: "Un Lan memuji ilmu silat pedangmu sampai dilangit lapis ke-33, tidak tahunya cuma sebegini saja!' katanya mengejek. Hian Ki mendongkol berbareng geli dihati, "Kau hendak melampiaskan hatimu, baiklah aku mengalah," pikirnya. Setelah berpikir begitu, anak muda itu membalas menikam. Ia memikir untuk mencari ketika untuk meninggalkan lawannya itu. Diluar dugaannya, gaetan Thian Ya dapat juga digunakan sebagai pedang, ia dilawan secara hebat. Sebab setelah hasilnya yang pertama, Thian Ya mendesak, serangannya ber-tubi2, Dia hendak mencegah orang mengangkat kaki. Cuaca sementara itu semakin suram, tanda sang sore lagi mendatangi, ketuka itu ada terdengar tindakan kaki kuda. Hian Ki menduga kepada Un Lan, si nona yang tadi bernyanyi dan menyusul padanya, Maka ia berpikir: "Meski aku lekas menyingkir, apabila dia keburu tiba disini, sulit nanti.... " Karena itu, kalau tadi ia melayani hanya untuk membela diri, sekarang ia membalas menyerang secara sungguh2. Thian Ya lantas saja menjadi terkejut, Inilah ia tidak mengira: "Pantas adik Un menyintai bocah busuk ini, benar2 dia lihay!" katanya dalam hati. Tentu sekali ia tidak mau mengalah, ia pun berkelahi dengan lebih hebat. Sementara itu tindakan kaki kuda mendatangi semakin dekat. Hian Ki membalik tangannya, ia menyerang dengan hebat, Dengan jurusnya ini, ia membuatnya gaetan Thian Ya terdesak kesamping. "Kau masih tidak suka membuka jalan?" katanya perlahan tetapi membentak. Dalam cuaca remang2 itu, disana terlihat kabur mendatangi seekor kuda, lalu penunggangnya seorang nona, berseru menanya: "Hian Ki, kau bertempur dengan siapa? Ah! Apa? kau, Thian Ya? Hayo, kamu berhentilah!" Siangkoan Thian Ya menyahuti: "Bocah ini tidak sudi menemui kau, nanti aku bekuk dia untuk diserahkan padamu!" Hian Ki mendesak pula tetapi orang didepannya tidak mau mundur, Ia menjadi berpikir: "Kalau aku melukai ia didepan Un Lan, mungkin jodoh mereka tidak bakal tertangkap....“ Tengah orang berpikir itu, sepasang gaetannya Thian Ya menyambar hebat, lalu dua2nya terlempar terpental, tetapi sebagai pembalasan untuk itu, sebelah tangannya orang she Siangkoan itu melayang kedada Hian Ki hingga dia ini menjerit tertahan, tubuhnya mental setombak lebih. Hian Ki tidak menyangka, setelah pedangnya terlepas, Siangkoan Thian Ya bakal meneruskan menyerang dengan tangan kosong, ia sampai tak waspada. Thian Ya tercengang untuk hasil serangannya itu, Un Lan, yang sudah lantas tiba, berseru: "Thian Ya! Kau bikin apa? kenapa kau menurunkan tangan berat? Lekas, lekas kau mengasi dia bangun!" Thian Ya mencoba menenangkan dirinya, habis itu ia bertindak menghampiri Hian Ki, hanya segera ia kecele, Mendadak ia melihat satu tubuh mencelat naik keatas kuda, lalu dengan sekali tepuk kempolannya, binatang itu berlompat untuk lari kabur, Ia terkejut, Untuk mencegah sia-sia belaka, Sekali pun ekor kuda, tak dapat ia mencekalnya, Ia heran sekali, setelah roboh, pemuda itu masih dapat melompat naik atas kudanya, Hanya sekarang Hian Ki tidak duduk tegak diatas kudanya itu, dia mendekam seraya memeluki erat2 leher binatang tunggangan itu. Kuda itu kuda terdidik berlari pesat sekali, hingga dilain saat dia telah menyelinap disebuah tikungan. "Minggir!" Un Lan berseru selagi Thian Ya menjublak mengawasi kaburnya lawannya itu, sambil memperdengarkan suaranya itu, si noana pun mencambuk kearah pemuda she Siangkoan itu. Bukan main mendongkol, menyesal, malu dan cemburunya Thian Ya, Ia bertindak untuk si nona, sekarang si nona membentak dan mencambuk padanya, Sedetik itu ingin ia menyambar si nona untuk menjewer kupingna, buat dilain saat memelukinya sambil menangis, Tapi semua itu telah lewat, Hanya diluar kehendaknya, ia pun naik keatas kudanya, untuk menyusul si nona.... Un Lan mengaburkan kudanya dalam cuaca remang2, tempo ia menikung, kudanya melanggar sebuah tanggul batu, tidak tempo lagi, ia kena dibikin terpental. Justeru Siangkoan Thian Ya tiba, ia kaget sekali, ia lantas berlompat untuk menyambar, guna menolongi si noana. Un Lan tidak roboh terbanting, selagi terlempar, ia melompat jumpalitan hingga ia dapat berdiri dengan kedua kakinya, hanya ia berdiri tepat didepannya sianak muda. "Hm!" bersuara si nona, "Kau baik sekali!" Lantas ia menolak tubuh orang, Hanya berbareng dengan itu ia terperanjat, Ia mendapatkan tangan Thian Ya berlepotan darah, sebab tadi selagi menyerang dada Hian Ki, tangan itu membentur pedang lawannya, yang menyerempet ke lengan. Un Lan terperanjat hingga ia tercengang, Ia memandang pemuda itu, yang terus menyenderkan tubuh disebuah batu, wajahnya sangat bersedih, Ia lantas menghela napas. "Ah, orang dewasa semacammu masih mengucurkan air mata," katanya perlahan, "Apakah kau tidak malu? Mari kasih aku lihat lukamu!" Memang juga, saking menyesal, Thian Ya berlinang air matanya, Nona itu merobek ujung baju, dengan itu dengan perlahan2 ia membalut lukanya sianak muda. Thian Ya memutar tangannya, untuk menolak, ia merasakan tangannya hilang, Ia tidak sanggup bertahan, ketika si noana mengusap lengannya, maka saking malu, iqa berpaling kearah lain, didalam hatinya ia mencaci dirinya.... "Beruntung lukanya tidak mengenai tulang," berkata si nona menghela napas. "Umpama kata aku matipun tidak ada halangannya!" berkata sianak muda, tawar. "Ah!" berkata si nona, "Mengapa kamu mengadu jiwa untukku?" Dengan tiba2 Thian Ya menoleh: "Adik Lan," katanya perlahan, "mengapa kau tak ketahui hatiku? Aku, aku....ah, aku berbuat itu untuk kebaikan kamu....Seranganku barusan memang bukannya enteng tetapi mengingat tenaga dalamnya Hian Ki sempurna, tidaklah itu bakal mengambil jiwanya, Asal untuk kebaikanmu, tubuhku hancur leburpun tidak apa...." Un Lan menghela napas: "Masih kau mengatakan demikian, Memang tanganmu tidak membinasakan dia, tetapi karena likanya itu, cara bagaimana dia dapat meloloskan diri dari tangan orang lain?" Siangkoan Thia Ya kaget: "Apa kau bilang?" tanyanya cepat. "Dia hendak membinasakan satu orang, Orang itu sudah melenyapkan diri dari dunia kangouw 20 tahun lamanya, Selama 20 tahun itu, dia telah mengangkat namanya hingga menjadi tersohor, Setelah berselang 20 tahun, bisa dimengerti yang sekarang ini ilmu silatnya bertambah dahsyat!" Thian Ya melengak, Sekarang ingatlah ia akan kata2nya Hian Ki tadi, Hian Ki meminta tempo sepuluh hari, andaikata dia tidak muncul pastilah sudah bahwa dia telah dibinasakan orang. "Siapakah orang itu?" ia tanya tanpa merasa. "Apakah kau pernah dengar nama In Bu Yang?" si nona balik menanya. "Apa?" menegasi Thian Ya, kaget, "Dialah In Bu Yang?" Paras pemuda ini menjadi berubah, Un Lan heran: "Kenalkah kau dengannya?" "Pada 20 tahun itu, aku adalah bocah umur tiga tahun." menyahut Thian Ya, maka itu, mana aku kenal dia? Coba bilang, mengapa Hian Ki hendak membunuh In Bu Yang?" "Panjang untuk menutur itu," sahut si nona. "Sekarang ini tahun Hong Bu ke berapa?" "Tahun ini tahun ke-13, Kenapa kau tidak tahu?" "Pasti aku mengetahuinya, Hanya sekarang ini ada serombongan orang yang masih tidak sudi menggunakannya!" "Pastilah mereka itu bekas orang2nya Thio Su Seng dan Tan Yu Liang." "Benar, Walaupun kita terlahir belakangan tetapi kita pernah mendengar ceritanya orang tua dan saudara bahwa dulu hari itu adalah orang itu yang bergulat hebat dengan Kaisar Hong Bu memperebutkan kerajaan, Mereka itu sama2 memakai nama kerajaan sendiri2, ialah yang satu Tay Ciu, kerajaan Ciu yang agung." "Habis, apakah hubungannya itu dengan percobaannya Hian Ki sekarang untuk membunuh In Bu Yang?" "Dulu hari itu Thia Su Seng telah mendapat bantuannya beberapa orang gagah kaum rimba persilatan, tahukah kau?" si nona tanya. "Ya," menyahut sianak muda, "Pertama2 Pheng Hwesio yang bernama Eng Giok, Katanya dia, dalam hal tenaga dalam, tak ada tandingannya." "Memang, Habis, siapa lagi?" "Yang kedua yaitu Cio Thian Tok, Katanya dia ini dengan sepasang tangan besinya pernah menjagoi diseluruh negara." "Masih ada lagi?" "Orang gagah dijaman dahulu itu, mana aku dapat mengingat semuanya?" menyahut Thian Ya, yang tapinya matanya bersinar, seperti ia memikir sesuatu, tetapi ia mencegah sendiri untuk menyebutnya. "Yang ketiga itu ialah In Bu Yang ini!" menambahkan si nona. Ia memandang sianak muda, tetapi anak muda ini tidak mengutarakan sesuatu sikap, nampaknya ia sudah tahu, tapi sengaja ia menghendaki si nona yang menyebutkannya. "Pada 20 tahun yang lalu itu Thio Su Seng telah bertempur sama Kaisar Hong Bu disungai Tiangkang, dia kalah dan kena ditawan, di itu hari juga dia tenggelam mati disungai itu, akan tetapi orang2 bawahannya yang dapat lolos bukan sedikit jumlahnya, bahkan puteranya yang terbakar telah dapat ditolongi Cio Thian Tok itu. Selama 10 tahun yang belakangan ini, orang2 bawahannya Thio Su Seng itu pada hidup sembunyi dan menyendiri, dengan diam2 mereka berusaha untuk bangun pula. Tentang asal-usulnya Hian Ki, belum pernah dia memberitahukannya kepadaku, tetapi aku tahu dialah turunan dari salah seorang bawahannya Thio Su Seng itu." "Jikalau demikian adanya, sudah selayaknya Hian Ki memanggil paman kepada In Bu Yang, Kenapa dia hendak membinasakan In Bu Yang itu?" "Kabarnya itu disebabkan In Bu Yang sudah mendurhakai kepada tuannya untuk mendapatkan pangkat tinggi, maka itu Hian Ki mendapat tugas dari yang lain2nya untuk membinasakan dia, bahkan tak dapat tidak, dia mesti membunuhnya. Hanya mengenai penjelasannya, aku tidak mendapat tahu." Siangkoan Thian Ya tertawa terbahak: "Jikalau benar demikian halnya, apabila In Bu Yang sampai terbinasa terbunuh, dia pasti mati tak puas!" katanya. "Mengapa begitu eh?" bertanya si nona. "Isteri pertama dari In Bu Yang itu justeru telah terbinasa dalam peperangan disungai Tiangkang itu. Maka kenapa dia bisa berbalik menunjang kaisar yang sekarang ini?" "Kenapa kau ketahui itu?" "Sebab isteri yang kedua dari In Bu Yang itu ialah bibi guruku...." "Bagaimana? Kau jadinya murid dari Butong Pay?" tanya si nona heran, "Kenapa tak pernah kau memberitahukannya? Bahkan belum pernah aku menyaksikan kau menjalankan ilmu silat Butong Pay itu?" Didalam cuaca samar2 malam itu, kedua matanya Siangkoan Thian Ya bersinar tajam, bibirnya pun telah bergerak akan tetapi dia tidak mengatakan sesuatu. Isteri kedua dari In Bu Yang itu, dengan siapa Bu Yang menikah, setelah kebinasaannya isterinya yang pertama adalah puterinya Bouw Tok It yang menjadi Ciangbunjin, ahli waris yang memegang pimpinan partai Butong Pay, yang semasa hidupnya dikenal sebagai ahli silat pedang nomor satu. Memang benar Siangkoan Thian Ya memanggil dia sukouw (bibi guru), karena mana, Bouw Tok It itu ialah kakek gurunya (sucouw). Hanya selama beberapa tahun Un Lan mengenal Thian Ya, pemuda ini belum pernah mengasih lihat ilmu silat pedangnya, ilmu silat pedang Butong Pay itu, baru sekarang secara tiba2 dia menyebutnya. Maka mau atau tidak, si noana menjadi heran. Siangkoan Thian Ya pun terbenam dalam ke-ragu2an, beberapa kali dia hendak membuka mulutnya, tetapi senantiasa gagal. Hanya berselang sekian lama, barulah sambil tertawa menyeringai ia berkata juga: "Aku baru mempelajari kulit atau bulunya ilmu silat pedang Butong Pay itu, maka itu cara bagaimana aku berani petentang petenteng dimuka orang banyak? Tidakkah dengan begitu aku akan dapat membuat malu rumah perguruanku itu?" Un Lan cerdas sekali, walaupun orang mengatakan demikian, ia dapat melihat pemuda didepannya ini niscaya mempunyai kesulitan yang tak dapat dia jelaskan. Maka berpikirlah ia: "Biasanya Siangkoan Thian Ya belum pernah tak memberitahukan aku segala apa, kenapa sekarang, didalam urusan ini, dia hendak menutupinya? Adakah urusan itu demikian besar hingga mesti dirahasiakan?" Nona ini merasa heran, dari itu meskipun ia tidak menanyakannya pula, herannya itu menjadi ber-tambah2. Sang malam merayap terus, sebentar lagi muncullah si Puteri Malam. "Hian Ki terluka parah, diwaktu malam sunyi begini dia berada ditanah pegunungan ini, siapakah yang nanti menolong dia?" berkata si noana menghela napas. Dimana cahaya rembulan menyinari wajah mereka, Un Lan heran menampak muka Thian Ya pucat mendadak, sedang kedua matanya dipentang lebar2, pada kedua mata itu bagaikan hendak mengalir air mata darah.... Tanpa merasa, nona ini menggigil sendirinya: "Aku tidak menyesalkan kau, aku hanya berkuatir untuk Hian Ki," katanya menjelaskan, suaranya perlahan. Siangkoan Thian Ya tidak menyahuti si noana, sebaliknya dia bertanya: "Barusan kau berkata Hian Ki hendak membunuh In Bu Yang, tahukah kau In Bu Yang itu berada dimana?" "Katanya dia berada digunung Holan-san didepan ini," menyahut si nona. Baru si nona berkata atau Siangkoan Thian Ya sudah berlompat berjingkrak: "Adik Lan, jangan kuatir!" serunya, "Jikalau aku tidak dapat mencari Hian Ki, untuk se-lama2nya tak nanti aku kembali!" Hanya sejenak itu dia sudah ber-lari2 mendaki gunung, gesitnya bagaikan seekor kera, hingga dilain saat lenyaplah tubuhnya diantara pepohonan yang gelap, juga dengan sang malamnya. Hendak Un Lan menyusul, akan tetapi ia telah terlambat. Sang Puteri Malam bersinar cemerlang, akan tetapi tanah pegunungan itu sunyi senyap, maka itu berada sendirian,Un Lan menjadi kesepian. Hian Ki sudah pergi, Thian Ya juga, tinggallah ia seorang diri. Bukankah kudanya pun telah terbinasa? Maka itu, gunung itu dengan lembahnya yang diam, bukankah menakutkan? Dengan samar2 Un Lan masih dapat melihat tapak kaki kudanya Hian Ki. "Hian Ki, Hian Ki, kau dimanakah?" ia menanya, matanya mendelong mengawasi tapak kuda itu, kau tunggu aku.... Ia ketahui kuda Hian Ki kuda pilihan hanya tak tahu ia kuda itu sudah kabur kemana, tetapi walaupun demikian, ia lantas membuka tindakannya, untuk mengikuti tapak kuda itu, mengikuti tanpa harapan.... Hian Ki sendiri telah tiba di suatu tempat yang ia tidak menyangkanya sama sekali. Ia terluka bukannya enteng, tetapi ia kabur bersama kudanya itu, selagi dibawa lari binatang itu, ia merasakan dadanya sesak dan kepalanya nyeri sekali, maka sebentar kemudian, gelaplah pikirannya, lenyap kesadarannya, sebagai gantinya timbullah hayalnya. Ia menjadi ingat saat gurunya menyuguhkan ia arak untuk memberi selamat jalan padanya, kupingnya seperti mendengar nyanyiannya nona Un Lan, si nona yang seperti terus mengintil dibelakangnya. "Tidak, aku tidak boleh mati, tidak boleh mati!" kemudian ia kata dalam hatinya. Se-konyong2, ia mendengar suara kuda meringkik keras, lalu tubuhnya seperti terlempar, jauh berlaksa tombak didalam awan, terlempar turun kejurang yang dalam sekali, atau mendadak ia merasakan hawa yang dingin luar biasa. Kiranya kudanya telah tersandung dan ia terdampar kedalam jurang, Dalam keadaan tak sadar itu Hian Ki merasakan tangan yang halus dari satu nona mengurut-urut dadanya. Adakah dia nona Un Lan? Tak tahulah ia! Ingin ia membuka matanya, untuk melihat tegas, tetapi tak dapat, matanya itu tak sudi mengikuti keinginannya. Ia merasa dalam hawa yang sangat dingin itu, hatinya menjadi hangat, ia merasa sangat nyaman, maka tak lama kemudian, pulaslah ia dengan nyenyaknya. II. KITAB ILMU PEDANG Entah berapa lama sudah lewat, mendadak Hian Ki seperti mendusin dari mimpinya yang buruk dan hebat, dia seperti dibawa terbang kudanya berlaksa li, dia bertempur dahsyat digunung belukar dimalam hari, lalu ia ingat kejadian atas dirinya, Ia menggeraki tubuhnya, untuk berbalik. "Ha, aku berada dimana?" tanyanya seorang diri, "Mana Siangkoan Thian Ya? Mana Un Lan? Mana kudaku? Eh, tempat ini tempat apakah?" Ia terbenam dalam keheranan, matanya mengawasi kearah jendela, disana terasa angin halus mendesir masuk, hidungnya membaui bau yang harum halus, hatinya menjadi lapang. Karena ia merasakan nyaman itu, tiba2 ia berbangkit untuk duduk. "Hei, mengapa aku telah kembali kerumahku?" ia berseru seorang diri tanpa ia merasa. Inilah sungguh diluar dugaan. Ia me-ngucak2 kedua matanya, ia pun menggigit jari tangannya sendiri. Bukan, ia bukan tengah bermimpi! Ia ingat baik sekali bahwa ia telah tiba digunung Holan-san, dikaki gunung, yang terpisah dari rumahnya ribuan li. Mustahilkah ia telah ketiduran hingga seratus hari? Bahwa tengah pulas orang sudah mengangkatnya, menggotong ia pulang kerumahnya? Atau, mustahillah didalam dunia ini ada dewa, yang telah menggunakan ilmunya membikin ciut bumi, hingga dari kaki gunung Holan-san, ia telah dibawa pulang kekampung halamannya di Sucoan Utara? Tidak, itulah tak dapat terjadi! Toh ia bukannya lagi bermimpi!, Jendela didepannya itu menghadap ke Selatan, jendela itu tertutup dengan kaca, diluar jendela berbayang pohon bwee. Semua itu, berikut lemari buku didalam kamarnya ini....ia ingat, adalah kamar tulisnya sendiri.... . Ketika itu terdengar tindakan kaki diluar kamar, tidak ayal lagi, pemuda ini bergerak untuk turun dari pembaringan. "Ibu!" ia memanggil keras. Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa geli, lalu tertampak seorang nona menyingkap layar bertindak masuk. Dialah seorang nona dengan alis lengkung bagaikan bulan sisir, mulutnya kecil mungil seperti buah engtho, dan disorot matahari pagi itu, mukanya yang potongan telur bersemu dadu cemerlang, hingga jelaslah kecantikan dan kesegarannya. Hanya pada wajah itu nampak roman ke-kanak2kan. Heran Hian Ki hingga ia berdiri tercengang. "Bagus!" terdengar si nona membuka mulutnya, memperdengarkan suara yang halus. "Kau telah dapat turun dari pembaringan! Bagaimana? Apakah kau kangen akan rumahmu?" Kembali Hian Ki tercengang. "Ah, jadinya ini bukan rumahku?" pikirnya heran. Nona itu menghampiri dengan tindakan perlahan sekali, hingga terasa hawa mulutnya yang harum wangi, Ia tertawa pula ketika ia berkata lagi: "Aku lihat kau mem-bawa2 pedang, kau menunggang seekor kuda jempolan, tetapi kiranya kaulah seorang bocah gede, sebab begitu kau sadar kau memangil ibu!" Hian Ki heran, ia tak mengambil hati kata2 itu. "Aku mohon bertanya, nona apakah she-mu yang mulia?" tanyanya, "Kenapa aku dapat datang kemari?" Si nona kembali tertawa: "Aku justeru hendak menanyakannya kepadamu!" sahutnya, "Kenapa orang telah melukai kau begini hebat? Coba aku tidak menyimpan pel mustajab Siauwyang-Siauwhoan-tan, aku kuatir kau bakal mesti merawat sedikitnya setengah tahun." "Terima kasih, nona, terima kasih! Aku mohon bertanya, tempat ini tempat apakah?" "Inilah rumahku. Adakah kau mencelanya buruk?" Hian Ki mementang lebar kedua matanya, Ia mengawasi kesekitarnya. Ditembok ada tergantung sebuah pigura yang melukiskan panorama diwaktu malam dimusim rontok disungai Tiangkang, disana nampak si Puteri Malam tergantung diatas sungai, disungai sendiri terlihat empat atau lima buah kapal perang. Kota pun seperti berlatarkan belakang sungai itu, kotanya besar dan angker. Di atasnya itu ada seruas syair yang memuji keindahan sungai Tiangkang itu. Disamping pigura itu pula ada tergantung sebatang pedang, mungkin pedang mustika, sebab romannya luar biasa. Itulah dua rupa benda yang tak ada didalam kamarnya sendiri. Maka sekali lagi ia memandang sekelilingan. Perlengkapan kamar ini ada bagiannya yang tak sama dengan kamarnya, hanya itu jendela kaca, pula luarnya jendela dimana ada pohon bwee. Bagaimana mirip! Nona itu tertawa mengawasi orang yang berdiam bingung seperti si tolol. "Kenapa?" tanyanya. "Kamar ini indah, mengapa dibuatnya jendela itu?" Sianak muda bertanya. Biasanya dulu2, sebuah rumah besar berjendela kecil, dan dipakaikan kaca keluaran Pakkhia, dan itu jarang terlihat kecuali di Kanglam. Nona itu heran orang menanyakan jendela, Tapi ia tersenyum manis: "Itulah perlengkapan yang dibuat ayahku," sahutnya. Sambil berpegangan pada tembok, Hian Ki menghampiri jendela itu, perlahan tindakannya. Ketika itu diluar jendela, bunga bwee tengah mekar, baunya harum. Tanpa merasa, Hian Ki berkata perlahan: "Membuka jendela menyambut matahari pagi, menggulung layar mencium bau harum, dimana telah berada pekarangan penuh dengan bunga bwee, sudah seharusnya diadakannya jendela ini...." Mendengar itu, si nona melengak. "Ah," serunya perlahan,"nyatalah kegemaranmu sama dengan kegemaran ayahku. Ayah pun mengatakannya, lebih banyak jendela dibuka, supaya sinar matahari tembus kedalam, hingga harum bunga memenuhi kamar, itu membuatnya pikiran orang nyaman dan terbuka." Hian Ki pun heran. "Tapi itulah bukan kegemaranku belaka, itulah.... " katanya. "Bagaimana?" si nona memotong. "Kamarmu ini tak beda banyak dengan kamarku," menerangkan sianak muda, "Hanya kamarku itu adalah ibuku yang mengaturnya." Kelihatan nona itu sangat ketarik hati dan kagum. "Kau mempunyai ibu seperti ibumu itu, sungguh kau beruntung!" Hian Ki dan ibunya memang sangat saling menyayangi, maka itu senang ia mendengar pujian si nona. "Juga ilmu silatku ada ajarannya ibuku itu." katanya tersenyum. "Hanya sayang ibuku sendiri, selama sepuluh tahun, ia selalu menyekap diri didalam kamar," berkata si nona tanpa diminta, "Didalam satu tahun, cuma beberapa hari saja ia mendapat lihat matahari...." "Oh, kiranya peebo berada dirumah," kata Hian Ki, agak terperanjat, "Aku masih belum menemuinya...." "Kesehatan ibuku buruk, seluruh tahun ia berdiam saja merawat dirinya didalamm kamar," berkata pula si nona, "sekalipun pintu depan, tak suka ia pergi melintasinya, maka itu jangan dikata pula untuk menemui tetamu." Hian Ki melihat kening orang dikerutkan, ia menyesal dengan kata2nya itu. Maka Syukurlah untuknya, sejenak kemudian kembali si nona dapat tersenyum. "Kiranya ilmu silatmu ada ajarannya ibumu," katanya, "Bagaimana dengan ayahmu?" Wajahnya Hian Ki menjadi guram. "Ayahku telah menutup mata sebelum aku dilahirkan," sahutnya berduka. "Ah!" berseru si nona tertahan, terus ia berdiam. Hian Ki tak dapat melenyapkan keheranannya. "Aku Tan Hian Ki," katanya memperkenalkan diri, "Boleh aku menanya she yang mulia dari nona? Adakah ayah nona dirumah?" Ditanya begitu, sebaliknya si nona tertawa. "Aku tidak mengharap balasan budimu, mengapakah kau menanya tak habis-habisnya?" tanyanya, manis. Parasnya Hian Ki menjadi merah, ia likat. Memang aneh akan menanyakan she atau namanya, seorang nona yang baru dikenal. Ia menanya saking hatinya tertarik sangat oleh gerak gerik nona itu. Tidak disangka, ia ketemu batunya.... Nona itu mengangkat kepalanya melihat matahari. "Kau telah tidur nyenyak satu malam, sekarang tentulah kau lapar," katanya kemudian, "Kau tunggu sebentar." Ia tertawa, terus ia menyingkap layar untuk bertindak pergi, Hanya tiba diambang pintu, ia berpaling. "Baiklah aku beritahu padamu, aku she In," katanya perlahan. Hati Hian Ki tercekat. "She In," katanya didalam hatinya itu, "Mustahilkah?...." Tapi segera ia mengubah pikirannya, Ia berpikir pula: "Dikolong langit ini tidak sedikit orang she In, tidak nanti terjadi peristiwa sangat kebetulan seperti ini...." Sendirinya ia menghibur diri, tetapi tetap ia masgul, tidak tenang pikirannya. Ia lalu mencoba mengerak-geraki tangan dan kakinya, Senang hatinya. Ia dapat bergerak dengan merdeka. "Pukulannya Siangkoan Thian Ya berat, tetapi obatnya si nona begini mujarab," pikirnya pula, "Mungkin dia dari keluarga ilmu persilatan." Ia mengangkat kepalanya, memandang ketembok, Terlihat itu pedang yang luar biasa, tak kuat ia menahan kehendak hatinya, ia mengulurkan tangannya untuk mengambil turun senjata itu. Iapun menghunusnya, maka tampaklah sinar pedang dalam mana samar-samar terbenam cahaya kehijau2an. Itulah benar suatu pedang yang istimewa. Hian Ki adalah seorang ahli untuk alat-alat senjata, Maka tercengganglah dia. "Nona ini sangat mempercayai aku," pikirnya pula, "Enak saja ia menggantung pedangnya disini, tidak kuatir ia nanti aku mencurinya." Ia menunduk, akan mengawasi seksama pedang itu, Digagang pedang ada ukiran dua huruf kuno yang luar biasa, terlihat mana, anak muda ini lantas merasa ia bagaikan terbenam didalam kabut.... Huruf kuno itu adalah yang dinamakan huruf model Ciongteng, huruf semacam itu ia pernah melihatnya dalam kumpulan kitab syair kakek luarnya. Adalah ibunya yang membacakan, mengajari ia, maka tahulah ia sekarang, pedang ini ialah pedang Kungo-kiam, benar2 sebuah benda kuno. Kakek luar dari Hian Ki tidak mempunyai anak laki2, maka juga semenjak dilahirkannya, Hian Ki dipandang sebagai anaknya, untuk menurunkan she keluarga, dari itu ia memakai she ibunya yaitu she Tan. Kakek luarnya itu bernama Teng Hong, seorang penyair kenamaan diakhir kerajaan Goan (Mongolia), tetapi berbareng pun pandai silat, hingga karenanya dia dijuluki Bulim Siangcoat, artinya seorang Rimba Persilatan yang sempurna, bunbu-coancay (pandai surat dan silat). Didalam sebuah syairnya pun pernah ia melukiskan tentang pedang ini. Karena syair itu, pedang ini seperti juga ada milik kakeknya itu, hal mana pernah ia menanyakan ibunya, apakah ibu pernah melihat Kungo-kiam, pedang itu, hanya jawaban dari sang ibu adalah menyimpang, seperti disengaja, sedang waktu itu, wajah ibu itu agaknya berduka. Soal ini membuatnya Hian Ki sangat tidak mengerti, sia2 belaka ia memikirkannya, siapa sangka disini justeru ia menemukan Kungo-kiam. Adakah pedang ini pedang kakeknya itu atau keluarga In mendapatnya dari lain orang? Keras Hian Ki memikirkannya. Ia tidak memperoleh jawaban sampai ia mendengar tindakan kaki mendatangi. Lekas sekali ia menggantunkannya kembali pedang itu ditempatnya. Segera terlihat si nona muncul dengan penampan dikedua tangan, diatas itu ada bubur yang asapnya masih me-ngepul2 serta dua rupa sayurnya. "Kau baru saja sembuh, mari makan bubur!" berkata si nona, manis. "Eh, kau tengah memikirkan apakah?" Ia heran melihat orang seperti tercengang, maka ia mengikuti pandangan mata sianak muda, Maka tahulah ia apa sebabnya itu. Tiba-tiba saja ia tertawa riang. "Ah, kiranya kau penuju pedangku!" katanya. Merah muka dan kupingnya Hian Ki. "aku lihat pedang itu luar biasa," ia mengaku, perlahan. "Bagaimana ?" "Agaknya itulah sebilah pedang kuno...." "Benar, Menurut ayahku, inilah pedang pembuatannya Auw Ya Cu dijaman Cian Kok, jaman Perang Antar Negara, Sungguh matamu tajam!" "Adakah pedang ini pedang turunan keluargamu, nona?" Si nona tertawa pula dengan manis. "Itulah seharusnya!" sahutnya, "kalau tidak, masakah pedang ini digantung disini? Itulah mustikanya ayahku, biasanya tidak pernah ia mengijinkannya lain orang untuk merabahnya saja. Barulah pada suatu hari dari bulan yang baru silam, hari ulang tahunku yang ke-18, ia mewariskannya padaku." Habis mengucap, paras si nona merah sendiri, Ia menyesal sendirinya, hingga ia menjadi jengah karenanya, sebab ia telah kelepasan memberitahukan usianya tanpa diminta! "Jikalau begitu, nona pastilah seorang ahli silat," kata Hian Ki tanpa memperdulikan si nona. "Apakah artinya ahli?" menyahut si nona, kembali ia dapat tertawa sekarang, "Ayahku mengatakan aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja." Mendapatkan orang demikian polos, hatinya Hian Ki menjadi besar. "Nona terlalu sungkan," katanya, "Sudikah nona membuka kedua mataku?" "Kau melebihi aku sepuluh kali lipat, cara bagaimana aku berani membuat diri malu didepanmu?" katanya tertawa. Hian Ki memperlihatkan roman heran. "Kapannya kau pernah meliaht aku bersilat?" tanyanya. "Kau terluka parah, bukankah? Tapi kau dapat sembuh hanya dalam sehari semalam. Memang harus dibilang pil Siauwyang-siauwhoan-tan mujarab sekali, akan tetapi apabila itu tak dibantu oleh tenaga dalam yang mahir, yang telah ada dasarnya, tak nanti kesembuhannya begini cepat. Menurut pandanganku, kepandaian kau sudah tak beda jauh dari pada kepandaian ayahku. Sayang ayah tengah melancong, jikalau tidak, pastilah kau dapat berunding dengannya." "Walaupun benar aku tidak berjodoh bertemu dengan ayah nona, dengan mendengar katamu saja, tahulah aku bahwa ayahmu itu seorang ahli silat, Karena itu aku minta sukalah kau memberi petunjuk padaku." Nona itu tertawa. "Aku belum berpengalaman," ia mengaku, "aku cuma tahu ayahku sendiri yang mengerti ilmu silat dan memujinya, Sungguh aku akan membuatnya kau mentertawainya. Aku tidak dapat menyuguhkan masakan yang enak untukmu, baiklah aku memainkan sejurus ilmu pedang padamu, hanya aku harap sudilah kau nanti, memberi petunjuk padaku...." Hian Ki girang sekali. "Nona, sangat girang aku akan mendapat menyaksikan kepandaian kau!" ujarnya. "Ah, kau pandai sekali bicara!" kata si nona, yang terus tertawa. Setelah itu ia menurunkan pedangnya, ia menghunusnya, atau dilain saat ia sudah mulai bersilat. Tidak saja sinar pedang ber-kilau2, tubuh si nona pun ber-gerak2 dengan lincah menuruti gerak tangannya, kelihatannya ia menikam atau membabat secara wajar, tetapi sebenarnya tikaman dan babatan yang dahsyat. Bahkan sejenak kemudian, tubuh nona itu bergerak pesat dan cepat sekali, buka lagi lincah hanya sangat gesit, cahaya pedangnya pun berkelebatan kesegala penjuru. Diam-diam Hian Ki menyedot hawa dingin. Orang mengatakannya ilmu pedangnya sudah mahir, tetapi kalau ia diadu dengan nona ini, mungkin ia belum dapat menandinginya. Meski juga usianya masih sangat muda, Hian Ki mengenal baik ilmu silatnya pelbagai partai persilatan, hanya kepandaiannya nona cantik dan manis ini, tak tahu ia bersumber dari partai mana. Nampaknya itu mirip dengan ilmu silat Butong Pay, akan tetapi kelicahannya melebihi dari apa yang pernah ia saksikan. Se-konyong2 sambil bersilat itu, si nona bernyanyi: "Udara kosong penuh dengan asap, jauh di empat penjuru, tahun apakah itu? Di sana, dari langit yang biru, jatuhlah bintang yang panjang! di langit itu terlihat pohon-pohon dari mega. Nona-nona manis di dalam Istana Emas, di sana pula sisa-siasa istana raja jago. Panah yang ampuh menembus angin, memanah mata, cipratan airnya pedang membasahkan bunga, Sang suasana membuatnya sepasang burung wanyoh memperdengarkan suaranya. Di lorong maka daun-daun pohon membuatnya suara dari musim rontok. Di dalam keraton, raja Gouw tenggelam dalam mabuk araknya, dan telaga Tay ouw menyebabkan tetamu yang berpesiar menjadi kantuk. Seorang diri memancing ikan di lembah Seng-Seng, menegur gelombang tak dijawab, Rambut indah bagaikan gunung hijau, air dalam, ranggon tinggi menjulang udara. Mengantar sang gagak terbang pulang di waktu matahari turun. Ber-ulang2 meminta arak, mendaki panggung musik di mana musim rontok dan sang mega ada berserta." Hian Ki berdiam mendengar nyanyian itu diantara bayangan pedang, Ia teringat kepada Raja Gouw dijaman Cian Kok, yang mabuk arak hingga lupa daratan. Atau adakah itu dimaksudkan Cu Goan Ciang yang memperebutkan negara terhadap Thio Su Seng yang mengangkat diri menjadi raja di Souwciu? Tapi, kapan ia memandang pigura yang tergantung ditembok yang melukiskan rembulan dimusim rontok disungai Tiangkang, maka mulutnya yang telah dibuka dirapatkan pula, batal ia berbicara. Sampai disitu, berhentilah si nona bersilat. Ia tertawa dan bertanya, bagaimana dengan nyanyiannya itu, yang menjadi syairnya Gouw Bun Eng dari negara Song Selatan. Ditanya begitu, mukanya Hian Ki bersemu merah. Sedikit sekali ia membaca kitab syair, ia sampai tak ingat akan penyair yang kenamaan itu. "Nona ini me-nyebut2 syair tua tetapi suasana dari itu mirip dengan suasana jaman sekarang, adakah karena ia sengaja atau bukan menyebutkannya itu? Kalau ia sengaja menanya aku, benar2 ia cerdas sekali...." demikian pikirnya, Maka ia mencoba mengendalikan diri untuk tidak mengutarakan sesuatu. Si nona lagi-lagi tertawa. "Aku telah membawakan bubur untukmu, aku pun sudah bersilat, tetapi kau, sumpit pun kau tidak menyentuhnya satu kali juga!" katanya. Ditegur begitu, Hian Ki tertawa. "Hebat ilmu silatmu nona, hingga aku lupa segala apa!' ia memuji. Ia lantas menduduki kepala, untuk memegang sumpitnya, Ia mulai bersantap, ia merasakan santapan cara propinsi Sucoan, sederhana tetapi lezat. Maka heranlah dia, Gunung Holan-san ini jauh di Lenghee, terpisahnya dari Sucoan beberapa ribu li, mengapa sekarang disini ia dapat makan masakan Sucoan itu? Dan yang terlebih aneh lagi, itulah dua rupa sayur yang ia gemari semenjak ia masih kecil, Mau atau tidak, ia menjadi menjublak pula. "Bagaimana, eh?" si nona tanya, tertawa, "Apakah masakannya tidak enak?" Hian Ki menyumpit pula, ia menggayam. "Enak sekali!" serunya, "Inilah masakan seperti masakan ibuku!" Wajah si nona menjadi merah. "Inilah masakanku sendiri," berkata ia, "Mengapa kau menjadi ingat ibumu? Hayolah dahar, buburnya nanti keburu dingin!" Bubur itu wangi, masakannya daging campur sayur yang lezat, maka terbangunlah napsu daharnya, maka ia menghajar habislah tiga mangkok bubur! Si nona memandangi orang bersantap. "Telah lama kau rebah diselokan gunung, sekarang kau baru sembuh, baiklah kau minum secawan arak untuk menghidupkan darahmu," katanya pula. Dan dari poci arak yang berukiran, ia menuangi araknya, ia menyodorkan itu pada sianak muda didepannya. Hian Ki tidak pandai minum arak, tetapi ia teguk itu hingga habis. "Arak begini sedap, kalau karenanya orang mati karena mabuk, dia mati rela!" katanya tertawa. Nona itu menutup mulutnya sendiri untuk mencegah tertawanya, Hian Ki menjadi heran sekali, ia pun lalu merasakan apa-apa yang luar biasa. "Kau....kau....eh, apakah artinya ini?" katanya tak lancar, sebab ia segera merasakan lemas seluruh tubuhnya, ia menjadi ingin tidur saja, beberapa kali ia menguap, ia merasakan lidahnya pun rada kaku.... Nona itu mengulur tangannya, ia mendorong dengan perlahan, tetapi sianak muda.... "Bruk!" Ddan robohlah dia keatas pembaringannya, ia agaknya kaget tetapi kedua matanya terus meram tertutup, lapat2 ia mendengar tindakan kaki berlalu meninggalkan kamarnya itu, samar2 ia mendengar si nona tertawa dan berkata: "Kau pikir terlalu banyak, maka itu kau tidurlah biar nyenyak!.... " Hian Ki benar2 tidur pulas dan baru sadar sesudah mahgrib, Ia masih dalam keadaan samar2. Ia melihat sang rembulan diatas pohon bunga bwee, ia mendapatkan asap dupa melayang2 didalam kamarnya itu. Dimeja kecil dikepala pembaringan ada tersedia sebuah teko-an teh yang teh-nya masih panas. Ia heran, karena ia masih tetap dikamarnya yang luar biasa itu, Ia mencoba bernapas, ia tidak merasakan sesuatu yang menghalanginya, ia bahkan merasa lebih segar dari pada siang tadi. Tiba-tiba saja ia dapat mengerti, maka bersyukurlah ia terhadap si nona. "Siapa nyana nona ini pun mengerti ilmu pertabiban," katanya dalam hati, "Ia melihat aku berpikir banyak, ia kuatir kesehatanku tak pulih seperti sediakala, ia memberikan aku arak obat, obat yang mujarab sekali.... Ah, akulah yang keliru, tadinya aku menyangka ia meracuni aku.... Tengah pemuda ini berpikir itu, ia dapat mendengar tindakan kaki diluar kamar. Lantas saja ia menduga kepada si nona, maka hendak ia lekas berbangkit untuk menyambut, atau mendadak ia merandak. Ia mendapat kenyataan tindakan itu bukannya dari seseorang. Dengan cepat ia mengintai dari jendela. Disana ia melihat bayangan dari dua tubuh yang besar. Segera juga ia mendengar suara tertawa dari satu orang, yang terus ber-kata2: "Saudara Bu Yang, tempatmu ini benar2 mirip dengan tempat dewa, pantas kau kerasan tinggal disini belasan tahun, tak pernah kau turun gunung, Sebaliknya aku, masih muncang mancing saja diantara angin dan debu, dibandingkan dengan kau, aku seperti ketinggalan jauh beberapa li!" Orang itu bicara dengan perlahan, tetapi dikupingnya Hian Ki terdengarnya bagaikan guntur menggelegar, karena satu diantara mereka itu adalah In Bu Yang, orang yang ia satroni untuk dibunuhnya. Tidakkah dia dipanggil 'Saudara Bu Yang'? Maka teranglah sudah, rumah ini rumah In Bu Yang si musuh! Lalu ia mendengar suara jawaban, suara seperti dari seorang tua; "Selama belasan tahun ini, aku tidak memperoleh kemajuan satu dim juga, maka itu cara bagaimana aku dapat dibandingkan dengan kau, saudara, yang telah membantu menunjang seorang raja yang bijaksana, hingga kau berulangkali mendirikan jasa besar?" Hian Ki berpikir keras, Tahulah ia sekarang, In Bu Yang ini benar telah mendurhakai kepada junjungannya yang lama, bukankah dia bersahabat erat dengan orangnya pemerintah? Hanya belum tahu ia , siapa itu yang seorang lagi. Sementara itu terlihat sinarnya api diluar jendela, sebab itulah si nona yang muncul dengan sebuah lentera ditangannya. "Ayah baru pulang!" sambutnya. "Ya, aku pulang lambat sekali," menyahut sang ayah. "Inilah paman Lo, Tayjin Lo Kim Hong yang sekarang menjadi Kimi-wi Congcihui, Komandan utama dari pasukan pengawal Sri Baginda Raja." Si nona agaknya tak mengerti apa itu Kimi-wi pasukan pengawal raja, ia cuma memberi hormat secara wajar saja, Sebaliknya Hian Ki, kembali ia berpikir keras, Ia kenal Lo Kim Hong ini, sebab dialah jago kelas satu dibawahan Cu Goan Ciang, Selama peperangan disungai Tiangkang, Lo Kim Hong inilah yang dapat membekuk Thio Su Seng, Karena jasa ini yang besar, sekarang ia menanjak kedudukan komandan utama dari Kimi-wi, sebuah pasukan yang tugasnya teristimewa, membekuk segala musuh negara, Maka sesaat itu bergolaklah darahnya, ia bergusar berbareng cemas hati, bukankah ia berada diantara musuhnya dan musuh yang tangguh pula? Ketika pertama kali Hian Ki menerima tugas untuk membinasakan In Bu Yang, ia sudah ketahui Bu Yang sangat lihay, maka itu tidak pernah ia memikir untuk pulang hidup, setelah menyaksikan ilmu pedangnya anak dara orang, ia semakin menginsafi mala petaka yang mengancam dirinya, Bukankah telah terbukti, ilmu kepandaiannya Bu Yang ada berlipat ganda melebihi ia? Bahkan sekarang In Bu Yang berada bersama seorang jago kelas satu dari istana kaisar. Disamping segala itu, yang membuat Hian Ki sangat bergelisah ialah itu kenyataan Bu Yang adalah ayah si nona cantik manis, yang lemah lembut itu, yang telah menolong jiwanya, Dapatkah ia turun tangan terhadap ayahnya nona itu? "Siapa itu dikamar tulis?" tiba2 Hian Ki mendengar pertanyaannya Bu Yang, selagi ia bagaikan melamun, Ia berjingkrak, tangannya diulur kebantal kepalanya dibawah mana ia menyimpan pedangnya. "Dialah seorang pemuda yang mendapat luka parah." demikian ia mendengar jawaban si nona. "Dia terjatuh kedalam selokan, tidak ada orang yang menolonginya, maka itu anakmu telah membawanya pulang." "Orang muda macam apakah dia itu?" terdengar pula Bu Yang, "kenapa dia terluka?" "Dia telas pulas satu hari satu malam, baru saja dia mendusin, maka itu anakmu belum sempat menanyakan keterangannya," si nona menjawab pula. "Ah, So So, kau membuat berabeh dirimu!" menyesali si ayah. Baru sekarang Hian Ki ketahui bahwa nama si nona adalah So So. "Satu nama yang bagus sekali!" pujinya dalam hati. "Ayah," ia mendengar pula si nona, agaknya dia penasaran, sebagaimana itu terbukti dari nada suaranya, "bukankah kau setiap hari telah mengatakan kepadaku tentang per-buatan2 mulia menolongi orang? Didepan mata kita ada seorang asing, pula dia terluka parah, apakah kita harus membiarkannya saja?" "Tetapi tak usahlah sampai dia ditempatkan dikamar tulis," berkata sang ayah. "Mama takut suara berisik, apakah dia mesti ditempatkan diruang dalam?" sang anak menanya. "Sebernarnya dia terluka apa?" tanya Bu Yang, menyampingi puterinya itu. "Kelihatannya dia terkena pukulan tenaga dalam." "Kalau begitu, mengapa dia dapat sembuh hanya dalam sehari semalam?" "Anak telah memberikan dia tiga butir pil Siauwyangsiauwhoan- tan," menerangkan si nona, "Dan tadi, se-sadarnya dia, anakpun memberikan dia minum secawan arak Kenghoa- Thianhio-Hweeyang-ciu buatan ayah, Mungkin hingga sekarang dia masih belum mendusin dari tidurnya. . ." "Apa? Kau memberikannya itu pil yang aku dapat minta dari Siang Kwi Taysu?" tanya si ayah terperanjat, "Aku dapat minta hanya enam butir, sekarang kau memberikannya separuhnya! Dan itu arak Hweeyang-ciu, aku membuatnya setelah membuang tempo lima tahun, tahukah kau?" "Aku tahu itu, ayah," sang anak menyahuti, "Apakah ayah menyesali aku?" Nona ini nampaknya manja sekali. Hian Ki tidak melihat gerah gerih orang, tetapi ia dapat membayangi itu, Ia menjadi cemas hati. "Si nona tidak kenal aku, tetapi dia ada begitu mulia, dan telah menolongi secara sungguh2 padaku," katanya dalam hatinya. Memang aneh jalannya urusan didalam dunia ini, Un Lan sangat menyinta dia, menyinta seperti panasnya api, hatinya tidak bergerak, tetapi sekarang, baru pertama kali ini, ia bertemu dengan So So, segera ia kena terpengaruh. . . . Hian Ki lantas juga mendengar tertawanya Bu Yang. "Baiklah," barkata ayah itu, "kalau besok dia sudah bangun, hendak aku berbicara dengannya, hendak aku mencari tahu tentang ilmu silatnya, ingin aku melihat apa benar2 dia berharga diberikan tiga butir pil mustajab." In Bu Yang menyebutnya 'besok,' karena ia ketahui baik sekali, siapa minum arak Kenghoa Thianhio Hweeyang-ciu, dia mesti tidur selama sehari semalam, Ia tidak menyangka, sempurna sekali tenaga dalam dari Hian Ki, sejak makan obat, dia telah sembuh, dari itu, dia cuma tidur seharian sudah mendusin. Hian Ki terbenam dalam kebimbangan, Baikkah malam itu ia bokong In Bu Yang, untuk membinasakan padana, atau ia harus mengangkat kaki, menyingkir secara diam2? Ia berpikir tanpa ada keputusannya, ia terus beragu-ragu. "Bagaimana dengan ibumu selama beberapa hari ini?" kemudian terdengar In Bu Yang menanya pula. "Ibu bilang makan obatpun sama saja," menyahut sang anak, "Pada dua hari yang pertama, ia telah minum setengah mangkok, habis itu melarang aku memasaknya pula, Ayah, mengapa penyakit ibu tak sembuh2?" "Apakah enso kurang sehat?" Lo Kim Hong menyelak. "Ia sakit tetapi bukanna sakit berat, ia melainkan sering merasakan kepalanya pusing, hingga ia tidak suka ber-jalan2, Eh, So So, pergi kau bilangi ibumu, besok akuakan menjenguk dia." Hian Ki ada seorang anak berbakti kepada ibunya, mendengar perkataannya Bu Yang itu, ia merasa tertusuk sendirinya. "Aneh sekali!" pikirnya, "Isterinya sakit, suaminya pulang, tetapi kenapa suami ini tidak lantas melihat isterinya itu? Bukankah tidak pantas? Menurut kabar isterinya In Bu Yang ini adalah puterinya Bouw Tok It ahli waris dari Butong pay, dan pada belasan tahun yang lalu, sebelum orang ketahui Bu Yang berkhianat kepada tuannya yang lama, merekalah suami isteri yang setimpal yang mendapat pujian umum, kenapa sekarang ia ada begini tawar terhadap isterinya itu? Dan aneh pula Nyonya In itu, Benar ia sakit dan tak suka jalan2, tetapi sakitnya itu tidak menyebabkan ia tak dapat bangun dari pembaringannya, kenapa sekarang suaminya pulang ia tidak keluar menyambut?" Terdengar suara menyahut perlahan dari So So, yang lantas bertindak pergi dengan per-lahan2, dilain pihak, dikaca jendela terlihat lewatnya satu bayangan orang, Sebat sekali, Hian Ki ber-pura2 tidur pulas, matanya dirapatkan hanya untuk mengintai terus. Dikaca jendela sekarang terlihat wajah cantik dari So So, Malam sunyi, rembulan bercahaya indah, pohon bungan bwee berbayang miring, dan dikaca jendela itu si cantik mengintai kedalam, kepada orang yang tengah tidur. . . . Bagaimana indah pemandangan itu, walau pelukis kenamaan, belum tentu dia dapat melukiskannya. . . Si nona terdengar tertawanya yang perlahan; "Bocah yang baik, kau tidurlah biar nyenyak," katanya, perlahan juga, "Kau sangat memikirkan rumahmu, baiklah dalam mimpimu kau bertemu dengan ibumu itu, Aku juga hendak pergi pada ibuku." Hian Ki tertawa didalam hati, karena ia dipanggil 'bocah yang baik,' tetapi hatinya goncang, ketika ia mendengar tindakan kaki orang sudah jauh, hampir ia mau berteriak memanggilnya. Kata2nya In Bu Yang membuat pemuda ini seperti sadar. "Saudara Lo, bukannya kau berdiam dikota raja untuk mengicipi kebahagiaanmu, sekarang kau datang menjenguk aku, mungkinkah Sri Baginda menugaskan kau sesuatu yang penting?" Demikian suara si tuan rumah. "Saudara mengenal sifat junjungan kita, baiklah aku memberikan keterangan," menjawab Lo Kim Hong, "Sri Baginda mengangkat saudara dengan Thio Su Seng, sayang Thio Su Seng itu tidak sudi menakluk terhadapnya, Diatas langit tidak ada dua matahari, maka itu, rakyat pun tidak layak mempunyai dua raja, karena ini dengan sangat terpaksa Sri Baginda menghadiahkan kematian kepadanya, Itulah kejadian sangat terpaksa, Tapi sekarang terbukti, banyak orang bawahannya yang tidak puas, Negara aman sentosa, Baginda juga sudah memerintah tiga belas tahun lamanya, meski begitu, mereka itu masih bergerak terus, mereka asyik menantikan ketika untuk turun tangan, Bukankah perbuatan mereka itu perbuatan tidak mengenal selatan ?" "Memang! Untuk satu keluarga atau satu she, orang memperebutkan negara, itu cuma mencelakai rakyat jelata, Apakah perlunya itu? Aku menginsafi itu, maka juga aku menyingkir kemari, seperti si harimau tua rela mati digunung belukar!" "Memang benar!" Hian Ki mengulangi didalam hatinya, "Untuk satu keluarga atau satu she, orang memperebutkan negara, itu cuma mencelakai rakyat jelata, Apakah perlunya itu?" Kata2 itu belum pernah Hian Ki mendengar orang mengucapkannya, baru sekarang ia mendengar dari mulutnya In Bu Yang ini, Kata2nya In Bu Yang ini memang beralasan, Maka berpikir pulalah ia: "Asal In Bu Yang benar rela mati digunung belukar ini sebagai si harimau tua, nah, perlu apa aku membunuhnya?" Diluar kamar itu terdengar tertawanya Lo Kim Hong si komandan Kimi-wi. "Kau seorang sadar, saudara , aku kagum terhadapmu," katanya, "Tetapi mereka itu menentang Sri Baginda, sebelum ancaman bencana itu disingkirkan, mana hati kita menjadi tenang? Saudara lihay ilmu silatnya, mengingat itu pepatah, 'Macan tutul mati meninggalkan kulit, orang mati meninggalkan nama', maka kalau saudara menanti hari akhirmu digunung ini, apakah itu tidak sayang?" "Sebutan lihay ilmu silatnya, itulah saudara sendiri yang berhak menerimanya," berkata In Bu Yang, "Aku sendiri, mana aku sanggup? Sri Baginda telah memperoleh bantuan saudara, perlu apa lagi aku sitolol dan bodoh?" Lo Kim Hong bergelak; "Saudara, keliru kata2mu ini, kau memandang terlalu asing terhadapku, Karena kota raja tidak ada lain orang lagi, terpaksa aku menerima pangkatku ini, tetapi ini pun untuk sementara waktu, Sebenarnya aku menantikan saudara turun gunung, untuk nanti menyerahkannya padamu." "Saudara Lo, kau membuat aku malu sendiri, Apakah yang aku dapat lakukan?" "Orang2 bawajannya Thio Su Seng itu, dalam sepuluh, yang sembilan ada sahabat2 saudara, maka itu Sri Baginda memikir untuk saudara, yang pergi memberi nasihat kepada mereka, agar mereka suka datang menghamba." "Umpama kata mereka tidak sudi menyerah?" Kim Hong kembali tertawa; "Saudara seorang sadar, tak usah aku menjelaskannya lagi! Andaikata saudara masih memberati sahabat2 lama, dan karenanya tak dapat menurunkan tangan sendiri, cukup asal kau memberitahukan aku alamat mereka, Jasa ini tetap ada jasa saudara." Hati Hian Ki terkesiap. "Sudah banyak tahun aku hidup menyembunyikan diri digunung ini, mengenai mereka itu aku tak jelas lagi, Sekarang begini saja, Saudara memberi tempo tiga bulan padaku, Selewatnya tiga bulan itu, saudara datang berkunjung pula kerumahku ini, itu waktu nanti aku memberikan jawaban pada saudara." Kata2 itu dapat diartikan, selama tiga bulan ia bakal mendapat tahu sepak terjangnya orang Thio Su Seng itu, lalu jasanya itu hendak ditukar dengan semacam pangkat tinggi dan mulia, Hian Ki menjadi mendongkol dan gusar sekali, Pikirnya:"Kau tidak menyetujui satu keluarga atau she memperebutkan negara, karena itu bolehlah kau menempatkan dirimu diluar garis itu masih bagus untukmu, Tapi kalau kau menyelidiki mereka dan kemudian membuka rahasia, bukankah itu berarti mencelakai banyak orang gagah?" Terdengar pula Lo Kim Hong tertawa lebar; "Baiklah, selewatnya tiga bulan, aku bakal datang pula kemari!" katanya, "Disini aku tidak dapat berdiam lama, dari itu ijinkanlah aku mengundurkan diri." In Bu Yang tidak menahan tamunya itu, yang ia antar hingga diluar, Tidak lama ia sudah kembali, sambil memegangi cabang bungan bwee, ia bersenandung: "Peperangan itu mendatangkan penasaran, cuma merusak bunga ini" Dari suaranya itu, nyata hatinya sangat terpengaru mala petaka peperangan. Hian Ki melengak, tidak dapat menangkap hati orang. Tidak antara lama terdengarlah daun pintu dibuka, tertolak dari sebelah luar, lalu terdengar tindakan kaki mendatangi, Hian Ki heran hingga ia menanya dirinya sendiri, "Eh, mengapa Lo Kim Hong balik kembali?" Ia mengangkat kepalanya, untuk mengintai keluar jendela, Sebentar saja, ia melihat sesosok tubuh manusia, Untuk kagetnya, ia sampai tak mempercayai matanya sendiri. Yang datang itu ialah Siangkoan Thian Ya! Juga In Bu Yang agaknya heran, Tapi dianya seorang jago yang berpengalaman, Ia melirik kepada tamunya yang tidak diundang itu, sikapnya tenang, bahkan tawar. "Siapakah kau tuan?" tanyanya, "Kenapa tengah malam seperti ini tuan datang kemari?" "Aku Siangkoan Thian Ya," menyahut anak muda itu, suaranya dalam, "Bouw It Siok menitahkan aku datang kemari menanyakan kesehatan Loocianpwee," Bu Yang nampaknya terperanjat, sampai air mukanya berubah. "Kau masih begini muda, tuan, mengapa kau belajar berdusta?" tegurnya, dingin. "Bukankah Bouw It Siok itu telah meninggal dunia pada bulan delapan yang baru lewat?" Bouw It Siok itu keponakan satu2nya dari Bouw Tok It, dialah yang menggantikan Tok It, pamannya, menjadi Ciangbunjin dari Butong Pay, Hian Ki heran mendengar perkataan Thian Ya itu. "Kiranya Thian Ya benar2 murid Butong Pay? Kenapa tadi2nya ia tidak pernah menyebutnya? Dan In Bu Yang ini, lihay kupingnya, Dia berdiam didalam gunung ini, tapi dia ketahui segala apa, Aku sendiri tidak tahu yang Bouw It Siok sudah menutup mata," "Benar," menyahut Thian Ya, tetap dingin, Oleh karena guruku itu telah meninggal dunia, maka beranilah aku menerima pesannya yang berupa titah untuk datang kemari, Apakah sukouw (bibi guru), masih sehat walafiat? Bolehkah aku diperkenankan menghunjuk hormat kepadanya?" Thian Ya memanggil sukouw, kepada isterinya Bu Yang itu. "Isteriku itu telah putus hubungannya dengan dunia luar," berkata Bu Yang sambil tertawa dingin, "maka tak usahlah kau mencapaikan diri untuk menemuinya, Laginya jikalau keluarga Bouw itu ada mempunyai urusan, kenapa Bouw It Siok tidak datang sendiri, disaat ia belum menutup mata?" Juga Thian Ya tertawa dingin. "In Loocianpwee," katanya, "kau tahu tetapi sengaja kau menanyakannya! Guruku almarhum itu, karena mengingat kecintaan kakak dan adik, tak ingin ia datang sendiri untuk meminta pulang kitab ilmu pedangnya, Kitab itu adalah kitab milik Butong Pay, karenanya apakah dapat orang luar yang menyimpannya? Loocianpwee telah meminjam itu lamanya 20 tahun,aku pikir pastilah kau telah hapal se-mua2nya." "Hm!" Bu Yang memperdengarkan ejekannya, "Jadi pesan Bouw It Siok itu menugaskan kau menjadi Ciangbunjin?" "Thian Ya seorang bodoh, karena dia menerima bidi, kecintaan gurunya, dia tidak dapat menampik," jawab anak muda, "Setelah mendapatkan kitab silat pedang itu, baru aku akan kembali ke Butong Pay, untuk menerima tugasku itu." "Hm!" kembali Bu Yang, mengejaek, "Kecuali kau, ada siapa lagi yang mengetahui kitab pedang itu berada ditanganku?" "Aku sendiri mengetahui itu, baru pada tiga bulan yang silam, setelah aku menerima pesan guruku, Karena memandang muka saudaranya, guru menyimpan urusan ini, selama hampir 20 tahun, Bukankah itu telah cukup sebagai tanda, bahwa ia menghargai kau, Loocianpwee?" Bu Yang tetap dengan sikapnya yang dingin, Ia tertawa; "Meskipun kitab itu kitabnya keluarga Bouw, tetapi itu bukan miliknya Butong Pay," ia bilang, "Kau tahu sendiri, juga gurumu belum pernah melihat kitab itu!" "Itulah benar," Thian Ya mengakui, "Kitab itu kakek guru yang membuatnya, setelah ia mendapatkan kitabnya Tat Mo Couwsu, lalu ia menciptakan sendiri ilmu silatnya itu, Kakek guruku adalah orang Butong Pay, maka itu, ilmu silat pedang itu digabung dengan ilmu silat pedang Butong Pay itu, adalah maksudnya kakek guru untuk mewariskan ilmu silat pedang itu, kepada murid2 Butong Pay." "Apakah kau pernah dengar sendiri kata2nya kakek gurumu itu?" tanya Bu Yang terus tertawa dingin. "In Loocianpwee," berkata Thian Ya, menyahuti, kaulah seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, mengapa kau mengeluarkan kata2mu ini, yang merupakan sangkalan? Mustahilkah benar2 segala apa sudah mati dan menjadi tidak ada saksi atau buktinya?" Muka Bu Yang menjadi merah. "Jikalau kau membawa surat wasiat dari mertuaku untuk meminta kitab itu, mungkin aku memberikannya," kata dia, keras, "Kitab itu milik keluarga Bouw, dan mertuaku itu tidak punya anak laki2, maka sekali It Siok masih hidup, tidak dapat dia datang untuk memperebutkannya," Siangkoan Thian Ya tertawa ter-bahak2. "Kiranya beginilah In Bu Yang, yang pada 20 tahun yang lampau, namanya menggetarkan dunia!" In Bu Yang menjadi gusar. "Sekalipun gurumu yang datang kemari, tidak nanti dia berani berlaku kurang ajar begini!" katanya sengit, tertawanya dingin, "kau sendiri makhluk apa. maka kau berani berlaku kurang ajar didepanku?" Thian Ya tidak takut. "Memang aku telah memikir, bahwa aku tidak bakal pulang dengan masih bernyawa!" katanya, "Hanya aku khawatir, apa bila kabar kematianku telah tersiar luas, maka Ti Wan Tiangloo dari Butong San, pastilah akan membuka dan membaca surat wasiatku, hingga itu waktu semua orang Butong Pay, akan mendapat tahu duduknya hal yang sebenarnya, Mungkin Butong Pay sendiri tak dapat membuatnya kau jeri, tetapi putusan yang maha adil dari kaum rimba persilatan, pastilah In Loocianpwee tak dapat menerimanya." Bu Yang terkesiap, tetapi ia tidak suka mengalah kepada anak muda itu, tak sudi ia memparlihatkan kelemahannya. "Hm!" serunya, "Seumurku, aku siorang she In tidak pernah dipengaruhi orang lain! Jikalau aku tidak melihat usiamu yang masih begini muda, hungga kemajuan dan masa depanmu harus disayangi, pastilah sudah aku membinasakan dirimu! Hm, benar2kah kau menghendaki kitab ilmu pedang itu?" Kata2 itu menggabung sikap keras dan lunak, Hian Ki menduga Thian Ya bakal tetap berkepala batu, Siapa tahu, ia menduga keliru, Mendadak pemuda itu mengubah lagu suaranya. "Memang sejak lama aku mengetahui kau ber-cita2 menjagoi dikolong langit ini," demikian katanya,"kau ingin menjadi ahli silat pedang nomor satu! Maka itu mana kau sudi mengembalikan kitab pedang itu!" Kata2 ini tajam dan telak mengenai jantungnya In Bu Yang. "Kau telah mengetahui, habis perlu apa kau datang juga kemari?" tegurnya. "Jikalau tetap kau tidak sudi mengembalikan kitab pedang itu, baiklah," berkata Thian Ya, keras tetapi sabar, "tetapi disamping itu kau mesti mengembalikan satu orang padaku! Seberlalunya aku dari sini, aku tidak akan omongkan pula tentang kitab ilmu pedang itu kepada lain orang." Mendengar itu, Bu Yang menjadi heran sekali, Ia benar2 tidak menduga Thian Ya, suka menukar kitab dengan satu orang, bahkan dia bersedia mengorbankan kedudukan Ciangbunjin, ketua partai Butong Pay, Siapakah orang itu yang dia sangat menyayanginya? Ia berpikir, lalu wajahnya berubah. "Hm!" katanya, matanya dipentang lebar, Ia tidak lagi bergusar seperti tadi, tetapi ia tetap angker. "Kau bilang," katanya dingin, "siapakah orang itu? jikalau kau omong kurang ajar sedikit saja, kau bakal mampus dibawah telapak tanganku ini!" Bu Yang mempunyai semacam penyakit dihati, ialah kecurigaannya, Ia mau menerka, mungkinkah keluarga Bouw hendak mengirim wakil, untuk mengajak pulang isterinya? Atau, mungkinkah pemuda ini menaruh hati kepada puterinya, agar puteri itu dapat ditukar dengan kitab pedang itu? Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa kecurigaannya, terkaannya itu, salah semua. Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak, karena ancamannya tuan rumah yang bengis dan lihay itu, tetapi ia tidak jeri, ia tetap berlaku tenang. "Aku minta kau menyerahkan pulang Tan Hian Ki padaku!" demikian ia berkata, itulah syaratnya menukar kitab pedang dengan manusia. In Bu Yang menjadi sangat heran. "Apa?" tanyanya, "Siapa itu Tan Hian Ki ?" "Jangan kau berlagak pilon!" kata Thian Ya keras, "KUdanya Tan Hian Ki itu, masih ada diluar rumahmu ini! Umpama kata benar dia memusuhi kau, tetapi orang dengan kedudukan sebagai kau, adakah kau puas hatimi, untuk membinasakan seseorang yang sedang terluka parah?" Bu Yang bertambah heran, Hanya sejenak, ia bagaikan sadar. "Bukankah Tan Hian Ki itu orang yang telah ditolong So So?" terka-nya, "Sampai sekarang ini pemuda yang tidur dikamar tulisku itu, masih belum aku ketahui she dan namanya, kenapa dia hendak memusuhi aku?" "Bagaimana?" Siangkoan Thian Ya mendesak, "Sebuah kitab kaum Rimba Persilatan, ditukar dengan satu orang, kau toh tidak rugi, bukan?" Kedua matanya Bu Yang membelalak, sinarnya menyapu tajam bagaikan kilat, Ia memandang tajam pemuda didepannya itu. "Tan Hian Ki itu orang macam apa?" dia menanya, "Kenapa kau sudi mengorbankan kitab pedang, dan kedudukan ketua Butong Pay, hanya dengan meminta aku melepaskan dia?" Siangkoan Thian Ya tidak menduga sama sekali, bahwa In Bu Yang belum mengetahui hal-nya Hian Ki itu, maka itu, mendengar pertanyaan orang, dialah yang balik melengak, Ia heran, kenapa jago ini belum mengetahui hal ihwalnya Hian Ki, Dengan menatap mata orang yang bengis itu, ia berkata; "Hian Ki itu telah terluka parah olehku! Kalau atas dirinya terjadi sesuatu yang tak terduga, atau karena lukanya tak dapat ia menempur kau, hingga dia terbinasa ditanganmu, apa kata aku terhadap kaum Rimba Persilatan?" Hian Ki dikamar tulis dapat mendengar semua pembicaraan itu, Ia terharu untuk sikapnya Thian Ya itu, Bu Yang sebaliknya menjadi semakin gelap, Tapi dia tertawa bergelak; "Aku siorang she In, baru pertama kali ini, selama hidupku mendengar kejadian aneh seperti ini, Benarkah ada orang yang suka mengorbankan, kedudukan ketua partainya cuma karena untuk memohon untuk musuhnya? Ha ha! Mendengar kau, bolehlah dianggap bahwakau adalah seorang ksatria!" "Tidak berani aku menerima pujian ini!" menjawab Thian Ya, tanpa memperdulikan ejekan orang. "Didalam hal ini, aku tidak lain hendak melepaskan kedudukanku sebagai Ciangbunjin, aku juga bersedia akan mengorbankan jiwaku!" "Bagus!" In Bu Yang menerima, menantang, "Nah, kau serahkanlah jiwamu!" Dengan mendadak saja dua jari tangannya, jago itu menyambar kemukanya sianak muda. Siangkoan Thian Ya kaget tak terkira, Inilah benar2 ia tidak duga, Tidak ada waktu lagi untuk menangkis atau berkelit, maka dengan bersedia kedua biji matanya dikorek keluar, ia membarengi dengan satu kepalannya kearah jago itu. Kedua pihak berdiri sejarak dua tindak, turut pantas, matanya Thian Ya mesti kena ditusuk dan dikorek, sebaliknya, In Bu Yang juga mesti kena dihajar hebat, akan tetapi kesudahannya adalah diluar dugaan, Matanya Thian Ya selamat, tak kurang suatu apa, dan tubuhnya In Bu Yang seperti menghilang dari hadapan sianak muda, kepalan siapa yang menghajar sebuah pohon bwee dibelakang Bu Yang, hingga diantara satu suara nyaring, pohon itu patah dua cabangnya, daunnya rontok bagaikan hujan, Thian Ya melengak karenanya, atau mendadak ia mendengar dari sampingnya; "Benar, kau benarlah mewarisi ilmu silat Butong Pay! Sekarang mari coba satu kali lagi!" Masih belum tetap hatinya Thian Ya, tatkala ia merasakan, jari tangan yang dingin meraba pipinya, Tidak ayal lagi ia menolak dengan kedua tangannya, dengan gerakannya'Dua naga menindak melingkar', Karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, tangkisan ini berat sedikitnya seratus kati, hanya ia heran, ketika tangannya itu mengenai sasarannya, ia tidak menghajar barang yang keras, hanya sesuatu yang kosong, Sebab dengan cara sederhana saja Bu Yang dapat menghindarkannya, Tentu sekali kembali ia menjadi kaget, maka segera juga ia bertindak mundur, tetapi ia kalah cepat, jalan darahnya ciang-bun-hiat di-iganya telah kena tertotok, maka,'Bruk!' robohlah ia terguling ditanah! Pertempuran itu tidak lolos dari matanya Tan Hian Ki, Sekarang dapatlah ia membuktikan tidak saja ilmu meringankan tubuh dari Bu Yang sudah mencapai puncak kemahiran, serta ilmu pedangnya menakjubkan, juga totokan jarnya luar biasa, yaitu totokan Itci-sian.. (totokan sebuah jari tangan), Ia menyedot hawa dingin, saking kagum dan terkesiap hatinya. "Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa malam ini adalah malam terakhir, untuk hidupku dalam dunia ini. . ." katanya didalam hati, Ia lantas menjemput pedangnya untuk membuka pintu, guna menerjang In Bu Yang, Biar bagaimana, ia mesti membantu Siangkoan Thian Ya, yang sudah berkorban untuknya, Ia tahu ia kalah lihay, tetapi ia tak menghiraukannya lagi, Malu ia, andaikata ia mesti mengangkat kaki, meninggalkan Thian Ya ditangan musuhnya, Hanya, belum lagi ia membuka pintu, ia telah mendengar pula tindakan kaki orang, disana muncul So So nona cantik manis puterinya jago she In itu. "Ayah, ada kejadian apakah?" menanya si nona, suaranya merdu, Si nona bertanya tanpa menanti, ia sudah datang dekat kepada ayahnya itu. "Tidak ada apa2," menyahut sang ayah tenang, "Ada satu maling cilik, lancang masuk kemari, dan aku membekuknya." So So tertawa geli. "Ah, benarkah ada maling cilik, yang berani lancang memasuki rumah kita?" katanya, "Dia benar2 tak tahu mampus!" Segera si nona sampai kepada ayahnya itu, Apabila ia sudah melihat si 'maling cilik', ia heran bukan main, Itulah seorang pemuda bukan dengan roman sembarang, meski betul ia telah ditotok roboh, hingga tak dapat berkutik, tetapi sinar matanya tajam dan berpengaruh, sinar itu menandakan kegusaran yang tak mengenal takut, Orang cemacam itu tak selayaknya menjadi maling. Selagi si nona ter-heran2 ketika matanya bentrok dengan mata ayahnya, begitu juga ayahnya memperlihatkan wajah aneh sekali, Dan lantas ia mendengar ayahnya itu menanya padanya; "So So, apakah itu ditanganmu?" Nona In ini memegang dua potong baju pria, yang satu baju luar, yang lainnya baju dalam, itulah bajunya Hian Ki, yang ia buka dan kemudian diganti, karena baju itu berlepotan darah, ia telah mencucinya, sesudah kering hendak ia membawanya kekamar sipemuda, tetapi karena ia mendengar suara apa2, ia segera datang kepada ayahnya, dan melupakan barang yang ia bawa2 itu, Lantas saja mukanya menjadi merah, lekas2 ia menunduk. "Inilah kepunyaan orang itu. . ." katanya sangat perlahan. "Kepunyaannya Tan Hian Ki?" sang ayah menegaskan. "Eh, ayah, mengapa kau ketahui namanya dia itu?" si nona balik bertanya, heran, "Apakah dia pernah bertemu denganmu?" In Bu Yang tidak menjawab, hanya dengan suara seram ia berkata; "Kau bangunkan bocah itu, kau suruh dia keluar menemui aku!" Kedua matanya So So mengeluarkan air, mulutnya yang mungil bergerak. "Mustahilkah orang yang anakmu tolongi itu seorang jahat?" katanya, "Kenapa ayah menjadi begini? Kalau ada bicara, tidakkah itu dapat ditunggu sampai besok?. . ." Tetapi, baru si nona mengucapkan kata2nya itu, 'Blak!' daun pintu telah menjeblak terpentang, disana muncul Tan Hian Ki dengan pedang ditangan. "Tak usah mencapaikan diri untuk memanggilku, disinilah Tan Hian Ki!" katanya, suaranya lancar, terang dan jelas. Malam itu malam tanggal 17 bulan pertama, rembulan bercahaya indah, dan terang bagaikan kaca rata, maka itu dapat In Bu Yang memandang dengan jelas, wajah dan potongan tubuh sianak muda yang bernyali besar itu, Tanpa terasa ia terkesiap. "Rasanya pernah aku melihat dia ini, entah dimana. . . ." pikirnya, Sudah lama ia tidak pernah merantau, jarang ia bertemu orang, tidak heran tak ingatlah ia akan pemuda she Tan ini, Yang pasti ia sekarang ia menghadapinya, bersama seorang anak muda lain yang tak kenal takut. "Ayah, kau tanyalah dia secara baik2," berkata So So halus, jangan ayah membuatnya jadi kaget, dia baru sembuh dari sakitnya. . . ." "Anak So, kau minggir," berkata In Bu Yang, "Jangan kau banyak mulut!" Belum pernah So So menghadapi perlakuan demikian kasar dari ayahnya itu, ia merasa tertusuk, ia penasaran sekali, akan tetapi ia menghampiri sebuah pohon bwee, untuk disitu menyenderkan tubuhnya, hampir ia menangis karenanya. "Eh, bocah, nyalimu sangat besar!" terdengar suara keren dari In Bu Yang, "Siapakah yang telah mengirim kau kemari?" "Itulah sejumlah sahabat2mu atau sekalian pamanku." menjawab Hian Ki dengan berani, "Merekalah yang menitahkan aku datang kemari!" Kedua matanya In Bu Yang menyapu anak muda didepannya itu. "Jikalau begitu, ayahmu pastilah bekas rekanku," ia berkata, "Apakah namanya ayahmu itu? Dia berpangkat apakah dibawahnya Thio Su Seng?" So So heran dan terkejut, Heran ia mengapa ayahnya segera mendapat tahu asal-usulnya pemuda ini, Ia tidak menginsyafinya, yang baju dalam dari Hian Ki itu, ada tersulam tanda burung garuda jantan, Dulu hari itu, semua siwi(pahlawan) yang mendampingi Thio Su Seng, rata2 memakai pertandaan itu. Hian Ki pun terkehut, hingga ia tercengang, Dan lantas ia mundur setindak, tangannya mencekal keras gagang pedangnya, Karena rahasianya telah dibongkar Bu Yang, ia semakin bulat tekadnya untuk menempur jago itu, Hanya ia heran, nada suaranya orang itu, bukan seperti nadanya orang yang bermusuhan, Meski begitu, pertanyaan orang membuatnya tertegun. Hian Ki ingat belum pernah ibunya bicara dari hal ayahnya, ia cuma tahu ayahnya itu pernah membantu Thio Su Seng memperebutkan negara, dan dalam pertempuran paling belakang disungai Tiangkang, ayahnya itu telah menemui ajalnya, Perihal pangkat ayahnya itu, tentang segala sepak terjangnya, sedikit juga ia tak mengetahuinya, Pula belum pernah ia menanyakan kepada ibunya, sebab ia kuatir ibunya menjadi bersusah hati karenanya. In Bu Yang menjadi sangat bercuriga, Ia maju satu tindak. "Bocah, lekas bicara!" katanya angker, "Bicara terus terang! Dengan memandang bekas rekanku, suka aku mengampuni jiwamu!" Tapi Hian Ki tidak takut, ia bahkan menjadi gusar. "Mana kau mempunyai rasa cinta kepada rekanmu!" ia berkata dengan keras, "Untukmu baiklah kau menanti lagi tiga bulan, waktu itu bolehlah kau berangkat kekota raja untuk menerima hadiah!" Mukanya In Bu Yang bermuram durja. "Hai, kau berani mencuri dengar pembicaraanku dengan Lo Tayjin?" katanya bengis. "Memang aku telah mendengarnya, tak sepatah pun kata yang lolos!" menyahut Hian Ki dengan berani, "Aku telah mendengar semuanya!" "Sebenarnya, apa perlunya kau datang kemari?" Bu Yang membentak pula, matanya mengawasi tak berkedip. "Aku telah menerima tugas dari bekas kawan2mu itu, untuk membunuh kau simanusia tan berbudi, yang menjual kawan2 cuma untuk memperoleh pangkat!" sahut Hian Ki tetap. So So kaget tidak terkira. "Apa?" jeritnya tajam, "Kau hendak membunuh atahku?" Bu Yang sebaliknya tertawa nuyaring ter-bahak2. "Kau hendak membunuh aku!" ejeknya, "Hm!" "Jangan bermimpi!" Hian Ki membentak."Biarpun aku bukan tandinganmu, tetapi hendak aku memberitahukan kau, bahwa dikolong langit ini , masi ada orang2 yang tak takut mampus! Bahwa apabila kau menjual sahabatmu, karena hendak mendapatkan hadiah uang dan pangkat, dunia Rimba Persilatan bakal mengasingkanmu! Aku kuatir, setelah aku ini, dibelakang hari akan masih banyak orang lainnya yang bakal mencari kau, untuk membunuh dirimu! Dapatkah kau membunuh habis mereka itu?" In Bu Yang bergetar juga hatinya, ia bergidik tanpa terasa, Memang hebat ancaman bahaya itu, Tetapi ia tak sudi kalah gertak, Ia tertawa ter-bahak2. "Hanya didalam satu malam, kesini datang dua bocah tolol yang tidak takut mampus!" katanya, "Seorang ksatria asalnya satu pemuda, itulah benar adanya! Nah, kau hendak membunuh aku, mengapa kau tidak menghunus pedangmu?" "Malam ini telah aku mengambil keputusan," berkata Hian Ki, menyahuti,"Ini ksatria she Siangkoan telah menukar aku dengan kitab ilmu pedang, tapi itu tidak perlu dilakukannya lagi, Sekarang kau bebaskan dia dari totokanmu, kau kembalikan kitabnya itu kepadanya, untuk itu aku suka menyediakan jiwaku, akan aku menempur engkau!" Bu Yang melirik kepada anak muda itu, Mendadak ia tertawa pula. "Tidaksalah, kau terluka karena pukulan ilmu silat Butong Pay, yang menjadi kaumku, jadinya ini bocah tolol tidak mendustai aku," kata dia, "Hanya saja ini ada keanehannya! Jikalau tidak ada permusuhan hebat diantara kamu berdua, tidak mungkin dia menurunkan tangan dahsyat terhadapmu, maka kenapa sekarang kau justru meminta keampunan untuknya?" "Inilah urusan orang luar, tak perlu kau mencari tahu!" jawab Hian Ki ketus, "Aku cuma mau tanya kau, kau suka melepaskannya atau tidak?" In Bu Yang tertawa dingin. "Urusan lain orang, kaupun tak perlu mencampurinya!" ia membaliki, Kedua matanya terpentang lebar, cahayanya tajam penuh sinar membunuh. So So sudah lantas mencelat maju. "Ayah!" teriaknya tajam. Sementara itu Hian Ki, segera merasakan sambaran angin dari pukulan tangan kearah punggungnya, Ia berbalik dengan gesit, seraya menghunus pedangnya, untuk membabat, tetapi yang ia babat itu hanyalah tempat kosong, bukan tangan lawannya, Dilain pihak ia melihat, ditangan Bu Yang telah tercekal sebatang pedang, tangannya sendiri sudah tidak memegang senjata, Tengah ia tercengang, ia merasakan tangannya dijejalkan sesuatu, hingga ia menjadi heran dan kaget, Tapi ia sadar dengan cepat, untuk mendengar suaranya jago she In itu; "Telah aku kembalikan pedangmu! Apakah kau masih tidak hendak turun tangan? So So, lekas kau mundur!" Dengan mengibaskan tangannya, Bu Yang membuat anak gadisnya itu terhuyung setombak jauhnya, Nona itu berdiri tercengang, Belum pernah ia menyaksikan ayahnya begini gusar. Hian Ki benar2 keturunan jago, nyalinya besar, Ia tahu Bu Yang sangat lihay, pedangnya telah dirampas, tapi ia masih tidak merasa jeri, Cuma sejenak ia berdiam, segera ia mulai dengan serangannya, Ia menggunakan jurus 'Menaiki naga memancing burung hong', pedangnya mencari tenggorokan lawan, setelah mana ia menyabet pulang pergi ke-kedua pundak. In Bu Yang mengibaskan kedua tangan bajunya, tubuhnya turut bergerak pula, maka bebaslah ia dari ancaman bahaya itu. Hian Ki terkejut, mendapatkan ia menyerang tempat kosong, dam dilain pihak ia mendengar suara angin dibelakang batok kepalanya, dan mendengar juga pertanyaan ini; "Siapa yang ajarkan kau ilmu pedang ini?" Pemuda itu mengertak gigi, Tidak sudi ia melayani bicara, Dengan tangan kirinya mengimbangi pedangnya, menyerang pula kebawah, lalu menyontek keatas, kapan serangan itu tidak memberikan hasil, ia menyerang pula ber-tubi2, Dengan saling susul ia menggunakan tipu2 silat 'Garuda Emas Mementang Sayap, Ayam Galak Merebut Gabah, Kera Putih Bergelantungan Dicabang, dan Kuda Liar Melompati Selokan', Serangannya nitu bagaikan gelombang sungai Tiangkang yang saling tindih, semuanya menuju keanggota tubuh yang berbahaya. Memangnya, ilmu pedang Hian Ki ini sangat beragam, Sebelum usianya tiga belas tahun, ia dididik oleh ibunya, setelah itu, ia dididik lebih jauh bergantian oleh beberapa pamannya, encek dan empek, semuanya rekan2 ayahnya, Pembantu2nya Thio Su Seng itu, semua adalah ahli2 silat yang lihay, masing2 dengan kepandaian sendiri2 yang istimewa, maka juga ilmu silat Hian Ki ini aneh kelihatannya, luar biasa sekali. In Bu Yang mengibaskan lengan bajunya ber-ulang2, dengan begitu ia berhasil membuyarkan semua serangan maut itu, meski begitu, ia tetap heran, hingga didalam hatinya memendam berbagai pertanyaan. "Eh, ilmu silatmu jauh lebih lihay, dari pada itu bocah she Siangkoan, kenapa kau sebaliknya kena dilukai hebat olehnya?" ia bertanya, Ia seperti lupa bahwa ia lagi bertempur. Hian Ki tidak mengambil pusing, ia terus saja dengan serangannya yang tak hentinya, Ia sudah nekat dan penasaran, ia melupakan segala apa, Ia telah keluarkan segenap kepandaiannya, dan kegesitannya. "Ilmu pedang Ngokim Kiamhoat, ilmu pedang Cengyang Kiamhoat," Bu Yang mengoceh sambil saban2 ia membebaskan diri, "Ah, inilah ilmu silat Khongtong Pay! Sayang belum mahir! Dan ini jurus Naga Sakti Kehilangan Ekor, tabasannya rada lambat. . ." Biar bagaimana, Hian Ki pun heran, Orang dapat mengenal setiap jurusnya itu, Mau atau tidak, hatinya gentar juga. Pertempuran berlanjut hingga 35 jurus, habis mana In Bu Yang tertawa dingin. "Kiranya ilmu silatmu ini adalah buah ajaran sekalian sahabat2ku!" katanya, "Pantaslah kau dikirim mereka itu! Pheng Hweeshio sudah mati, Cio Thian Tok lenyap tidak ketahuan tak ada bayangannya, tak ada bekasnya, maka meskipun semua gurumu itu, bergabung menjadi satu memusuhi aku, aku tidak jeri sedikitpun juga! Ilmu silat pedangmu ini, jikalau itu dihadapkan kepada pemuda2 sepantaranmu, memang sudah luar biasa hebatnya, tetapi bila diadu denganku sayang sekali, kau masih jauh sekali dibelakang!" So So bingung bukan main, Ia telah menyaksikan itu pertempuran aneh, Ayahnya berkelahi sambil ngoceh saja, nada suaranya itu semakin hebat, Ia jadi sangat berkhawatir. "Ayah!" katanya kemudian, suaranya tajam, "Ayah, kau biasa menyayangi orang pandai, dengan memandang ilmu silat pedangnya dia ini, kau ampunilah dia. . ." "Hm!' ada jawabannya si ayah, "Orang2 semacam dia ini senantiasa mengarah aku, jikalau hari ini aku beri ampun padanya, maka nanti lagi sepuluh tahun, setelah dia tumbuh sayap yang panjang, belum tentu dia suka mengampuni aku!" Habis mengucap, mendadak tangannya jago ini melayang kemuka Hian Ki, Justeru itu waktu, tubuh anak gadisnya pun melesat, lompat kedepannya untuk menghadang dimuka sianak muda, Anak dara inipun sambil menyerukan; "Ayah, ilmu silatmu tak ada tandingannya dikolong langit ini, kiranya kau masih jeri lagi sepuluh tahun kau bakal tidak dapat menandingi dia ini. . ." Hian Ki sudah merasakan sambaran angin, akan tetapi lenyap secara mendadak, Ia segera mendengar suara nyaring dari In Bu Yang; "Kali ini aku beri ampun padamu! Lagi sepuluh tahun, kau datang lagi padaku, untuk bertanding kembali, untuk memastikan siapa jantan siapa betina! Jikalau kau tidak tahu diri, belum lagi kepandaianmu sempurna, kau cari mampusmu sendiri!" Kaget Hian Ki mendengar suara itu, tetapi lebih kaget pula ia, ketika ia merasakan tubuhnya dicekal orang, tanpa ia merasa, lalu diangkat tinggi2 dan diputar, Masih ia mendengar seruan orang; "Pergilah kau!" dan segera tubuhnya itu dilemparkan, Maka dilain saat, ia merasakan dirinya seperti me-layang diantara mega dan kabut, hingga rasanya bumi berputar, ia terus tak sadarkan dirnya. . . . Lama rasanya sudah lewat, baru dengan per-lahan2 sianak muda sadarkan diri, Ia sudah lantas membuka kedua matanya, Yang paling dulu dirasakan ialah bau yang harum menyerang hidungnya. "So So! So So!" segera ia me-mangil2, Ia tidak mendapat jawaban, sebaliknya, ia merasakan bahwa ia rebah lagi disebuah tempat yang dingin dan keras, Iapun merasakan tubuhnya nyeri seluruhnya, nyeri ke-tulang2, ke-pelbagai tubuh, Jadinya ia bukan berqada dirumah keluarga In, bukannya sedang rebah diatas pembaringan yang indah dan empuk, Ia menjadi terkejut sendiri, Ia membuka matanya lebar2, Lantas ia mendengar satu suara yang halus merdu, yang didahului suara tertawa yang empuk; "Apa itu So So, kau tengah bermimpi siapa, ha?" Dan itulah Un Lan, si nona she Siauw. Baru sekarang Hian Ki mendapat tahu , bahwa dirinya berada didalam sebuah goa, Ia menjadi sangat heran. "Kenapa kau ketahui akau berada dirumah orang she In itu?" tanyanya. "Aku tiba disini, karena aku mengikuti tapak kaki kudamu," menyahut si nona, "Kebetulan sekali aku mendapatkan kau dilemparkan keluar tembok pekarangan, Oh, kiranya itu rumah keluarga In? Kalau begitu, si tua bangka itu mestinya In Bu Yang! Sungguh nyalimu besar, kau membuat aku kaget setengah mati,! Kau telah bertempur dengannya?" Hian Ki merebahkan diri pula, ia sangat lesu, lenyap pula kegembiraannya, Ia menghela napas dan mengangguk dengan perlahan, Ia menyesali kepandaiannya yang belum sempurna, Selama ia belajar silat dibawah bimbingan sekalian paman2nya itu selama 10 tahun lebih, semua orang memuji dia, sebagai pemuda yang ber-pengharapan, siapa tahu kali ini, begitu menempur In Bu Yang, begitu ia dirobohkan, ia tak berdaya sama sekali, Maka ia meresa sangat malu, dan menyesal. Tetapi nona Un Lan tertawa dengan riang sekali, wajah ramai dengan senyuman. . . "Sebenarnya kau hebat sekali!" berkata ia memuji, "Kau telah terhajar Siangkoan Thian Ya, bahkan kau terluka, tapi kau dapat melayani In Bu Yang! Eh, jangan bergerak, jangan, meskipun kau tidak terbanting hebat, kau toh mendapat luka diluar, darahmu belum buyar dan berjalan lancar, Mari aku pijati!" "Muka Hian Ki menjadi merah, Ia singkirkan tangan si nona. "Tidak usah," katanya menampik. Jika Un Lan tidak menyebutkan lukanya sipemuda, tidak apa, tetapi karena disebut itu, Hian Ki segera teringat kepada So So, Nona In itu telah menolongi dia dengan pil mujarab kepunyaan ayahnya, nona itu juga sudah memasaki ia bubur yang wangi, dan sayur yang lezat, yang menjadi kesukaannya, Ia pun menghargai kejujuran nona itu, yang membiarkan ia berdiam seorang diri, didalam kamar dimana ada tergantung sebuah pedang mestika yang tak ternilai dan langka. Segala gerak-gerik So So itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam, semua sangat menarik hatinya, juga sikapnya si nona itu, waktu menghadapi ayahnya yang bengis itu, Maka itu, semakin Un Lan bersikap manis dan telaten terhadapnya, semakin terbayang semua kebaikannya So So, tak dapat ia melupakan itu, Dimatanya, So So adalah bagaikan bunga bwee didalam lembah, sederhana keharumannya, melebihi bunga tho atau lie yang indah mentereng. Un Lan heran menyaksikan sikap orang tawar. "Kau memikirkan apa, eh?" ia menanya. Hian Ki mencoba menenangkan diri. "Aku lagi memikirkan Siangkoan Thian Ya," sahutnya, menghindar kesoal lain, Ia nampaknya berduka. Un Lan menghela napas. "Kamu berdua benar2 sepasang musuh aneh," katanya, "Begitu bertemu muka, kalian berkelahi, tapi begitu berpisah, kalian saling memikirkan, Memang, Siangkoan Thian Ya juga tengah mencarimu." "Aku telah bertemu dengannya," Hian Ki memberitahukan. Un Lan heran. "Dimana?" Un Lan bertanya. "Dirumahnya In Bu Yang, Ya, baru sekarang aku mengetahuinya, ia adalah satu pemuda yang jujur dan jantan!" Hian Ki menuturkan segala apa yang terjadi dirumah Bu Yang itu. Un Lan tertawa, seraya menutupi mulutnya. "Sayang, Thian Ya tidak dapat mendengar pujianmu ini!" katanya, "Lebih sayang lagi kau bukannya seorang nona remaja!" Hian Ki heran, sungguh2 ia memandang si nona. "Benar!' katanya. "Coba aku seorang nona, niscaya aku menyintai dia!" Ia melirik tajam parasnya nona yang dihadapannya itu, Tapi Un Lan menunduk, kelihatannya ia tidak senang. "Kau terlalu!" katanya, "Lain orang terhadap kau. . .terhadap kau. . .kau, kau sebaliknya. . ." Dan ia tidak meneruskan kata2nya, karena si pemuda telah memutuskannya. "Dengan sebenarnya aku lagi memikirkan Thian Ya," Hian Ki menjelaskan, "Oleh karena aku, dia terjatuh kedalam tangannya In Bu Yang, maka itu mana bisa aku berkati tenang?" "Tetapi In Bu Yang yang demikian lihay," berkata si nona, Umpama kita bekerja sama dan dengan nekad melawan dia, kita masih tidak dapat mengalahkannya, Maka itu beiknya kau bersabar, kau beristirahat, lalu kau pergi ke Butong-san untuk menyampaikan warta, Biarlah itu segala imam dari Butong-san yang melayani In Bu Yang, kau sendiri janganlah menempuh bahaya dengan seorang diri, pergi untuk mencoba membinasakan dia. . ." Hian Ki menghela napas, Ia tetap memikirkan Thian Ya. "Thian Ya sangat menyintai kau, mustahilkah hatimu tidak tertarik sedikitpun juga?" pikirnya, yang ia maksudkan nona she Siauw ini. Un Lan berdiam sekian lama, mengawasi orang menjublak saja. "Apakah kau lapar?" dia menanya, halus, selang sesaat, "Nanti aku menangkap dua ekor kelinci untukmu." Hian Ki menggeraki tubuhnya, untuk bangun berdiri, ia pun hendak mengatakan, bahwa tubuhnya sudah sehat, namun si nona cepat sekali sudah keluar dari goa itu, Ia berpikir sejenak, lalu ia membiarkannya. Goa itu terdiri dari dua potong batu besar yang bergabung menjadi satu, dari dalam goa, dapat memandang keluar, orang dapat melihat si Puteri Malam dengan cahayanya yang gilanggemilang, Sebab, waktu itu adalah malam yang ke dua bagi pemuda ini. Hanya berdiam sebentar, Hian Ki bangun berdiri, Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tangan dan kakinya, setelah itu ia bertindak keluar, Ia berjalan dengan perlahan, lalu menyenderkan tubuhnya dilamping batu, matanya memandang kedepan, kegunung dimana terlihat beberapa rumah, Ia lantas seperti mendengar nyanyiannya So So, nyanyian yang menggiurkan hati, Ia berkhayal, seperti si nona tengah menggapai2 terhadapnya, memanggil ia datang. . . . Sendirian pemuda ini menghela napas, panjang sekali. . . . "Sayang ia adalah anak gadisnya In Bu Yang," ia berpikir pula, ia melamun, "Ah, buat apa aku memikirkannya lagi? Sebegitu jauh ilmu silatku belum sempurna, mana dapat aku menginjak pula rumahnya? Ah, apakah benar aku harus menunggu dulu, sampai sepuluh tahun lagi, baru aku dapat bertemu pula dengannya?. . ." Dalam keadaan hati bergejolak itu, bimbang pemuda ini, hingga ia memikirnya juga, sekalipun lagi sepuluh tahun, masih belum tentu ia dapat mengalahkan orang she In yang demikian lihay itu, Maka akhirnya ia menjadi sangat masgul, pikirannya buntu. Tapi, adakah dia pun memikirkan aku?" tiba2 ia ingat, "Jikalau benar dia memikirkan aku, berani aku menyediakan jiwaku untuk dapat menemui dia pula!" Ia lantas teringat kepada syair Oey Tiong Cek: "Malam begini dengan bintang-bintangnya bukan malam kemarinnya, Siapakah berdiri di tengah malam antara angin dan embun?" Hian Ki menyender terus, Kecuali So So terpeta dalam otaknya, ia tidak memikirkan lainnya, Malam itu angin dingin sejuk, ia berdiam saja seperti tanpa merasa, Lama ia berdiam secara begitu, sampai tiba2 ia dibuat sadar oleh suara nyanyian tinggi, jauh dipuncak gunung, terbawa sang angin. "Pulang habis perang seratus kali, arak masih hangat, Es menerjang rambut dipelipisan mendatangkan rasa dingin, Mengingat peperangan tahun lalu itu, Sesungguhnya itu men-sia2kan hati si bunga bwee. . ." Hian Ki terkejut, karena ia mengenali suaranya In Bu Yang, Tinggi dan dalam nadanya nyanyian itu, Pula aneh, sudah jauh malam, Bu Yang masih belum tidur, Maka ia men-duga2, mungkin Bu Yang pun tengah memikirkan sesuatu. Pemuada ini mengangkat pula kepalanya, memandang kearah puncak tadi, Tiba2 ia melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang menghilang kearah selatan, lenyap dalam sekejap, Ia menjadi heran, hingga ia menjublak pula. "Sekarang sudah tengah malam, apakah perlunya In Bu Yang turun gunung?" ia tanya dirinya sendiri, Ia menduga kepada jago she In itu, Tanpa terasa ia bertindak, menuju kerumahnya So So itu, Sekarang, sebagai gantinya nyanyian, telinganya menangkap suara tetabuhan khim, Dari atas puncak, suara itu turun terbawa angin, lalu terdengar pula suara nyanyian. "Itulah So So tengah bernyanyi," pikirnya, "Angin malam telah membawa nyanyian itu kemari, dapat aku mendengarnya dengan nyata." Ia memasang kupingnya, So So bernyanyi: "Kuda putih yang bagus, makan rumput di ladangku, Mengikat dia, Menambat dia, Untuk melewati sang hari ini, Dan orang itu, itu orang, Dia pernah bersiar bersama. . . Kuda putih yang bagus, Kembali dia kedalam lembah, Dia mengenyam rumput hijau, Dan itu orang, Cantik bagai kumala, Jangan lupa membagi aku warta, Janganlah kau menjauhkan hatiku!" III. Satu lawan Tiga Suara khim itu, nyanyian itu pula, itulah menandakan So So memikirkan dia, Maka meng-hela napaslah Hian Ki. "Ya, kuda putihku masih ada dirumahmu," katanya dalam hati, "dan besok dia masih memakani rumput hijau didepan pintu rumahmu, Hanya, hanya aku kuatir, tidak dapat aku menginjak pula rumahmu itu. . ." Ia mengongak memandang langit, sang cakrawala indah tak ber-mega, hanya sang Sungai Perak yang terpeta terbayang disana, Rembulan cemerlang bagaikan air jernih, malam yang indah, luas tak berbatas, Disamping itu sijantung hati, dapat dia dipandang, tetapi tak dapat dihampiri, seperti itu bunga bwee dilembah yang dalam. . . Dengan sendirinya Hian Ki, terumbang-ambing, oleh tetabuhan dan nyanyian itu, hatinya tidak karuan rasanya, didepan matanya terbayang si nona cantik yang lembut itu, Ia punlantas mengingat suara tertawa nyaring dari Siangkoan Thian Ya. "Untuk mereka berdua, mengapa aku mesti menyayangkan diriku? Baiklah aku mencoba lagi sekali menempuh bahaya!" demikian mendadak ia mengambil keputusan, Maka tak ayal lagi, ia bertindak mendaki puncak. Dengan tiba2 suara khim berhenti, lenyap suara nyanyian tadi, Puncak itu, lembah itu, kembali menjadi tenang, sunyi dan senyap, Hian Ki berpikir, maka terhentilah tindakan kakinya, Di saat itu, didalam kesunyian, ia dapat mendengar suatu suara perlahan, Karena sedari kecil, ia telah mempelajari mendengar suara anginnya senjata rahasia, maka iapun tak nanti tak mendengarnya. Ia memasang kupingnya, ia mendapatkan suara datang semakin dekat, Itulah suara tindakan kaki orang, dan orangnya bukan bersendiri pula, Tindakan kaki dari orang yang jalan didepan, nyata bedanya dengan beberapa diantaranya yang jalan belakangan, Teranglah orang sedang ber-lari2 atau saling ber-kejaran, Dan kerena larinya cepat, segera juga mereka itu tiba bagian depannya. Hian Ki terkejut, melihat lihay-nya ilmu meringankan tubuh dari orang itu, cepat2 ia menyelinap, untuk menyembunyikan diri. Orang yang didepan itu, berpakaian serba hitam, sampai disitu ia bersiul panjang, lalu ia menghentikan larinya, Sebagai gantinya itu, segera terdengar suaranya yang keras dan dingin; Aku siorang she Cio masih mengingat, akan persahabatan kita dari banyak tahun, maka itu, saudara2, mangapa kamu mengejar2 aku tak mau terus? Mustahilkah kamu benar2 mau menguber aku hingga dirumah keluarga In? Benar2kah kamu menghendaki aku merusak persahabatan kita?" Atas itu terdengar satu suara nyaring, bagaikan gembreng bobrok. "Cio Thian Tok, jangan kau terlalu mengandalkan ilmu silatmu yang lihay!" demikian suara menggelegar itu, "Sekalipun kimpay dari junjungan kita yang muda, kau tidak menghiraukannya! Apakah kau hendak kerjakan dengan pergi kerumah keluarga In ?" Semua kata2 itu masuk jelas kedalam telingannya Hian Ki, pemuda ini menjadi tercengang dibuatnya, Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa orang dengan pakaian hitam itu, adalah seorang jago Rimba Persilatan, dari banyak tahun ia berada di urutan bawah dari Pheng Hweeshio, tetapi berada diatas In Bu Yang, dialah Cio Thian Tok yang kenamaan, Setelah Thio Su Seng runtuh dan menemui kematiannya, Pheng Hweeshio pun turut mengorbankan dirinya, Cio Thian Tok ini lantas tidak ketahuan rimbanya, Ada yang mengatakan dia kabur kegurun pasir Utara, dengan membawa kabur puteranya Thio Su Seng, yang berada dibawah perlindungannya, tetapi kebenarannya itu tak ada yang dapat membuktikannya, Maka sungguh aneh, sekarang, diwaktu malam begini, dia muncul digunung Holansan, dan dia hendak mencari In Bu Yang. Hian Ki heran dan bingung, hingga ia berpikir keras, Cio Thian Tok itu jujur, gagah dan setia, Disaat runtuhnya Thio Su Seng, yang jiwanya lenyap dan pemerintahannya jatuh karenanya, dengan melupakan bahaya yang mengancam dirinya, dia merampas puteranya Thio Su Seng sijunjungan, untuk dibawa menyingkir, Rekan2 dalam pasukan tenteranya Thio mSu Sengitu, juga yang menjadi paman2nya Hian Ki ini, dan mereka setiap kali membicarakan Cio Thian Tok, semua rata2 memuji tinggi, semua sangat mengaguminya, Maka itu aneh, kenapa kini orang2 yang mengejar mengatakan dia temberang, mengagulkan kepandaian sendiri, sampai dia tak menghiraukan kimpay dari siauwcu, junjungannya yang muda itu? Mungkinkah junjungan yang muda itu, bukan dimaksudkan putera mahkota yang buron dari kerajaan Tay Ciu? (Tay Ciu itu, Kerajaan Ciu yang agung, ada nama kerajaannya Thio Su Seng). Segera setelah suara nyaring seperti genbreng pecah itu, terlihatlah orang2 yang me-ngejar2 Cio Thian Tok, Mereka berjumlah tiga orang, Dari tempatnya mengintai, Hian Ki dapat melihat cukup jelas mereka itu, Luar biasa mereka, Yang satu adalah seorang toosu (imam penganut agama Too Kauw), Yang kedua berdandan sebagai seorang dusun yang lanjut usianya, tangannya panjang, kulit mukanya ke-kuning2an, wajahnya tawar, Dan yang ketiga adalah seorang kosen yang dandanannya sebagai seorang Mongolia, Si suara genbreng pecah itu ialah si imam, pengikut Loo Cu atau Lao Tze. Hian Ki rasanya seperti kenal imam itu. "Cit Siu Tooheng," terdengar Thian Tok berkata, "Jikalau kau menanyakan aku, kenapa aku hendak pergi kerumah keluarga In, maka terlebih dulu, ingin juga aku menanya kau, kenapa kamu mengejar aku sampai disini?" Tergetar hatinya Hian Ki, Benar, itulah Cit Siu si imam yang ia kenal, Dimasa hidupnya Thio Su Seng, Cit Siu menjadi tamu yang terhormat dari Raja kerajaan Ciu itu, Dialah ahli silat yang diundang untuk mendidik Thio Hok Cee, putera mahkota, dalam ilmu pedang, Ketika itu Thio Su Seng paling menghargai tiga orang, ialah seorang padri, seorang imam dan seorang pengemis, Si paderi yaitu Pheng Hweeshio yang bernama Eng Giok, Si pengemis ialah Pit Leng Hi, pangcu atau ketua partai Pengemis di Utara, Dan si imam ialah Cit Siu Toojin ini. Ketika itu Pheng Hweeshio diakui umum sebagai jago silat nomor satu, Tentang yang lainnya, seperti Cio Thian Tok, In Bu Yang, Pit Leng Hi dan Cit Siu, mereka kesohor untuk masing2 kepandaiannya yang istimewa sendiri2, sulit untuk menggariskan mereka kepada sesuatu kelas, Karena Cio Thian Tok dan In Bu Yang bersama Pheng Hweeshio, bekerja sama dipemerintahan Thio Su Seng, dan karena kedudukan mereka, dahulu itu orang menyebut mereka dengan Liong Houw Hong Samkiat, ialah tiga jago Naga(Liong) Harimau(Houw) Hong(pheonix), Hian Ki pernah melihat Cit Siu , diwaktu usianya baru enam tahun, tidak heran sekarang ia tidak dapat segera mengingatnya. Diantara terangnya rembulan, Cit Siu mengangkat tinggi sebuah kimpay, pertanda terbuat dari Emas. ""Aku menerima titahnya Siauwcu, menyusul kau kemari untuk diajak pulang!" berkata dia, "Kita mesti dapat menghargai kehormatan umum dan perasaan pribadi, maka itu kau dilarang berkhianat kepada junjungan yang lama, untuk mendapatkan hadiah dan pangkat tinggi!" Thian Tok tertawa dingin. "Jikalau aku berkhianat kepada junjunganku, untuk memperoleh pangkat tinggi dan hadiah besar, tidak usahlah aku menanti sampai pada sekarang ini! Tempo itu hari yang junjungan kita roboh di Tiangkang, akulah yang melindungi putera mahkota, menyingkir menyebrangi sungai dengan menaiki hanya seekor kuda tunggangan, aku bawa dia buron jauh keluar perbatasan negara, ke negeri asing, Disepanjang jalan itu, dengan beruntun aku telah menghajar mampus delapan belas jago silat, bawahannya Cu Goan Ciang, Maka jikalau aku ingin mencari kebahagiaan dipemerintahan Cu Goan Ciang itu, pastilah itu kedudukan mulia Congci-hui dari Kimi-wi tidak nanti terjatuh kedalam tangannya Lo Kim Hong. "Kita semua telah menerima budinya junjungan yang tua, kalau kita mengorbankan diri untuk membelanya, itu sudah selayaknya," berkata Cit Siu, "Untuk melindungi keturunan junjungan kita, kau sudah membawa putera mahkota menyingkir jauh2, perbuatanmu itu kita semua mengagumi dan menghargainya, Akan tetapi seorang laki2 sejati, dia mesti berbuat ada kepala harus ada buntutnya, Dulu kau melindungi almarhum putera mahkota, kenapa kemudian kau men-sia2kan keturunannya? Siauwcu itu bijaksana, sudah selayaknya kau membantu padanya, dengan segenap tenaga dan kepandaianmu, untuk kita bekerja sama, guna membantu ia membangun kembali negara orang tuanya, kenapa sekarang kau buron seorang diri? Kenapa kau menyingkir kemari untuk mencari In Bu Yang? Sebenarnya, aku numpang bertanya, kau ada mengandung maksud apa?" Mendengar pembicaraan itu, tahulah Hian Ki yang mana putera mahkota yang dibantu paman2nya telah meninggal dunia dinegara asing, maka sekarang yang dipanggil siauwcu ini, junjungan yang muda, mesti adalah cucunya Thio Su Seng. "Kedua keluarga Cu dan Thio memperebutkan negara, pergulatan mereka sekarang tiba kepada turunan yang ketiga," pikir sianak muda, "Entah sampai kapan pergulatan ini akan berakhir? In Bu Yang hendak mengkhianati, ia mau menjual sahabat2nya guna mendapat pangkat, dialah seorang yang tidak berbudi, buruk bathinnya, hanya kata-katanya bahwa perebutan negara, dalam satu keluarga ayau satu she, tidak ada perlunya, sedikitnya mengandung kebenaran juga." Peristiwa didepannya ini membuat Hian Ki bertambah bingung, Pantaskah ia terlibat didalam pergulatan itu? Ia tak tahu! Lalu terdengar jawaban Thian Tok. "Oleh karena Siauwcu muda dan bijaksana, maka itu aku tidak rela kamu merusak dia!" ujarnya, "Tahun dulu itu putera mahkota telah memberi nama Cong Ciu kepada siauwcu, itu artinya ia ingin supaya siauwcu terus berjuang dengan tidak melupakan negara yang musnah, tetapi bukan maksud putera mahkota, menyuruh dia memuja negara Watzu dan menjunjung raja asing itu, sebagai majikan!" Hian Ki kembali melengak, Apa itu negara Watzu? Apa itu raja asing? Sebenarnya, bagaimana duduknya urusan ini ? Watzu itu sebuah atau sekelompok bangsa Mongolia, dijaman itu dia belum membangun negara, maka itu namanya tidak dikenal oleh sejumlah rakyat Tiongkok asli. "Hm!" Cit Siu bersuara, Tapi belum ia sempat melanjuti, untuk berkata, Cio Thian Tok telah mendahului dirinya. "Dengan saudara Bu Yang aku sudah berpisah 20 tahun lamanya, sekarang ini aku belum tahu sikap jejaknya, tetapi walaupun demikian, hendak aku berbuat sebisanya, untuk membujuk dia, agar dia tidak usah terjerumus kedalam lumpur seperti kamu ini!" kata Thian Tok. "Cio Thian Tok, kau sudah memberontak, kau sudah berkhianat!" membentak siorang tua pedusunan, yang baru campur bicara. "Kesalahanmu minggat saja sudah bukannya kesalahan kecil, sekarang kau masih mengandung maksud untuk merusak usaha yang besar!" Si jago Mongolia juga tidak tinggal diam. "Buat apa ngoceh saja dengannya," katanya bengis, memotong Thian Tok, "Sri Baginda telah memerintahkan, jikalau manusia ini tidak mau mendengar perintah, dia mesti segera dibinasakan!" Ia bukan cuma membentak, iapun segera mengayunkan cambuk ditangannya dengan menyabet pinggangnya Thian Tok, menyabet untuk melibat dan dilemparkan! Hebat sabetan itu, anginnya menderu, daun-daun pada rontok, pasirpun beterbangan, dan 'Plak!' sebuah pohon disamping Hian Ki kena disambar, hingga patah dua cabangnya yang besar, Tenta saja sianak muda terkejut karenanya, terutama untuk tenaga orang yang besar itu. Thian Tok tidak menjadi jeri karenanya, Bahkan dengan tenang ia berkata; "Dengan mengingat persahabatan kita untuk banyak tahun, dengan menghargai juga keharusan diantara tuan rumah dan tamunya, aku akan mengalah untuk tiga cambukmu!" Benar2 penyerang itu mengulangi serangannya, sebanyak tiga kali beruntun, hingga Thian Tok seperti terkurung cambuk yang lihay itu, hanya sekejab kemudian, berbareng dengan siulannya yang panjang, tubuh orang she cio itu mencelat tinggi dengan gerakannya 'Burung walet menerjang mega', setelah melompat tinggi itu, diwaktu tubuhnya turun, ia membarengi membalas menyerang. Siorang Mongol tengah terulur cambuknya, belum sempat ia menarik pulang cambuknya, pundaknya telah kena terhajar. Cio Thian Hok terkenal dengan Tangan Besinya dan Poankoan pitnya yang dahsyat, hingga kedua kepandaiannya itu, menyebabkan dia mendapat gelar Bulim Siangcoat, maka itu, serangannya kali ini bukanlah enteng, Akan tetapi tangguh juga siorang Mongol, tubuhnya tidak bergeming, kalau toh ia bergerak, ialah untuk memutar tubuh dengan gerakannya 'Ular naga berjumpalitan',cambuknya itu berbareng disabetkan pulang, menyapu pada Cio Thian Hok. Hebat orang she Cio ini, Ia tidak menangkis atau berkelit, Ia seperti membiarkan tubuhnya dilibat, hanya setelah ia menyambar cambuk itu, untuk dipegang erat2, setelah itu, belum lagi siorang Mongol sempat melemparka padanya, ia sudah menarik duluan, kaget dan keras, Sambil menarik, ia berseru, Kuda-kuda orang Mongol itu tergempur, diluar kehendaknya, tubuhnya tertarik, terangkat tinggi, mengikuti cambuknya itu yang terus diputar lawannya, Dia kaget, tetapi dia tidak sudi melepaskan pegangannya pada gagang cambuk, kalau dilepaskan, itu artinya dia bakal terlempar dan terpelanting, dengan memeganginya terus, dia seperti melayang berputaran diudara, sebab kakinya telah terangkat, terpisah dari tanah. Thian Tok tidak berhenti, dengan gerakannya memutar cambuk itu, musuhnya jadi melayang terus berputaran, Sekarang barulah siorang Mongol kaget dan takut, ia lantas berteriakteriak, Ia merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur. Melihat kejadian itu, Cit Siu Toojin berseru: "Thian Tok, kita sama2 bernaung kepada satu orang, tidak dapat kau berlaku begini kurang pantas, kepada seorang baturu dari watzu!"('baturu' itu ialah seorang kosen dlm tugas ketenteraan) "Baiklah !" menjawab Thian Tok, "kamu tidak dapat membujuk aku, aku pun tidak dapat menasihati kamu, karena itu mari kita jalan masing2! Kamu mesti lekas angkat kaki dari sini, nanti aku beri ampun jiwa dia ini!" Si orang tua pedusunan itu beda pendapatnya dengan si imam. "Cio Thian Tok," ia berseru, "kau terlalu mengandalkan kepandaianmu! kau sudah menentang titahnya junjungan kita, kau merusak usaha besar mambangun negara, kau juga tak ambil pusing Cit Siu Tooheng, maka itu, tidak dapat aku melepaskan kau!" Kata2 ini disusul dengan satu lompatan jauh, sambil kedua tangannya diulur, Hian Ki dapat melihat gerakan orang itu, ia terkejut, Heran ia melihat dua tangan orang yang panjang, dengan sepuluh jarinya yang berkuku tajam, bagaikan kuku burung, bahkan kuku itu berwarna hitam, Sasaran dari serangan itupun batok kepalanya Thian Tok. Orang she Cio itu dapat melihat serangan itu. "Hm, Pouw Kian!" serunya dingin, "Kita adalah kawan2 seperti kaki dan tangan untuk banyak tahun, kenapa kau begini kejam menurunkan tanganmu yang beracun? Baiklah!, jangan kau sesalkan aku tidak mengenal aturan!" Sembari berkata begitu, tanpa menoleh lagi, Thian Tok menyerang kebelakang, siorang tua pedusunan yang dipanggil Pouw Kian itu, gesit gerakannya, atas itu penyambutan, ia berlompat mundur, tetapi bukannya untuk pergi menyingkir, hanya untuk terus menyerang pula buat kedua kalinya, Lagi2 ia mengulur kedua tangannya, dengan sepuluh jarinya yang berkuku tajam itu. Ketika itu, dengan mengeluarkan suara'Buk!' keras sekali, tubuh siorang Mongol terjatuh keras ketanah, sebab untuk melayani Pouw Kian, terpaksa Thian Tok melepaskan cambuk yang tadi ia pegang dan putar terus2an, Tapi orang Mongol itu lihay, ketika ia roboh terbanting, ia tidak roboh rebah, hanya begitu ke tanah, ia lompat mencelat pula dengan gerakannya 'Ikan gabus meletik', Ia terus melompat menjemput cambuknya, untuk kembali dipakai menyerang musuhnya! Thian Tok membuka kedua tangannya, tangan yang kiri dipakai untuk menghindarkan cambuk, tangan yang kanan digunakan untuk memecah serangan Pouw Kian, Lebih dulu ia mengambil sikap, dengan jurus 'Memeluk harimau pulang kegunung' lalu disusul dengan ' Garuda emas mementang sayap' maka gagallah serangannya siorang dusun. Keduanya lantas bertempur lebih jauh, Thian Tok berani dan hebat, dengan satu melawan dua, ia masih lebih banyak menyerang, dari pada membela diri, namun biarpun begitu, ia ber-hati2 untuk sepuluh jari tangan atau kukunya Pouw Kian, Karena itu, siorang Mongol yang bergelar baturu itu dapat leluasa memainkan cambuknya, saban2 ia menyabet kepinggang dan kaki. Baru sekarang Hian Ki ingat kepada Pouw Kian itu, Bukannya ia kenal, hanya ia pernah mendengar nama orang itu, Menurut paman2nya, Pouw Kian ini adalah seorang dari suku bangsa Ie di Seeling, dan ilmu silatnya itu didapat digunung Seeling-san, dari seorang berilmu yang hidup mengasingkan diri, ilmu silat itu dinamakan Ngokim Cianghoat, artinya ilmu silat Lima Binatang bersayap, karena mana, sepuluh buah kukunya itu tajam dan beracun, siapa kena dicengkeram, dalam tempo 12 jam, akan terbinasalah korban itu, Thio Su Seng tahu orang lihay, ia ambil sebagai kawan seperjuangan, tetapi karena ilmu silatnya itu bukan dari kalangan lurus, nama Pouw Kian kalah kesohor seperti Pheng Hweeshio, Cio Thian Tok dan lainnya. Pouw Kian sangat menagndalkan ilmu kepandaiannya itu, sewaktu bekerja sama dibawah pimpinannya Thio Su Seng, ia sudah berkesan tak puas terhadap Thian Tok semua, tak sudi ia mengalah, maka itu sekarang, setelah pecah persahabatan, dalam bentrokan, ia hendak perlihatkan kelihayannya itu, Hebat semua serangannya. Thian Tok sedikit jeri kepada kuku orang, tetapi ia tidak takut, bahkan kalau orang Ie itu tidak lincah gerakannya, beberapa kali tentulah dia sudah merasakan tangannya. Hanya, tidak perduli dia lincah atau gesit, dia toh seperti terkurung tangan Thian Tok, Maka mau tidak mau, orang Ie ini menyedot juga hawa dungin, sakin gentar hatinya, Diam2 akhirnya dia mengaku dalam hatinya: "Nama Cio Thian Tok ini cuma ada dibawah Pheng Hweeshio, dengan sebenarnya ia lihay sekali, namanya tak kosong belaka!" Selagi bertempur terus, mendadak terdengar Thian Tok berseru nyaring, Kesudahannya itu sebuah pohon cemara didekatnya, kena dihajar roboh, hingga daunnya rontok mengganggu penglihatan orang, Adalah disaat itu, sebelah kakinya melayang, menyebabkan tubuh siorang Mongol jatuh berjumpalitan! Pouw Kian terkejut, ia menyingkir untuk menjauhkan diri, tetapi Thian Tok lompat memburu kepadanya, tidak ampun lagi sebelah pundaknya kena dihajar, hingga disebelah merasakan sakit dan panas, tubuhnya pun terhuyung sepuluh tindak. Disaat itu, Thian Tok hendak membuka mulut, tetapi ia batal, Tahu2 satu sinar terang berkelebat menyambar kepadanya, Ia melihat itulah Cit Siu, yang telah menghunuskan pedang dan melompat menyerang kepadanya. "Oh, saudara Cit Siu, kau juga maju?" ia menegur. "Inilah terpaksa!" menyahut si imam, "Kami telah menerima tugas, aku sudah membawa kimpay dari siauwcu, terpaksa aku mesti mengadu jiwa denganmu!" Perkataan ini dibarengi tikaman kejalan darah ditujuh tempat, sebab Cit siu lantas menyerang ber-tubi2. Thian Tok berkelit ber-ulang2, Satu kali, sambil mendadak tangannya diangkat dan sebuah jarinya menyentil, maka mentallah pedangnya si imam, dari itu ia jadi mendapat waktu untuk melompat kearah Pouw Kian, hingga musuh dapat terdesak mundur. Melihat cara berkelahinya jago tua itu, Hian Ki kagum dan takjub, tanpa terasa sendirinya ia mengeluarkan keringat. "Bagus!" Cit Siu memuji, Pedangnya terpental, tetapi tidak terlepas dari cekalannya, "Lihat pedang!" serunya pula, membarengi berputarnya pedangnya untuk membabat. Cit Siu ini ber-sama2 Pheng Hweeshio dan Pit Leng Hie, dulu hari telah mendapat nama sama tersohornya, kalau barusan pedangnya kena disentil Thian Tok, itu disebabkan mereka berdua baru saja bertempur, setelah itu, ia hati2, setiap kali ia menyerang, pedangnya bergerak dalam tujuh perubahan, Inilah tepat dengan namanya, yang memakai huruf 'Cit' yang berarti 'tujuh', Dalam ilmu pedang, ia tidak dapat menandingi Bouw Tok It dari Butong Pay, akan tetapi disebelah Tok It itu, ialah ahli pedang nomor satu. Segera juga Thian Tok mesti memeras keringat, dalam melayani satu Cit Siu, sebab sampai sebegitu jauh, ia tetap dengan tangan kosong, maka dengan adanya Pouw Kian disampingnya si imam, dan mereka itupun masih dibantu siorang Mongol, yang maju pula setelah terbanting, dan kini iapun mulai terdesak. Menggigil rasanya Hian Ki menyaksikan pertempuran itu, ia tidak tahu ia mesti turun tangan atau tidak, ia sangsi untuk membantu pihak yang mana, yang ia tahu mereka semua adalah sahabat2 ayahnya almarhum, tetapi siapa benar, siapa salah, gelap untuknya, bahkan untuk membuka suara, ia tidak berani. Tidak lama kemudian, mendadak Thian Tok berseru panjang, tubuhnya mencelat tinggi, entah kapan ia sudah turun pula menginjak tanah, sebelah tangannya sudah mencekal sebatang poankoan-pit panjang dua kaki, yaitu senjata semacam pit,(alat tulis). "Cit Siu Tooheng, kau yang mendesak saudaramu mempertaruhkan jiwa!" ia berteriak, suaranya nyaring dan tajam, mengandung hawa amarah hebat dan penasaran sangat. Setelah itu, maka bergeraklah senjatanya siorang she Cio ini, ke-sana ke-mari, mengikuti tubuhnya yang gesit dan lincah. Cit Siu segera menutup diri dengan pedangnya, atas mana poankoan pit menyambar kealisnya Pouw Kian, hingga dia menjerit tajam, terhuyung beberapa tindak, Siorang Mongol merangsak, tetapi ia juga disambut serangan hingga lengannya tertikam, hingga lengan itu berlepotan darah. Hian Ki kaget dan heran menyaksikan kegagahan orang, yang dalam segebrak saja, telah dapat melukai musuh2nya, Ia kagum bukan main. Cit Siu melayani dengan perhatian penuh, ia menyaksikan lihaynya poankoan pit itu, Ia pun mengeluarkan kepandaiannya ilmu pedang, membalas menyerang kepelbagai tempat mematikan, saban2 berlompat kesana kemari, atau kedang2 ia berlompat mengapungi diri, untuk menikan dan membacok dari atas, Ia menyerang sambil menutup dirinya. Cio Thian Tok dikenal sebagai "Tiatciang Sinpit" (Tangan besi dan poankoan pit keramat), tepat sebutan itu, Lain orang, biasanya menggunakan poankoan pit sepasang, ia hanya sebatang, tangan kirinya dipakai membantu dimana tenaganya Yang dan lemah tenaganya Im, ia menggabung ke-dua2nya, Im dan Yang itu, maka dimana perlu, dapat ia berlaku keras atau lembek, Juga hebat caranya ia menotok jalan darah, sebagaimana poankoan pit memang di-peruntukkan totokan itu. Cit Siu dibantu dua jago, ia tetap tidak dapat berbuat banyak, Hian Ki terus menonton dengan saban mendengar mendengungnya senjata2 beradu, Ia memang telah meyakinkan ilmu mendengarkan suara senjata, maka tahulah ia, sudah tujuh kali mereka berempat bentrok senjatanya, Tidak perduli lihaynya pedang Cit Siu, pemuda ini mengetahui Thian Tok masih lebih unggul. Cit Siu Toojin sudah menggunakan tipu pedangnya 'Lianhoan Tuihun Toatbeng',ilmu pedang (Mengejar arwah merampas jiwa), yang beruntun tiga kali tujuh, tidak kurang setiap serangannya itu, kena dihalau oleh Thian Tok, diam2 ia mengagumi dan memuji lawannya ini. "Cit Siu Tooheng, apakah tetap kau tidak hendak melepaskan aku pergi?" bertanya Thian Tok selagi bertarung. Si imam mengertak giginya. "Kau sambutlah lagi dua jurus!" serunya, keras dan sengit, nadanya seram, Itulah tanda kemurkaan dan penasaran yang hebat, Ia benar2 menyerang kekiri dan kekanan, dikiri dengan jurus 'Diliongbun gelombang menggempur', dikanan dengan jurus 'Digurun besar, pasir berterbangan', Namanya dua kali penyerangan, sebenarnya itu menjadi berjumlah empat belas kali, sebab seperti telah diketahui, setiap serangannya berulang tujuh kali, Dengan itu, berarti semua tikamannya itu mencari empat belas jalan darah dari Thian Tok. "Tooheng, kau sangat mendesak aku, maka tidak ada jalan lain, terpaksa aku mesti menemani kau!" berkata Thian Tok, keras dan berbada putus asa, Maka bergeraklah pula senjatanya dibarengi tangan kirinya yang kosong. "Tingtong! Tingtong!" demikian beruntun terdengar suara nyaring, Cit Siu terperanjat, ia melompat mundur, dengan itu ia mengambil kesempatan untuk memeriksa pedangnya, Betapa kagetnya ia, mendapatkan pedangnya itu telah gompal disatu tempat, Itupun menyatakan hebatnya serangan dari Thian Tok, Hendak ia membuka mulutnya, ketika Pouw Kian mendahului dia dengan tertawanya yang menyeramkan, disusul sama sambaran sebelah tangannya, Karena menggunakan Thian Tok menghajar pedang Cit Siu, ia mencengkram dengan lima jari dari tangan kirinya, Maka robeklah baju dipundak Thian Tok! "Cio Thian Tok, pada hari ini dari lain tahun, itulah hari sembahyang kematianmu satu tahun!" Pouw Kian berseru mengejek, Kemudian ia menambahkan: "Cit Siu Tooheng, mari maju bersama, mari kita mampusi dia!" Sebaliknya, dari pada maju menyerang, Cit Siu menarik pulang pedangnya, Kata dia dengan suara tak lancar; "Kita adalah orang2 nomor satu dari dunia Rimba Persilatan, kalau dengan cara begini, kita mengalahkan dia, itu bukanlah kemenangan yang cemerlang! Saudara Pouw Kian, mari!" Kata2 ini, ajakan untuk berlalu pergi, disusul dengan teriakan panjang dan keras dari Cio Thian Tok, seruan umpama kata "Menembus mega, menghancurkan batu" Itulah tanda dari lweekang, yang telah mencapai puncaknya, teriakan itu tidak memperlihatkan sedikitpun juga bahwa dia telah kena dilukai. Pouw Kian tengah melompat maju, untuk mengulangi seranganya, tatkala telinganya mendengung teriakan itu, ia kaget bukan kepalang, hingga mukanya menjadi pucat, Justeru itu Thian Tok tertawa lebar dan mengatakannya! "Jari tanganmu yang berbisa tak dapat melukai aku!" berbareng dengan itu, sebelah tangannya melayang! Tanpa ia berdaya, Pouw Kian terpelanting hingga satu tombak lebih, Siorang Mongol tidak kenal bahaya, jusrtu waktu itu ia maju, seraya mengayunkan cambuknya. Kembalai Thian Tok berseru; "Mengingat kepada bekas rekan, aku akan mengampuni kau, Pouw Kian, tetapi jahanam ini tidak! yang ia maksud adalah siorang asing ini, dan kata2nya itu dibarengi dengan bergeraknya pula tangan kirinya, maka disaat itu juga, cambuk kena disambar dan ditarik, selagi tubuh orang itu terbetot, poankoan pit ditangan kanan ditancapkan kedada lawannya itu! Menyaksikan itu,Cit siu berseru ber-ulang2, seruannya nada putus asa; "Habis sudah, habislah! Kau telah membunuh orang ini, hal itu pasti tidak dapat diubah lagi, maka kita yang bersaudara satu sama lain, putuslah sudah hubungan kita!" Habis mengucapkan demikian, imam ini menghampiri Pouw Kian, untuk diangkat tubuhnya buat dipanggul, dan dibawa pergi, dengan lari seperti terbang turun gunung. Thian Tok menghela napas panjang. "Sudah terpaksa, tidak bisa lain," katanya seorang diri, menyesal. Setelah pertempuran hidup mati yang dahsyat itu, gunung menjadi sunyi senyap kembali, tetapi Hian Ki hatinya masih berdebar keras, Sebab baginya, peristiwa itu sangat hebat, sangat mengesankan. Diantara cahaya rembulan yang indah itu, Thian Tok mendongak memandang keatas gunung, lalu terdengar suaranya yang perlahan; "Siapakah yang menyangka dalam hidupku ini, kembali aku dapat tiba dirumah keluarga In. . .Ya, aku pergi terus atau aku kembali saja?. . ." Hian Ki heran bukan main. "Tadi dia nekat, dia melarang orang mencegahnya," pikirnya, "Sekarang musuh2nya yang tangguh sudah roboh, dan mengangkat kaki, kenapa dia justeru menjadi ragu2?" IV. Suatu pertemuan Masih Hian Ki mengintai dari pohon itu, Ia mendapatkan Thian Tok lesu sekali, bagaikan hilang semangatnya, tak ada tanda sedikitpun bahwa ia merasa girang dengan kemenangannya itu. Dibawah sinarnya si Puteri Malam, ia berdiri menjublak saja, tak ada suaranya sama sekali, Hingga ia mirip dengan sebuah patung saja. Kembali Hian Ki menggigil sendirinya, Sekarang ini Thian Tok tampaknya lebih menakutkan, dari pada waktu ia berkelahi mati2an barusan. Sesaat kemudian, kembali Cio Thian Tok menghela napas yang panjang, lalu terdengar suaranya yang perlahan; "Untuk 20 tahun aku terumbang-ambing diantara telaga dan lautan, rontok kuyup bagaikan bunga bwee dimusim semi dinegara Utara!. . ." Lalu tangannya merogo kedalam sakunya, mengeluarkan berupa benda, apabila ia angkat itu, maka terlihatlah sebuah dompet bersulam, Kembali ia berkata dengan perlahan; "Dompet ini disulam dengan huruf2 wanyoh, daun yang hijau yang teduh menghadapi orang yang lama. . . ." Tak tahu Hian Ki artinya kata2 itu, tetapi ia merasakan nadanya yang sedih, Itulah curahan dari penyesalan hati, Mungkinkah jago ini yang demikian kesohor, ada mempunyai kesulitan yang tak dapat dia utarakan? Sesaat kemudian, Cio Thian Tok menyimpan kembali dompetnya itu, Lalu sekali lagi ia mengoceh seorang diri; "Peristiwa2 didalam dunia ini ber-ubah2, bagaikan mega dan asap melintas didepan mata, maka apakah perlunya aku me-mikir2kan pula semua itu yang telah lewat. . .?" Segera juga tubuh jago itu bergerak, atau dilain saat ia seperti sudah menghilang, entah ia terus pergi kerumah siorang she In itu, atau ia kembali ketempat dari mana ia datang. . . Baru sekarang Hian Ki berani keluar dari tempatnya bersembunyi, Ia mendapatkan Si Puteri Malam sudah melintasi garis tengah dari sang langit, Di situ, disekitarnya, tak ada satu bayangan juga diri manusia, kecuali mayatnya siorang asing Mongol yang tergeletak ditanah pegunungan itu, Sunyi dan senyap, suasana itu menciutkan hati, Disaat sesunyi itu, ia teringat pula kepada So So si nona manis. "Tentulah dia sudah tidur sekarang," pikirnya, "Tahukah dia bahwa dikaki gunung, telah terjadi pertempuran hidup mati ini?" Bimbang pemuda ini, Ia ingin sekali menemui So So secara diam2, ia ingin pula mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya, Disamping itu, ia juga ingin mendapat kepastian apa benar Thian Tok telah pergi kerumah keluarga In itu, Untuk apakah Thian Tok menvari In Bu Yang? Ada hubungan apakah diantara mereka itu berdua? Tidak ada tempo setengah jam, kembali Hian Ki sudah berada didepan rumahnya In Bu Yang, Ia berlaku dengan sangat hati2 sekali, Ia memasang kuping tetapi tidak dapat mendengar sesuatu, Kiranya Bu Yang masih belun kembali, Ia ragu2 sebentar, lantas ia mengambil keputusan, Maka ia menjejakkan dengan kedua kakinya, membuat dirinya terapung tinggi lompat melintasi tembok, Itulah gerakan ringan tubuh 'Seekor burung bangau mencelat kelangit'. Dipekarangan dalam, daun2 pohon bwe bagaikan menghalang2i cahaya rembulan, tetapi harumnya bunga2 menyesaki hidung, membuat hatinya lega, Maka malam itu sama dengan malam kemarinnya, Hanya saja sekarang, pemuda ini tidak melihat sipemudi kemarin itu. . Hian Ki berduka dan bimbang hati, Ia telah datang dengn harapan besar, tetapi sekarang tak tahu ia mesti berbuat apa, Ia berpikir, "Mustahilkah dimalam buta rata seperti ini aku lancang memasuki rumah orang, kekamar si nona itu? Ah, So So, So So, semoga dewa-dewi memberi mimpi kepadamu, memberitahukan kau bahwa aku telah datang kemari. . . Inilah lamunan, Kapan Hian Ki menginsafinya, ia tertawa sendirinya, andaikata benar ada dewa-dewi, tidak nanti mengetahui rahasia hatinya itu. . . Dalam saat yang sunyi itu, tiba2 Hian Ki mendengar helaan napas yang halus, yang dihantar silirnya sang angin, Itulah helaan dari rasa penasaran dan kedukaan, Tanpa terasa, ia menggigil, Itulah bukan suaranya So So, bukan juga suaranya Thian Tok. Cepat luar biasa, pemuda ini menyembunyikan dirinya didalam kamar tulis, Ia masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan tubuh dikaca jendela, Itulah seorang yang datang dari Timur, yang meloncati tembok, Tembok itu menyambung dengan ruangan dalam, Jadinya orang itu keluar dari dalam rumah, bukan datang dari luar, Ia menjadi melengak, matanya mengawasi, Atau kembali ia berdiri menjublak. Dibawahnya sebuah pohon bwee yang tua terlihat, seorang berdiri dengan rambutnya yang panjang terurai dipundaknya, Dialah seorang wanita setengah umur, yang parasnya pucat pasi, Dengan memiringkan tubuh sedikit, ia memandangi si Puteri Malam, Ia mirip seorang wanita yang kehilangan cinta sang suami. Setelah mengintai sekian lama, Hian Ki merasakan wajah orang mirip wajah So So, Maka mulailah ia menduga, kecuali nyonya In, ibunya si nona manis itu, dialah pasti bukan orang lain lagi. Kembali pemuda ini terbenam dalam ke-ragu2an, hingga ia me-nerka2, Nyonya In Bu Yang ini berada didalam rumahnya sendiri, mengapa dia keluar secara diam2, bahkan dengan cara meloncati tembok? Bukankah dengan begitu, dia tak mirip2nya sebagai nyonya dari rumah itu? Bukankah dia lebih mirip dengan seorang kangouw tukang ngelayap malam untuk menyelidiki sesuatu? Dan lebih aneh lagi, dari pembicaraan Bu Yang dengan anak gadisnya, dialah seorang nyonya berpenyakitan yang tengah rebah dipembaringan didalam kamarnya sendiri, yang tak pernah melangkah setindak juga dari ambang pintu! Sekarang ditengah malam sunyi ini dia keluar seorang diri! Adakah dia hendak menghirup harumnya bunga sambil memandangi si Puteri Malam? Lebih aneh lagi, gerakan tubuhnya demikian gesit, tak mirip2nya denan orang yang lagi menderita sakit. . . Belum lama, sejumlah lembaran bunga bwee terbang jatuh, disusul dengan lompat turunnya satu bayangan manusia, ringan jatuhnya, tak ada suaranya sedikit juga. Hian Ki heran, Tak tahu ia, kapan datangnya, orang itu. . .adalah Cio Thian Tok! "Thian Tok, benar2 kau!" berkata nyonya In perlahan, Ia tak kaget karena munculnya bayangan itu yang secara tiba2. "Ya, Poo Cu!" menjawab Thian Tok. "Kau menantikan aku disini?" Perlahan suara lelaki itu, tetapi dari nadanya nyata hatinya memukul keras. "Ya," menyahut nyonya itu, "Barusan aku mendengar suara pertarungan dikaki gunung, Orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang Cit Siu Toojin, yang sekali bergerak dapat menjalankan tujuh jurus, menurut setahuku dijaman ini, kecuali Bu Yang dan kau, tidak ada orang yang ketiganya." Hian Ki terkejut, Sungguh lihay telinganya Nyonya In Bu Yang ini, Dia tidak menyaksikan pertempuran dengan matanya sendiri, dia cuma mendengar, tapi, dia mengetahui pertarungan itu demikian jelas, dia tahu bahwa pihak musuh adalah Cit Siu imam yang lihay itu, Dia hanya membedakan suara bentroknya senjata saja! Nyata sekali, ilmu mendengarnya nyonya ini hebat sekali kepandaiannya. Thian Tok tertawa, tetapi nadanya sedih. "Terima kasih untuk pujianmu," katanya, "Oh, kiranya saudara Bu Yang tidak ada dirumah." "Apakah kau tidak berpapasan dengan dia?" si nyonya bertanya. "Tidak, Aku justeru handak mencari dia, Aku menduga, jikalau dia ada dirumah, pasti dia telah ketahui kedatanganku ini." "Tadi tengah malam dia turun gunung," berkata si nyonya, "Untuk urusan apa, aku tidak tahu, Aku tadinya menduga ia ketahui kau datang dan pergi untuk memalakmu." Thian Tok berdiam sebentar, lalu ia tertawa menyeringai. "Oleh karena saudara Bu Yang tidak ada dirumah, tidak leluasa aku untuk berdiam lama2 disini," katanya kemudian, "Baik, besok saja aku datang kembali," Ia mengucapkannya demikian, tetapi kedua kakinya tak bergerak, Nyonya In menghela napas panjang; "Kau sudah datang, perlu apa kau lantas pergi pula?" katanya, "Kita sudah sama2 tua, apakah diantara kita mesti ada pula kerikuhan, hingga kita mesti saling menyingkir? Kalau sekarang kau pergi, aku khawatir, untuk selanjutnya bakal tidak ada kesempatannya lagi, untuk kita bertemu berduaan saja. . ." Perlahan sekali suaranya si nyonya, kepalanya pun ditundukkan, seperti tak berani ia memandang sinar matanya Thian Tok, Hingga ia mirip lagi bicara dengan dirinya sendiri, bukan kepada pria dihadapannya itu. Hati Thian Tok berguncang keras, Ia maju satu tindak; "Poo Cu, kau. . ." katanya, suaranya perlahan, tetapi tajam. "Perlahan sedikit," memperingati si nyonya. "Jangan kau membikin kaget So So," Paras Thian Tok merah, ia mundur pula, Lalu terus menyender dipohon bwee. "So So?" ia menanya. "So So adalah anakku perempuan, sekarang ia sudah berusia delan belas tahun." Thian Tok menghela napas. "Sudah delapan belas tahun. . ." katanya, "Ya sang waktu lewat cepat sekali, Anak2 kita telah menjadi besar. . ." "Ah! kapankah kau menikah? Mengapa isterimu tidak datang bersama?" Nyonya In agaknya heran. "Ketika aku mendapat dengar khabar girang dari kau dengan saudara Bu Yang," menjelaskan Thian Tok, "waktu itu aku lagi rebah sakit di MOngolia, Selama aku sakit, dialah yang merawati aku, Mulanya aku tidak berpikir untuk menikahi dia, lalu kemudian aku berbalik pikir, Aku ter-lunta2 dinegara orang, sudah seharusnya aku mendapatkan keturunan, untuk penyambung keluarga Cio, Demikian ditahun kedua, bagaikan tanpa terasa, dengan cara sederhana, menikahlah kami, Isteriku itu tidak mengerti ilmu silat, maka itu sebelum aku angkat kaki dari watzu, siang2, aku telah kirim isteri dan anakku itu pulang kekampung halamanku di Shoasay, Poo Cu, kau pasti tidak menyesalkan aku, bukan?" Nyonya itu menggeleng kepala. "Mana dapat aku menyesalkanmu?" sahutnya, "Tentulah puteramu itu sudah dewasa?" Tanpa ia kehendaki, Tan Hian Ki dapat mendengar pembicaraan orang itu, Itulah pembicaraan biasa, yang terdapat umum se-hari2, tetapi yang ini ada terpendam cerita asmara yang tersembuyi, Maka makin heranlah ia. "Nyonya In ini gagah perkasa, kalau dahulu itu bukan karena kehendaknya sendiri, siapa dapat memaksa ia menikah dengan In Bu Yang?" pikirnya, "Ia sudah menikah, kenapa sekarang ia agaknya masih menyintai Cio Thian Tok?" Maka mulailah ia menduga, diantara kedua orang ini, dua jago satu jantan dan betina, mesti ada tersembunyi sesuatu apa, yang tak dapat mereka beberkan dimuka umum, Dan In Bu Yang itu, mengetahui akan rahasia hati isterinya ini? mengingat begitu, Hian Ki membayang ancaman bencana untuk nyonya ini dan kekasihnya itu, ia menjadi berkhawatir sendiri, sampai ia lupa bahwa ia sendiri pun turut terancam bahaya. . . "Anakku itu sekarang sudah berusia enam belas tahun," menerangkan Thian Tok, "Aku beri nama Eng padanya, Ia bertabiat keras hingga sering ia menimbulkan onar buatku, Sahabat2nya menyebut dia Hongthianlui (si Guntur). "So So-ku sebaliknya alim," kata Nyonya In tertawa, "Kadang2 saja ia sangat lucu, tetapi ia bersifat seperti ayahnya, apa yang ia pikir, ia akan lakukan, walaupun salah, ia tidak menyesal," "Ah, kau lebih beruntung dari pada aku, suamimu gagah, anak gadismu lembut, dan ini rumah, kamu telah mengaturnya seperti goa dewa-dewi, dimana gunung ini indah, lengkaplah dua2nya, Dengan kehidupan manusia yang begini, apalagi yang dikehendaki? Aku telah datang kesini, dan menyaksikannya, legalah hatiku." Ia mengangkat kepalanya, ia masih tampak si nyonya tersenyum, hanya pada kedua matanya, airnya mengembang, ber-linang2. Heran orang she Cio ini. "Adakah saudara Bu Yang perlakukan kau buruk?" ia bertanya. "Baik, terlalu baik!" menjawab si nyonya, "Setiap hari dia menyuruh aku makan obat!" Thian Tok semakin heran. "Menyuruh kau makan obat? Kau sakit apakah?" "Setelah menikah dengannya, untuk beberapa tahun aku sehat2 saja, hanya belasan tahun kemudian, sering jantungku sakit, sebentar baik, sebentar kumat, Disini tidak ada orang dengan siapa aku dapat berbicara untuk mencurahkan isi hati, Demikian apa yang terjadi, musim semi datang, musim semi pergi, aku tidak niat untuk memperdulikannya, Didalam tahun ini juga baru kali ini aku keluar kemari," Thian Tok tercengang saking heran. "Kenapa begitu?" tanyanya. Hal itu barulah kemudian aku dapat mengetahuinya, Sebenarnya Bu Yang menikahi aku bukan karena cintanya. . ." "Apakah bukannya kau terlalu banyak berpikir?" "Bukan, hanya dia, selama belasan tahun, dia terus-menerus ingat saja isterinya yang dulu, Nama kecil isterinya itu dipanggil Bwee, maka juga semua pohon bwee disini ada untuk mengingati isterinya itu," "Isterinya Bu Yang itu telah menutup mata di Tiangkang, sampai sekarang ini sudah berselang 20 tahun, Kalau begitu, aku harus memuji dan menghormati dia." "Kenapa ?" Thian Tok memaksakan diri untuk tertawa. "Kalau dia memikirkan orang lain, aku tidak sesalkan kau, tetapi dia memikirkan almarhum isterinya, bukankah itu menandakan cintanya yang satu, mati atau hidup ia tak melupakannya? Dengan mengingat yang dulu, dapat ia mencurahkan cinta pada orang yang sekarang berada disampingnya, Seorang duda, apabila ia lekas2 melupakan isterinya yang lama, terhadap isterinya yang baru, belum tentu ia dapat menyintanya sungguh2 dan kekal." Terang Thian Tok berbicara untuk menghibur, tetapi itu pun beralasan, Hanya, diluar dugaannya, air mata si nyonya In bercucuran semakin deras. "Aku tidak pandai bicara, kalau aku salah ucap, maafkan aku," Thian Tok berkata. Nyonya In tidak menjawab, hanya ia balik bertanya. "Tahukah kau kenapa dia nikahi aku? demikian tanyanya. "Kau berilmu silat tinggi, kau cantik, hatimu pun baik," menyahut Thian Tok,"Kaulah wanita gagah dan cantik tak ada bandingannya, Semasa hidupnya isteri Bu Yang itu, asal membicarakan kau, dia memuji dan sangat mengagumimu." Nyonya In sebaliknya tertawa tawar. "Siapa bilang dia menikah karena menyintai aku?" katanya.", "Sebenarnya dia menikah denganku untuk kitab ilmu pedang kepunyaan ayahku." Inilah heran, maka Thian Tok terkejut. "Ah!" serunya tertahan, tak berani ia lantas mengucap kata. "Ayahku berhasil mendapatkan kitab tua ilmu pedang Butong Pay yang telah lama lenyap dari guru besar Tat Mo," Nyonya In menerangkan, "Belum lagi ayah memahaminya secara sempurna, dia telah mencurinya dan dibawa kabur menyingkir, Aku tidak gusar atau menyesali yang dia senantiasa masih mengingat isterinya yang lama itu, hanya aku mendongkol dia menyebabkab kami ayah dan anak berpisah untuk se-lama2nya, kami tak dapat bertemu pula, Dia sangat mementingkan diri sendiri, supaya dirinya menjadi jago pedang nomor satu dikolong langit ini, dia men-sia2kan isterinya, hingga aku jadi menderita!" Sebenanya keterangan nyonya In masih belum lengkap, ada satu bagian yang ia sembunyikan, Memang benar In Bu Yang suaminya itu, ingin memiliki kitab ilmu pedang ayahnya itu, tetapi bukanlah dia yang mencurinya, hanya nyonya In sendiri yang mengambilnya secara diam2, Ketika itu belum lama mereka menikah, Nyonya In sangat menyintai suaminya tanpa ia mengetahui sifat si suami, maka itu apa juga yang suaminya minta ia lakukan, ia melakukannya, Demikian sudah terjadi, Sebelumnya, ia tak memikir apa yang bakal terjadi kemudian. Pada dua puluh tahun berselang, Bouw Poo Cu sebagai gadis remaja lagi menanti lamaran, Dan Cio Thian Tok dan In Bu Yang itu adalah orang2 muda dari tingkatan lebih muda dari pada Bouw Tok It, ayahnya si nona. Berdua mereka sering datang berkunjung, Tok It sama menghargai mereka berdua, Hanya ketika itu Bu Yang sudah menikah, Thian Tok belum karena itu Poo Cu lebih banyak bergaul dengan sipemuda she Cio, Kemudian isterinya Bu Yang terbinasa dimedan perang disungai Tiangkang, ketika ia pulang, ia menunjuki ketekunannya, Ia pernah menikah, tahulah ia bagaimana harus melayani seorang wanita, Pula ia masih muda, wajahnya tampan, ilmu silatnya sempurna, sikapnya halus, maka bukan saja Tok It senang padanya, Poo Cu sendiri kemudian jatuh hati terhadapnya, maka akhirnya si nona meninggalkan Thian Tok, menikah sama siduda. Sesudah Poo Cu membantu suaminya mencuri kitab pedang ayahnya itu, ia turut buron kegunung Holan-san ini, Di-tahun2 pertama, mereka hidup rukun dan manis, Mereka seperti tengah berbulan madu, baru kemudian, Poo Cu ingat juga keluarganya, Lalu dengan lewatnya sang waktu, ia merasakan cinta suaminya terhadapnya mulai berkurang, bahkan itu seperti disengaja di-buat2nya, Dilain pihak, suami itu nyata sekali selalu mengingat almarhum isterinya, Tentu saja Poo Cu menjadi bersusah hati, hingga kesehatannya jadin terganggu, Semenjak itu, ia jadi ingat Thian Tok yang ia lepaskan itu, Baru sekarang ia menginsafinya, cintanya Thian Tok cinta sejati, melebihi cintanya Bu Yang, Tapi sekarang, sang ketika telah hilang lenyap. Tentu sekali Thian Tok tidak mengetahui perubahan cinta nyonya In ini, ia menyangka orang tetap menyintai dia, bahwa kalau juga Poo Cu menikah dengan Bu Yang, itu disebabkan kaburnya ia keluar negeri untuk melindungi putera mahkota, junjungannya yang muda, Ia menyesal waktu ia mendapat khabar Poo Cu sudah menikah dengan In Bu Yang. Sambil menangis segugukan, Nyonya In melanjutkan keterangannya; "Atas lenyapnya kitab ilmu pedang itu, ayahku tidak membuat banyak berisik, Ia tidak mau diketahui oleh orang luar atas kejadian yang terjadi didalam keluarganya, ia tidak pernah menunjukkan kemurkaannya, Oleh karena itu, putuslah hubungan diantara ayah dan puterinya, Belakangan ayah mendapat tahu, bahwa kami tinggal menyendiri disini, tapi ia tidak pernah mengirim orang untuk menanyakan tentang aku, Akulah anaknya satu2nya, tetapi aku, bukannya aku ingat budi orang tua, yang merawat dan memelihara aku semenjak bayi, aku justeru membantu suamiku mencuri kitabnya, kitab yang sangat dirahasiakan, Ayah berduka karenanya, tidak sampai dua tahun, ia meninggal dunia yang fana ini, Sungguh menyedihkan, kami ayah dan anak tak pernah bertemu pula, Sekarang ini kakak sepupuku, yang menggantikan ayah menjadi ketua Butong Pay, juga telah menutup mata, Inilah untuk pertama kali aku melihat ada orang luar datang kesini. . ." Hian Ki menduga yang dimaksudkan si nyonya ialah Siangkoan Thian Ya utusannya Bouw It Siok, Karena itu, ia ingat pula Thian Ya itu, Bagaimana dengan sahabat itu? Ia meng-harap2 si nyonya menyebutkannya pula pemuda itu, tetapi harapannya sia-sia. Nyonya Bu Yang menghela napas, baru ia berkata pula; "Setelah berselang delapan belas tahun, berhasil sudah Bu Yang mempelajari ilmu pedangnya, tetapi meski demikian, kitab pedang itu dia masih tidak mau mengembalikannya, dia cuma mengutamakan diri sendiri untuk menjadi ahli pedang nomor satu, tidak pernah dia memikirkan aku lagi, Maka aku khawatir sekali, seumur hidupku, tidak nanti aku mendapat maaf dari keluargaku, Ya, akulah yang bersalah, Delapan belas tahun aku menderita, tidak ada seorang juga, kepada siapa dapat aku melampiaskan penyesalanku ini, Setiap hari Bu Yang memaksa aku minum obat, Tapi, mana penyakitku dapat sembuh hanya denan obat saja? Sebenarnya pun, dengan memaksa aku minum obat itu, hanya untuk ia perlihatkan kepada puterinya, Setiap waktu, setiap saat, dia tetap memikirkan isterinya yang pertama, dia sangka aku tidak mengetahuinya!" Mendengar keluhannya si nyona, yang mencurahkan penasaran dan penyesalannya, hati Thian Tok seperti ter-iris2. "Poo Cu! Poo Cu!" katanya tiba2 sambil menubruk, Poo Cu menolak tangan orang. "Thian Tok, kau pergilah, lekas," katanya, "Kalau Bu Yang pulang dan dia melihat sikap kita ini, mungkin dia bakal membunuhmu!" Thian Tok memperdengarkan suara tidak nyata, ia mundur pula, Tapi tetap ia tidak mau berlalu. "Benar kau tidak takut terhadapnya, tetapi dia. . .dia. . ." Perkataan nyonya ini berhenti tiba2, Sebenarnya ia hendak mengatakan, "Siapa juga yang terbinasa diantara kalian bedua, semuanya itu juga akan membuat aku berduka," kata2 itu tidak dapat diucapkan. "Setelah bertemu dengan kau, sebenarnya sudah puas hatiku," berkata Thian Tok. "Sebenarnya aku dapat segera berlalu, tapi tak boleh kulakukan, aku ingin bertemu dengan Bu Yang," "Ah! Kau benar2 mencari Bu Yang?" si nyonya menegasi. "Ya, untuk mencari kau, juga mencari Bu Yang," jawab Thian Tok seraya menarik keluar dompet sulamnya, Ia menghela napas ketika ia menambahkan: "Baiklah kita jangan lagi menimbulkan segala kejadian yang sudah2, tetapi dompet ini hendak aku mengembalikannya padamu, Penghidupan manusia benar seperti kata2nya pepatah, dalam kehidupan manusia, delapan atau sembilan keinginan kita, biasa tak tercapai, Saudara Bu Yang gagah dan pintar, dialah seorang jago, baiklah kau maklum saja." Poo Cu menerima kembali dompetitu, lalu ia berdiam, air matanya turun tak hentinya, Didalam hatinya ia berkata, "Kalau Bu Yang ada sebaik kau ini, pastilah aku tidak akan menderita. . ." Thian Tok menghibur orang untuk melupakan semua kejadian yang lampau, akan tetapi ia sendiri tidak dapat melupakannya, Setelah terdiam sejenak, ia berkata pula dengan perlahan; "Sudah delapan belas tahun aku tidak bertemu dengan saudara Bu Yang, entah bagaimana pikirannya sekarang, Biar bagaimana, ingin aku bertemu dengannya." "Ya, aku pun belum menanyakan kau bagaimana keadaanmu semenjak delapan belas tahun yang lalu," berkata nyonya In. "Sekalipun kau tidak menanyakan, aku sendiri ingin menceritakannya," menjawab Thian Tok, "Ketika tahun itu Sri Baginda kalah perang di Tiangkang, dan ia tertawan hingga menerima kematiannya, dengan melindungi putera mahkota, aku menyingkir ke Mongolia, Syukur sekali, disana kami diterima dengan baik oleh satu kepala suku bangsa, Itulah suku Tartar dan pemimpinnya itu ialah Arudai, Dialah satu pemimpin yang ber-cita2 besar, kami diterima dan kamipun membantu padanya, Belum ada sepuluh tahun, dia dapat menaklukkan suku2 lain disekitarnya, maka setelah itu dia dapat mendirikan negaranya yaitu negara Watzu, Pada tiga tahun yang baru lalu Arudai wafat, ia digantikan oleh puteranya yaitu Toto Puhwa, Karena Toto Puhwa masih berusia muda, ia dididik oleh pamannya yaitu Tohuan yang mengangkat dirinya menjadi Thaysu, Guru Agung, Dua2 Toto Puhwa dan Tohuan itu ber-cita2 besar dan pintar, mereka bukan sembarang orang, dalam beberapa tahun saja mereka telah berhasil mengatur angkatan perangnya, yang sekarang semakin maju, Kelihatannya untuk mempersatukan seluruh Mongolia tinggal menunggu waktunya saja." Diam sebentar. "Walaupun Mongolia terpisah jauh dari sini," berkata Thian Tok pula, "Aku khawatir, setelah Tohuan berhasil mempersatukannya, ada kemungkinannya ia ada sangkutannya dengan bangsa Han kita, Baiklah, maka akan aku memberitahukan kau kenapa malam ini aku datang kemari." Nyonya In mengangguk, ia memasang telinganya. "Setelah tiba di Mongolia, almarhum putera mahkota telah mendapat seorang putera," Thian Tok menjelaskan lebih jauh, "Putera itu diberi nama Cong Ciu, sekarang ia sudah berumur tujuh belas tahun, Ia bersamaan usia dengan Khan besar Toto Puhwa itu, Oleh karena putera mahkota menutup mata diperantauan, aku terus melindungi puteranya itu, Ia pintar dan besar pula cita2nya, lebih bersemangat dari pada almarhum ayahnya,Kami.., sebab aku tidak sendirian, membantu dan mendidik dia dalam ilmu surat dam ilmu silat, dengan otaknya yang tajam, sekali diajari saja, ia lantas mengerti, Diam2 aku bergirang sekali bahwa yang Sri Baginda almarhum mempunyai keturunan yang berkakat itu, Junjungan muda ini sangat menyintai negeranya, walaupun usianya masih begitu muda, ia ingin sekali lekas2 membangun kembali pula kerajaannya," Thian Tok melanjuti sesaat kemudian, "Karena usianya itu masih muda, aku khawatir sekali ia nanti salah jalan, Pergaulan Cong Ciu dengan Toto Puhwa pun erat sekali, maka juga Kahan Watzu itu telah memberikan janjinya, satu kali seluruh Mongolia sudah dioersatukan, dia akan membantu junjungan muda ini membangn kembali negaranya, Dimulut Toto Puhwa mengatakan begitu, tetapi hatinya aku dapat menerkanya, Dia sedang memperkuat diri, dengan sadar dia menuruti pimpinan pamannya, Aku percaya, setelah Mongolia bersatu, dia bakal berpaling ke Tinggoan, Itulah hebat dan berbahaya, Aku tahu betul, semenjak dahulu hingga sekarang ini, tidak pernah ada orang yang meminjam tenaga asing membangun negaranya dengan berhasil, dan kalau toh berhasil juga, ia sendiri menjadi semacam boneka, Aku menyesal pada rekan2ku tidak ada yang berpandangan jauh, mereka itu sebaliknya memuji tindakan junjungan muda itu, mereka memimpikan meminjam tenaga bangsa Watzu untuk bertempur pula melawan Cu Goan Ciang!" Hian Ki dari tempat sembunyinya terkejut sendirinya. "Jikalau benar Thio Cong Ciu meminjam tenaga asing menyerang balik ke Tionggoan ini, bukankah ia seperti membuka pintu untuk harimau galak?" pikirnya, "Aku khawatir bukan saja ia gagal membangun negara, sebaliknya negara yang indah ini bakal diserahkan ketangan lain orang. . . .Semua pamanku, selama ini dua puluh tahun, memikirkan saja junjungannya yang lama, ingin mereka membangun kembali pula kerajaan Ciu itu, kalau mereka mendengar berita penting ini, entah bagaimana pendapat mereka." Thian Tok menghela napas ketika ia melanjutkan ceritanya; "Niatnya junjungan muda itu sudah tidak dapat diganggu gugat, ia sudah mengeluarkan kimpay dari junjungan almarhum, diserahkan pada Cit Siu Toojin dengan bersama Pouw Kian dan ditugaskan kembali ke Tionggoan untuk mengumpulkan orang2nya junjungan almarhum, untuk bersama mereka pergi ke Watzu guna menyusun tenaga, untuk bekerja sama, Yang per-tama2 mau dipanggil itu adalah saudara Bu Yang, Karena itu kedatanganku inipun dengan niat membujuk saudara Bu Yang lekas memberi khabar kepada semua rekan2 agar mereka itu lekas2 mengatus daya perlawanan, Aku hanya tidak ketahui selama tahun2 belakangan ini, bagaimana keadaannya saudara Bu Yang serta bagaimana pendiriannya." "Sudah belasan tahun Bu Yang hidup menyendiri disini, telah putus pergaulannya dengan bekas rekan2nya itu." barkata nyonya In, "hanya melihat kemajuan ilmu pedangnya yang sudah rampung, ia sepertinya tergoda untuk kembali turun gunung, supaya dunia persilatan mengakui ia sebagai ahli pedang nomor satu, Bulim Te-it Kiamkek, Tapi niat ini ia tunda, disebabkan aku masih mempunyai kakak sepupu yang ia segani, Sekarang ini, ayah dan kakakku itu telah meninggal dunia, aku percaya, hal turun gunungnya tinggal menanti waktunya saja." "Macan tutul mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama," berkata Thian Tok, "Saudara Bu Yang yang sudah berhasil menyempurnakan ilmu pedangnya, sekarang dia hendak muncul pula supaya orang ingat dan kenal padanya, itupun baik." "Dia besar ambisinya," berkata nyonya In, "Aku khawatir dia tidak dapat menerima kimpay dari siauwcu untuk pergi ke Watzu dan juga tidak bakal mendengar nasihatmu, supaya dia menyampaikan kabar terlebih jauh kepada bekas kawan2nya." "Kenapa begitu?" tanya Thian Tok tak mengerti. "Congcihui dari Kimi-wi dari Cu Goan Ciang, yaitu Lo Kim Hong jago nomor satu dari kotaraja, beberapa hari yang lalu telah datang kesini membuat pembicaraa dengannya." "Begitu ?" Thian Tok benar2 heran. "Samar2 saja aku mendengar pembicaraan mereka itu, Dia hendak menerima undangan dari Cu Goan Ciang untuk membujuk bekas orang2nya Sri Baginda almarhum untuk mengabdi pada Cu Goan Ciang itu," "Mereka itu setia semuanya, mungkin ia mesti bekerja keras untuk membujuknya, Thian Tok menyatakan. "Jikalau benar mereka tidak sudi menakluk maka Lo Kim Hong bakal mengambil tindakan keras, dengan membekuk mereka satu demi satu." Thian Tok melengak, dan akhirnya kelepasan berkata; "Apakah itu bukan namanya menjual sahabat2 untuk memperoleh pangkat besar?" "Bu Yang pun tidak mau mengatakan terus terang padaku, Pernah aku menanya dia, dia tidak mengucapkan sepatah katapun, Apa yang aku ketahui, didalam beberapa hari ini dia seperti mempunya banyak persoalan hati, hingga aku tidak dapat membeda sikapnya." "Mudah2an saudara Bu Yang tidak terpancing," berkata Thian Tok, "Aku harap kau bisa membujuk dan menasehati dia." In Hujin tertawa sedih; "Aku dan dia adalah suami isteri, tetapi sebenarnya kami tak ubahnya seperti orang2 ditengah jalan,," ia mengaku, "Selama ini beberapa tahun kami hidup menurut cara sendiri2, kami seperti bersandiwara saja. . ." Thian Tok menyesal sekali, ia berduka dan berbareng merasa kasihan terhadap si nyonya. "Poo Cu," katanya perlahan, "kau. . . ." Tiba2 si nyonya mengangkat kepalanya; "Mungkin Bu Yang tidak pulang malam ini," katanya, "Sekarang sudah jam empat, sedang So So biasa bangun jam lima untuk meyakinkan ilmu pedang dan kemudian paginya mempelajari ilmu suratnya, maka kau, sebaiknya kau pergi saja, Besok kau datang lagi." Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Dengan perasaan berat, Thian Tok membalik tubuh untuk berlalu, Baru dua tindak, ia sudah menoleh, seperti ada apa2 yang ia lupakan. "Poo Cu," katanya,"Pernahkah kau melihat satu pigura dengan lukisan suasana rembulan musim rontok disungai Tiangkang ?" "Untuk apa kau menanyakan gambar itu?" si nyonya balik bertanya, "Gambar itu digantung dikamar tulus itu," "Begitu? Bagus! Nanti aku lihat," Nyonya In heran, ia bertindak mengikuti kekamar tulis, Hian Ki cepat juga sembunyikan diri dibelakang lemari. "Siapakah berada didalam kamar tulis ini ?" terdengar suara dalam dari Thian Tok. Hian Ki heran sekali, Tapi ia berani, selagi ia hendak memperlihatkan dirinya, tiba2; "Mana ada orang didalam kamar ini," terdengar nyonya In, "Umpama kata Bu Yang Yang pulang, tidak nanti ia bersembunyi disini untuk mencuri dengar pembicaraan kita," "Barusan aku seperti mendengar sesuatu suara." "Itu mungkin tikus yang sedang menggeratak." Hian Ki menyingkir dari jendela ke-lemari cuma beberapa tindak, ia pun bertindak sangat cepat dan ringan, maka heran Thian Tok masih dapat mendengar tindakannya itu, Maka itu ia sangat mengagumi orang she Cio ini. Hanya setelah mendengar suara si nyonya, Thian Tok tidak berkata lagi, Segera juga api dinyalakan dan lilin disulut, Hal itu membuat sianak muda lega hatinya. "Hanya benar pada dua hari yang lalu, kamar ini pernah ditempati orang!" kemudian terdengar suara nyonya In sambil tertawa. "Siapakah dia?" Thian Tok tanya, "Dialah seorang anak muda yang ditolong oleh So So, Khabarnya ayah dia itu adalah bekas rekanmu, Tanpa tahu apa sebabnya, dia dilukai orang, So So menolong dia dengan memberi dia obat yang ayahnya paling sayang, Bocah itu bernyali sangat besar, dia datang kemari dengan maksud membunuh Bu Yang, Ketika Bu Yang pulang, dia lantas diusir pergi, Sayang aku tidak sempat melihat anak itu, tetapi So So nampaknya terkesan baik sekali terhadapnya, ia membuatnya pikiran, Didepan aku So So puji dia, katanya dia halus budi pekertinya, bagus ilmu silatnya, bahkan Bu Yang katanya turut memuji juga ilmu pedangnya, So So polos sekali, sampai terhadap seorang asingia berpendapat demikian macam, tak sedikitpun menaruh curiga, Kau lihat itu pedangnya yang digantung ditembok, Coba si bocah curi itu, tentulah ia tak dapat diampuni ayahnya. . . ." Senang hatinya Hian Ki mendengar bahwa So So demikian memperhatikan dirinya, Selagi Nyonya In ber-kata2, Cio Thian Tok mengawasi gambar, agaknya ia sangat tertarik hatinya, hingga ia berdiri menjublak. "Bagaimana, adakah apa2 yang aneh dalam gambar itu?" sinyonya bertanya, heran. "Cocok, inilah gambar itu!" mendadak kata Thian Tok berseru, lalu ia menghela napas, Ketika ia berkata, suaranya perlahan; "Inilah gambar yang Sri Baginda almarhum menitahkan melukisnya dimalam sebelum ia mengorbankan diri untuk negaranya, Didalam lukisan itu tersimpan rahasia, yang cuma diketahui oleh Bu Yang dan aku, Menurut kau, apakah Bu Yang tidak memberitahukan hal itu padamu," "Banyak sekali yang Bu Yang sampaikan kepadaku, bukan cuma hanya gambar ini," si nyonya mengaku. "Ketika pada 20 tahun itu kami berperang disungai Tiangkang, malam sebelumnya Sri Baginda almarhum telah merasa pengharapannya sudah musnah, maka itu semua hartanya yang terdiri dari berbagai barang permata telah dia sembunyikan disuatu tempat rahasia di Souwciu, Tapi bukan cuma harta itu, berikut itu ada peta bumi yang dibuat oleh Pheng Hweeshio, Itulah peta militer, siapa mendapatkan itu, dia boleh merajai, didalam lukisan inilah terdapat tempat penyimpanan harta dan peta penting itu." Nyonya In memperlihatkan rasa heran, Ia tidak menyangka seorang raja yang bakal runtuh dapat merencanakan seperti itu, jauh pandanganya. "Sebenarnya ketika itu Sri Baginda menghendaki aku membawa pergi gambar ini," Thian Tok menjelaskan, "Tetapi saudara Bu Yang bilang, tugas melindungi putera mahkota tugas sangat berat, maka tugas untuk melindungi gambar ini, baiknya diserahkan saja padanya, Dengan begitu ia berkata ia hendak membantu meringankan tugasku itu, Sekarang Siauwcu memanggil saudara Bu Yang, itulah tentu disebabkan, selain tenaganya dibutuhkan juga mesti ada hubungannya dengan gambar ini." "Menurut penglihatanku, kebanyakan Bu Yang tidak bakal pergi ke Watzu," berkata Nyonya In, "Maka gambar ini, gambar ini. . ." Thian Tok melengak, begitu mendengar si nyonya, walaupun nyonya itu tidak meneruskan kata2nya, Ia sadar, dengan Bu Yang menerima undangannya Cu Goan Ciang, peta ini akan menjadi barang yang sangat berharga. Nyonya In menghela napas; "Aku lihat Bu Yang bukan saja dia tidak bakal pergi ke Watzu, dia juga tidak nanti sudi mendengar perkataanmu," katanya kemudian, "Maka itu gambar ini baiknya kau bawa pergi." Belum habis suaranya si nyonya, mendadak terdengar satu suara tertawa dingin, Ketika keduanya berpaling, diambang pintu terlihat In Bu Yang lagi berdiri mengawasi mereka, dengan senyuman tawar. V. BERTEMPURNYA NAGA DENGAN HARIMAU Kamar diterangi dengan api lilin yang ber-goyang2, tetapi tampak nyata wajah mengejek dari Bu Yang itu, yang terus bertindak masuk dengan ayal-ayalan. Nyonya In mengawasi suaminya, hatinya guncang, akan tetapi pada wajahnya, ia tidak memperlihatkan sesuatu, bahkan ia terus menggulung gambar itu. "Saudara Bu Yang, kau sudah pulang!" Thian Tok menyambut. "Kau tentu tidak menyangka aku pulang dengan begini cepat?" jawab orang yang ditanya, dingin. "Aku datang mencari kau untuk satu urusan penting," kata Thian Tok tanpa memperdulikan ejekan, "Sudah lama aku menantikan kau saudara Bu Yang, kau, kau dengar aku. . . ." Bu Yang maju satu tindak, dengan tajam ia menatap isterinya. "Poo Cu, aku mengucapkan terima kasih yang kau telah mewakilkan aku menyambut tamuku yang mulia," katanya, "Sekarang kau letakkanlah gambar itu dan pergilah masuk kedalam untuk makan obatmu." Nyonya In tidak mengatakan apa2, ia meletakkan gambar dari tangannya, tetapikedua kakinya tidak bergerak, Bu Yang mengawasi pula isterinya itu. "Baiklah," katanya pula, "Karena kau menyesali aku yang telah membohongi kau, tidak apa kau tidak mau pergi masuk, kau boleh berdiam disini untuk mendengarkan," "Saudara Bu Yang, kau dengar aku!" kata pula Thian Tok. "Tidak usah kau mengatakannya lagi," berkata Bu Yang, "Aku telah mengetahui maksud kedatanganmu ini." "Saudara Bu Yang, jangan kau bercuriga, aku siorang she Cio satu laki2 sejati, tidak nanti aku melakukan apa2 yan tak bagus terhadap sahabatnya," Bu Yang memperlihatkan wajah sungguh2. "Kau hendak pergi emana?" ia menanya. "Kau. . .kau hendak mengatakan. . . ." "Aku berterima kasih untuk kebaikanmu, Bukankah kau datang untuk ini ?" tangannya merogo kedalam sakunya, ketika ia menariknya keluar, maka berkelebatlah sebuah sinar kuning emas, dan Itulah Kimpay. "Kau telah bertemu dengan Cit Siu Tooheng dan Pouw Kian?" Thian Tok bertanya. "Bahkan aku telah usir mereka berlalu dari gunung ini!" sahut Bu Yang, "Dan kimpay ini sengaja aku tahan, supaya dengan begitu mereka tidak usah pergi membujuk lagi yang lain2 sahabat kita." Thian Tok senang mendengar itu. "Saudara Bu Yang, nyatalah kau telah ketahui semua! Tepat perbuatan kau ini! Aku puji padamu." Bu Yang tertawa dingin, kedua tangannya dirapat pada kimpay itu, atas mana kimpay tersebut lantas saja menjadi sepotong emas murni, ketika ia melempar, emas itu nancap ditanah, Sungguh suatu kepandaian istimewa! Ditempatnya sembunyi, Hian Ki tergoncang hatinya. "Coba kemarin itu bukannya So So yang mencegah, tentulah tubuhku sudah hancur luluh..." katanya dalam hati. Bu Yang tidak menyahuti Thian Tok, hanya dengan dingin ia berkata; "Jaman dahulu orang2 gagah bagaikan me-ngepung2 menjangan, aku berada bersama Sri Baginda almarhum, aku mengalami perang ratusan kali, atas semua itu, bertanya diri sendiri, tidak malu aku untuk kerajaan kita itu, Sekarang lain, sekarang ini dunia sudah berubah, seperti benda bertukar tempat dan bintang berpindah, sekarang ini aku siorang she In membenci peperangan, maka ingin aku hidup merdeka seperti burung bangau liar terbang diudara terbuka, untuk melewati hari2 yang tenteram dan aman, Sri Baginda sudah wafat, kerajaan Ciu suadah musnah, maka aku dengan keluarga Thio itu sudah tidak lagi mempunyai hubungan seperti raja dengan menterinya, Thio Cong Ciu sibocah cilik, cara bagaimana dia berani menggunakan kimpay untuk memanggil aku ?" Thian Tok terperanjat, Itulah kata2 yang tidak ia sangka2, Memang ia tidak setuju dengan sepak terjangnya siauwcu, sijunjungan muda, yang mau meminjam tenaga negara Watzu, akan tetapi menghadapi anak cucunya Thio Su Seng, siraja almarhum, ia masih menganggap dirinya sebagai menteri, sebagai hamba, maka heranlah ia akan Bu Yang, yang putusannya demikian tegas, Ia merasakan hatinya tergetar. "Jikalau begitu," katanya, menanya, "Ciu Goan Cianmg memanggil kau, kau juga tidak akan pergi, bukankah?" Bu Yang menjawab dengan temberang sekali; "Aku menjadi tuan atas diriku sendiri, aku pergi dan aku datang dengan merdeka,. . aku pergi, putusannya ada padaku, aku tidak pergi, putusannya ada pada aku juga! Perlu apa kau mencampurinya tahu?" "Kalau begitu bagaimana dengan semua sahabat2 lama kita? Kau masih memandang mereka atau tidak?" Thian Tok menanya pula. In Buyang mementang kedua matanya, mata itu bersinar tajam. "Apakah yang dibicarakan Poo Cu pada kau?" dia balik menanya. "Katanya kau telah bertemu dengan Lo Kim Hong!" "Memang!" kata pula Bu Yang dengan kejumawaannya, "Siapa aku senang melihatnya, aku menemuinya! Dan malam ini tidak senang aku melihat kau!" Thian Tok menyeringai, "Karena saudara jemu terhadapku, baiklah, aku minta diri!" katanya. "Eh, tunggu dulu!" Bu Yang mencegah, suaranya tetap dingin, "Kau tidak menghendaki lagi gambar ini?" Thian Tok telah mengangkat dadanya, dan segera ia berbalik pikir, Maka menyahutlah ia dengan suaranya yang pasti; "Dulu hari itu Sri Baginda almarhum telah menyerahkan gambar ini padaku, karena sekarang saudara sudah merdekakan diri, kau mau berbuat apa yang kau suka, hingga telah putus hubunganmu dengan kerajaan Ciu, baik juga gambar ini diserahkan padaku, untuk selanjutnya nanti kuserahkan kepada junjungan yang muda itu, Inilah memang baik sekali!" Bu Yang melirik kesamping. "Poo Cu, mari gambar itu kau serahkan padaku," katanya perlahan, Suaranya tenang akan tetapi sinar matanya berapi, dengan sendirinya Nyonya In menggigil. "Bu Yang," katanya, "kau. . . ." "Bukankah kau hendak menyerahkan gambar itu padanya?" tanya suami itu dingin, Ia menunjuk kepada Thian Tok, "Tapi gambar ini waktu dulu akulah yang mengambilnya dengan tanganku sendiri, maka sekarang sudah seharusnya aku mengembalikannya dengan tanganku sendiri juga," Ia menggeraki tangannya, menyambar gambar itu dari tangan isterinya, "Hm!" kembali suaranya yang dingin dan menyeramkan, Terus ia memandang Thian Tok dan berkata dengan keras; "Kau ambillah! Pheng Hweeshio telah mati, maka kau, Cio Thian Tok, kaulah sekarang orang kosen yang nomor satu! Dengan berani tengah malam buta kau datang kemari, mustahil kau tidak punya nyali untuk mengambil ini?" Thian Tok mementang lebar kedua matanya, tetapi ia masih dapat mengendalikan diri. "Saudara Bu Yang," katanya sabar, "Apakah maksudmu dengan kata2mu ini? Bukankah kita adalah sahabat2 dari pulhan tahun? Jikalau kau menghendaki gambar itu, akupun tidak ingin memaksa mengambilnya." Bu Yang tertawa terbahak. "Bagus, kau masih me-nyebut2 tentang persahabatan! Aku In Bu Yang, aku menerimanya dengan baik, Kau tidak mau mengambil gambar ini, tapi kau juga tidak mau pergi dari sini! Hm! harus kau ketahui, rumah ini adalah rumahku! Kau tidak mau berlalu dari sini, apakah kau anggap aku dapat dipermainkan?" Sekarang Thian Tok tak dapat mengendalikan diri lagi. "Bu Yang, kau bicaralah yang jelas!" bentaknya, "Aku segera akan beralu! Hm! Kau menghina aku, masih tidak apa, kau, kau. . ." Ia mau mengatakan "Kau merusak Poo Cu, bukankah?" tapi kata2 ini tidak sempat dikeluarkan, Bu Yang tidak menanti orang bicara habis, dengan wajahnya bermuran durja, dia menuding. . . "Hari ini kitqa bicara ber-lebih2an!" katanya nyaring, "Karena kau tidak mau lantas mengangkat kaki, baiklah, sekarang aku siorang she In mau minta pengajaran kau punya Tangan Besi dan Pit Sakti!" Dengan melemparkan gambar ditangannya, Bu Yang lantas menurunkan pedang Kungo-kiam dari tembok. "Buyang!" berseru nyonya In, "Kalau dua harimau berkelahi, salah satu pasti celaka, maka dengan tidak ada sebab musababnya, perlu apa kalian hendak mengadu jiwa?" Sang suami mendongak, ia tertawa terbahak. "Oh, Poo Cu, kiranya kau masih memperhatikan aku?" katanya, "Seorang lelaki tak mendapat kepercayaan dari isterinya, dia juga dicurigai sahabatnya, karena itu, apakah artinya dia masih tinggal hidup didalam dunia ini? Maka ingin aku terbinasa ditangannya, tetapi aku khawatir, dia tidak dapat mengalahkan aku! Thian Tok, kau cabut poakoan pit-mu, mari kita pergi keluar!" Wajah Nyonya In menjadi sangat pucat, Ia mencelat hatinya mengingat suami itu yang telah belasan tahun memperlakukan ia dengan tawar sekali, bahkan sekarang ini ia tidak diperdulikannya, Ia berdiri menjublak, dadanya dirasakan sesak, Itulah kedukaan dan kedongkolan yang bercampur menjadi satu, Ia merasakan hatinya diam, seluruh tubuhnya lemas, Maka tak dapat membuka mulutnya. Segera terdengar tertawa lebar dari Thian Yok; "Aku tahu kau telah berhasil meyakinkan kitab silat Tat Mo Kiamsut," katanya tawar, "karena itu kau sangat mendesak untuk dicoba padaku, baiklah, aku siorang she Cio terpaksa suka menemani kau!" Cio Thian Tok seorang ksatria dijaman itu, apabila ia tetap mengalah, akan merusak reputasinya, apalagi In Bu Yang telah membuatnya tak dapat mengelak lagi! Sang rembulan sudah turun kearah barat, jam sudah menunjukkan lima pagi, Kedua orang itu, dengan sama2 bungkam, berjalan keluar, Cepat sekali terdengar suara 'Sret!' dan In Bu Yang telah menghunus pedangnya, yang sinarnya berkelebat seperti halilintar. "Thian Tok, bukan keinginanku yang sebenarya untuk mencari menang sendiri," kata Bu Yang dengan perlahan, "karena dalam hal ilmu silat tangan kosong kau lebih unggul dari pada aku, aku terpaksa mesti menggunakan senjata tajam, Pedang ini adalah sebilah pedang mustika, yang dapat menabas kutung emas atau kumala, maka kau ber-hati2lah!" "Terima kasih untuk petunjukmu ini," berkata Thian Tok, "Tetamu tidak mendahulukan tuan rumah, maka kau mulailah!" In Bu Yang meletakkan tangan kirinya diatas pedangnya, lalu ia berseru panjang, menyusul mana pedang Kungo-kiam bergerak keatas, dalam jurus 'Bintang sapu mengejar rembulan', hingga tiga kali sinarnya berkelebatan, Ia telah menikam saling susul, dikiri kejalan darah pekhay-hiat, dikanan kejalan darah lengkiu-hiat, dan ditengah kejalan darah soanki-hiat, Ia tidak dapat menjalankan satu serangan seperti Cit Siu Toojin yang dapat menuju ketujuh arah, tetapi ini tiga, tidak kalah hebatnya karena sukar diduga arahnya yang tepat, Didalam hatinya, Thian Tok terperanjat! "Benar2 Tat Mo Kiamsut yang lihay," pikirnya, Ia lantas menutup dirinya, Maka 'Traang!' terdengarlah satu suara nyaring, dari bentroknya dua senjata, Ia tidak memakai tangan kosong tapi dengan poankoan pit, senjatanya yang menyerupai alat tulis itu, Ia menangkis dengan maksud menempel pedang lawannya, Hebat serangan si lawan, walaupun serangan itu tidak tepat sasarannya, toh ia merasakan telapak tangannya sakit, Hampir saja pit-nya itu terlepas dari cekalannya, Hal ini menambah keinsafannya akan lihay-nya lawan ini. Dengan gerakan yang sangat cepat, Bu Yang menarik pedangnya, untuk membebaskan diri dari tempelan senjata lawan, lalu dengan sama gesitnya juga, ia membabat kearah pinggang, Itulah jurus 'Ikat pinggang kumala melibat pinggang'. Thian Tok menangkis dengan cepat, bahkan kali ini ia menangkis seraya terus membalas menyerang, Dan ia menyerang tiga kali saling susul. Hebat desirannya kedua senjata, ber-kilau2 pedang mustika itu, hingga membuat suramnya cahaya bintang dan rembulan. Nyonya In menonton pertempuran itu sambil menyenderkan tubuh dijendela, Ia sangat berduka, Yang satu adalah suaminya, yang lain adalah sahabat karib semenjak masih kanak2, Sekarang mereka itu mengadu jiwa, pada waktu itu ia terlibat, jikalau ia maju tidak memihak, ia akan seperti menyiram minyak kepada api yang tengah berkobar, ia malah akan tambah merusak, Tapi jikalau ia berdiam saja, ia merasa akan sangat menderita, Makin ia berdiam, makin ia rasakan hatinya sakit, Hingga seperti kosonglah otaknya, tak tahu bagaimana harus berbuat, Ia diam menyender, tubuhnya bagaikan sepotong tonggak, hatinya bagaikan abu, dan akhirnya, ia merapatkan kedua matanya, membiarkan mereka itu bagaikan naga menggempur harimau. Kembali terdengar bentrokan hebat, mau tidak mau Nyonya In membuka kembali juga matanya, Nyata Bu Yang, dengan jurus 'Naga sakti masuk kelaut', sudah memaksa Thian Tok menangkis pula serangannya yang sangat dahsyat, Poankoanpit terbuat dari besi pilihan dan pemiliknya pun lihay, tetapi bentrokan itu membuat juga cacat ditiga tempat. Tidak mengherankan Nyonya In menjadi terkejut sekali, juga Hian Ki dari tempat persembunyiannya, dia hampir napasnya putus, Dalam kengerian itu, ia pun merasa sangat menyayangkan, menyayangkan kedua jago itu, andaikata salah satu mesti roboh, Bukankah mereka sama2 tersohornya? Cio Thian Tok sudah sekian lama, dan In Bu Yang baru saja? Hanya sayangnya lagi bagi pemuda ini, ia cuma bisa mendengar, ia tidak bisa melihat, sebab tidak berani ia keluar dari tempat persembunyiannya itu, Ia hanya 'melihat' dari suara bentrokan senjata saja. . . . Nyonya In sebenarnya tidak ingin menyaksikan lagi, tapi tanpa sadar, ia mengikuti terus setiap gerakan pedang dari suaminya, sejurus demi sejurus, hingga tak terasa tiga puluh jurus telah berlalu, hingga sekarang tampak tubuh Thian Tok seperti terkurung sinar pedang mustika itu. Dalam khawatirnya itu, Poo Cu pun merasa heran dan kagum, Cuma ia yang mengenal baik kepandaiannya kedua orang itu, Ia kagum untuk lihaynya sang suami, dan ia heran kenapa Thian Tok dapat terkurung hanya dalam tiga puluh jurus itu. Lagi2 terdengar suara 'Traaang!' ber-ulang2, Lagi2 poankoan-pit Thian Tok kena dipapas bercacat. "Cio Thian Tok" katanya, "ketika kau mulai, kau tidak bersungguh2, tetapi sekarang tahulah kau begaimana ilmu pedangku ini! Apakah kau kira aku In Bu Yang sudi mengalah padamu? Mari maju lagi, kau berlakulah hati2!" Bu Yang menantang sambil terus menyerang, pertama pedangnya diputar bundar, lalu ia menikam. Dua orang ini adalah sahabat dan kawan-seperjuangan, bersama2 mereka mengabdi pada satu junjungan, ber-sama2 mereka menghadapi musuh, pernah mereka ber-sama2 menderita, persahabatan mereka bagaikan saudara kandung, Ini juga sebabnya mengapa, walaupun ia sangat jemu terhadap In Bu Yang, Thian Tok tidak lantas berkelahi dengan sungguh2, Tapi kelemahan hatinya itu mendatangkan kerugian untuk dirinya, Nyata ilmu pedang Bu Yang lihay luar biasa dan ia kena didesak, Insaflah ia sekarang, tidak dapat ia main2 lagi, tak dapat ia mundur pula, se-konyong2 ia menyambar dengan tangan kiri yang kosong, terus itu disusul dengan pit-nya, bahkan terus-menerus sebanyak enam kali, ujung senjatanya itu mencari 36 jalan darah lawan, Maka pertempuran menjadi hebat luar biasa. Hian Ki cuma mendengar, ia tidak dapat melihat, tentu saja sama sekali ia tak tahu, apa yang terkandung dalam hati Bu Yang. Nyonya In, yang mengenal kedua pihak, menghela napas panjang, Ia mengerti pada Thian Tok yang sudah mencoba untuk mengalah, Itulah menandakan bahwa siorang she Cio tidak melupakan persahabatan mereka, Dipihak lain, Bu Yang berkeinginan membinasakan sahabatnya ini, Dengan cara berkelahinya itu, Bu Yang juga hendak mempertunjukkan kepandaiannya pada isterinya itu, Hanya karena kelicikannya ia memperlambat serangannya sementara, untuk memperlihatkan kebaikkan hatinya. . . . Yang hebat bagi Thian Tok, bukan saja pit-nya bercacat, bahkan ujungnya pun kena dibabat kutung, Maka poankoan-pit tidak lagi menjadi Sin Pit (poankoan-pit Sakti). . . Tapi Bu Yang gagal untuk membodohi isterinya, Nyonya In dapat melihat isi perutnya. . . Setelah merasa lebih unggul, Bu Yang menjadi besar hati, Ia percaya tidaklah sukar untuk mengalahkan Thian Tok, Tapi Thian Tok adalah jago tua, ia beda daripada dua puluh tahun yang lalu, maka itu bagaimana pun ia didesak, ia tetap dapat bertahan. Sang Rembulan telah turun semakin rendah, gelanggang pertempuran itu menjadi semakin guram, untuk kemudian diganti sinar sang fajar, Selama itu, seratus jurus telah berlalu, tetap mereka sama tangguhnya. "Sacaplakciu Thiankong Cianghoat benar2 lihay!" In Bu Yang memuji sambil berseru panjang, suaranya nyaring, "Tapi untuk berharap!" Sacaplakciu Thiankong Cianghoat itu ialah ilmu silat Thiankong Ciang yang terdiri dari 36 jurus, yang merupakan ilmu silat istimewa dari Cio Thian Tok, Dengan suaranya itu, Bu Yang memuji berbareng mengejek, Setelah itu, ia mencoba untuk mendesak pula, Kali ini ia mengubah gerakannya, Tampaknya pedangnya menjadi ayal, tetapi sebenarnya setiap serangannya bertambah berat, Dengan begitu agaknya Thian Tok cuma dapat bertahan saja. Pertarunganberlanjut terus, makin lama bertambah dahsyat, Hebat! beberapa pohon didekat mereka cabang2nya telah terbabat pedang, daunnya rontok berserakan, hingga pohon itu menjadi gundul. Nyonya In menyedot napas dingin. "Itulah pohon bwee yang paling disayangi Bu Yang, sekarang ia membabatnya dengan pedangnya, pikirnya, "Rusaknya pohon itu menandakan pada hatinya sudah timbul napsu membunuh." Tentu saja nyonya In menjadi semakin gelisah, sebab untuk mencegah, ia tak berdaya, Lagi dua puluh jurus telah berlalu, Thian Tok masih belum menggunakan tiga jurus simpanannya. Bu Yang terkejut ketika satu kali ia diserang, karena ia berkelit, serangan itu meminta mangsa patahnya sebuah cabang besar disampingnya, Ia lantas teringat; "Dia bersahabat erat dengan Pheng Hweesio, khabarnya paderi itu telah mengajari dia ilmu Hiankong- Yauwkoat, inilah rupanya ilmu itu, Nyata dia tak lebih lemah dari Pheng Hweesio. . ." Selagi Bu Yang berpikir, justeru serangannya Thian Tok datang pula, Ia menangkis dengan pedangnya, tetapi pedang itu kena tersapu mental. Itulah serangan yang kedua dari Thian Tok, yang segera disusul dengan yang ketiga, Serangan yang pertama dahsyat, yang kedua lebih dahsyat pula, tetapi yang ketiga ini aneh, hingga Bu Yang tercenggang, Beda daripada yang dua tadi, kali ini tidak ada suara anginnya, Dalam kagetnya, Bu Yang memberatkan tubuhnya dengan pasangan Ciankin twie, Toh ketika serangan datang, tubuhnya terputar, kakinya limbung, tanpa terasa lagi, ia roboh terguling. Nyonya In kaget, hingga ia menjerit, akan tetapi belum lagi suaranya berhenti, tubuh Bu Yang telah bergerak, memutar beberapa kali, dan dilain saat dia melompat bangun seraya pedangnya menyontek keatas, bahkan anehnya ia terus bisa menyerang hingga tujuh kali, maka punahlah ancaman dari Thian Tok. Sekarang terlihat cara berkelahi yang aneh dari Bu Yang, Tubuhnya berputar dan terhuyung, seperti orang lagi mabok yang sinting, pedangnya menikam ke berbagai arah, seperti tidak beraturan, tetapi dimata isterinya, itu mendatangkan keheranan dan kekaguman, Baru pertama kali ini isterinya itu melihat suaminya jadi demikian lihay. Segera juga Thian Tok terdesak mundur, tetapi baik tindakan kakinya, maupun gerakan tangannya, tidak jadi kalut, Maka itu, ia dapat bertahan hingga lebih dua puluh jurus lagi. Bu Yang menginsafi lawannya mahir tenaga dalamnya, ia melayani dibagian ini, Ia mau membuat lawannya itu kehabisan tenaga, Kelihatannya ia berhasil, desakannya telah mengurangi tekanan dari Thian Tok. Beberapa jurus kemudian, mendadak pundak Thian Tok kena tikaman, dilain pihak, kepalan Thian Tok pun mengenai sasarannya, hingga terdengar satu suara yang nyaring. Nyonya In terkejut, Ia tahu, suaminya terhajar terlebih parah, Tapi, ketika kedua orang itu betempur lebih jauh, lalu terlihat perbedaannya, Gerakan pedang menjadi terlebih kendor, sedang gerakan tangan Thian Tok menjadi terlebih ayal lagi. Hati Nyonya In menjadi ciut, Sekarang ia menjadi ingat akan isterinya Thian Tok, Ia ketahui nyonya Thian Tok tak pernah mendapat cinta suaminya, Maka kalau Thian Tok terbinasa, janda itu akan hidup sunyi dan menderita bersama anaknya yang piatu. . . Siapa yang akan mendidik anak itu, karena ibinya tidak mengerti ilmu silat? Sampai disini, Nyonya In lantas berpikir untuk datang melerai, Tapi ia terlambat. . Bu Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis, Tepat kedua senjata beradu, cepat poankoan-pit terbabat bagian tengahnya dan putus kutung! "Bu Yang!" teriak si isteri. Tapi pedang Bu Yang sudah berkelebat, tubuh Thian Tok lantas roboh, ketika ia dapat berdiri, tubuhnya itu berlumuran darah, Sebab pedangnya orang she In itu telah melukai delapan belas lubang, Ia ter-huyung2. "Saudara Bu Yang," ia berkata seraya menyeringai, "mulai saat ini, kaulah yang ilmu silatnya nomor satu dikolong langit ini, tidak akan ada yang dapat menandingi lagi, Saudara, aku beri selamat padamu!" Habis berkata, kembali jago itu roboh, Bu Yang mengawasi, tetapi mendadak ia menjadi sangat kaget, Sebab pada pundak Thian Tok yang bajunya robek itu, ia melihat kulit yang hitam. "Ah, ah, kau terkena kuku beracun dari Pouw Kian!. . ." jeritnya, Baru sekarang ia ketahui, Thian Tok menjadi lemah karena bekerjanya racun dari tangan Pouw Kian itu, racun tersebut dapat ditahan oleh Thian Tok untuk sementara waktu, tetapi karena dia harus bertarung mati2an, racun itu tak dapat ditahan lebih lama lagi, maka ditambah dengan luka2 pedang, habislah tenaganya. Dua kali lagi Bu Yang memanggil nama sahabatnya itu, Thian Tok tetap tidak menjawab, maka itu, ia menjadi berdiri menjublak dengan pedang ditangan, Ia merasa segala apa menjadi sunyi. . . . . VI. AYAH, IBU, ANAK - KEKASIH Sisa sinar dari bintang2 terlah sirna, sebaliknya sang embun mendemakkan baju, selain itu, pekarangan rumah sunyi senyap, sebab keadaan disekitarnya seperti membeku, Adalah dalam kesunyian seperti itu, mendadak terdengar tangisan sedu-sedan, bagaikan jarum yang lancip tajam menusuk udara yang kosong itu. In Bu Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan disisi pohon bwee, Isterinya itu tak berpaling sedikitpun juga kepada suaminya itu. Dengan sendirinya, hati Bu Yang bergetar, bagaikan semangatnya meninggalkan raga kasarnya, ber-ulang2 ia menyebut "Poo Cu" akan tetapi suaranya tak terdengar, panggilan itu tak pernah keluar dari mulutnya. Nyonya In berjalan lewat disisinya mayat Cio Thian Tok. "Thian Tok, kau legakan hatimu," katanya, perlahan tetapi tegas, "Gambar ini pasti aku akan antar kerumah kau, Akupun akan memperlakukan anakmu seperti aku merawati So So." Agaknya si nyonya kuatir akan membuat kaget jago tua itu. In Bu Yang meresakan hatinya seperti di-tusuk2 jarum, ia kehilangan akal budinya, disaat ia mengangkat kepalanya, bayangan punggung isterinya itu sudah menghilang dari pandangan matanya. Lama, lama sekali, barulah Bu Yang dapat mengeluarkan suaranya, Itulah suara dari kedukaan yang sangat, dari hati yang dalam, putus asa, Ia lantas merasakan takut, lebih takut daripada kepergian isterinya barusan, Ia baru menggeraki kakinya, lantas disitu muncullah puterinya yang muda belia, Tak tahu ia kapan anak itu datang, tahu2 si nona sudah tengah menyender disebuah pohon bwee, sinar matanya juga mengandung sinar kekhawatiran, sinar ketakutan, Kelihatannya anak dara ini seperti tak lagi mengenali ayahnya itu. "So So!" akhirnya Bu Yang memanggil, Ia telah berhasil menguasai dirinya, dan dapat membuka mulutnya itu. Sinar matanya sianak melintas kepada wajahnya sang ayah itu, kembali ia tampaknya seperti dapat melihat sesuatu yang membuatnya sangat takut, bahkan ia mundur tiga tindak! "Semua2nya aku telah mendengarnya!" katanya tajam, bagaikan teriakan, "Semua2nya aku telah mengetahuinya! Jangan mendekat padaku!" Tubah In Bu Yang bergidik, bergemetar, Tiba2 ia menarik napas panjang, Ia lantas saja memperdengarkan nyanyian yang seperti orang menangis; "Mengingat langit dan bumi yang demikian samar, siapakah yang mengenal aku? Mengingat akan hari ajal siksatria, menangpun apanya yang harus dibuat girang? Dan kalau kalah, apanya yang harus dibuat berduka? Beginilah kehidupan yang gampang menghilang, Burung hong terbang, burung loan melayang, maka itu siapakah yang nanti mengikuti aku?" Dengan diimbangi tindakan kaki, suara itu makin lama makin jauh terdengarnya, Terluka hatinya So So, air matanya bercucuran deras. "Ayah! Ayah!" ia memanggil tanpa merasa, Tapi ayahnya itu sudah tak lagi mendengarnya, Nona itu menyender pula pada pohon bwee, ia menangis ter-sedu2, sampai kemudian ada tangan yang halus dan hangat, dengan perlahan sekali membelai rambut kepalanya, Lalu disusul dengan satu suara yang sabar dan lembut; "So So, So So, jangan menangis. . . ." Si nona mengangkat kepalanya, Tiba-tiba; "Hian Ki!" panggilnya, Dan air matanya turun semakin deras. Hian Ki tak dapat mengatakan berkata apa2, ia mengeluarkan sapu tangan suteranya, denan per-lahan2 ia menghapus air mata si nona. Tak lama kemudian, sambil menangis segugukan, So So berkata; "Oh ayah! Ayah yang menyebalkan, ayah yang harus dikasihani! Hian Ki, kau tak tahu, semenjak masih kecil aku telah memandangnya ayah sebagai satu2nya ksatria dikolong langit ini, yang tak ada keduanya!. . . ." "Memang juga sekarang ini tidak ada orang yang dapat menandingi ayahmu," Hian Ki membenarkan. "Benar, mulai hari ini, ayahlah yang ilmu silatnya nomor satu paling lihay!" membenarkan juga sinona, "akan tetapi patung yang aku punya didalam hatiku sudah hancur lebur, dia bukan lagi seorang ksatria yang aku junjung! Dia sudah mencuri kitab pedang kakekku, dia telah memaksa ibuku mengangkat kaki, dia membunuh sahabat2nya, dia telah mengurung Siangkoan Thian Ya, bahkan dia tak segan membantu komandan Kimi-wi itu untuk membekuk rekan2nya! Semua itu aku ketahui sekarang!" "Dia mengurung Siangkoan Thian Ya?" tanya Hian Ki heran, "Ah, dimanakah Siangkoan Thian Ya sekarang?" "Tadi malam aku telah bertemu dengan Siangkoan Thian Ya," menyahut Sinona, "Banyak hal yang dia telah menceritakan kepadaku, Didalam dua hari ini, aku telah pula mendengar sesuatu hal, Aku percaya Siangkoan Thian Ya tidak membohongi aku, Ya, ayahku memanglah siorang busuk!" Hian Ki merangkul nona itu, ia menatap matanya, dimana air mata mengembang, siar matanya sayup-sayup, menandakan hatinya terluka. Memang, didalam dunia ini ada urusan pribadi, Apakah yang dapat melebihi putus asanya seorang anak terhadap ayah atau ibunya? "Kau legakan hatimu," Hian Ki menghibur, Tanpa merasa ia mencium pipi orang. "Mungkin semua ini bukanlah kesalahan ayahmu seorang," katanya pula, So So mengawasi; "Bukankah kau hendak membunuh dia?" ia menanya. Sipemuda menghela napas; "Inilah urusan yang sangat ruwet, benar salahnya, sekarang ini sulit untuk dijelaskan," ia menyahut, Ia mendongak, melihat sinar matahari sudah tiba didalam pekarangan, Ia melepaskan kedua tangan sinona, yang ia pegangi, lalu ia berbangkit untuk berdiri. "Ibuku sudah pergi, ayahku sudah pergi, apakah kau juga hendak pergi?" menanya So So, mengawasi. "Ah," Hian Ki seperti mengeluh, "jikalau kau memerintahkan aku pergi, akan aku pergi.." Sinona menangis pula; "Baiklah, kau pergilah. . . ."katanya. Pemuda itu melengak; "So So, benar2kah kau menghendaki aku pergi?" ia menegasi. "Aku tidak menghendaki kau pergi, tetapi aku juga tidak sudi orang jemu terhadapku," jawab sinona. Hian Ki heran; "Apakah maksudmu?" ia menanya pula. "Aku tahu dihatimu sudah ada seorang lain, ialah nona yang kau paling menyintainya..." Mendengar itu, Hian Ki tertawa; "Didalam dunia ini dimana ada lain nona yang lebih manis dari pada kau?" katanya, "Rupa2nya kau mendengar hal ini dari Thian Ya." "Apa dan perlunya Thian Ya mendustai aku?" Hian Ki tertawa pula; "Nona itu justeru adalah nona yang paling manis dimatanya Thian Ya sendiri! Dan nona yang diukir didalam hatiku adalah kau!" So So mengawasi, sinar matanya penuh dengan kesangsian; "Benarkah itu?" menegasinya dengan perkahan. "Siangkoan Thian Ya menyintai nona itu, melebihi ia menyintai dirinya sendiri," Hian Ki berkata pula, "Tetapi dia menyangka bahwa cinta nona itu dengan cintaku adalah perjodohan yang paling manis dan cocok, Sebenarnya, sama sekali aku tidak berpikir demikian, Berulang kali telah aku menjelaskan kepadanya, tetap ia tak mau mempercayainya, So So, apakah kau juga tidak percaya padaku?" Mata sinona bersinar terang; "Pantas Siangkoan Thian Ya juga telah mencaci aku," katanya, "kiranya dia khawatir aku nanti akan merusak perjodohan kamu," "Baiklah, segala apa sudah terang sekarang!" kata Hian Ki, "Mari kita pergi kepada Thian Ya, untuk membebaskan dirinya." "Tidak, dia tidak mau dirinya dibebaskan!" "Apa? Dia tidak mau pergi?" "Benar! Tadi malam dia bilang padaku, sekalipun ayahku yang melepaskan dia pergi, dia masih tak mau pergi!" Hian Ki menjadi heran sekali; "Kenapa dibebaskan tetapi dia masih tidak mau pergi, Tabiatnya benar2 aneh!" "Aku justeru menyukai tabiat orang semacam dia!" kata So So, yang terus menunduk, "Ah, Hian Ki, dapatkah kau juga bertabiat seperti dia itu?" Hian Ki bertambah heran; "Kau menghendaki tabiatku seperti tabiat dia?" katanya, Tiba2 datang sinar terang didalam hatinya, maka lekas ia menambahkan perkataannya, menambahkan dengan halus; "Bisa, aku juga bisa bertabiat seperti dia terhadap nona itu, aku menyintai kau melebihi aku menyintai diriku sendiri! Jikalau tidak, tidak nanti tadi malam aku mencuri datang kemari!" So So girang bercampur jengah, hingga ia menjerit "Ah!" tanpa terasa, menyusul mana ia dipeluk pula oleh sipemuda. "So So, aku minta kau antar aku kepada SiangKoan Thian Ya," ia minta. Sinona merapikan pakaiannya, terus ia pegang tangan sianak muda, untuk ditarik, dituntun melintasi pintu belakang, Mereka jalan disebuah jalan kecil yang banyak tikungannya, hingga tidak lama kemudian tibalah mereka dimuka sebuah goa, yang kedua pintunya besar dan tebal, tertutup rapat. "Goa ini dibuat dan diperlengkapi ayahku untuk berlatih silat," So So menerangkan, "Aku sendiri baru tadi malam untuk pertama kalinya memasukinya secara diam2, Siangkoan Thian Ya dikurung didalam goa ini." Nona ini bertindak hingga tepat didepan goa. "Coba kau putar gelang pintu itu," ia berkata pada Hian Ki yang mendampinginya, "Kau putar kekiri tiga kali, lalu kekanan tiga kali juga, nanti pintu terbuka sendirinya." Hian Ki lantas bekerja menuruti petunjuk nona itu, Hanya ketika tangannya menyentuh daun pintu, ia merasakan sesuatu yang aneh, ia lantas mendorong dengan perlahan, lalu terjadilah hal aneh, Kedua daun pintu itu roboh menjublak, roboh hancur menjadi banyak potongan kecil2, mirip dengan dempur. So So heran, hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan; "Eh!, mengapa begini?" katanya. Daun pintu itu terbuat dari semacam pohon kayu yang terdapat digunung Holan-san itu, kayu yang kuat, dibuatnya pun tebal, dalam keadaan biasa, untuk mendobraknya dengan golok atau kampak pun akan meminta tenaga dan tempo yang lama, siapa tahu sekarang didorong perlahan saja sudah rubuh, Ketika tadi malam So So datang kesitu, pintunya masih kokoh dan kuat, Bagaikan tak percaya akan diri sendiri, sinona menatap sipemuda, Ia mendapatkan orang heran berbareng tak tenang hatinya. "Mari," kata sinona, Ia mengajak sianak muda menyentuh daun pintu yang hancur itu, mereka hanya menggunakan sedikit tenaga, potongan2 kecil itu lantas menjadi abu. "Inilah akibat satu serangan tenaga dalam," kata Hian Ki kemudian, "Rupanya orang itu sengaja hendak mempertontonkan kepandaiannya yang mahir itu, lihaynya ialah dia merusak bagian dalam, bagian luarnya pintu tampak wajar saja." "Benar, inilah akibat serangan tenaga dalam," si nona membenarkan, "Hanya sekarang ini siapakah yang tenaga dalamnya begini sempurna?" Hian Ki tidak menjawab, ia hanya berpikir, Kalau Cio Thian Tok masih hidup, ia mau menduga jago she Cio itu, tetapi menurut pembicaraan Thian Tok dan Nyonya In kemarin, dia cuma memikirkan usahanya untuk junjungannya yang muda, dia tidak mengenal Siangkoan Thian Ya, Maka pengrusakan pintu itu pasti bukan perbuatannya Thian Tok Itu, Habis , siapakah? "Hian Ki, kau memikirkan apa?" menanya si nona melihat orang menjublak. "So So," Hian Ki tidak menjawab, hanya balik bertanya, "Tadi malam jam berapa kau datang kesini?" "Kira-kira dekat jam empat," menyahut si nona. "Ah, itu waktu dia dengan Thian Tok sedang bertempur. . ." katanya seorang diri. "Eh, kau memikir bagaimana?" tanya So So, "Mengapa kau me-nyebut2 ayahku? Mungkinkah ayah yang merusak kamar berlatihnya sendiri? jikalau ayah mau melepaskan orang, tidakkah dapat ia membuka saja pintunya?" "Memang benar, Inilah yang menjadi anehnya!" Si nona pun berpikir keras, Pintu bukan dirusak Thian Tok, Kalau begitu, masih ada seorang lain yang dapat menandingi kelihayan ayahnya, Siapakah dia itu? Apakah dia berbuat demikian untuk menantang kepada ayahnya. "Mari kita masuk akan kita lihat kedalam," Hian Ki mengajak, "Entah bagaimana dengan Thian Ya. . . .Thian Ya! Thian Ya! Hian Ki me-manggil2. "Saudara Siangkoan, bagaimana dengan kau?" Tidak ada jawaban dari dalam goa, dan tak terdengar suara apapun juga. Hian Ki gelisah, cemas hatinya, Ia menduga Thian Ya tengah terluka parah, Maka ia berlari masuk, Tiba didalam, ia berdiri melengak, goa itu kosong, Dengan pintu besarnya runtuh, cahaya matahari dapat masuk kedalam dan segala apa tampak jelas, Siangkoan Thian Ya tidak ada disitu. So So menjadi terlebih heran dari pada sianak muda, Ia bahkan kaget. "Dia yang mengatakannya sendiri, kalau bukan dia yang menerjangnya, tidak nanti dia sudi berlalu dari goa ini?" katanya seorang diri, "Siapa pun yang memintanya, dia bakal menolak, Dia rela mengubur diri digunung belukar tetapi dia tidak sudi menerima belas kasihan siapa juga! Tapi sekarang?" Hian Ki berpikir, tetapi matanya memandang kesekitar goa, Ditembok itu terdapat banyak lukisan mengenai ilmu silat pedang, tegas terlukis berbagai bentuk gerak, Ia memperhatikannya, tetapi tidak mudah untuk ia segera dapat mengerti. "So So," kemudian ia bertanya pula pada si nona; "Bagaimana caranya kau bertemu Siangkoan Thian Ya dan apakah katanya?" Si nona tidak lantas menjawab, Ia hanya berkata; "Aku hidup digunung ini semenjak dari kecil, kecuali dengan ayah dan ibuku, sangat jarang aku bertemu dengan orang lain, Ada kalanya aku turun gunung untuk berburu, tapi belum pernah aku melintas lebih jauh daripada lima li dari sekitar sini, Hanya tak tahulah aku, sejak hari itu aku melihat kau untuk pertama kali, lantas aku mendapat perasaan, bahwa kau mirip orang yang terdekat denganku. . . ." "Inilah aneh, Kenapa perasaan kita serupa? Ketika hari itu aku tersadar, begitu melihat kau, aku lantas merasa kaulah adikku dengan siapa aku belum pernah bertemu." Kedua belah pipi si nona menjadi bersemu merah dadu. "Ketika tadi malam aku memberi makan kuda putihmu, aku lantas teringat kau, " katanya perlahan, "maka itu aku lantas lari keatas gunung dimana aku menabuh khim, Apakah kau mendengar itu?" "Aku justeru kena ditarik oleh suara khim dan nyanyianmu itu," Hian Ki mengaku. "Aku tidak menyangka bahwa demikian dalam kesanmu terhadap aku, Semoga mulai hari ini kita berdua tak bakal berpisah lagi!" So So menyingkap rambutnya, ia tersenyum manis, Cuma sebentar ia memandang sianak muda, lantas ia menunduk. "Sembari menabuh khim, aku terus memikirkan kau," ia berkata pula, mengaku. "Aku ingat halnya kau hendak membunuh ayahku, Tegang hatiku, aku cemas sekali, Itulah bukan disebabkan kau dapat membinasakan ayah, Ayah pernah berkata, jikalau kau mau melawan ayah, untuk dapat mengimbangi saja, kau masih harus belajar lagi sedikitnya sepuluh tahun, Aku hanya berkhawatir untuk ayahku, Aku sangat memuja ayah, maka takut aku bahwa ia benar2 seorang jahat? Dan aku menguatirkan keselamatanmu andaikata kau dapat bertemu dengan ayah, Tanpa aku berada bersama, ayah dapat membunuhmu! Disebelah itu aku memikirkan segala apa yang aku lihat dan dengar selama dua hari ini, Dimataku, semua perbuatan ayah tak wajar adanya, lebih2 kenapa ayah tidak sudi mengembalikan kitab pedang itu dan dia mengurung Siangkoan Thian Ya. .?? Ya, ayah bersikap tidak manis terhadapmu, hal itu membuat aku malu sekali, Maka itu, sebagai seorang yang berdosa, yang hendak menebus dosanya itu, ingin aku berbuat sesuatu untuk menyenangi hatimu, Untuk itu, aku juga bersedia untuk berbuat baik terhadap orang yang biasa berbuat baik terhadapmu, Demikian, aku jadi ingat Siangkoan Thian Ya, Bukankah dia telah datang kemari dengan menempuh bahaya? Bukankah dia telah sudi melepaskan kedudukan sebagai Ciangbunjin partainya, bahkan dia rela tak mendapatkan kitab pedang, asal itu semua dapat ditukar dengan kebebasanmu? Aku juga berpikir kau pastilah hendak menolong dia." "Siangkoan Thian Ya dialah sahabatku, satu2nya orang yang mengenal aku dengan baik sekali," berkata Hian Ki, "Cuma dia masih belum dapat menyelami hatiku sebagaimana yang kau buat, Aku heran, kenapa pikiranmu selalu sejalan dengan pikiranku, begitu juga hati kita berdua terangkap menjadi satu?" Tanpa terasa keduanya saling memegang tangan mereka dengan erat sekali, Kemudian si nona menghela napas perlahan; "Sebenarnya ayahku sangat menyayangi aku," ia menambahkan, "maka mimpi pun tak terpikir olehku, bahwa aku bisa menentangnya, Demikian tadi malam aku telah berlaku dengan diam2 datang kemari unuk membuka pintu goa ini, untuk menolong membebaskan Siangkoan Thian Ya, Sebenarnya aku takut pada sikapnya yang bengis itu, tetapi aku telah mengambil keputusan, andaikata ia salah mengerti dan hendak menghajar aku, aku tidak akan membalasnya." "Adikku, kau baik sekali!" Hian Ki memuji, kagum, Ia tahu betul, kecuali ibunya sendiri yang bijaksana tidak ada orang lain daripada si nona In ini yang begini polos. "Benar saja, pada mula kami bertemu, dia bersikap garang sekali," So So melanjuti, "Cuma tidaklah sampai dia menyerang aku, setelah dia mendengar perkataanku, aku lihat dia menggigil, tubuhnya gemetaran, Dia bilang sungguh dia tidak menyangka bahwa aku sudi berlaku demikian baik hati terhadapnya, Mulanya dia tertawa, kemudian dia menangis rupanya saking terharu, kemudian dari itu, kau tahu, dia mendamprat aku! Dia menegur aku, aku tahu atau tidak bahwa kau telah mempunyai kekasih. . . ." "Salah faham itu tadi aku telah menjelaskannya," kata Hian Ki tertawa, "Apa lagi katanya dia?" "Aku menahan sabar, aku pendam kesedihanku, aku membiarkan dia mencaci aku," menyahut si nona, "Aku tetap berlaku baik padanya , Aku bilang, jikalau dia menghendaki kitab pedang, aku akan mencurinya untuknya, supaya dia boleh dapat pergi, Aku pun mengatakan pada dia bahwa kau sudah lolos dengan selamat, oleh karena itu, tidak ada artinya untuk dia, berdiam lebih lama pula disini, bahkan lebih baik dia mengambil kitab pedang dan kabur, sebelum ayahku pulang, Diluar dugaanku, kembali dia memperlihatkan tabiatnya yang keras." "Demikian memang tabiatnya Siangkoan Thian Ya!" kata pula Hian Ki, tertawa. "Dia bilang kitab pedang itu, adalah kepunyaan partainya Butong-pay, maka itu katanya, perlu apa dia mengambilnya dengan jalan mencuri, Dia memastikan, kecuali dia dapat mengalahkan ayah, hingga ayah rela menyerahkannya kembali, biarpun aku mengambil untuknya, biarpun dia disuruh pergi, tidak sudi dia lakukan, Dia telah bersumpah bahwa dia lebih suka mati daripada berbuat begitu, Sambil tertawa dingin, dia berkata: "Ayahmu sengaja berlaku bijaksana, dia seperti bermaksud baik untuk menolong aku, tetapi aku tidak sudi menerima kebaikannya itu, Kitab itu adalah milikku! Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya itu." Mendengar sampai disitu, Hian Ki sudah mengetahui maksud Siangkoan Thian Ya, Maka ia tertawa pula; "Kau lihat semua lukisan diempat penjuru tembok itu," ia berkata kepada si nona, sambil tangannya menunjuk kesekeliling tembok, "Bukankah itu gambar dari ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat?" "Mungkin benar," menyahut si nona, "Aku mempelajari Tat Mo Kiamhoat itu baru tiga bagian, semua yang aku pelajari berada dalam gambar ini, Kau lihat itu gambar jari tangan, itulah ilmu silat Itci Sian, Aku mengerti sekarang, ayah telah melukiskan disini semua kepandaiannya, maka itu siapa dapat meyakinkan semua ini dengan sempurna, dia lebih unggul daripada belajar menuruti kitab ilmu pedang itu, Ayah mengurung Siangkoan Thian Ya disini, rupanya ia bermaksud Thian Ya dapat mempelajarinya, Sekarang tidak mengherankan lagi, bila Thian Ya tidak ingin berlalu dari goa kurungannya ini!" So So mengatakan demikian, tetapi ia heran juga, sebab Thian Ya akhirnya menghilang juga. . . "Menurut tabiatnya Thian Ya," kata Hian Ki, "Asal dia sudah bersumpah tidak mau pergi, meskipun langit runtuh dan gunung ambruk dan goa ini tertimbun, tidak nanti dia lari keluar, tetapi sekarang dia menghilang, inilah aneh." Keduanya berpikir, keduanya berbicara lebih lanjut, dengan dugaan2 mereka, tetap mereka tidak mengerti, tidak ada kesimpulan yang tepat, Hian Ki menjadi masgul sekali. "Dia sudah pergi, tidak ada gunanya kita berdiam disini lebih lama pula," kata So So kemudian, "Mari kita pulang, Kau tentunya sudah lapar," Hian Ki menurut, maka mereka kembali kerumah, melihat rusaknya lantai dan rumah bwee, yang daunnya rontok berhamburan, keduanya berduka, Rumah yang tadinya tenang dan asri, sekarang kacau tidak karuan, Segala apa tampak menyedihkan dan menyeramkan. "Coba pinjamkan aku pacul," Hian Ki minta, So So carikan alat yang diminta itu, Ia mengerti maksud orang. "Kau bekerjalah sendiri!" katanya sambil memberi hormat, "Aku mau berganti pakaian sekalian akan memasak sesuatu untukmu," "Pergilah," menjawab sianak muda, yang terus saja bekerja, Ia menggali lubang, yang mana memakan waktu juga, sesudah itu ia memondong tubuhnya Cio Thian Tok untuk dikubur disitu, dikubur menurut cara yang paling sederhana, Tidak ada perlengkapan, tidak ada upacara, hanya kemudian, diatas sana ditumpuk cabang2 pohon dan dedaunan, Ia menjadi sangat terharu melihat demikian mengenaskan akhir dari seorang gagah perkasa, yang pernah mengeluarkan tenaga untuk membela negara. Belum lama Hian Ki selesai bekerja, So So muncul dengan pakaian baru, Si nona tidak lantas menghampiri, ia hanya menyender dipintu. "Eh, mengapa kau menjublak memandang aku?" menegur ia sambil tertawa geli, Memang Hian Ki mendelong mengawasi dia, "Apakah kau belum kenal aku?" "Dengan dandananmu ini, ya, kau sungguh cantik!" memuji sianak muda, yang terpesona, hanya setelah itu, ia menghela napas, Ia masih sedih dan penuh dengan berbagai dugaan. "Ada apakah yang luar biasa?" tanya si nona, "Bajuku ini aku buat menurut pola yang dirancang ayahku, katanya inilah pakaian dari jaman tigapuluh tahun yang lalu, yang ketika itu sangat digemari, Dan ini sepatu sulam dengan dua ekor burung hong dan bertabur mutiara, sekarang sudah sangat jarang orang yang memakainya." "Ibuku juga mempunyai sepatu semacam ini," berkata Hian Ki, "Ibu menyimpan itu didalam koper, satu kali aku pernah melihatnya, cuma belum pernah aku melihat ibu memakainya." Si nona berdiam sebentar, lalu berkata pula; "Karena ini adalah dandanan tigapuluh tahun berselang, tidak heran jika ibumu masih menyimpannya," Ia berkata demikian, tapi sebenarnya, iapun heran. So So mengatur barang hidangan dikamar tulis, Ia memasak dua macam sayur yang disukai Hian Ki, Sebenarnya Hian Ki ingin memujinya, tetapi saat itu ia masih terbenam dalam kedukaan, dan ia hanya mengucapkan: "Terima kasih!" "Sebenarnya kau sedang memikirkan apa?" si nona tanya kemudian, Pemuda itu mengangkat kepalanya. "Tidak," sahutnya sembarangan. Si nona tertawa; "Aku tahu kau tengah memikirkan ibumu!" katanya, "Itu hari ketika kau tidur, kau telah mengingau me-manggil2 ibumu itu, Sungguh bahagia ibumu itu yang mempunyai anak berbakti seperti kau," Habis berkata begitu, nona ini mendadak ingat ibunya sendiri, ia menjadi sedih sendirinya, saking sedihnya, ia sampai tak dapat menangis dengan bersuara. Hian Ki bisa memahami kesusahan hati orang, ia membelai rambut nona itu. "Ibuku pasti akan menyukai kau," kata dia perlahan, "Mulai hari ini, dalam hidupku ada dua orang yang terdekat dan menyintai aku, yang satu ibuku, yang lain adalah kau." Airmatanya So So mengucur deras, Ia berduka berbareng bahagia. "Ah, baru aku ganti baju, sekarang basah lagi oleh air mata," katanya malu. "Memang!" berkata sianak muda, "Siapa suruh kau suka menangis? Mari kita bicara dari hal2 yang menggembirakan!" "Ya aku ingat sekarang," berkata si nona, "Bukankah waktu itu kau mengatakan bahwa kamar tulismu mirip dengan kamar tulisku ini? Sayang sekarang ini pohon2 bwee pada gundul, Entah sampai kapan aku mempunyai kesempatan bagus akan dapat pergi melihat rumahmu itu. . . ." Betapa senang Hian Ki mendengar kata2 itu, tetapi bersamaan dengan itu, iapun sedikit terkesiap, Entah kengapa, ia menjadi bersangsi, Semakin ia memperhatikan kamar tulis ini, makin ia merasakan sesuatu yang aneh, Ia merasa seperti juga kepalanya ditindih bayangan gelap, hingga ia sukar bernapas. . . . "Ah, kau nampaknya ketakutan?" menanya So So, yang mengawasi wajah orang, sebab sianak muda diam saja, matanya memandang kesekeliling kamar, mata itu seperti lenyap sinarnya. Mendadak Hian Ki berjingkrak bangun; "Berada dirumahmu ini benar2 aku merasa takut," ia mengaku, "So So, maukah kau mengikut aku pergi?" Si nona tertawa manis; "Tentu saja aku akan ikut kau!" sahutnya. Pemuda itu bernapas lega, Ia pun lantas merasakan tubuh yang lemah lembut dari si nona berada dalam pelukannya. Pada saat itu pemuda ini merasakan pikirannya me-layang2 karena dimabuk cinta itu, Se-konyong2 ia mendengar satu suara keras dan dingin; "Kau lepaskan anakku!" Ia menjadi kaget sekali, begitu juga So So, bahkan nona itu lompat berjingkrak, Ia melihat ayahnya, yang tiba2 sudah berada didalam kamar tulis itu, berdiri didepan mereka sejarak lebih kurang tiga kaki, wajah ayahnya itu bermuram durja, mukanya pucat seperti tak ada darahnya, Tangan kanan ayahnya itu kemudian diangkat per-lahan2. Anak ini dapat menduga maksud ayahnya itu. "Jikalau kau mau bunuh dia, kau bunuhlah aku sekalian!" berseru ia pada ayahnya itu. Kepalan Bu Yang seperti tertunda ditengah udara, lalu kemudian dengan sama perlahannya seperti tadi, diturunkan pula, Iapun lalu menghela napas. "Mana ada niatku untuk membunuh orang lagi?" katanya, "So So, kau suruh dia keluar, hendak aku bicara denganmu." Nada suara ayahnya ini bukan lagi nada suara memerintah dari seorang ayah, terdengar seperti nada seorang sahabat yang memohon sesuatu, So So pun lantas melihat wajah ayahnya yang dingin itu masih memancarkan sinar kecintaan orang tua kepada anaknya, Dengan sendiri hatinya menjadi terharu. . . "Hian Ki, kau keluarlah sebentar," ia meminta pada sianak muda, suaranya sangat perlahan. Sianak muda menurut, maka sebentar saja didalam kamar tulis itu tinggallah siayah dan anak gadisnya berdua saja, Mereka berdiri berhadapan, saling mengawasi, Mereka biasanya adalah orang yang paling dekat satu dengan lainnya, akan tetapi sekarang mereka bagaikan orang asing yang tak saling kenal. Beberapa saat kemudian, sinar matahari mulai menjadi meredup. "Didalam hidupku ini cuma kaulah seorang yang aku paling sayangi," kata sang ayah kemudian, "apapun dapat aku korbankan kecuali kau." "Aku tahu itu, ayah," menjawab sianak. "Ibumu telah pergi," berkata pula siayah, "Selama belasan tahun ini, aku mengerti hatinya ibumu itu, ia terlarut dalam kedukaan, begitu juga aku, kapankah aku tidak pernah berduka? Tentang rumah ini, sebenarnya sudah tidak aku hendaki lagi, tetapi masih ada sesuatu, jikalau tidak aku memberitahukan itu pada kau, setelah aku mati nanti, pastilah hatiku tak akan tenang, maka itu sekarang aku kembali lagi kesini, Sesudah aku menjelaskan, suka kau mengakui aku sebagai ayah, bagus, tidak suka kau mengakuinya, juga bagus, terserah padamu!" So So mengangkat kepalanya; "Ayah, bicaralah," berkata sang anak. "Sebenarnya anakmu tak dapat meninggalkan kau. ." VII. TANGANNYA IN BU YANG Bu Yang menghela napas panjang; "Selama beberapa hari ini kau telah melihat semua, kau mendengar semua juga," berkata ayah ini, "Ibumu, Tan Hian Ki, juga Siangkoan Thian Ya, pasti telah meceritakan sesuatu tentang diriku kepadamu, maka tidaklah heran jikalau kau sangat menyesalkan aku." "Tan Hian Ki tidak mengatakan sesuatu apa tentang diri ayah," menerangkan sianak. "Aku tahu apa yang mereka ceritakan, Semua itu benar atau salah, tidak mau aku membantahnya, Memang waktu dulu itu aku pernah berupaya merampas kitab ilmu pedang kakekmu itu, dan sekian lama aku telah memperlakukan sikap dingin pada ibumu, itu juga merupakan suatu kenyataan, jikalau mereka mencela aku, aku tak akan gusar." Kedua tangannya So So bergemetaran, dengan itu ia menutup wajahnya. "Kenapa ayah perlakukan dingin pada ibu?" dia menanya, "Aku dengar, diwaktu ibu menikah dengan ayah, ibu sudah mengorbankan cintanya seorang ayah dengan anak gadisnya, Ialah ibu telah membantu ayah mencuri kitab ilmu pedang itu, Apakah perbuatan ibu itu terhadap ayah masih belum cukup?" "Dalam hal itu memang aku yang telah tidak berbuat selayaknya," In Bu Yang mengaku, "Sebenarnya saja aku menikah dengan ibumu itu hanya untuk kitab itu." Si nona menjerit tajam, ia mundur dua tindak, Bukan main sakit hatinya, Tidak pernah ia menyangka ayah ini akan mengaku terus terang secara demikian, Maka benarlah segala apa yang telah diceritakan orang kepadanya. Terdengar In Bu Yang berkata pula, dengan sabar sekali; "Anak, kau polos dan bersih sekali," katanya, "Kau tidak mengijinkan orang berbuat kesalahan sedikit juga, Adakah cuma karena urusan ini, maka kau menjadi takut?" "Apakah cuma karena ini?" sianak mengulangi, "Belasan tahun kau telah memperlakukan sikap dingin terhadap ibu, apakah itu suatu urusan kecil?" "Bu Yang tertawa, tertawa sedih. "Selama hidupku, aku telah melakukan sejumlah kesalahan," ia berkata pula," apa yang dikatakan mereka itu, ada yang dusta, Tapi, Andaikata semua itu benar, itupun tidak berarti apa2, Yang paling membuat aku penasaran adalah satu kesalahan besar yang telah aku lakukan, Di-kolong langit ini tidak ada seorang juga yang mengetahuinya, Selama belasan tahun itulah yang membuat aku sangat menyesal, Ya, So So, mengertikah kau apa yang membuat hati orang menjadi paling sengsara? Itulah saat melakukan suatu dosa tanpa diketahui orang lain, tidak ada orang yang menegurnya, hingga dia menjadi tersiksa sendirinya, tersiksa bathinnya, Inilah hukuman yang paling kejam dikolong langit ini! hendak kuberitahukan padamu, Untuk itu aku bersedia untuk kau tegur, untuk kau ludahi. . . ." Inilah hal yang tidak di-sangka2, In Bu Yang yang demikian kosen, seorang jago, berbicara secara demikian menyedihkan, ia mirip seorang penjahat didepan seorang hakim, hingga ia rela meminta teguran puterinya sendiri, Tadinya mukanya pucat, sekarang paras mukanya itu menjadi merah, Itulah tanda dari perasaannya yang bergolak hebat, dari dalam hati nuraninya, Akan tetapi So So juga mendapat goncangan hati yang terlebih hebat lagi, awalnya dia kaget, lalu dia menjadi heran, akhirnya dia menjadi ketakutan, menjadi patut dikasihani. "Ayah, kau bicaralah," katanya, suaranya gemetaran, "Kesalahan besar apa juga yang telah kau lakukan, So So tetap anakmu." Bu Yang lalu mengerutkan alisnya, sekarang ia dapat mengutarakan itu. "Pada dua puluh tahun yang lalu. . ." katanya, "Ah, tunggu dulu, hendak aku melihat siapa yang telah datang berkunjung. . ." So So ingin meminta ayahnya cerita terus, tetapi ketika ia sudah memasang telinganya, ia mendengar suara tak wajar, awalnya jauh dipekarangan luar, tetapi cepat juga telah berada dipekarangan dalam, Itulah suara dari beberapa orang. "So So, kau berdiam saja didalam kamar, jangan kau keluar," berkata sang ayah, Ia kelihatannya sangat gelisah, jauh melebihi daripada datangnya Cio Thian Tok. So So melihat keluar dari antara jendela, Ia melihat lima orang tua berdiri berbaris didalam pekarangan dalam rumahnya, Tiga diantara Toosu (imam) itu, yang dua adalah orang biasa, hanya yang satu bertubuh gemuk dan yang satunya lagi kurus, mereka ini mirip dengan seorang dusun dan seorang su seng. In Bu Yang tertawa ter-bahak2; "Butong Ngoloo datang berbareng sungguh suatu kehormatan untukku!" berkata ia dengan nyaring, Butong Ngoloo itu ialah lima tetua dari Butong-Pay. So So terkejut, Ia pernah mendengar namanya lima tetua itu dari ayahnya, Butong-Pay diakui umum sebagai suatu partai persilatan yang besar dijaman itu, dan muridnya pun paling banyak, diantaranya ada murid imam, ada juga murid orang biasa, artinya yang tidak mensucikan diri, dan ketiga imam itu adalah Tiangloo2 dari Butong-san, yaitu Ti Wan Tiangloo siketua, Ti Honag Tiangloo si-penilik, dan Ti Kong Tiangloo kepala dari pendopo Tat Mo Ih, Orang yang mirip orang dusun itu ialah Ciu Tong, salah tetua Butong-Pay dari kalangan orang biasa, dan yang seperti guru sekolah ialah Kok Ciong, juga satu tetua dari kalangan orang biasa itu, hanya yang satu dari Butong-Pay golongan Utara (Pak Pay), yang lain dari golongan Selatan (Lam Pay), Mereka ini berdua satu diSelatan dan satu lagi diUtara, terpisah jauh satu dengan lainnya, tetapi sekarang mereka ber-sama2 tiga tetua dari Butong-san, inilah bukan kejadian yang biasanya. "Tanpa ada urusan tidak berani kami datang berkunjung," berkata Ti Wan Tiangloo, "Hari ini kami datang untuk meminta orang." Imam ini bicara dengan singkat dan terang tentang maksud kedatangannya itu. In Bu Yang sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan orang, Coba Butong Ngoloo datang pada dua hari yang lalu, pastilah ia akan menganggap mereka mengancam dan dia bakal menjadi gusar sekali, Tapi sekarang, setelah ia mengalami peristiwa tragis belakangan ini, hatinya telah menjadi dingin. "Kamu meminta orang, inilah gampang," sahutnya, "Silahkan masuk dulu kedalam untuk minum teh." Jawaban ini diluar dugaan kelima tamu itu, Mereka menyangka bakal menemui kesulitan, tidak disangka, Bu Yang lantas saja menerima baik. "Dimana adanya Siangkoan Thian Ya sekarang?" Ti Hong tanya, "Apakah kau sudah berbuat sesuatu atas dirinya, ahli waris dari Butong-Pay kami?" Ciu Tong adalah seorang yang keras adatnya, tanpa menanti Ti Hong berhenti bicara, ia sudah turut bicara. "Jikalau gampang, lekas kau antar dia keluar!" bentaknya, "Siapa mempunyai selera untuk meminum air tehmu?" Wajah Bu Yang menjadi muram, akan tetapi ia masih dapat mengendalikan diri, Ia mendongak dan tertawa bergelak. "Jikalau Ngoloo tak sabar hatinya, ayolah kita pergi," ia menjawab, "Mari kita lihat apakah aku orang she In telah memperlakukan tak selayaknya kepada ahli waris kamu." "Ayah!" berkata So So dari balik jendela, Ia mengetahui ayahnya bakal kecele, Ia hendak melompat keluar jendela, ketika ia mendengar ayahnya berkata dengan lunak; "So So, tak usah kau campur urusan ini, Aku berjanji padamu, hari ini aku hendak berbuat murah hati untukmu, kau jangan khawatir," Selagi ayahnya berkata, mereka telah berjalan keluar dari pintu besar, dan mulai ber-lari2 mendaki bukit, Suara Bu Yang itupun dikeluarkan melalui tenaga dalam. Si nona menjadi bingung, ia berlari keluar untuk menyusul, Baru ia menikung ia telah melihat ayahnya itu bersama Butong Ngoloo sudah berada didepan pintu goa, Hanya Bu Yang segera menjadi kaget sekali, sebab pintu goa itu telah ambruk runtuh, Ia mendahului berlari masuk kedalam goa itu, kemudian dengan murka ia berseru; "Kamu sudah bekerja sama merusak pintu goaku ini, sekarang kamu datang untuk meminta orang!" ia lantas menyangka, menuduh lima tetua itu. Ti Hong pun menjadi terlebih murka; "Kau seorang kesohor!" bentaknya, "Kenapa kau berdusta macam begini?" "Dimana kau tahan ahli waris kami?" Ciu Tong menanya, "Benarkah kau telah menganiaya dia ?" Dalam murkanya, jago Pak Pay ini sudah lantas menyerang dengan pukulannya 'Mega menutup gunung Chong San,' lima jari tangannya menyambar ketulang pipee dari tuan rumahnya. Bu Yang tertawa dingin, belum lagi serangan itu tiba, ia sudah menangkis sambil menyambar dan diteruskan dengan satu tarikan, maka tak ampun lagi, Ciu Tong kena ditarik keluar goa, Diambang pintu, tuan rumah itu berdiri tegar!. "Jikalau kamu hendak bertempur, ayolah di-luar!" tantangnya, "Jangan didalam, nanti kamu membuat rusak kamar semedhiku!" Ti Wan Tiangloo sabar sekali; "Kami bukan bangsa buaya darat," ia berkata, "maka silahkan kamu berdua menghentikan pukulan kamu, Mari kita bicara dulu, untuk mengetahui kenyataan, benar atau salah akan terbukti belakangan." Kata2 itu kelihatannya menegur kedua pihak, tetapi sebenarnya Ciu Tong yang dilindungi. Bu Yang sangat gusar, tetapi untuk menjaga derajat, ia menahan sabar, Ia telah bertekad untuk melayani mereka itu. Ti Wan yang berjalan paling belakang, Ia memeriksa ketanah dipintu; "Kisu mengatakan pintu goa ini kami yang merusaknya," ia berkata, tenang, "Kisu adalah seorang kenamaan, pasti kau dapat melihatnya, Kami memang mengerti sedikit ilmu silat, tetapi ini bukanlah perbuatan kami, Kisu periksa sendiri, bukankah ini hanya serangan tangan dari satu orang? Kenapa Kisu menuduh kami, adakah ini disengaja?" Hati Bu Yang tercekat, Ia lantas memeriksanya, Memang benar, kalau dihajar berlima dengan berbareng, akibatnya tidak nanti berupa demikian macam, Ia telah terlanjur menuduh, Ia menduga demikian karena Thian Tok sudah mati dan ia menyangka tidak ada orang lain yang melebihi Thian Tok kecuali Butong Ngoloo ini, Sekarang ia disenggapi imam tua itu. "Ya, aku telah melihat keliru," katanya mengaku, "Kalau begitu, Siangkoan Thian Ya sudah melarikan diri." "Hm!" Ti Hong Tiangloo tertawa dingin, "Pintu goa ini kau yang menggempurnya sendiri, sekarang kau menuduh kami, bagus benar! Apakah maksudmu?" "Dia sudah mengaku salah sudahlah," Ti Wan Tiangloo menyelak, "Sekarang kami cuma perlu meminta orang!" "Kau telah mengurung ahli waris kami, lalu kau juga sengaja merusak pintu goamu!" Ciu Tong campur bicara, "Hm! Kau sengaja hendak menimpakan kesalahan kepada orang lain! Sebenarnya, apakah yang telah kau perbuat atas ahli waris kami itu?" Makin hebat pertanyaannya rombongan Butong Ngoloo itu. In Bu Yang menjadi gusar; "Untuk membinasakan seorang Siangkoan Thian Ya, perlu apa aku sampai memakai segala akal begini?" ia berseru, "Asal aku lemparkan dia kegunung untuk dimakan serigala, lalu aku menyangkal, apa yang bisa kalian lakukan?" Alasan ini dapat diterima baik, Memang, perlu apa Bu Yang memakai akal yang ber-belit2 itu, bahkan sampai merusak sendiri pintu goanya? Tetapi, Butong Ngoloo berpendapat: "Kecuali In Bu Yang, tidak ada orang lain yang setangguh dia." Bu Yang berkata pula; "Kamu lihat bagian dari goaku ini, ditembok penuh segala coretan ilmu silat yang sedang aku yakinkan, dengan ini kamu bisa menduga kenapa aku kurung Siangkoan Thian Ya didalam goa ini, Mungkinkah kamu tidak dapat mengerti maksudku yang baik?" "Tetapi itulah kata2mu sendiri!" kata Ti Kong dingin, "Siapa yang mengetahui maksudmu yang sebernarnya?" "Memang!" Kok Ciong membenarkan kawannya itu, "Kau mengurung dia disini atau tidak, siapakah yang mengetahuinya? Seandainya saja benar kau kurung dia disini, habis itu kau menggempur pintunya, bukankah itu berarti kau berniat kurang baik terhadap dirinya?" "Kecuali kau cari Siangkoan Thian Ya, kalau tidak, iblis juga tak akan mempercayaimu!" Ti Hong putuskan. Selagi Bu Yang belum sempat menjawab tetua Butong-Pay itu, tiba2 terdengarlah satu suara yang halus tetapi terang; "Memang benar Siangkoan Thian Ya dikurung didalam goa ini, akan tetapi pintunya bukanlah ayahku yang menggempurnya!" Di antara mereka segera muncul seorang nona, Mereka semua lantas berpaling dan mengawasi nona itu. "Nona In, kau hendak menjadi saksi untuk ayahmu?" Ti Hong Tiangloo tanya, Pertanyaan itu bersifat mengejek. So So berdiri tegak, sikapnya halus tetapi keren; "Memang aku menjadi saksi dipihak ayahku," ia menyahut, tenang. "Tadi malam aku sendiri telah datang kemari dan aku telah bertemu muka dengan Siangkoan Thian Ya, Adalah maksudku untuk menolong membebaskan dia, tapi ia menolak." Ia terus menoleh kepada ayahnya dan berkata; "Ayah, kau toh tidak memarahi aku bukan?" "Nona In bermaksud baik sekali!" kata Kok Ciong tertawa. "Memang juga, dibawah pimpinan panglima gagah tak ada serdadu yang loyo!" Ti Hong turut mengejek. Jelaslah mereka tidak mau percaya nona itu, In Bu Yang menjadi sangat mendongkol dan gusar, Tidak apa orang tidak mempercayai dia, tetapi anak gadisnya tidak dipercaya juga, inilah hebat, itulah suatu penghinaan terhadap dirinya, Tiba2 saja ia menghajar sebuah batu besar didekatnya hingga batu itu pecah hancur berhamburan! Butong Ngoloo terkejut, segera mereka mengambil sikap bersedia untuk bertempur. "Kau memaksakan keteranganmu, karena kau tidak berhasil, kau menjadi malu dan gusar, bukankah?" Ti Wan Tiangloo tanya. "Untuk bicara dengan pantas, aku mesti melihat dulu, pihak sana pantas diajak bicara atau tidak!" berkata Bu Yang, sambil tertawa terbahak, "Karena kau bilang aku memaksakan, baiklah, sekarang aku memaksa! Siangkoan Thian Ya adalah seorang anak muda, ia dari tingkatan bawah, tetapi terhadap aku dia berlaku kurang ajar, Diwaktu tengah malam buta, dia lancang naik gunung ini dan memasuki rumahku, maka itu aku bekuk dia dan membunuhnya! Sekarang boleh kamu pergi mengundang kaum Rimba Persilatan untuk mereka memberikan keputusannya!" Butong Ngoloo saling mengawasi, Mereka terbenam dalam keraguan, Benarkah kata2 orang ini atau dia hanya berdusta? Ti Wan Tiangloo biasa menghargai diri sendiri, biarpun Bu Yang berkeras, ia lihat dari pada itu bukannya tidak ada alasannya, Maka itu ia berkata dengan sabar; "Jikalau benar Siangkoan Thian Ya memasuki tanpa tujuan yang jelas, sekalipun kau membunuh dia, aku tidak dapat mengatakan apa2, Tetapi kau telah mencuri kitab ilmu pedang dari Butong-Pay, dialah ahli waris kami, maka itu dia datang untuk meminta kembali kitab itu, maka kenapa kau berani mengatakan dia datang tanpa alasan?" Wajah In Bu Yang sedikit berubah, akan tetapi ia menoleh kepada puterinya dan berkata; "Sekalipun kata2nya seorang muda tak dapat terlalu diandalkan, maka itu lain kau mesti berlaku waspada, Aku melihat Siangkoan Thian Ya sebagai seorang pemuda yang berbakat baik, kiranya diapun membohongi aku!" Memang Siangkoan Thian Ya mengatakan dia diutus Bouw It Siok, bahwa halnya kitab pedang itu dia tidak pernah memberitahu kepada orang lain, bahwa sebelum dia datang kegunung Holan-san ini, dia sudah menitipkan sepucuk surat pada Ti Wan Tiangloo, surat mana baru boleh dibuka Ti Wan andaikata berselang satu tahun kemudian, tak ada kabar beritanya tentang dirinya, Tapi sekarang, dalam tempo yang pendek, Butong Ngoloo telah datang bersama, bahkan mereka segera me-nyebut2 tentang kitab ilmu pedang itu, Seandainya Siangkoan Thian Ya tidak berdusta, maka jelas sudah Ti Wan Tiangloo sudah lancang mendahului membuka suratnya itu, sebelum watunya satu tahun, Dengan mengatakan Thian Ya membohongi dia, Bu Yang hendak memberi peringatan kepada puterinya, supaya puterinya ini pun jangan terlalu percaya pada Tan Hian Ki, agar anaknya ini nantinya tidak sampai kena diperdaya. Ti Wan Tiangloo melengak mendengar perkataan tuan rumah ini. "Dalam hal apakah Siangkoan Thian Ya telah menipu kau?" ia bertanya. Suratnya Thian Ya memang telah dibuka oleh Ti Wan, dibuka dengan segera, tanpa menghormati pesan Siangkoan Thian Ya untuk menanti satu tahun kemudian, Inilah disebabkan terutama karena Ti Wan sendiri pernah mendapat khabar angin, bahwa In Bu Yang telah mencuri kitab pedangnya Bouw Tok It, Ketika ia menerima suratnya Thian Ya itu, dan Thian Ya lantas pergi tanpa pamitan lagi, ia sudah lantas menduga urusan kitab itu, Tentu saja ia menjadi curiga dan menguatirkan murid itu yang telah menjadi ahli waris, maka ia buka surat orang dan langsung bertindak mengumpulkan kawan dan segera menyusul ke Holan-san ini, dengan maksud membantu atau menolongi si ahli waris itu. In Bu Yang menjawab; "Siangkoan Thian Ya telah menipu aku, sudah saja, hitung2 mataku buta, Tentang itu tak usah dibahas lagi, Sekarang kau menyebut tentang kitab ilmu pedang, baiklah, mari kita bicarakan tentang kitab itu, Aku adalah menantunya keluarga Bouw, dan kamu sendiri? Kamu pernah punya hubungan apakah? Mertuaku itu bekas Ciangbunjin dari partaimu, tetapi kitab pedang yang ia dapatkan itu belum tentu milik partaimu itu, Didalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada semacam aturan, Seandainya mertuaku ada pesannya bahwa ilmum pedangnya itu tidak dapat diwariskan kepada anak perempuan dan mesti cuma kepada ahli waris, yang kemudian menjadi Ciangbunjin, nah! aku minta, kamu tunjukkan surat wasiatnya itu!" Inipun suatu alasan yang dipaksakan In Bu Yang, tetapi karena itu, merah mukanya Ti Wan Tiangloo, tidak dapat dia alasan untuk menjawab. Melhat itu, Kok Ciong melirik kepada tiga kawannya yang lain, dari berduduk, ia bangun berdiri, Dengan dingin, nadanya seram, ia berkata; "Mertuamu itu terbinasa ditanganmu yan berbisa, dia mati secara mendadak, walaupun dia berpikir untuk menulis surat wasiatnya, sudah tidak ada ketikanya lagi!" Mendengar ini, So So kaget bukan kepalang, Tiba2 ia teringat; "Ayah pernah mengatakan bahwa seumur hidupnya ia pernah melakukan satu kesalahan besar, yang membuatnya menyesal, adakah ini adalah kesalahannya itu? Jikalau benar ia membunuh kakekku, mustahil ibu dapat tetap tinggal bersama dengannya untuk banyak tahun? Seharusnya, tidak menunggu sampai sekarang, ibu sudah harus pergi meninggalkannya. . ." Bu Yang bermuram durja, Pada matanya tampak sinar membunuh, mendadak saja, ia mendongak dan tertawa panjang. Kok Ciong adalah murid kepala dari Bouw Tok It, Dan pula ia lebih tua sepuluh tahun dari pada Bouw It Siok, Katanya ketika Bouw Tok It meninggal dunia, orang yang mendampinginya adalah dia sendiri bersama It Siok, Maka itu, dengan kedudukannya itu, tidak mungkin Kok Ciong sembarang menuduh Bu Yang. So So menjadi sangat bekhawatir, ia memandang ayahnya itu. "Aku siorang she In telah berdosa dimatanya orang banyak, itu terjadi bukan cuma urusan ini saja!" katanya nyaring, "Tapi semua tuduhan itu kosong belaka! Butong Ngoloo, hari ini kalian datang, sikap kalian sangat galak, kiranya kalian datang untuk menegur aku, Baiklah, aku tidak mau membantah lagi, Kalian menghendaki cara apa, silahkan kalian menyebutnya, sekalipun menghadapi pedang atau golok, tak nanti aku mengerutkan keningku!" Hati So So bergoncang pula, kata2 ayahnya ini terang menyatakan Kok Ciong memfitnah belaka, Melihat sikap ayahnya, itulah jelas bukan sikapnya orang yang berdosa, melihat itu lega juga hatinya, tetapi tetap ia ragu2, benar atau tidak kakeknya terbinasa ditangan ayahnya itu. . . . Kok Ciong tertawa pula dengan dingin; "Memang biasa seorang berdosa besar, bisa dia memainkan lidah!" katanya, "Kau boleh mengatakannya aku memfitnah, tetapi kematian guruku itu akulah yang menyaksikan dengan mataku sendiri! Adakah kau kira Kok Ciong seorang pendusta? Mungkinkah aku hendak memfitnah dirimu?" In Bu Yang mengangkat kepalanya, ia mengawasi kelima orang itu, sikapnya jumawa; "Kau berdusta atau tidak, cuma kau sendirilah yang mengetahuinya!" ia berkata, "Sudah aku katakan, tidak mau aku membantah, Perlu apa kau banyak bicara lagi?" Ia mengangkat alisnya, ia menambahkan dengan nyaring: "Untukku, julukan siorang berdosa besar tetaplah sudah, maka itu, baiklah, mari aku menambah itu dengan melakukan satu kedosaan besar lainnya! Maafkan aku, Ngoloo, Sekarang aku mau menahan kalian!" Ti Hong menjadi sangat murka; "In Bu Yang!" serunya, "Kau sangat takebur! Berapa tingginya kepandaian kau, maka kau berani manahan kami? Hendak aku lihat, hari ini siapakah yang bakal mengubur tulang belulangnya digunung belukar ini!" Butong Ngoloo adalah bagaikan gunung Thay San atau bintang Pak Tauw dalam kalangan Rimba Persilatan, jangan kata mereka berlima, satu saja diantaranya tidak nanti berani orang permainkan, Sekarang In Bu Yang tidak memandang mata pada mereka, mereka hendak "dibereskan," tidak aneh mereka menjadi gusar, lebih2 Ti Hong yang beranggasan. "Hari ini kau hendak menahan kami, itulah bagus!" kata Kok Ciong dengan tawar, "Kami disebut tiangloo dari Butong- Pay, tetapi kami belum pernah menyaksikan ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat yang diwariskan oleh Couwsu kami, maka sekarang adalah saatnya yang paling baik untuk belajar kenal, Andaikata kami berlima mesti roboh ditanganmu, itulah berharga, supaya dengan begitu dunia akan mendapat tahu lihaynya ilmu silat partai kami!" Kok Ciong ini dikenal sebagai 'Imkan Siucay,'(Sastrawan Neraka), maka itu bisa dimengerti jikalau dia licin sekali, Dengan kata2nya itu, diluar ia memuji In Bu Yang, dilain pihak ia menyindir Bu Yang, yang telah mencuri ilmu silat Butong-Pay, dengan apa dia menantangi murid2 Butong-Pay sendiri, maka itu, menang atau kalah, muka Bu Yang tidak bakal jadi terang cemerlang. Sepasang alisnya Bu Yang bergerak pula, kembali dia tertawa lebar; "Kamu bersikukuh bahwa Tat Mo Kiamhoat adalah ilmu pedang Butong-Pay, baiklah!" katanya, "Hari ini aku siorang she In tidak hendak menggunakan pedang, aku hanya akan melayani kalian dengan sepasang tangan kosong! Kalian lihat bisa atau tidak aku menahan kalian!" Habis sabarnya Ti Hong, tanpa mengatakan apa2 lagi tinjunya melayang! Berbareng dengan itu, Butong Ngoloo mendengar suara tertawa yang nyaring dan panjang, yang seakan menulikan telinga, lantas mereka melihat tangannya Bu Yang bergerak laksana kilat, Setelah itu, diantara bentroknya dua tangan Ti Hong roboh terbanting, menyusul mana tangan kirinya siorang she In, ialah dua jarinya, mencari jalan darah giokkoat dan imhiat dari Kok Ciong, Itulah dua jalan darah yang utama, yang tidak sembarang orang dapat menotoknya, Rupanya saking panas hatinya, Bu Yang mengarah kedua jalan darah itu, kalau dia tidak lantas binasa, sedikitnya tubuhnya akan bercacat. Maka itu, melihat demikian, Ti Kong dan Ciu Tong kaget tidak terkiar, keduanya berseru, sambil berseru, mereka melompat maju, Mereka ini ilmunya lebih lihay dari pada Ti Hong, tangan mereka masing2 menyambar kedada dan perutnya siorang she In itu. "Bagus!" Bu Yang berseru seraya segera mengubah cara bergeraknya, Ia bukannya menangkis, hanya jari tangannya memapaki Ti Kong, Tepat ia mengenai jalan darah Kiokti, hingga seketika itu juga, sebagian tubuhnya tiangloo itu seperti mati kaku, hingga dia terhuyung dua tiga tindak. Bu Yang tidak berhenti sampai disitu, sikutnya bekerja terus, mampir ditubuhnya Ciu Tong, hingga dia ini jago Butong-Pay dari Utara, pinggangnya mesti melengkungmelengking, menyusul itu, dengan tangan geledek berantai, Bu Yang terus meninju punggungnya Kok Ciong, Hanya kali ini, belum lagi tinjunya itu sampai pada sasarannya, ia merasakan dorongan angin yang keras sekali, hingga ia mesti membatalkan serangannya itu seraya memutar tubuhnya, untuk berkelit, Tetapi ia tidak cuma berkelit, hanya dengan kedua tangannya, ia menahan dorongan yang luar biasa itu, Maka bentroklah empat buah tangan. Penyerang itu, yang menolongi Kok ciong, adalah Ti Wan Tiangloo, orang tertangguh diantara Butong Ngoloo. "Roboh!" berseru In Bu Yang, yang tak berhenti hanya karena rintangan itu, Kedua tangannya, dengan masing2 terlentang dan tengkurap, bergerak dengan sangat dahsyat menghalau tangannya Ti Wan Tiangloo, hingga tetua Butong- Pay ini mesti terhuyung beberapa tindak, Masih syukur untuknya, dia tidak sampai terguling roboh. Lagi2 In Bu Yang memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring dan lantang, karena sekarang ia berpikir; "Aku tidak menyangka Butong Ngoloo seperti gentong nasi saja! Ti Wan sendiri cuma dapat menyambut tiga jurusku!" Sebenarnya ia hendak menyindir mereka itu, dilain saat terlihat Ti Kong bersama Ti Hong, Kok Ciong dan Ciu Tong, pada berlompat bangun, bahkan dengan mengambil posisi empat penjuru, mereka maju mengurung. Sekarang Bu Yang memandang enteng sekali pada kelima lawannya itu, Kata dia sambil tertawa dingin; "Hm! Serombongan kambing menyerbu harimau galak! Apakah faedahnya jumlah kalian yang banyak?" Baru sekarang Bu Yang terkejut, Insaflah dia, apabila satu lawan satu, mereka itu tidak berarti banyak, tetapi apabila mereka bergabung, mereka merupakan lawan yang tangguh, Ia memangnya tidak mengetahui, apabila mereka bekerja sama, empat jago Butong itu menjadi hebat sekali, empat seperti berubah menjadi delapan, Hanya mundur satu tindak, Ti Hong berempat sudah mengambil kedudukan mereka kembali, sekalu lagi mereka maju dengan berbareng. Bu Yang telah merasakan tenaga mereka, sekarang ia tidak berani memandang enteng lagi, Dan lantas ia memasang kuda2nya, kedua tangnnya dirangkap, tidak lagi dipisah seperti tadi, Ia pun mengeluarkannya dengan perlahan, Maka sekarang tenaganya tidak terpencar lagi, Kali ini ia berhasil, dan ia tidak sampai terhuyung, keempat jago Butong itupun tidak dapat maju setengah tindak juga, walau dengan penyerangan tergabuung itu. Ti Wan yang menyaksikan pertempuran itu, matanya menjadi seperti menyala, mukanya menjadi suram, Itulah pertanda bahwa ia sangat gusar, Ia lantas bertindak maju, perlahan saja tindakannya itu, In Bu Yang dapat melihat sikap dari tetua Butong-Pay itu, ia mengeluh dalam hatinya, Melawan empat jago saja ia sudah merasakan berat sekali, Tapi terpaksa ia mengempos semangatnya, dan mengerahkan tenaga dikedua tangannya itu. "In Bu Yang, berkata Ti Wan Tiangloo sambil mengkertak gigi, "hari ini beberapa tulangku yang tua hendak aku serahkan padamu!" kata2 ini disusul dengan diulurnya tangannya, yang satu dikasih turun dari atas kebawah. Ancaman Ti Wan ini adalah batok kepalanya Bu Yang, Berbareng dengan itu Ti Hong berempat juga menyerang serentak. Bu Yang mencoba mempertahankan diri, ia merasakan hampir sukar bernapas, Ia tidak kalah, tetapi lawannya itu dapat bergerak maju satu tindak. Tipi silat Butong Ngoloo ini ialah yang dinamakan 'Ngolui Thiansim Cianghoat'(tangan lima- geledek), Kehebatannya ialah lima menjadi satu, Dengan ini mereka berhasil mendesak lawan, sia2 Bu Yang mempertahankan diri, pihak lawan dapat maju sedikit demi sedikit, Maka akhirnya ia berpikir, tidak dapat terus ia bertahan dengan cara demikian. Kembali bersinar cahaya matanya jago she In ini, Mendadak saja dia berseru disusul dengan melayangnya tangannya yang kiri, diarahkan kepada Ti Hong, salah satu lawan yang paling lemah. Imam ini terkejut, dengan sendirinya ia kena digertak beberapa tindak, Melihat itu, Bu Yang girang sekali, Maka hendak ia melompat untuk menerjang keluar, Tapi ia menjadi kaget ketika ia merasakan batok kepalanya tersambar angin, Ia mengerti itulah serangan dari belakangnya. Memang itulah serangan Ti Wan Tiangloo berdua Ciu Tong, mereka itu masing2 menggunakan sepasang tangan mereka. Dalam kagetnya, Bu Yang berkelit untuk menghindar, karena itu ia batal menerjang keluar, sebaliknya ia menjadi terkurung kembali. "Kepala, dan buntut berantai, dari empat penjuru menyerang berbareng," Ti Wan memberi isyrat perlahan kepada keempat kawannya, "Jangan terlalu maju." Ti Hong berempat mengangguk perlahan. Benar saja, habis itu serangan mereka tidak sehebat tadi, sebaliknya pertahanan mereka semakin kuat, kemana saja Bu Yang menyerang, ia seperti membentur tembok yang kokoh kuat, Beberapa kali ia mencoba menerjang, walau sudah berusaha kesudahannya tanpa hasil. Beberapa saat kemudian, kening Bu Yang telah bermandikan keringat, Dari kepalanya pun keluar hawa seperti asap. So So merasa cemas hatinya, Ia belum mahir dalam hal ilmu tenaga dalam, tetapi ia mengerti bahwa ayahnya telah mengerahkan tenaganya melebihi batas kekuatannya, Itu artinya ancaman bahaya untuk ayahnya. Mendadak, Butong Ngoloo berbareng berseru, berbareng mereka mendesak dengan serangan, diikuti dengan majunya kaki mereka satu tindak, Ti wan Tiangloo pun ikut menyerang dua kali dengan beruntun. Kelihatannya Bu Yang sangat terdesak, ia bagaikan tak kuat untuk balas menyerang, Dengan begitu kelima lawan dapat merangsek lebih jauh. "Walaupun kitab pedang Butong-Pay kami dapat kau curi," berkata Ti Wan dengan dingin, "kau yang sangat kesohor ilmunya, In Bu Yang, tidak nanti kau dapat menahan tulang2 tua dari kami, Kau sekarang akan tunduk bukan? Hm! Kau sendiri boleh jumawa, hendak kau melenyapkan orang lain, tetapi kami orang2 Butong-Pay, kami bukannya bangsa jahat dan busuk, asal kau mau menyerah dan suka mengangguk tiga kali kepada kami sambil mengembalikan kitab pedang itu, suka kami berlaku murah hati, akan kami memberi ampun pada jiwa kecilmu!" Mendengar itu, kedua matanya Bu Yang bersinar pula, Tetapi ia tidak menunjukkan kemurkaannya, sebaliknya, ia tertawa; "Kau bicara tentang melenyapkan nyawa, tentang jahat dan busuk? Ha, kau justeru menyadarkan aku!" jawabnya. Ti Wan terkejut juga mendengar perkataan orang itu, Maka ia segera memberi tanda kepada kawan2nya, ia lantas menyerang pula dengan hebat, untuk mencegah lawan mendapat kesempatan untuk membebaskan diri. Beberapa jurus kemudian, dengan satu suara nyaring, pundak Bu Yang kena terhajar kepalannya Ti Kong Tiangloo. "Ayah!" teriak So So, "bukan kau yang membunuh kakek, mengapa kau tidak mau membantah?" Nona ini berkata demikian, tetapi sebenarnya ia tak tahu apa2 tentang sebab kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia lihat roman ayahnya, dan ia mau percaya bahwa ayahnya bukanlah sipembunuh. Bu Yang telah terkurung, ia sudah merasakan bagaimana rasa pukulan, akan tetapi ia masih dapat tersenyum, cuma mulutnya saja yang tidak mengeluarkan suara. Terdengar lagi, satu kali suara 'Duk!' dan kali ini Ti Wan Tiangloo yang dapat menyerang dengan jitu, Imam ini lebih lihay dari pada empat kawannya, maka itu robeklah baju dipunggungnya siorang she In, hingga dipunggung itu terlihat jejak tapak tangan yang merah. "Ayah, inilah pedangmu!" So So berteriak, Ia memegang Kungo-kiam, hendak ia menghunus pedang itu, untuk diserahkan kepada ayahnya, Ia tidak dapat melihat saja ayahnya terdesak demikian rupa, Benar Bu Yang sudah menantang dengan tangan kosong, tetapi dia dikeroyok berlima, inilah tidak adil. Baru sekarang Bu Yang membuka suaranya, Ia menyahut sambil tertawa jumawa; "So So, sejak kapan perkataan ayahmu tidak dapat dihormati?" Begitu orang she In itu bicara, justeru lagi2 ia dirangsek, Tampaknya sekarang ia sudah tidak dapat mundur lagi, justeru itu, ia berseru keras sekali, disaat berseru, sinar matanya bentrok dengan sinar mata puterinya, So So menjadi kaget dan ketakutan, Ia melihat sinar mata ayahnya itu , seperti sinar mata pada waktu sang ayah membinasakan Cio Thian Tok. "Ayah, jangan!" sang anak berseru, untuk mencegah, Belum habis suaranya anak ini, terlihat Bu Yang dengan mendadak menurunkan kedua tangan kedengkulnya, Dengan berkelit secara demikian, serangan dari kelima tetua Butong-Pay itu mengenai tempat kosong, Setelah itu, tubuh Bu Yang terlihat berputar bagaikan angin puyuh, kedua tangannya bergerak, sepuluh jarinya dipentang, lalu diluar dugaan, Butong Ngoloo pada roboh terguling, tidak sempat mereka itu menjerit, pada paras muka mereka terlihat roman mengerikan. Bu Yang lantas sudah berdiri tegar, kedua tangannya berhenti bergerak, Dengan tawar ia berkata; "Aku siorang she In ini bodoh, tetapi akhirnya dapat juga aku menahan Butong Ngoloo!" Ti Wan berlima tidak dapat mengatakan apa2, yang ada hanya suara ditenggorokannya, yapi kata2nya tak keluar, Rupanya jalan darah mereka sudah tertutup. "Ayah!" menjerit So So, ketakutan. "Hari ini ayahmu berlaku sangat murah hati," menyahut ayah itu, "Coba tadi kau tidak menjerit, mungkin aku telah melakukan satu lagi pembunuhan besar2an!" Delapan belas tahun In Bu Yang memendam diri digunung Holan-san, kecuali ia telah berhasil meyakinkan ilmu pedangnya, ia juga telah menyempurnakan Itci-sian, ialah ilmu totok dengan sebuah jari tangan, Dengan ilmu totok ini, ia dapat membuat orang mati atau bercacat seumur hidup, terserah kepada belas kasihannya, Butong Ngoloo gagah, tetapi mereka sangat mendesak, dimana ia tidak dapat menggunakan pedang seperkat kata2nya yang dihormati, dan disaat sangat berbahaya itu, Bu Yang terpaksa menggunakan Itci-sian, Inilah tidak pernah diduga Ti Wan berlima, maka itu robohlah mereka secara mengenaskan. Setelah berdiam beberapa saat, Butong Ngoloo dapat juga bergerak, untuk berduduk, Mereka lantas mengempos semangat untuk mengerahkan tenaga, Beberapa kali mereka mencoba dengan sia2 tidak sanggup mereka membebaskan diri dari totokan lawannya itu, bahkan mereka merasakan napas mereka bukannya semakin lega, sebaliknya malah semakin nyeri, Diam2 dinginlah hati kelima jago ini, Mereka menyesal, Coba mereka membiarkan Bu Yang menggunakan pedangnya, mungkin mereka lantas binasa, tidak seperti sekarang, dikalahkan dan terhina, tersiksa juga. Selagi orang mencoba untuk membebaskan diri, Bu Yang berdiam saja, hanya matanya mengawasi dengan tajam, menyapu wajah semua pecundangnya itu, Baru kemudian terdengar suara tertawanya yang dingin, yang menusuk hati kelima jago Butong-Pay itu. Dengan sabar orang she In ini merogoh ke-sakunya, dan mengeluarkan kitab ilmu pedang yang menjadi sumber pertikaian itu, Setelah itu baru ia berkata dengan suaranya yang jumawa; "Oleh karena gara2 kitab ini, maka ahli waris Butong-Pay serta kamu sekalian tetua daru partai Butong, datang berkunjung kerumahku ini," demikian katanya, "Sebenarnya aku siorang she In merasa tidak enak hati, Lantaran pihak kalian sangat menginginkan kitab ini, baiklah, suka aku berlaku baik hati, suka aku menyerahkannya kepada kalian, Akan tetapi didalam Rimba Persilatan mempunyai satu aturan, Kalau satu ilmu diturunkan, ilmu itu harus diturunkan kepada para murid atau keturunannya, atau kepada murid yang menjadi ahli waris, Aku adalah satu anggota dari keluarga Bouw, sebagai keluarga aku berhasil memahami ilmu pedangku, Sebenarnya sudah sepantasnya saja aku menurunkan pelajaran ini kepada anak atau ahli warisku, atau seorang murid, tetapi kalian Butong Ngoloo, kedudukan kalian sangat mulia, tingkat derajat kalian sangat tinggi, dari itu tidak dapat aku menerima kalian sebagai murid yang terlebih rendah derajatnya." Butong Ngoloo tidak bebas lagi, walaupun mereka sangat mendongkol, terpaksa mereka bungkam, Mereka menganggap Bu Yang berbuat berlebihan, memaksa kehendak, sebab ia berkeras mengaku sebagai seorang anggota dari keluarga Bouw, Terdengar pula suara angkuh dan dingin dari In Bu Yang; "Coba hari ini aku tidak memandang pada anak daraku, Butong Ngoloo, jangan harap kalian dapat pulang dengan masih hidup!" demikian suaranya itu, "Gara2 sejilid kitab ilmu pedang, kalian menjual jiwa digunung belukar ini, tidakkah itu mengecewakan? Karena itu lebih baik aku musnahkan saja kitab ini, supaya dibelakang hari tidak ada lagi orang yang mengikuti teladan kalian ini!" Benar2 In Bu Yang membuktikan kata2nya itu, Dengan kedua tangannya yang kuat, ia me-robek2 kitabnya itu menjadi empat bagian, habis itu ia me-remas2nya, maka dilain saat hancur leburlah kitab mustika itu, terbang dibawa sang angin. Butong Ngoloo mengawasi dengan hati terkesiap, Bahkan So So , saking tidak menyangka, sudah mengeluarkan jeritan. Bu Yang sebaliknya tertawa ter-bahak2, Ia merangkap kedua tangannya; "Mulai saat ini hingga selanjutnya, cuma aku seoranglah yang menguasai Tat Mo Kiamhoat!" berkata ia nyaring, "Jikalau kalian sakit hati, juga kalian khawatir ilmu ini lenyap untuk partaimu, kalian kirimkan saja Siangkoan Thian Ya yang menjadi ahli waris kalian, suruh dia datang padaku dan mengangkat aku menjadi gurunya, aku bukan saja akan mengajarkan dia ilmu pedang Tat Mo kiamhoat itu, bahkan aku juga akan mewariskan Itci-sian kepadanya, Dengan begitu maka jadilah dia muridku yang menerima warisanku, Untuk partai kalian, kalian boleh memilih orang lain!" VIII. SAMA LIHAYNYA Didalam dunia Rimba Persilatan adalah jamak bila seorang berpindah partai, demi untuk mempelajari ilmu silat partai lain, Tapi hal ini biasa berlaku hanya buat orang2 dari tingkatan dan derajat yang lebih muda, Untuk menerima murid yang merupakan ahli waris dari suatu partai, hal itu belum pernah terjadi, Maka itu kata2nya In Bu Yang terhadap Butong Ngoloo ini tak lebih daripada penghinaan belaka, Meski begitu, tetap Ti Wan berlima tak dapat bersuara, tinggal mata mereka saja yang bersinar menyala, memperlihatkan kemurkaan mereka yang sudah memuncak. So So berpaling ke-lain arah, ia menunduk, tidak hendak ia mengawasi Butong Ngoloo. "Ayah!. . . ." ia memanggil. Bu Yang tidak menanti terhentinya suara puterinya itu, Ia merogoh sakunya, untuk mengeluarkan sebuah botol kecil, Dari dalam itu ia mengeluarkan tiga butir pil yang berwarna hijau, Itulah pil Siauwyang Siauwhoan-tan, yang katanya ia peroleh dari Kwi Chong Taysu setelah ia bersusah payah memintanya, pil mana yang semula berjumlah enam butir, yang tiga sudah diambil So So untuk dipakai mengobati Tan Hian Ki, maka sekarang sisanya tinggal tiga butir. Dengan menggunakan kuku tangannya, Bu Yang membela setiap butir pil itu, satu dibagi menjadi dua, dengan begitu, semuanya sekarang berjumlah menjadi enam potong, Yang sepotong ia lantas memasukkan kedalam mulutnya, dikunyah kemudian ditelan, sisa lima lainnya ia serahkan pada puterinya; "Kau berikan ini sepotong kepada setiap tua bangka itu," katanya tawar, "Seranganku barusan tidak keras, berselang tiga hari, kesehatan mereka akan pulih kembali, dan ilmu silat mereka juga tidak akan musnah." So So menyambuti obat itu, lalu ia bertindak kepada Butong Ngoloo, Dadanya Ti Wan Tiangloo bergerak naik turun, tenggorokannya berbunyi nyaring, sedang kedua matanya mendelik, Itulah tanda bahwa dia sangat gusar, karena dia tidak sudi menerima obat itu, Bukankah mereka adalah orang2 yang berkedudukan sangat tinggi? Mana dapat mereka menerima budi dari In Bu Yang? Kalau kejadian itu sampai tersiar dalam dunia kangouw (kalangan Sungai Telaga), kemana muka mereka mesti ditaruh? Tentu saja, karena hal itu mereka kemudian tidak dapat pula memusuhi lagi pada In Bu Yang. So So adalah seorang nona yang polos, ia belum mengerti akan pantangan kaum Rimba Persilatan seperti itu, yang cuma ia ketahui, tanpa obat itu, Butong Ngoloo bakal menjadi orang yang cacat, Ia berpikir didalam hatinya: "Mereka sudah tua, dengan tidak memakan obat ini, kecuali akan mengalami cacat, ada kemungkinan mereka nanti akan mati karenanya, Tidakkah itu akan menambah banyaknya dosa ayah?" Karena itu ia tidak memperdulikan penolakan kelima jago itu. Hebat nona ini, dengan tangan kirinya ia menekan, maka diluar keinginannya, Ti Wan membuka mulutnya, maka dengan mudah ia memasukkan obat itu kedalam mulutnya, dimana dalam sekejap, obat itu telah tertelan masuk kedalam perut, Tetapi si nona masih Khawatir obat itu belum lumer dan termakan, ia menarik kepala orang hingga melengak, kemudian ia meng-goyang2nya, Dengan begitu, andaikata Ti Wan mau memuntahkannya kembali sudah tidak mungkin, Kemudian dengan cara yang sama ia lakukan pada keempat jago lainnya, Hingga semua jago2 itu dengan terpaksa memakan obat2 itu, hingga akhirnya terpaksa juga mereka menerima budinya In Bu Yang! In Bu Yang tertawa gembira; "Bagus! Bagus!" ia memuji anak gadisnya, Ia puas sekali. Cuma sekejap Butong Ngoloo sudah lantas dapat menarik napas, setelah itu mereka saling mengawasi satu pada yang lain, sinar mata mereka sayup2, wajah mereka sangat lesu, Sangat menyedihkan sikap mereka itu. So So memandangi mereka, Ia merasa heran, "Tentulah mereka malu dikalahkan ayah," pikirnya, Kemudian ia berkata pada ayahnya: :Ayah, mereka telah makan obat, biarkan mereka beristirahat sebentar, Mari kita pulang, supaya mereka dapat bersamedhi dengan tenang." Bu Yang tertawa; "So So kau sangat memahami orang," katanya. Bu Yang mau meluluskan ajakan anak gadisnya itu untuk pulang, namun ketika telingannya mendengar suara beradunya tongkat besi pada tanah, Ia memasang telinganya dan lantas tertawa; "Mungkinkah ada lagi orang lain yang tak takut mampus datang kesini untuk meminta kitab ilmu pedang?" katanya. Boleh dikatakan belum habis suaranya jago ini, disana sudah tampak orang yang berjalan datang dengan tongkat besi, dan tongkatnya itu terus memperdengarkan suaranya , sebab setiap langkah, tongkat itu dipakai menotok tanah. Melihat orang muncul dari tikungan, So So lantas saja kaget, Semakin dekat orang datang, semakin nyata terlihat orangnya. Dialah seorang dengan kumis dan berewok kusut bagaikan rumput, mukanya ditutup topeng hitam hingga disamping telinganya, Berewoknya itu muncul dari bawah topeng, Selain itu, dia hanya mempunyai sebelah tangan yang utuh, sebab tangan kirinya buntung sebatas sikut dan sikutnya itu nongol tajam, Rupanya tangannya itu bekas ditebas orang separuhnya, Tulang sikut yang tajam itu diikat pita merah, Sudah tanagn kirinya buntung, juga kaki kirinya pincang, kaki itu tak dapat menginjak tanah, terpisah kaki itu dari tanah ada sekitar tiga dim, Karena itu, untuk dapat barjalan ia mengandalkan kaki kanannya dengan ditunjang tongkat besinya itu yang terus memperdengarkan suara, sebab tongkat itu adalah pengganti kaki pincangnya itu, Sudah wajahnya luar biasa, juga pakaian orang itu beda daripada dandanan kebanyakan orang, Dia memakai baju makwa, baju pendek seperti rompi, yang melapisi baju panjangnya, Makwa itu berwarna biru, dan jubahnya bersulam, bahannya bahan mahal, bukan saja bersih tetapi juga masih baru sekali, Hanya sedikit aneh, pakaian itu ditambal tujuh atau delapan tambalan, sedang bahan tambalannya itu adalah kain2 tua yang robek dari berbagai warna, Maka dialah seorang yang tidak karuan, yang agaknya mendatangkan rasa jemu. . . . In Bu Yang melengak setelah mengawasi orang itu, ia agaknya heran dan kaget; "Sahabat, adakah kau Tokpi Koayto yang menyebut dirimu Poantian Sinkay?" ia lantas menegur, suaranya membentak. Bu Yang benar mengasingkan diri didalam gunung, akan tetapi ia bukannya sama sekali tak pernah bepergian, Setiap beberapa tahun sekali, suka juga ia turun gunung, dan pendengarannya juga masih terang, Demikian kira2 lima atau enam tahun yang lalu, ia mendengar khabar bahwa didalam kalangan Hitam, dipropinsi Siamsay Utara telah muncul seorang begal tunggal, yang luar biasa macam dan tindaktanduknya, Perampok itu biasa mengincar kaum piauwsu, dan belum pernah dia memperlihatkan wajah aslinya, Mungkin disebabkan tubuhnya cacat dan tak utuh lagi, maka dia menamakan dirinya Poantian Sinkay (si Pengemis Sisa), Dikalangan Hitam dan putih, dia dikenal sebagai Tokpi Koayto (begal aneh bertangan satu), Sebenarnya Bu Yang pernah hendak mencari dia, untuk menjajal kepandaiannya, akan tetapi karena orang menyembunyikan diri, ia tidak peroleh kesempatan bertemu, Maka aneh, sekarang sibegal aneh ini muncul sendirinya. Mendengar suara Bu Yang itu, Butong Ngoloo juga terkejut, hingga mereka turut mwngawasi. "Hm! Hm!" orang cacat itu memperdengarkan suaranya yang dingin, Lantas dia tertawa hingga dua rintasan, Itu artinya dia menyangkal tegurannya Bu Yang. "Kau datang kemari, Tuan, apakah maksudmu?" Bu Yan bertanya pula, Ia tidak memperdulikan sikap jumawa orang itu. "Akulah dedengkotnya penjahat!" orang itu menyahuti, "Aku datang kepada kau, maling kecil, untuk minta kau berlaku hormat padaku, dan meminta kau menghadiahkan sesuatu!" Mendengar itu Bu Yang lantas menjadi gusar; "Kau menghendaki hadiah apa?" dia menanya. Orang itu tertawa dingin, seram suaranya; "Kau sudah mencuri kitab ilmu pedang dari Bouw Tok It," Sahutnya, "Kau telah pakai itu selama delapan belas tahun, apakah tempo itu belum cukup lama? Maka sekarang lekas kau serahkan kitab itu padaku!" Bu Yang kaget, Tentang kitab itu adalah semacam rahasia, maka aneh, mengapa pengemis aneh ini bisa mendapat tahu? Tapi karena ia seorang yang berani dan sudah berpengalaman, ia tidak menunjukkan sesuatu, hanya tercengang sebentar, lalu ia bersikap biasa lagi, Ia tertawa terbahak. "Tuan, dengan tubuhmu semacam ini, apa perlunya kau dengan kitab itu?" ia menanya, "Tuan menamakan dirimu Setengah Sisa, sudah selayaknya saja apabila kau tahu diri sendiri! Apakah kau hendak menggunakan senjata pedang? Itukan tidak bisa, kecuali kau menitis kembali menjadi satu orang lain!" Ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat adalah satu ilmu pedang luar biasa, cara bagaimana itu dapat dipelajari oleh seorang yang tangannya buntung dan kakinya pincang? Bu Yang mengatakan hal sesungguhnya, cuma dia terlalu menghina orang. So So juga jemu terhadap sicacat itu, tetapi ia juga merasa ayahnya agak keterlaluan, Maka pikirnya, "Meskipun dia agak jumawa, tetapi dia adalah seorang cacat, dia seharus dikasihani juga, kenapa ayah menghina dia?" Biasanya, kalau seorang yang cacat dibicarakan cacatnya, dia akan menjadi tidak senang bahkan gusar, akan tetapi aneh adalah sibuntung dan sipincang ini, dia sama sekali tidak gusar, Cuma kedua matanya, yang sinarnya keluar dari balik topengnya, kelihatan bercahaya tajam. "Aku sendiri tidak dapat memakai pedang karena cacatku, tetapi muridku dapat," katanya, memberi keterangan, "Sebenarnya dia sendiri yang hendak datang padamu untuk merampas kitab itu, hanya karena ia sabar, dia dapat menunggu waktu, Adalah aku sendiri yang tidak dapat menunda hingga sepuluh tahun lagi, maka sekarang aku datang meminta barang curian itu, Aku anggap inilah cuma perbuatan pindah tangan saja, dan kitab itu untuk kuhadiahkan padanya!" Baik kelakuannya, maupun cara bicaranya manusia cacat ini, hebat luar biasa, benar nada suaranya dibuat tajam, tetapi Bu Yang seperti mengenal suara orang itu, hanya tak ingat, siapa orang ini dan dimana ia pernah bertemu dengannya, Ia menjadi berpikir keras untuk meng-ingat2nya, Dengan mata tajam ia mengawasi mata orang, ia maju setindak lebih dekat. "Siapakah itu muridmu?" ia tanya, suaranya keras. "Siangkoan Thian Ya!" Jawabannya juga keras, bahkan membuat Bu Yang melengak karena heran. So So tidak kurang herannya, hingga ia berpikir, Berhubung perkenalannya dengan Tan Hian Ki, sinona menjadi terkesan baik terhadap pemuda she Siangkoan itu, Pikirnya: "Thian Ya orang macam apa, mustahil dia sudi menjadi muridnya?" Tetapi ia halus budi pekertinya, biarpun ia mendongkol, ia tidak mau mencaci atau menegur pengemis aneh itu, Ia hanya berdiam saja. Sebaliknya adalah Ti Wan Tiangloo, Bukankah orang menyebut2 ahli waris dari Butong-Pay itu? Kenapa pengemis ini mengaku ahli waris itu sebagai muridnya? Biar ia menjadi imam, setelah sekarang pulih kesehatannya, ia menjadi gusar dan tak dapat mengendalikan diri. "Ngaco belo!" ia membentak, "Siangkoan Thian Ya adalah ahli waris Butong-Pay, dia akan menjadi Ciangbunjin, berdasarkan apa kau, si-jelek ini, berani mengambil dia sebagai muridmu?" Orang tanpa daksa itu tertawa, dingin suara tawanya; "Meskipun aku jelek, akan tetapi dibandingkan dengan kalian beberapa orang tua pendusta, aku masih jauh lebih baik!" katanya, "Siangkoan Thian Ya demikian lunak, dia sendiri ingin mengangkat aku menjadi guru, apakah dengan begitu kamu mau menganggap aku tidak mempunyai murid dan hanya hendak merampas Ciangbunjin-mu? Hm!" Mata Ti Wan terbelalak, hampir2 dia pingsan, Tak terkira kemurkaan dan kedongkolannya itu, Ketika itu, Bu Yang menyelak, Tiba2 saja ia ingat akan sesuatu. "Kau telah datang kemari, apakah kau masih tidak mau memperlihatkan wajahmu yang asli kepada sahabat lama?" demikian tanyanya dengan lantang, Kata2 ini disusul satu lompatan yang gesit, serta sambaran tangan yang cepat, untuk menjambret topeng sipincang yang buntung itu. In Bu Yang lihay sekali, jarak diantara mereka juga cuma beberapa kaki, seharusnya tidak nanti ia gagal dengan serangannya itu, akan tetapi kenyataannya lain sekali, Adalah diluar dugaan, bahwa meski kakinya buntung, sipengemis aneh itu gesit luar biasa, Dengan tongkat besinya diketukkan pada tanah, hingga bersuara nyaring, tahu2 tubuhna telah melesat setombak lebih, maka loloslah ia dari cengkeraman siorang she In. Saking heran, So So sampai menjerit. "In Bu Yang, kau ingin melihat wajahku yang asli?" tanya sioran aneh, suaranya dingin, "Hm, mana aku masih mempunyai wajahku yang asli untuk diperlihatkan kepadamu? Tapi biarlah bila kau ingin melihatnya, terserah padamu, hanya aku khawatir kau nanti merasa tidak enakhati!. . ." In Bu Yang menatap wajah orang itu, Begitu juga So So dan Butong Ngoloo, mereka turut mengawasi, Mereka pun ingin sekali mengetahui siapa dia itu. Siorang aneh mengangkat tangannya kewajahnya, dengan perlahan ia merabah topengnya, begitu cepat topeng itu disingkirkan, begitu juga hati Bu Yang bergoncang, sedang si nona lantas menutupi mukanya, Butong Ngoloo juga tak kurang herannya, mengawasi dengan bengong, hati mereka ngiris. Pengemis dengan kaki dan tangan buntung itu benar2 istimewa wajahnya, jelek bukan main, Sungguh diluar dugaan siapa saja, Muka itu penuh tanda luka yang malang melintang, ibarat bagaikan benang kusut, Dimata So So dan Bu Tong Ngoloo, wajah itu jelek dan menakutkan, tapi dimata In Bu Yang, lebih dari sekedar itu. Bu Yang adalah seorang ahli pedang nomor satu pada jaman ini, matanya tajam melebihi orang lain, maka ia dapat melihat dengan tegas bahwa tapak itu adalah bekas guratan ujung pedang yang lancip tajam, Guratan itu mirip dengan tulisan cepat yang singkat oleh seorang ahli, meski guratannya tampak kacau, tetapi ada jalannya goresan itu, hingga tidak terlihat ditulang2 pipi, tidak juga merusak mata dan hidung, Bu Yang berpikir, kalau ia yang melakukannya, tidak nanti ia dapat menggurat seperti itu, Maka, siapakah si-ahli pedang yang mencacah muka sipengemis aneh ini? "Bagaimana?" tanya sipengemis, dengan dinginnya, "Kau tidak mengenali aku? Ia pun tertawa mengejek." Bu Yang segera memperdengarkan suaranya, yang seperti gerutuan. "Kau adalah Giokbin Hiapkay Pit Leng Hong! dia menjawab agak ragu2. So So telah menutup mukanya, akan tetapi begitu mendengar suara ayahnya, ia pelan2 menurunkan kedua tangannya, ia membuka matanya sedikit, untuk melihat, Ia masih tidak berani memandang orang dengan kedua matanya dengan lebar, Dalam herannya, ia berkata dalam hatinya; "Manusia begini aneh tetapi demikian indah julukannya. . . ." "Giokbin Hiapkay" itu berarti Pendekar Pengemis Wajah Kumala. Memang juga, pada dua puluh tahun yang lalu, Pit Leng Hong adalah seorang pria yang tampan sekali, karenanya, ia memperoleh julukan itu, Hanya karena hidup sebagai pengemis yang gagah dan murah hati, ia dapat tambahan Hiapkay itu (Pendekar pengemis), Kakaknya ialah Pit Leng Hi, adalah satu diantara tiga orang gagah luar biasa pengikut Thio Su Seng, Mereka bertiga ialah; "Ceng Too Kay" artinya pendeta, si imam, dan si pengemis, Dua yang lain si pendeta dan si imam ialah Pheng Eng Giok dan Cit Siu Toojin, Sedang Pheng Eng Giok itu, ber-sama2 Cio Thian Tok dan In Bu Yang adalah yang dikenal sebagai "Liong Houw Hong Samkiat, "ialah si Naga, si Harimau, dan si Burung Pheonix. Enam jago itu sama tersohornya, hanya didalam hal kedudukan, Pheng Eng Giok melebihi lima yang lainnya, Ini disebabkan Pheng Hweesio menjabat menjadi gurunya Cu Goan Ciang dan Thio Su Seng, Pit leng Hi berada bersama didalam pasukan tentera, ia mengagumi Pheng Hweesio, ia pun minta diangkat menjadi murid, maka ia terhitung murid yang ketiga, Kepandaian Pit Leng Hong ini didapat dari Pit Leng Hi kakaknya, dengan begitu, meskipun secara tidak langsung, iapun telah mewarisi kepandaiannya Pheng Eng Giok, hingga untuk menjunjung paderi itu, ia mengaku ialah murid Eng Giok, Leng Hong adalah seorang bebas, tidak betah ia berdiam dalam pasukan tentera, ia bergabung kedalam dunia pengemis, Ia tidak bergaul rapat dengan In Bu Yang, tetapi mengingat persahabatan Bu Yang dengan kakaknya, waktu dulu mereka telah mengaku saudara satu dengan lain, Satu tahun sebelum keruntuhan Thio Su Seng, mereka berdua telah terpisah, maka itu, dengan pertemuan hari ini, sebenarnya mereka sudah berpisah selama sembilan belas tahun. Sekarang melihat wajah orang itu, Bu Yang heran sekali, Ada dua hal yang tak dapat ia simpulkan, Tak banyak tokoh persilatan yang bisa mengalahkan Leng Hong, maka siapakah tokoh kosen yang dapat menaklukkan dan mencacah wajahnya sedemikian rupa? Kenapa dia tidak dibunuh saja? Dan yang kedua yaitu, dahulu Pit Leng Hong menghormati dia, kenapa sekarang sipengemis aneh ini datang dengan tingkah laku yang sangat memandang enteng kepadanya, bahkan menyebut dirinya 'simaling kecil' dan berani meminta kitab ilmu pedang padanya? Mungkinkah, karena wajahnya sudah berubah tabiatnya pun turut berubah juga? Atau, karena dia mengetahui rahasianya, maka dia jadi berani datang untuk memerasnya? Mengingat semua itu, Bu Yang menjadi mendongkol. "Sudah sembilan belas tahun kita tidak bertemu satu dengan lainnya," katanya sengit, "Sekarang kau datang kepadaku, apakah maksudmu cuma menghendaki kitab ilmu pedang?" Pit Leng Hong menjawab tawar; "Aku telah menerima seorang murid baru, sudah seharusnya jikalau aku menghadiahkan sesuatu kepadanya, Oleh karena kitab itu asalnya ialah miliknya, maka jikalau aku tidak mencari kau, aku mesti cari siapa lagi?" Bu Yang bertepuk tangan; "Ha, sayang kau telah datang terlambat satu tindak!" katanya tawar, "Kitab oitu baru saja aku robek hancurkan! Jikalau Siangkoan Thian Ya berniat mempelajari ilmu silat pedang, suruhlah dia menghadap aku." Pit Leng hong tetap tertawa dingin; "Justeru karena Siangkoan Thian Ya tidak sudi belajar padamu, ia jadi sudah mengangkat aku menjadi guru!" ia melanjutkan, "Baiklah karena kitab sudah kau bikin rusak, aku sekarang hendak meminta sebuah barang darimu untuk aku tetap dapat menghadiahkan padanya!" Kata2 ini ditutup dengan tekanan tongkat besinya ketanah, dan jejakkan kakinya yang utuh, dengan begitu tubuhnya jadi mencelat kearah So So, bersamaan dengan itu, tangannya diulur untuk merampas pedang yang ada ditangan sinona. So So kaget, hingga ia tak sempat menjerit, Pit Leng Hong demkian gesit, begitu juga In Bu Yang, Melihat sipengemis mencelat, ia ikut mencelat juga, disaat tangan sipengemis diulur, tangannya dipakai untuk menyerang tangan orang itu, seraya ia membentak; "Pit Leng Hong, kau berani berlaku begini kurang ajar?" Hebat serangan Bu Yang, tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya, dengan kegesitannya, Pit Leng Hong dapat menghindarkan diri, dengan begitu ia menjadi batal merampas pedang sinona. "Kau juga mendapatkan pedang Kungo-kiam itu dengan jalan mencuri!" berkata sipengemis, suaranya terus-menerus dingin, "Kau mencurinya dengan terang2an, sedangkan aku dengan jalan merampas, Karena perbuatan kita sama sifatnya, cara bagaimana kau berani mengatakan aku kurang ajar?" Hati So So baru saja menjadi tenang, lalu sekarang ia menjadi heran, sampai ia tercenggang, Aneh kata2nya sipengemis ini, Kenapa dia mengetahui pedangnya itu adalah Kungo-kiam dan mengetahui juga ayahnya mendapatkannya dari mencuri? Ia lantas teringat saat pertama kali ia bertemu Tan Hian Ki, pemuda itu telah bertanya padanya, apakah pedang itu warisannya atau bukan. . .Mungkinkah. . .mungkinkah benar pedang ini hasil curian? Namun, semenjak ia kecil, ia mengetahui pedang itu sudah ada dirumahnya, dan ayahnya pernah mengatakan, bahwa pedang itu adalah pusaka Keluarga In. Tidak berhenti sampai disitu pikiran si nona ini, kalau benar pedang ini adalah hasil curian, setelah berselang begitu banyak tahun, kenapa pemiliknya tidak pernah datang untuk mencari atau memintanya pulang? Mungkinkah sipemilik itu juga telah dibinasakan ayah? "Ah, mungkinkah ini adalah dosa besar itu,yang disebut ayah sebagai dosa yang tak berampun?" ia berpikir lebih jauh. Tapi cepat juga pikirannya itu berubah lagi, Sipemilik pedang pasti bukan orang sembarangan, andaikata benar ayahnya mencuri pedangnya itu dan membunuh pemiliknya, mustahil dalam dunia Rimba Persilatan tidak timbul gelombang dahsyat sebagai akibatnya? Seharusnya sahabat2 sipemilik pedang akan bergerak untuk menghukum atau meminta pulang, tidak nantinya mereka berdian diri saja, Adalah aneh hari ini sipengemis datang memintanya. So So menjadi bingung sendiri, hingga ia ingin cepat2 mendapatkan pemecahannya, Hingga lupa kepada sipengemis yang mukanya menakutkan itu, ia lantas berpaling kepada ayahnya dan mengawasinya, Ia ingin mengetahui bagaimana ayahnya akan bertindak terhadap pengemis itu, Melihat pada ayahnya kembali, ia menjadi heran. In Bu Yang memperlihatkanroman dan sikap yang tak biasanya, Dia berdiri diam seperti orang yang tertotok jalan darahnya, Kulit mukanya agak tegang dan matanya bersinar tajam, Agaknya ia terbenam dalam ke-ragu2an. Tapi tiba2 saja ia berseru; "Pit Leng Hong, cepat kau menyingkir! Kalau kau terlambat satu detik saja, aku bakal tidak dapat menguasai diriku lagi!" Suara itu bergemetar, sepuluh jari dari kedua tangannya bergerak2, diluruskan dan ditekuk bergantian, hingga terdengar suara meretak, Kelihatannya jago ini seperti hendak melakukan pembunuhan. So So kaget dan takut, hatinya menjadi dingin, Melihat sikap ayahnya itu, mungkin benar pedang itu mempunyai asalusul aneh, Kalau tidak, mengapa sikap ayah menjadi seperti binatang buas yang terluka? Bukankah kata2nya sipengemis aneh bagaikan tusukan anak panah? Sipenegemis tidak takut dia bahkan tertawa tergelak; "In Bu Yang kau mau membunuh aku?" tanyanya, "Jikalau aku takut, tidak nanti aku datang kemari? Benarkah kau menganggap, setelah mendapatkan kitab pedang dan membinasakan Cio Thian Tok, kau pandang dirimu sebagai ahli pedang nomor satu dikolong langit ini? Selagi masih ada muridnya Pheng Hweesio disini, aku khawatir tidak dapat kau bertingkah!" "Kalau Pheng Hweesio berada disini, mungkin aku takuti dia tiga bagian," berkata Bu Yang, "Sekarang ini, walaupun kakakmu hidup lagi aku tidak takut! Kau sendiri, kau makhluk apakah?" Meluap hawa amarahnya orang she In ini, hingga ia mengibas dengan tangannya, jari tangannya bergerak bagaikan orang mementil pipee, Itulah jurus penyerangan dengan Itcisian. Pit Leng Hong tetap tidak jeri. "Jikalau kau tidak menggunakan pedang, aku juga tidak akan memakai senjata!" katanya sama dinginnya, Dia lantas menancap tongkatnya ditanah, tangannya itu terus diputar, untuk memapaki serangan Bu Yang. Butong Ngoloo telah menyaksikan jari tangan yang lihay dari Bu Yang, mereka telah merasakannya, maka mereka heran atas keberaniannya sipengemis pincang dan buntung ini. "Mungkinkah pengemis ini mengerti ilmu sesat, sehingga ia tidak takut terhadap ilmu Itci- sian?" tanya mereka didalam hati. Atas tangkisan lawan In Bu Yang berubah paras mukanya, tangannya ditarik pulang, ia batalkan serangan dengan jari tangannya, tetapi dengan membuka telapak tanganya, untuk menyambut tangan orang, Tidak ampun lagi, kedua tangan bentrok satu sama lain, Tampaknya kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga mereka, tetapi ketika kedua tangan bentrok, tidak terdengar suara apapun juga, tangan sipengemis lembek bagaikan getah. Butong Ngoloo heran, hingga mereka mengawasi dengan takjub! Nyata Pit Leng Hong mempunyai kepandaian melemaskan tangan seperti kapas, maka tangan In Bu Yang seperti memukul lumpur, bukan saja tenaganya jadi tak berdaya, bahkan sebaliknya tangan itu seperti disedot, Itci- sian bisa menutup jalan darah, tetapi kali ini, punahlah kekuatannya itu, Karena itu ia lantas mengubah tangannya menjadi terbuka. "Gunakan kedua tanganmu berbareng!" Pit Leng Hong berseru menantang. "Hm!" In Bu Yang memperdengarkan ejekannya, Ia tidak memperdulikan tangan itu, ketika ia menyerang kembali, ia menggunakan sebelah tangannya, Hanya sebentar saja, Bu Yang telah mengeluarkan keringat dingin pada jidatnya. Mendadak ia berseru: "Ha, kiranya kaulah yang merusak pintu goa dari kamar samedhiku ini!" Pit Leng Hong tertawa; "Telah aku mengatakannya," jawabnya, "Kau tidak mau percaya, habis apa lagi yang aku bisa jelaskan? Jikalau aku tidak menghajar pintu goamu, cara bagaimana aku dapat membawa pergi Siangkoan Thian Ya?" So So heran bukan main, Walaupun ia tidak percaya, ia tetap mesti percaya keterangan pengemis ini, Memang aneh menghilangnya Thian Ya. Butong Ngoloo juga heran bukan kepalang, Melihat begini, mestinya In Bu Yang bakal menemui batunya, Mereka heran bercampur gembira, Betapa tidak girang melihat lawannya yang tangguh itu bakal roboh? Mereka tidak memintanya, tetapi sama juga seperti meminjam tangan manusia aneh ini, Hanya hati mereka menjadi dingin, ketika mereka ingat simanusia aneh ini memaksa Thian Ya, bakal Ciangbunjin mereka menjadi muridnya. . . Sebenarnya dalam hal tenaga dalam, Bu Yang lebih unggul dari Pit Leng Hong, kalau sekarang ia kewalahan, itu disebabkan ia telah banyak mengeluarkan tenaga saat bertempur dengan Butong Ngoloo, sebab Ngolui Thiansimciang dari kelima jago Butong hebat sekali, Coba kalau tadi ia tidak makan pil Siauwhoan-tan, mungkin ia tak dapat bertahan begitu lama. Beberapa saat kemudian, keringat dijidat Bu Yang menjadi titik2 besar. "Gunakan kedua tanganmu!" Pit Leng Hong berkata pula seraya tertawa dingin. Memang Bu yang Tak mau menggunakan ke-dua2 tangannya, karena yang dia hadapi adalah seorang cacat, yang kaki dan tanganya tinggal sebelah? Ia masih percaya akan ketangguhannya sendiri, iapun akan merasa malu, tetapi sekarang? sekarang ia menjadi ragu2, Ia tahu bahwa ia sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga, maka andaikata ia menggunakan ke-dua2 tangannya, juga belum tentu akan berhasil, Maka sambil menahan perasaan ia tertawa dingin dan berkata; "Inilah kau yang menghendaki sendiri!' "Kau gunakanlah kedua tanganmu, mati pun aku tak menyesal!" menyahut Pit Leng Hong. Tanpa ayal lagi, Bu Yang merangkap kedua tangannya, Inilah serangan yang dapat menggempur batu, Tubuh Pit Leng Hong, yang ditahan cuma oleh sebelah kakinya, lantas bergoyang2 tak henti2nya, bergerak kedepan lalu kebelakang, kekiri dan kekanan, tubuhnya itu mirip sebuah perahu kecil diantara hempasan gelombang. So So yang menyaksikan itu, biar bagaimana ia merasa jemu, ia toh merasa kasihan juga, Bukankah orang bercacat, tinggal sebelah kaki dan sebelah tangannya? Karena itu ia hendak meminta pada ayahnya, untuk memberi ampun, tetapi mendadak ia melihat paras ayahnya itu berubah, lenyap keringat dari jidat sang ayah, sebaliknya disitu tampak jelas urat2nya yang biru. Meskipun ia merasa heran, si nona masih tidak percaya bahwa ayahnya lagi terancam bahaya, Karena itu, ia batal meneriaki ayahnya itu. Hebat tenaga tangannya sipengemis aneh, Begitu dahsyat kedua tangannya Bu Yang, tangan itu seperti batu dilempar kedalam air, hilang tanpa bekas2nya, Sudah begitu dari tangan siorang aneh telah keluar hawa dingin yang merembes kedalam tangan lawannya, menembus ke-ulu hati, Bu Yang kaget hingga ia mesti mengempos semangatnya, untuk mempertahankan diri, meski begitu ia masih merasakan tak sanggup. . . Pit Leng Hong merasa puas sekali, ia tertawa lebar, Karena tertawanya itu, wajahnya tampak jadi semakin luar biasa, Cuma satu kali ia tertawa, lalu ia berkata dengan suaranya dingin; "Jikalau kau menyayangi jiwamu, serahkan pedang itu!" So So yang memegang pedang maju dua tindak; "Ayah, beri saja dia!" ia berkata kepada ayahnya, Ia seperti putus asa, Biar bagaimana, ia menyayangi ayahnya itu. Mata Bu Yang mencorong memandang puterinya, Itulah sinar berupa teguran, rupanya sang anak mengerti, mau tidak mau, ia terpaksa mundur kembali. Dengan tiba2 terdengar Bu Yang membentak, kedua tangannya ditarik pula, lalu dimajukan kembali, Dibelakang telapak tangannya dan dijidatnya juga, terlihat otot2 yang menonjol keluar, seperti ia tengah mendorong beban yang beratnya mencapai ribuan kati. So So mengetahui bahwa sang ayah telah mengerahkan semua tenaga dalamnya, Itulah hebat, Tubuh Pit Leng Hong kembali bergoyang, senyuman pada mukanya lenyap seketika, tetapi meskipun demikian, kaki tunggalnya itu tetap bertahan pada muka bumi, bagaikan karang kokohnya. Lewat sesaat kemudian, terlihat Pit Leng Hong pun menjadi seperti Bu Yang, peluhnya keluar mengucur, Hanya berbareng dengan itu, kulit wajah Bu Yang berubah menjadi matang biru. Selagi dua jago ini bertempur hebat, mengadu tenaga dalam mereka, Butong Ngoloo berdiam bersemedhi, mereka berdiam ditanah untuk memulihkan tenaga mereka, Cuma mata mereka yang terus mengawasi, mata mereka itu mengeluarkan sorot heran dan ngeri. Memang Pit Leng Hong dan juga In Bu Yang sudah bertarung sampai pada taraf puncak penentuan hidup mati mereka, Tenaga dalam Bu Yang dikumpul diujung jari tangannya, dari sana keluar hawa panas, Itulah hawa panas untuk menahan serangan hawa dingin dari tangan Pit Leng Hong, hawa untuk membalas serangan. Sudah tentu Pit leng hong kalah tenaga dalam, sebab ia mempelajari ilmu Pheng Hweesio dengan perantara kakaknya Pit Leng Hi, dan apabila sekarang ia dapat melawan, itulah disebabkan In Bu Yang sudah terlalu lelah habis menempur Cio Thian Tok dan Butong Ngoloo, semua lawannya tangguh luar biasa. Kembali sang waktu berjalan lewat, Dari samar2 warna matang biru dimukanya Bu Yang menjadi semakin terlihat tegas, Sekarang dia mengeluarkan pula keringat sebesar kedele, Karena itu, bajunya mulai basah, Dari sinar matanya yang layu, nyata ia sudah mulai kehabisan tenaga. Sampai disaat itu, se-konyong2 Pit Leng Hong berseru secara aneh, tangannya ditolak perlahan kedepan, Bu Yang menggunakan ke-dua2 tangannya, tapi agaknya ia tak dapat bertahan, itu terlihat dari kedua tangannya yang mulai melengkung. Disaat yang sangat genting itu, tiba2 saja Kok Ciong dari Butong Ngoloo melompat bangun sambil menjerit hebat; "Kiranya kau simakhluk aneh yang membinasakan guruku!" Seruan itu tidak hanya membuat So So menjadi bingung, tetapi juga Bu Yang menjadi heran sekali, Maka orang she In iniberkata didalam hatinya: "Kelakuan Pit Leng Hong hari ini memang sangat aneh, Dulu dia dikenal sebagai Kayhiap (pendekar pengemis), dengan mertua-ku, dia tidak ada hubungannya, maka itu, kenapa dia melakukan pembunuhan pada mertua-ku itu? Sebelumnya Kok Ciong menuduh aku, kenapa sekarang ia berbalik menuduh Pit Leng Hong?" Bu Yang memandang gelap untuk semua itu, Kematian Bouw Tok It diliputi suasana misterius, Ketika itu Kok Ciong memang seperti mendampingi gurunya itu, Waktu itu ditengah malam Kok- Ciong mendengar suara gurunya sedang bertempur dengan seorang yang tidak ia kenal, Ia lari memburu, tetapi musuh itu sudah melarikan diri, tinggal gurunya yang sudah tidak mampu bicara, muka guru itu matang biru, warnanya itu sama dengan mukanya In Bu Yang sekarang, Karena inilah maka ia menuduh Pit Leng Hong. Kok Ciong tidak cuma berseru, diapun melompat maju untuk menyerang, Perbuatannya ini diikuti oleh empat saudaranya, yang maju dengan berbareng, Mereka mengambil sikap mengurung, sepuluh jari tangan mereka mengarah satu jurusan, Mereka ini belum pulih keseluruhannya, tetapi Ngolui Thiansim-ciang dasarnya hebat, tak dapat itu dipandang enteng. Diserang secara mendadak demikian rupa, Pit Leng Hong berseru sambil kaki tunggalnya berputar, membawa badannya, menyusul mana badannya itu melompat, mencelat berjumpalitan, selagi tubuhnya itu bergelantungan diudara, kakinya terus menendang, ujung kakinya mencari jalan darah pekhay diiganya Ti Hong, sedang tangan kanannya yang utuh itu, menyambar pipi Ti Kong Tiangloo, Tangan kirinya yang buntung itu masih ada sikutnya yang tajam pula, tajam sebab dilapis besi yang terbungkus pita merah, maka dengan sikutnya itu ia menghajar jalan darah sianki didadanya Ti Wan Tiangloo, Maka itu sungguh hebat sitanpa dakpa ini, berbareng ia dapat menggunakan tiga anggota tubuhnya itu untuk menyerang, berbareng kepada tiga musuh yang lihay. Serangan Butong Ngoloo telah berlangsung tatkala mereka melihat sasaran mereka mencelat dan berjumpalitan, kedua tangannya bergerak terpentang, sebelah kakinya bergerak juga, Ti Hong Dan Ti Kong kaget, hingga hati mereka terkesiap, belum sempat mereka melihat apa2, tubuh mereka sudah mental kira2 satu tombak, Hanya syukur buat mereka, jatuh tubuh mereka tidak terbanting, bahkan seperti ada orang yang menurunkannya secara perlahan, hingga mereka tak merasakan sakit, Setelah itu tahulah mereka, bahwa mereka telah ditolong oleh In Bu Yang, yang membebaskan mereka dari serangan berbahaya dari Pit Leng Hong. Sementara itu sikut kiri Leng Hong telah menyambar kedada Ti Wan, imam ini terancam bahaya, sebab baginya tidak ada lagi waktu untuk menarik kembali kedua tangannya, Disamping itu, In Bu Yang telah memperlihatkan kehebatannya, adalah jari tangannya dengan ilmunya Itci-sian menyerang kesikut kiri siorang she Pit, tepat diujungnya sikut hingga pitanya robek dan tampak ujung besinya, terlihat ada ukuran naga2an, Melihat ukiran itu, Bu Yang kaget sekali, mendadak saja ia merasa seperti melihat sesuatu yang aneh, yang membingungkan hatinya, belum lagi jelas baginya, tiba2 ia telah merasakan satu hawa dingin menyerang ulu hatinya, Dan tak tertahankan lagi ia roboh terguling dengan terbanting, Dilain pihak tubuh Len Hong yang kurus kering itu, bagaikan layangan putus, terpental tiga tombak lebih melayang kebawah tanjakan, kemudian terdengar suara sindirannya "Hm! Hm!" dan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia menghilang dikejauhan, tak tampak lagi bayangannya. In Bu Yang dan Butong Ngoloo tidak dapat berbuat apa2 terhadap musuh itu, barulah setelah bekerja sama, mereka dapat menghaiar hingga lawan mereka terpental, Lebih dulu Pit Leng Hong kena tertotok oleh Bu Yang, baru ia digempur serangannya Butong Ngoloo. Sekian lama So So menjublak, baru ia tersadar ketika ia mendengar suaranya Ti Wan Tiangloo, suara yang dalam sekali; "Dengan ini impas sudah budi atas pemberian obatmu, maka marilah kita bertemu pula dilain waktu!" lalu mereka berlima bertindak pergi. In Bu Yang mengawasi orang berlalu, mulutnya bungkam, dan wajahnya guram, Agaknya ia masih memikirkan sesuatu yang masih gelap sekali untuknya, yang sulit dicari pemecahan dan atas keputusannya. "Ayah, kau kenapa?" So So menanya. "Kakek luarmu telah dibinasakan orang aneh itu," menyahut Bu Yang dengan perlahan, Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan; "Pit Leng Hong terkutung tangannya, terbuntung kakinya dan dirusak wajahnya, semua itu adalah perbuatan kakek luarmu itu. . ." Nona itu menggigil sendirinya, Ia heran, Belum pernah ia melihat kakek luar itu, akan tetapi menurut keterangan ibunya, kakek itu tabiatnya keras akan tetapi hatinya lembut, maka ada dendam apa diantara kakeknya dengan siorang aneh itu, sehingga keduanya bertempur secara demikian hebat?. . ." "Pit Leng Hong itu dikenal dengan julukannya Giokbin Kayhiap," berkata pula Bu Yang, "dia tadinya tampan tetapi telah dibuat oleh kakekmu jadi begitu jelek, sudah tentu saja dia jadi sangat gusar dan penasaran, maka juga dia telah gunakan tangan jahatnya untuk menuntut balas, Dilengan buntungnya itu ada cacahan naga2an, itulah tanda dari kakek luarmu, Sebenarnya telah aku melihatnya, kecuali kakek luarmu itu, dikolong langit ini tidak ada orang lain yang lebih lihay ilmu pedangnya, Hanya sebegitu jauh aku tahu, diantara mereka tidak ada hubungannya, kenapa mereka jadi bentrok demikian hebat? Inilah yang membuat aku sangat tidak mengerti." So So bergemetar tangannya hingga "Traaang!" pedang ditangannya terjatuh, terlepas dari cekalan diluar keinginannya, Selama delapan belas tahun ia hidup tenteram dan damai setiap hari bergembira, tetapi hari ini ia merasakan pukulan yang dahsyat, Kejadian yang saling susul dan semuanya hebat2, hingga hatinya berdebaran. Ketika pertama kali bertemu dengan Hian Ki, dan Hian Ki menyinggung tentang pedang ini, ia heran sekali, siapa tahu kata2nya Poantian Sinkay ini lebih aneh dan mengejutkan, Bukan hanya pedang ini, disebelahnya masih ada urusannya kitab ilmu pedang. "So So," berkata si ayah perlahan, tangannya menunjuk pada pedang, "Apakah kau masih ingat perkataanku bahwa aku pernah melakukan suatu dosa besar yang tak dapat aku lupakan?" "Aku ingat ayah." menyahut si anak dara, tertunduk, suaranya perlahan. "Dosa itu timbul kerena pedang ini," In Bu Yang berkata pula, "Ah, sebenarnya masih terlalu ringan Pit Leng Hong menyebut kesalahanku itu, Dia mengatakan pedang ini telah aku curi, Hal yang sebenarnya adalah lebih menakutkan daripada itu, Aku. . .telah membunuh pemilik pedang itu, dan dia. . .seumur hidupku dialah orang yang paling baik terhadapku. . ." So So menjerit saking kagetnya, Ia melihat kening ayahnya mengeluarkan keringat, wajahnya penuh rasa penyesalan dan kedukaan, Melihat itu, ia merasa sangat kasihan, "Ayah kau ceritakanlah peristiwa itu," ia minta, "Jangan kau simpan saja, supaya kau dapat melegakan hatimu, jangan kau buat dirimu sengsara dan menderita karenanya." "Tidak salah, So So. Memang. . .memang aku mau memberitahukan padamu. . ." Suara orang tua ini menjadi serak dan perlahan. So So mengeluarkan sapu tangannya, dengan itu ia menyusuti peluh ayahnya itu, Ia merasakan keringat itu dingin, meresap ditangannya, Ia terkejut. "Peristiwa itu sangat panjang untuk diceritakan, aku khawatir tak dapat aku menceritakannya sampai habis," berkata pula si ayah. "Baiklah ayah beristirahat dulu," meminta sang anak dara. "Pergi ayah bersamedhi, aku akan menunggu dan menjagamu." "Tidak, tidak usah," berkata ayah itu. "Kau tolong saja aku mengambil arak Kenghoa Hweeyang ciu, Sudah dua puluh tahun aku simpan peristiwa ini didalam hatiku, memang sudah lama aku mau menceritakannya, maka sekarang tidak mau aku menanti lagi, kendati hanya tiga hari tiga malam sekalipun. . ." Mendengar itu baru So So tahu bahwa ayahnya telah mendapat luka parah didalam tubuhnya, bahwa Siauwhoan-tan masih tidak dapat menolong, maka dia masih memerlukan arak obatnya, Rupanya luka baru dapat dapat sembuh setelah diobati selama tiga hari tiga malam. "Kalau aku pergi, ayah," berkata anak ini. "kau berada sendirian disini, hatiku tidak tenang. . ." "Tidak apa, asal kau lekas pergi dan lekas kembali, Kau bawa itu kerumah batu dimana aku menanti kau, Tidak nanti datang pula Pit Leng Hong yang kedua." Terpaksa So So menurut, maka ia pulang dengan ber-lari2, disepanjang jalan, ia dipengaruhi kekhawatirannya, ia merasakan pula bahwa disekitarnya ia dikurung dengan segala rahasia, Bukankah sekalipun ayahnya, karena mengenai pedang itu, membuatnya berpikir keras? Tiba dirumahnya, sedih hati si nona, Gundul pohon bweenya, cabang dan daunnya berserakan ditanah, Disitupun ada segundukan tanah muncul yang teruruk dedaunan, Sunyi segala apa, Mendadak ia ingat akan kedatangannya Hian Ki, yang disusul berbagai peristiwa hebat itu, Sudah datang Butong Ngoloo, datang pula Sipengemis aneh yang lihay itu, yang membawa teka-teki baru, Semua kejadian yang tidak di-duga2, Setelah semua itu, sekarang ayahnya terluka, ayah itu mau membuka suatu rahasia, kembali ia memikirkan Hian Ki, Orang yang kepada siapa ia hendak menyandarkan diri, Hanya, kemana perginya anak muda itu? Nona ini memanggil, hingga beberapa kali ia tidak memperoleh jawaban, Ia telah terbenam dalam kesunyian, Cuma datang jawaban dari kumandang suaranya sendiri, Ia benar2 tidak mengetahui kemana perginya sianak muda. . . . Kemana Hian Ki pergi? Mau atau tidak, So So menenangkan diri, Ia ingat ayahnya hendak bicara empat mata saja dengannya, dan Hian Ki disuruh menyingkir, Ia pun memberi tanda pada pemuda itu untuk mengundurkan diri sementara, Mungkinkah, karena itu Hian Ki menjadi tidak puas dan emnyalahkan dia? Memang belum lama ia kenal pemuda itu, tetapi hati mereka sudah lantas terikat satu dengan lain, Tidak mungkin pemuda itu jengkel hati terhadapnya, tidak nanti di jadi gusar karenanya, meski benar diantara dia dengan ayahnya ada ganjalan, Maka itu, kenapa dia tidak menantikan dirinya? Andaikata pemuda itu mengikuti dan mengintai pertempuran, seharusnya sekarang juga dia sudah kembali. . . . Tiba2 So So ingat akan sorot mata yang luar biasa dari Hian Ki, ketika sianak muda mengundurkan diri. Ketika ia melangkah memasuki kamar tulis, hatinya pun seperti kosong, Delapan belas tahun lamanya ia hidup dirumah ini, baru sekarang ia merasakan rumah itu bagaikan rumah hantu, Ibunya sudah pergi, ayahnya berdiam dirumah batu, Kalau nanti ayah itu sembuh, belum tentu dia akan lantas pulang kerumah, Karena Hian Ki tidak ada, ia meresa sepi sekali. Walau dalam keadaan seperti itu, So So tidak melupukan kewajibannya, Ia lantas mengambil cupu2 merah besar yang ayahnya perantikan menaruh arak kala dibawa ke-mana2, Ia mengisi cupu2 itu, selagi berbuat begitu, ia ingat lagi pada Hian Ki saat ia memberi arak itu padanya sehingga sianak muda itu menjadi tak sadarkan diri, Tapi tak lama dia berpikir, segera ia lari pula keluar, untuk pergi kerumah batu. Matahari sudah silam di-barat, kamar batu guram. "Ayah," si anak memanggil. Tak ada jawaban, Tercekat hati si nona, Ia terkejut. "Ayah!" ia memanggil pula, kali ini ia terus bertindak masuk, Ia harus me-raba2 untuk sampai dikamar ayahnya, Akhirnya ia melihat juga ayahnya itu, yang lagi duduk bersemadhi menghadap ketembok, Baru sekarang hatinya lega. Dengan terus memegangi cupu2nya, So So menempatkan diri disisi ayahnya itu, Ia tidak berani mengganggu pemusatan pikiran ayahnya, dan ia hanya berdiam saja. Beberapa saat kemudian, terlihat Bu Yang dengan pelahan mengangkat kepalanya, Iapun lalu mengangkat tangan dan diulurkan kepada anaknya. So So lantas mengangsurkan cupu2 ditangannya itu, Si-ayah menyambuti, terus diteguknya, dan terdengar suara gelokokan. Lagi beberapa saat kemudian, baru sang ayah membuka mulutnya, "Anak, kau duduk," suaranya bergemetar, "Kau dengari penyesalan ayahmu. . ." Tanpa adanya hawa dingin, si nona menggigil, Sebenarnya ia sangat ingin mengetahui keterangan ayahnya itu, tetapi sekarang ia menjadi takut untuk mendengarkannya, Bukankah itu rahasia ayahnya? Dosa besar apakah yang telah diperbuat ayahnya? Maka itu, tak tenang pikirannya, Dengan menguatkan hati, ia mencoba menetapkan diri. Selagi si-ayah ber-siap mau menceritakan dan sang anak telah bersiap untuk mendengarkan, Tiba2 terdengar suara nyanyian mengalun jauh dari dalam rimba, Samar2 tetapi jelas itulah suaranya seorang wanita; "Rembulan dilangit mengejar sang surya, Nona di bumi mengejar kekasihnya, Sang surya naik di timur, Sang rembulan silam di barat, Bidadari di istana rembulan sia2 berduka," Demikian nyanyian itu, nyanyian yang sebentar berhanti dan sebentar diulangi, Selama berhentinya, samar2 terdengar suara si nona me-manggil2, "Hian Ki! Hian Ki!. . ." "Siapakah nona itu?" So So men-duga2, "Ada hubungan apakah antara dia dan Hian Ki? Adakah dia si nona yang disebut2 Siangkoan Thian Ya? Mengapa Hian Ki yang dipanggil nona itu?" Tengan ia tenggelam dalam pikirannya, So So dibuat terkejut suara ayahnya; "So So, kau pikirkan apa?" begitu ayahnya bertanya, "Mari, kesini lebih dekat, kau dengari aku, Adakah kau takut? Oh, aku sendiri takut juga. . ." Bu Yang lantas mulai menceritakan perbuatannya itu, yang membuatnya menyesal sekali, yang ia katakan kesalahan atau suatu dosa besar. Tatkala itu matahari sudah turun kehabitatnya, maka kamar batu itu menjadi gelap guram. IX. AYAH, IBU, ANAK. . .Berpisah semua. Kemanakah perginya Hian Ki ? Hian Ki pun seperti So So, dalam saat yang singkat itu, telah menghadapi pelbagai kejadian yang diluar dugaannya. Tadi malam saat dia datang kerumah Bu Yang dengan menempuh bahaya, itu melulu untuk menemui So So, Ia telah berhasil, Bukan saja ia dapat menemui si nona, hati mereka pun cocok dan si nona suka menyerahkan dirinya kepadanya, Maka itu bukan main berbunga hatinya, Sayang, tiba2 saja Bu Yang pulang, lantas ayah dan anak itu berbicara, bahkan si-ayah hendak membicarakan urusan yang penting, hingga ia disuruh menyingkir dan So So juga minta ia suka mengundurkan diri dulu, Ia merasa tidak enak hati, tetapi to ia pergi juga keluar, Ia berpikir keras. Bersediakah Bu Yang menyerahkan puterinya kepadanya? Ia berpikir, Ia sudah menerima tugas untuk membunuh Bu Yang itu! Dengan adanya tugas itu, dapatkah mertua dan menantunya dapat akur, untuk hidup berdampingan? Bukankah erat sekali hubungan diantara ayah dan anak? So So adalah anak satu2nya, kalau ia membawanya minggat, tidakkah karenya putus hubungan diantara ayah dan anak itu? Kalau itu sampai terjadi, siapa berani menjamin So So nantinya tak akan bersikap tawar, seperti ibunya terhadap Bu Yang, ialah sikap menyesal dan penasaran terhadap suaminya? Sifat Hian Ki justeru berbalik dari sifatnya Siangkoan Thian Ya, Pemuda she Siangkoan itu bila menyintai seseorang, ia dapat tak memperdulikan apapun juga, Namun Hian Ki tenang, ia dapat berpikir jauh, maka meskipun dia sangat menyintai So So, dia masih dapat menguasai hatinya, Dia ragu, kalau So So berpisah dari ayahnya, ia dapat hidup senang dan bahagia, Ya, dia sangat bersangsi, bila kapan dia mengingat akan kedukaannya Nyonya In, tanpa merasa dia menggigil sendirinya, hatinya menjadi ciut. "Andaikata So So menyatakan menyesal, sepatah kata saja, pastilah sudah, aku bakal menyesal seumur hidupku?" demikian pikirnya pula, Tapi, dia pun tidak dapat melupakan si nona, jangan kata untuk meninggalkannya. Maka itu Hian Ki ber-harap2 So So cepat2 keluar, Ia menanti dengan sia2, hingga ia seperti habis kesabarannya, Lama rasanya ia menunggu, Rupanya pembicaraan So So dengan ayahnya itu tak ada habis2nya. . . Sebenarnya ia belum menunggu terlalu lama, namun ia seperti merasa waktu sedetik itu bagaikan sebulan atau setahun. . . Oleh karena itu, per-lahan2 Hian Ki membuka pintu pojok dan berjalan keluar, Didalam hatinya ia berkata; "Baiklah, aku akan jadi siterdakwa, aku menantikan hukuman yang akan dijatuhkan So So!. . ." Pemuda ini menduga, pastinya Bu Yang bicara dengan anak gadisnya itu perihal perjodohan, jodoh anak daranya, Ia tidak menyangka sama sekali, Bu Yang justeru membeberkan perbuatannya yang keliru dan berdosa. Dikala hatinya tidak tenteram itu, Hian Ki mendengar satu suara nyaring. "Itulah suaranya Thian Ya," ia berkata didalam hati, Ia kenal baik suaranya sahabatnya itu, "Apakah yang telah terjadi dengannya?" Tanpa ragu lagi, anak muda ini lari kearah dari mana suara itu berasal, Thian Ya telah berani berkorban untuk menolongi dia, maka iapun harus bersedia untuk membantu sahabat itu. Ia berlari masuk kedalam rimba yang lebat, Disana ia mendengar suara seperti tongkat besi yang mem-bentur2 ketanah, Suara itu berada disebelah depannya, Maka ia lantas lari kesana, Hanya aneh, ia telah ber-lari2 dengan ilmu meringankan tubuh 'Patpouw Kansian', masih saja ia belum dapat menyandak. Kembali terdengar suara tajam tadi, Benar2 suaranya Siangkoan Thian Ya, Agaknya suara itu mengandung rasa kaget dan takut, Apakah sudah terjadi sesuatu pada pemuda yang nyalinya besar itu. Hian Ki menjadi terlambat sedikit karena pikirannya itu, dan lalu suara tongkat besi itu terdengar semakin menjauh, bahkan arah dari suara itu pun membuatnya ragu2. Adalah diwaktu bersamaan, telinganya mendengar nyanyian seorang wanita: "Rembulan dilangit mengejar sang Surya, Nona dibumi mengejar kekasihnya. . . ." Jelas sekali itu adalahsuaranya Un Lan, Maka sekarang Hian Ki berlari kearah suara nyanyian itu, Ia sudah berlari selintasan namun suara itu tak terdengar pula. Letih Hian Ki, sudah satu malam ia tak tidur pula, pengalamannya pun hebat2, Dengan hati bersangsi, ia berhenti mengejar lalu ia lantas menyenderkan dirinya pada sebuah pohon, mengaso sebentar. Belum lama ia berdiri menyender, tiba2 ia mendengar lagi sesuatu suara, Ia heran, semangatnya pun jadi terbangun pula, Kembali ia mendengar suara itu. Itulah suara tertawa yang hebat, yang menggetarkan telinga, Tertawa itu bagaikan mengaung, Begitu suara tawa itu berhenti, lalu terdengar suara orang berkata; "Siangkoan Thian Ya, Kau kena dibuat kaget olehku si makhluk aneh, bukan?" Dalam herannya, Hian Ki bertindak dengan perlahan, Hendak ia melihat siapakah orang itu? Benarkah dia bersama Thian Ya sahabatnya itu? Ia tidak berani lantas muncul, Ia mengintai. Apa yang pemuda ini lihat membuatnya terkejut, hatinya ngiris, Disana ada seorang dengan wajah yang luar biasa, mukanya penuh dengan bekas luka2, sudah tangannya buntung sebelah, kakinya pun pincang, Dan menunjang dirinya dengan menancap tongkat besinya ketanah, Dialah yang bicara dengan Siangkoan Thian Ya, yang berada dihadapannya. Sebisanya Hian Ki menenangkan diri, ia mengawasi terus sambil hatinya berpikir;"Pantas Thian Ya menjerit, kiranya ia terjayuh kedalam tangannya hantu?. . ." Hampir saja Hian Ki mengeluarkan senjata rahasianya untuk menyerang, Seandainya ia tidak mendengar suara sahabatnya. "Loocianpwee, aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu membawa aku keluar dari kurungan," demikian sahabat itu, "Cuma. . .cuma. . ." Hian Ki melengak, Tepat sekali batal ia menyerang. "Kiranya dialah yang menolongi Thian Ya," pikirnya, Ia tarik kembali tangannya yang sudah dimasukkan kedalam kantung senjata rahasianya itu. Manusia aneh itu memang benar Pit Leng Hong (Si Pendekar Pengemis) adanya, Ketika waktu ditolong, Thian Ya tidak dapat melihat wajah orang, Goa gelap, Setibanya diluar, dibawah sinar sang pagi, baru ia dapat melihat jelas, Tentu saja ia menjadi kaget, Hanya, setelah mengawasi pula sekian lama, ia mendapatkan pada wajah yang sangat jelek dan menakutkan itu terdapat sinar dari kehalusan budi, Ia telah kematian ayah dan ibunya semenjak masih kecil, sebagai anak yatim piatu ia menjadi besar, maka itu, ia kehilangan cinta kasih orang tuanya, Sesudah itu, ia dirundung malang karena cintanya tak dibalas Siauw Un Lan, si nona yang berlaku tawar terhadapnya, sebab nona itu sebaliknya ter-gila2 pada Hian Ki, Ia laki2 sejati, ia tidak benci Hian Ki, bahkan ia memaksakan Hian Ki untuk menerima cintanya si nona, karena mana mereka jadi bentrok, Sekarang, disaat ia terkurung dan hatinya sedang tidak karuan, ia ditolong oleh makhluk aneh ini, bahkan orang ini agaknya menaruh belas kasihan terhadapnya. Maka itu, walaupun heran, ia menghaturkan terima kasihnya, Pit Leng Hong tersenyum, hingga kulit mukannya yang rusak itu ber-gerak2, memperlihatkan wajahnya yang jelek dan menakutkan itu, Hian Ki pun melihatnya hingga hatinya seperti ciut, Tapi Thian Ya sekarang ia tak takut lagi, ia malah mengawasi dengan tajam. Kembali Leng Hong tertawa; "Cuma apa? Cuma apa?" dia menanya. "Didalam hatiku aku telah bersumpah, kecuali dengan kepandaian sendiri, tidak sudi aku keluar dari goa itu!" sahut Thian Ya. "Jikalau begitu, kau jadi menyesalkan aku sudah menolong kau?" "Untuk menyesali, itulah aku tidak berani, Yang benar adalah aku hendak menunggu sampai telah sempurna keyakinan ilmu silatku, waktu itu barulah aku ingin membuat perhitungan dengan siorang she In, untuk membalas penghinaannya yang sudah merampas kitab ilmu pedang." "Seorang lelaki biasanya tak sudi keberhasilan dibantu oleh orang lain, sifat dan tabiatmu ini cocok dengan sifat dan tabiatku simakhluk aneh tua, Hanya kau tidak pernah memikirkan sesuatu hal lainnya, Andaikata kau berhasil mempelajari ilmu didalam goa itu, bukankah karena itu kau telah menerima budinya In Bu Yang?" Thian Ya mementang kedua matanya, "Bagaimana itu?" ia menanya. "Aku mengetahui baik hatimu! Jikalau In Bu Yang mengambil kau sebagai murid, kau tidak sudi menerimanya, Ini diketahui In Bu Yang, maka ia kurung kau didalam goanya itu, Bukankah ditembok-tembok goa itu ada gambar2 dan peta ilmu silat pedang? Didalam hatimu, kau percaya semua peta dan gambar itu adalah intisarinya ilmu silat pedang, yang kau anggap adalah kepunyaan partaimu, maka itu, asal bukan In Bu Yang sendiri yang mengajarkan, boleh kau mempelajarinya, Pelajaran ini jadinya tidak bertentangan dengan hatimu, begitu bukan?" Siangkoan Thian Ya mengangguk, Tepat orang dapat menduga pikirannya, Sebagai orang jujur, ia tidak mau menyangkal. "Kenapa In Bu Yang mengurung kau didalam goanya?" Pit Leng Hong tanya, "Bukankah itu disebabkan keinginannya supaya kau dapat tercapai niatmu mempelajari ilmu pedang itu?" Soalnya memang sederhana sekali, tetapi Thian Ya telah dipengaruhi oleh keinginannya untuk belajar hingga sempurna, agar ia dapat menuntut balas, maka itu, ia tidak memusingkan otak untuk berpikir sampai disitu, Sekarang, setelah diberikan keterangan, ia menjadi lemas. "Kau ingin menyempurnakan ilmu silatmu," bertanya pula Leng Hong, "Gampangkah itu? Bukankah sedikitnya kau harus mengambil waktu sepuluh tahun? Syukur kalau In Bu Yang masih hidup, kalau ia celaka atau ia mati, siapa nanti membawakan kau makanan? Apakah kau dapat tinggal tetap didalam goa? Bukankah kau akan bakal keluar juga? Kau mirip seorang anak kecil berkepala batu, kau turuti saja hatimu disatu saat, lantas kau tidak memikirkan lainnya lagi, Meskipun begitu, aku suka dengan kepala batumu itu! Untuk kau sendiri dapat menuntut balas, itulah tidak sukar, Aku tanggung, didalam waktu tiga tahun, kau bakal dapat merampungkan pelajarannya!" Walaupun apa yang ia telah dengar semua, Thian Ya tetap sama keputusannya. "Tidak!," sahutnya, "Aku tidak dapat mengangkat kau sebagai guru!" Pit Leng Hong tertawa, "Apakah kau menyangka aku hendak memaksa kau mengangkat aku jadi gurumu?" ia bertanya. Thian Ya tidak menjawab, ia hanya berkata; "Aku mesti pulang dulu kegunung, untuk memberitahukan kepada ketua dari pertaiku, setelah itu, apabila dilain hari kita masih berjodoh untuk berjumpa lagi, waktu itu barulah aku akan minta kau Loojinkee, memberikan petunjuk padaku," Thian Ya menghormati aturan Rimba persilatan, Soal menukar guru adalah soal besar sekali, beda dengan atas kemauan sendiri menurunkan beberapa jurus ilmu silat, hal itu tidak ada kaitan antara guru dengan murid, itu tidak termasuk dalam larangan, Tapi Thian Ya adalah murid ahli waris, maka itu, sekalipun dalam hal urusan pribadi, ia harus memberitahukan dulu pada ketuanya. Pit Leng Hong tertawa mendengar keberatan orang itu; "Untuk memberitahukan ketuamu itu, perlu apa kau sampai mesti pulung kegunungmu?" ia berkata, "Sekarang ini kelima2nya tua bangka dari pertaimu senantiasa membuntuti dibelakangmu! Tak tahukah kau akan hal itu?" Siangkoan Yhian Ya melengak; "Apa kau bilang, Loojinkee? kelima paman guruku itu semua berada disini?" Dengan 'paman- guru' itu, Thian Ya maksudkan paman gurunya yang tua dan yang muda, yaitu supek dan susiok. Pit Leng Hong tersenyum, "Sebenarnya, begitu kaki depanmu turun gunung, kaki belakang mereka sudah lantas ikut bertindak keluar dari pintu kuilnya!" sahutnya "Sekarang ini, aku khawatir mereka sudah berada didepan gunung dan tengah berhadapan dengan In Bu Yang untuk memunta orang, ialah meminta kau dikembalikan kepada mereka? Apakah kau ingin bertemu dengan mereka itu?" Perkataannya Pit Leng Hong benar, Dugaannya itu tepat, Memang ketika itu Butong Ngoloo tengah menempur In Bu Yang, mereka sampai mesti menggunakan pukulan Ngolui Thiansim-ciang. Siangkoan Thian Ya memasang telinganya, lapat2 ia dapat mendengar suara angin keras seperti menggelegarnya guntur. Siangkoan Thian Ya berdiam, Sungguh2 ia tidak mengerti, Ia bagaikan terselimuti dalam kabut. "Ah, mengapa mereka dapat mengetahui aku datang ke Holan-san ini untuk mencari In Bu Yang?" ia mengoceh seorang diri, "Kenapa dengan diam2 mereka menguntit aku? Seharusnya mereka memberitahukan dahulu kepadaku. . ." Siangkoan Thian Ya telah menerima pesan terakhir dari gurunya yaitu Bouw It Siok, untuk dia pergi kepada In Bu Yang guna meminta pulang kitab ilmu pedang kepunyaan Bouw Tok It, Pesan itu adalah pesan yang dirahasiakan dan Thian Ya juga belum pernah memberitahukan itu kepada siapapun juga, cuma sebelum ia turun gunung, untuk pergi ke Holan-san ini, ia telah meninggalkan sepucuk surat wasiat untuk Ti Wan Tiangloo dalam mana ia memesan surat itu baru boleh dibuka dan dibaca setelah satu tahun kemudian, Pesan inipun ada hubungannya dengan pikirannya Bouw It Siok,Telah dipikir oleh It Siok, Seandainya In Bu Yang mau mengembalikan kitab itu, didalam waktu satu tahun Thian Ya tentu telah dapat kembali ke Butong-san, dengan begitu suratnya Thian Ya tersebut bisa diambil pulang tanpa sampai dibaca Ti Wan Tiangloo, surat itu boleh dibakar habis dengan tidak usah dibuka lagi, Dengan demikian, Butong Ngoloo jadi tak usah mengetahui tentang urusan kitab itu, dan dengan begitu juga, In Bu Yang tidak menjadi kehilangan muka dan malu, Tapi, seandainya didalam satu tahun Thian Ya tidak pulang, itu artinya ia berada dalam bahaya atau terjadi kejadian yang diluar dugaan, maka dengan membaca surat Thian Ya itu, bolehlah Butong Ngoloo pergi menuntut balas, Siapa tahu, Butong Ngoloo sudah lantas menyusul dalam waktu yang cepat sekali. Thian Ya menjadi heran, Pit Leng Hong mengawasi tajam pemuda itu. "Bagaimana sikap Ti Wan Tiangloo terhadap kau?" ia menanya. "Dia menyayangi aku sebagai keponakannya sendiri." Atas jawaban ini, Pit Leng Hong tertawa dingin. "Aku khawatir dia justeru menyayangi kitab ilmu pedang itu!" katanya, Ia mengeluarkan sepucuk surat, "Kau lihat ini!" ia menambahkan; "Ti Wan Tiangloo Tiangloo justeru tengah mencari delapan muridnya yang paling disayang yang lagi merantau dan mereka itu dipanggil berkumpul digunungnya!" Surat itu adalah untuk salah satu murid Ti Wan Tiangloo, bunyinya memerintahkan kepada muridnya itu untuk mencari dua saudaranya yang lain, guna diberitahukan bahwa Siangkoan Thian Ya telah pergi ke Holan-san untuk meminta pulang kitab pedang, oleh karena itu murid itu diperintahkan segera pulang ke Butong-san. Thian Ya kenal baik tulisan tangan Ti Wan Tiangloo, Ia menduga, ini tentulah bukan surat satu2nya, pasti ada lagi lain2 surat serupa untuk para murid2 Tiangloo yang lain, Dari sini dapatlah diduga, surat wasiatnya itu pastilah telah dibuka Ti Wan Tiangloo tanpa harus menunggu waktu satu tahun. Kembali Thian Ya menjublak, "Sebenarnya apakah artinya perbuatan Ti Wan supek?" ia bertanya sesaat kemudian. Pemuda ini heran, Ia memang lebih rendah tingkatnya akan tetapi dialah Ciangbunjin, ahli waris yang menjadi ketua, maka dengan perbuatannya itu, Ti Wan telah lancang membuka surat wasiat, menjadi sudah menghina ketuanya sendiri. Pit Leng Hong menghela napas. "Ini dia yang dinamakan mementingkan diri sendiri," ia berkata, yang ia maksudkan adalah egoisme, "seorang demikian terhormat sebagai Butong Ngoloo, mereka masih tidak dapat menguasai diri sendiri, Tidakkah itu harus disesalkan?" "Apa katamu ini, loocianpwee?" Thian Ya heran. "Apakah kau menyangka aku menghina supek dan susiokmu itu?" balik menanya Pit Leng Hong. "Mari, aku tanya kau, Kau tahu atau tidak kenapa gurumu, Bouw It Siok, menutup mata? Tahukah kau bagaimana matinya itu?" Thian Ya tercengang, "Guruku itu menutup mata dengan baik karena takdirnya telah sampai," ia menyahut. Pit Leng Hong menatapnya, "Tidak salah, gurumu mati disebabkan sakit," ia berkata, "Tapi dia berumur belum lewat lima puluh tahun, Apakah dia bukan mati terlalu siang? Tidakkah itu harus sangat disayangkan?" Mesti ada sebab apa2 atas kata2nya manusia aneh ini, Oleh karena orang bicaranya demikian samar2, Thian Ya jadi habis sabar, hingga ia menjadi dongkol. "Loocianpwee, aku minta kau suka bicara secara terus terang!" ia berkata nyaring, "Apakah kematiannya guruku itu, adalah kematian tidak wajar?" "Tidak wajar? Itulah tidak," jawab Poantian Sinkay, Tetapai benar kedukaan dapat menyebabkan orang meninggaldunia, Semenjak Sucouw-mu menutup mata, ia menjadi sangat berduka, Diluar dia mempunyai musuh2 yang tangguh dan didalam dia didesak saudara2 seperguruannya, Demikian tidaklah heran kalau dia mati siang2!" Thian Ya tidak mengerti, "Loocianpwee, apakah artinya musuh tangguh diluar dan desakan dari dalam itu?" dia tanya, "Aku minta loocianpwee suka menjelaskannya," "Sebenarnya musuh tangguh gurumu itu sudah mati, yang ada tinggal cucu luarnya yang seharusnya tak perlu ia khawatirkan lagi," Pit Leng Hong memberikan keterangannya, "Tentang ini baiklah belakangan saja dibicarakan pula, Tentang kematian gurumu itu, yang mati sakit karena kedukaan, sebagian adalah disebabkan desakannya kelima supek dan susiok-mu itu." Thian menjadi semakin heran; "Kenapa supek dan susiok mendesak guruku itu?" ia bertanya pula. "Ketika Sucouw-mu mendapatkan kitab ilmu pedang itu, ia mendapatkannya secara rahasia," Pit Leng Hong menerangkan pula, "Setahu bagaimana caranya, Ti Wan Tiangloo telah mendapat dengar hal itu, Menurut jalan pikirannya Ti Wan, ilmu itu tentulah bakal diturunkan kepadanya, Kejadiannya lain sekali, Kitab itu telah dicuri In Bu Yang dan pencurian ini tidak diketahui Ti Wan, Setelah Sucouw-mu meninggal dunia Ti Wan menyangka kitab itu berada ditangan gurumu, Ia menjadi jelus, ia menyangka gurumu mengangkangi sendiri kitab pedang itu, Karena itu sering kali Ti Wan datang pada gurumu, untu meminta kitab tersebut, Hal ini sangat menyulitkan gurumu itu, Kitab tak dapat ia menyerahkannya, penjelasan juga tak bisa ia berikan, Sebabnya? Ke-satu, ia malu pada muka adik seperguruannya, yaitu sumoynya yang menjadi isterinya In Bu Yang, dan ke-dua, ia jeri terhadap In Bu Yang sendiri, Demikian maka ia bersusah hati, Semua paman gurumu itu datang dengan desakan, bukan saja mereka meminta kitab, mereka juga ingin menguji gurumu itu, Bagus gurumu itu, ia adalah seorang yang sabar luar biasa, Coba kejadian itu terjadi atas dirimu, pasti kau tidak dapat menerima itu." Thian Ya ingat, memang, semenjak ia berguru, setiap tahun ada saja paman gurunya yang datang pada gurunya itu, datang secara bergiliran dan setiap kali mereka pulang, gurunya tampak sangat berduka, kadang2 sampai sepuluh hari bahkan setengah bulan, kedukaan itu masih belum lenyap, Karena itu, mulailah ia percaya Pit Leng Hong, walau tidak seluruhnya, tetapi sedikitnya ada beberapa bagian. "TiWan mendesak gurumu itu, pada masa itu masih ada soal yang lain," berkata pula Leng Hong, "Inilah soal yang mengenai dirinya yang perseorangan, didalam Butong-Pay terdapat dua macam murid, yang satu ialah yang menjadi imam, yang lainnya adalah orang biasa, yang tidak turut mensucikan diri, Kelihatannya pada ini tidak ada perbedaannya tapi sebenarnya keadaannya tidak demikian, Sebelum Sucouwmu itu, orang yang menjadi Ciangbunjin biasanya murid imam, tapi sekarang Sucouw-mu menyimpang dari jalan yang biasa itu, Sucouw-mu pandai ilmu surat dan ilmu silat, jauh pandangannya, maka itu, ia telah mengangkat seorang murid bukan imam sebagai ahli warisnya, yang bakal memimpin partainya, Di-luar, kawanan hidung kerbau itu tidak mengatakan suatu apa, Karena kalau mereka menyatakan tidak puas dan hal itu dapat didengar Sucouw-mu, tak baik untuk diri mereka sendiri, Sekarang lain halnya, Sekarang gurumulah yang menjadi pimpinan, Mereka menjadi sangat tidak puas, Demikian juga Ti Wan Tiangloo yang berani membuka dan membaca surat wasiatmu itu, setelah mana dengan cara kilat ia memanggil pulang delapan muridnya yang terpandai, Maksudnya ialah mengumpulkan murid2nya itu supaya mereka ber-sama2 dengan kau dapat meyakinkan ilmu pedang itu, bila akhirnya ada satu diantaranya yang dapat mengalahkan kau, Sampai waktu itu, dengan menggunakan kekuasaannya sebagai Tiangloo tertua dapat ia mengganti Ciangbunjin, Dalam hal itu ia dapat memakai alasan kebijaksanaan, Maka dengan begitu, akan runtuhlah kedudukanmu sebagai Ciangbunjin, Maka kemudian, kekuasaan atas Butong-Pay kembali ketangannya kaum imam itu." Panas hatinya Thian Ya, meski ia masih ragu2, separuh percaya, separuh tidak, Ia terus mengawasi simanusia aneh. Pit Leng Hong tertawa terbahak; "Apakah kau menyangka aku ber-kata2 karena kedengkian?" ia tanya, "Apakah kau sangka aku sebagai simanusia hina dina yang hendak memfitnah seorang budiman? Ha ha ha ha! Buat bicara terus terang, aku sendiri juga ada hubungannya diantara aku dengan kitab pedang itu! Aku percaya, setelah gurumu menutup mata, dia pasti meninggalkan pesan, karena itu secara diam2 aku menguntit kau sampai disini. Sebenarnya aku hendak mencuri surat wasiatmu itu yang dititipkan kepada Ti Wan, kesudahannya maksudku tidak kesampaian, sebaliknya, aku dapat curi ini sepucuk suratnya Ti Wan yang untuk murid2nya itu, Bahkan aku dapat mencuri dengar juga pembicaraannya dengan keempat saudara seperguruannya itu, Sekarang aku telah menjelaskannya semua, maka terserahlah padamu, kau mau percaya atau tidak!" Siangkoan Thian Ya paling membenci orang yang tidak berlaku terus terang, ia sekarang mempercayai habis orang aneh ini, maka dengan keras sekali ia berteriak: "Aku tidak mengharapkan lagi kedudukan Ciangbunjin dari Butong-Pay!" Dan dalam murkanya itu, ia robek hancur suratnya Ti Wan. "Bagus, kau bersemangat!" memuji Pit Leng Hong. "Nah, bagaimana sekarang dengan itu kitab ilmu pedang?" "Kitab itu milik Couwsu, tetapi juga layak menjadi kepunyaan Butong-Pay," menjawab Thian Ya, "Maka itu, setelah aku tidak menghendaki lagi kedudukan Ciangbunjin, akupun tidak mengharapkan itu lagi!" Tapi Pit Leng Hong tertawa dingin; "Yang benar kitab itu bukan kepunyaan Sucouw-mu!" katanya dengan dingin pula. Thian Ya terperanjat, "Apa?" teriaknya, "sebelum guruku hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dia telah memberitahukan aku jelas dan terang, katanya kitab pedang itu Sucouw mendapatkannya dari dalam sebuah goa batu, Mustahilkah keterangannya Sucouw pun dusta?" "Separuh benar, separuh dusta!" jawab Pit Leng hong singkat. Lagi2 Thian Ya melengak, Dimasa pemuda ini mengangkat guru, kakek gurunya itu sudah meninggal dunia, tetapi ia telah mendapat dengar dari orang2 yang terhitung tetuanya, bahwa kakek gurunya itu ialah tayhiap (pendekar) dijamannya itu, karenanya ia sangat menghargainya maka heran sekarang ia mendengar yang begini dari Pit Leng Hong, Coba yang mengatakan itu bukan ini manusia aneh, pasti ia tidak mau mengerti, Sekarang ia hanya dapat menatap wajah orang. Pit Leng Hong melirik anak muda itu. "Aku tidak heran yang kau tidak mau mempercayai aku," katanya, tenang, "Jikalau bukannya aku melihat denan mataku sendiri, aku juga tidak nanti percaya Bouw Tok It, hanya disebabkan satu kitab ilmu pedang itu, sudah bertempur dengan satu tayhiap lain, bahkan mereka bertempur mati2an selama satu hari satu malam." Thian tetap mengawasi, "Loocianpwee, tolong kau memberikan penjelasanmu," ia memohon. Pit Leng Hong berdiam sejenak sebelaum ia menyahuti. "Duduk perkaranya luar biasa sekali, Aku situa bangka mempunyai semacam tabiat, Ialah tanpa bukti, aku lebih suka tidak membuka mulut, Hanya untuk mencari bukti, itulah bukan pekerjaan sukar, Kitab ilmu pedang itu memang tersimpan didalam sebuah goa batu, Karena itu aku bilang, keterangan kakek gurumu itu separuh benar, Sekarang aku menyebut tentang seorang lain, yang gagah luar biasa, Disaat dia ini hendak menutup mata, dia sudah meninggalkan pesan wanti2, pesan itu diberikan kepada itu tayhiap yang namanya sama kesohornya dengan kakek gurumu itu, Hari itu kebetulan sekali mereka berdua ada bersama didalam goa batu itu, Kakek gurumu itu bertarung sama tayhiap itu, setelah satu hari satu malam, dia berhasil merampas itu kitab ilmu pedang, Walaupun begitu, kakek gurumu kena terluka pedang lawannya, Ia menjadi gusar, maka sekalian ia hendak merampas juga pedang itu, Sudah aku bilang, orang itu sama tersohornya dengan kakekmu, benar dia kena dikalahkan tapi pedang itu tidak kena dirampas, kecuali dua potong gelangnya, yang terbuat dari kumala, yang kena kakekmu putuskan, Sekarang kedua gelang kumala itu berada ditanganku, sedang pedangnya berada ditangannya In Bu Yang, Nanti aku cari In Bu Yang, untuk merampas pedang itu, supaya kau bisa lihat tapak kuku diatasnya, setelah kau pasang pula gelang kumalanya, baru kau mengetahui jelas, Nah, kau dengarlah suara pertempuran di gunung depan itu, kelihatannya Butong Ngoloo bakal kalah, Sebetulnya aku juga bukan tandingan dari In Bu Yang, akan tetapi menggunakan ini kesempatan yang baik, hendak aku mencobanya, Kau tunggulah aku disini, sebelum matahari sirna, aku sudah akan kembali, waktu itu aku nanti akan memberikan penjelasan yang lengkap kepadamu." Siangkoan Thian Ya kena dibuat bimban, Jadi sungguh sukar untuk mencari seorang laki-laki sejati, yang dapat mengorbankan diri. Juga Tan Hian Ki tidak kurang bimbangnya, bahkan Hian Ki merasa sangat menyesal, Pemuda ini dapat mengingat suatu apa, Maka berpikirlah ia: "Siapa itu tayhiap, siorang gagah, yang disebutkan orang aneh ini? Siapa lagi dia kecuali Tan Teng Hong yang menjadi kakek luarku? Pedang ditangan So So itu memang benar ada tapak kukunya, sedang menurut cacatan yang ditinggalkan kakek luarku itu, ada disebut juga halnya kedua gelang kumala itu yang menjadi perhiasan pedang, Pedang itu. . .pedang itu. . .Mungkin itu pedangnya kakek luarku? Kenapa sekarang pedang berada ditangannya In Bu Yang? Selagi Hian Ki berpikir demikian, ia mendengar Siangkoan Thian Ya menghela napas panjang dan berkata; "Loocianpwee, aku mengerti maksudmu, Kau hendak menempuh bahaya untuk merampas pedang itu dari tangannya In Bu Yang dan diberikan untukku, Loocianpwee, sekarang rela aku mengangkat kau menjadi guruku!" Hian Ki menjadi heran sekali, hingga ia tercengang, Seorang ahli waris Butong-Pay mengangkat siorang aneh ini menjadi guru! Tidakkah itupun aneh sekali? Tentu sekali, ia tidak dapat mencegah, karena ia kenal baik tabiatnya sang sahabat. Thian Ya sudah lantas paykui (sujud menghormat) tiga kali kepada siorang aneh, maka jadilah dia gurunya! Pit Leng Hong tertawa lebar. "Tahukah kau siapa aku sebenarnya?" ia menanya, Baru sekarang ia mengajukan pertanyaan itu, "Kau telah mengangkat aku menjadi gurumu, apakah kau tidak takut dibelakang hari kau nanti jadi menyesal?" "Tidak perduli siapa adanya loocianpwee, teecu akan tetap mengikuti loocianpwee sebagai guruku!" menjawab Thian Ya, singkat dan pasti. Pit Leng Hong tertawa pula; "Sekalipun she dan nama serta asal usulku kau masih belum ketahui!" katanya pula, "Kau telah menaruh kepercayaan besar atas diriku, kau rela menjadi muridku. . . .ha ha! kau bukan saja muridku yang baik, bahkan kaulah orang satu2nya yang mengenal diriku!" "Kata2nya orang aneh ini sama anehnya dengan wajahnya yang luar biasa," Hian Ki berpikir pula. Setelah habis Leng Hong tertawa lalu terdengar suaranya yang keren, Tegas sekali setiap kata2nya; "Aku bernama Pit Leng Hong! Pada dua puluh tahun yang lampau, orang menyebut aku Kayhiap si Pengemis Pendekar! Sekarang ini, dijaman angin tinggi dan rembulan gelap, aku adalah satu penjahat besar tukang mengobarkan api dan membunuh orang! Maka siapa yang menjadi muridku, dia mesti turut aku menjadi penjahat juga! Apakah kau tidak bakal menyesal?" Mendengar ini, Siangkoan Thian Ya melengak, Sedang dari luar rimba terdengarlah samar-samar nyanyiannya Siauw Un Lan: "Rembulan dilangit mengejar sang Surya, Nona dibumi mengejar kekasihnya. . . ." Berselang nyanyian itu, terdengar panggilan; "Hian Ki! Hian Ki. . ." Thian Ya masih berdiri menjublak, saat itu tawarlah hatinya, Tawar untuk gurunya yang lama, untuk hari kemudiannya, terhadap Un Lan juga, sekarang ia mirip dengan gelembung air yang pecah musnah. . . Pit Leng Hong mengawasi, pada wajahnya tak nampak sesuatu perasaan. "Benar2kah kau tidak bakal menyesal?" tanyanya tawar. Baru sekarang Siangkoan Thian Ya menjawab, tetap suaranya; "Dari pada menjadi orang gagah yang palsu, memang lebih baik menjadi penjahat tukang bunuh orang dan melepas api! Dunia begini rusuh, hitam dan putih bercampur aduk menjadi satu, maka untuk hidup sudah cukup asal kita tidak melakukan yang memalukan hati sendiri! Apakah halangannya menjadi penjahat asal penjahat yang membuat gentar hati simanusia licin dan busuk?" "Akur! Akur!" terdengar timpalannya Pit Leng Hong. "Kepuasannya menjadi satu penjahat pastilah lebih menang dari pada satu Ciangbunjin yang hanya namanya saja! Baiklah, mulai hari ini kaulah ahli warisku, Sekarang aku hendak pergi mengambil kitab dan pedangnya In Bu Yang untuk dihadiahkan kepadamu sebagai tanda mata pertemuan kita ini!" Lantas Hian Ki mendengar suara beradunya tongkat dengan tanah, nyaring dan cepat, sesaat kemudian, bayangan Pit Leng Hong telah lenyap, lenyap juga suara tongkat besinya itu. Sampai disitu, Hian Ki melompat keluar dari tempat sembunyinya. . . "Saudara Siangkoan!" ia memanggil, keras, "Kau membuat aku sengsara memikirkanmu!" Sebenarnya pemuda ini hendak terus menanyakan pengalaman orang, Tapi ketika Siangkoan Thian Ya, dengan mata mendelik , dengan membentak, menjawab padanya: "Siapakah yang menghendaki kau memikirkannya? Ada orang lain yang bersengsara karena memikirkan kau, kau tahu tidak!?" Hian Ki melengak disenggapi secara demikian, Thian Ya menuding, ia membentak pula dengan pertanyaannya; "Enci Un Lan me-manggil2 kau, kau dengar atau tidak?" 'Saudara Siangkoan," berkata Hian Ki membandel, "Kau. . .kau dengar aku. . ." Thian Ya tetap tidak memperdulikan; "Jikalau kau masih ingat aku sebagai sahabatmu, lekas kau cari Un Lan, untuk mengajak dia bertemu sama aku!" katanya pula, "Aku ingin kamu mengikat perjodohan didepanku, kamu mesti saling berjanji, sesudah itu baru hatiku lega!" "Didalam urusan lain, meski juga tubuhku hancur lebur, tidak nanti aku menolak," berkata Hian Ki, "Melainkan didalam hal ini, aku tidak sanggup menerimanya." Sepasang alisnya Thian Ya terbangun, kedua tangannya pun mencabut sepasang gaetannya itu Hokciu-siangkiau; "Aku sudah mengambil keputusan untuk menjadi penjahat!" dia berteriak, "Kau begini tidak berbudi terhadap enci Un Lan, apakah kau ingin aku membunuhmu supaya habislah pengharapannya enci itu, supaya dia tidak usah menderita lebih lama karena selalu memikirkan kau? Apakah kau ingin aku membunuhmu supaya akupun tak usah berduka lagi?" Sembari berkata begitu, pemuda ini menggeraki gaetannya, Hian Ki tidak mundur, sebaliknya, ia majukan diri. "Kenapa kau tidak mau mencabut pedangmu?" Thian Ya tanya. "Aku menghendaki kau dan enci Un Lan tidak bersusah hati!" menjawab Hian Ki, "Untuk itu aku rela terbinasa diujung gaetanmu!" Thian Ya menjadi amat gusar, "Kau. . .kau!" serunya, "Biarnya mati kau tetap tidak menghendaki enci Un Lan? Kenapa kau begini sangat tidak mempunyai hati?" "Sebab hatiku telah aku serahkan kepada lain orang," menyahut Hian Ki, tetap. "Kau hendak memerintahkan aku menyerahkan apa kepada enci Un Lan?" Thian Ya melengak. "Ha, kiranya benar kau telah ter-gila2 puterinya In Bu Yang!" katanya kemudian, "Hm! Hm! Kau kena dipincuk anak gadisnya musuhmu!" Sekarang Hian Ki yang menjadi gusar. "Kau pandang aku punya So So orang macam apa?" dia membentak, "Siangkoan Thian Ya, oh, Siangkoan Thian Ya, nyatalah aku melihat keliru pada dirimu!" Thian Ya heran. "Apa?" "Aku melihat kau menyintai enci Un Lan, Kau bersengsara," jawab Hian Ki. "aku percaya kaulah seorang laki2 yang romantis, tetapi sekarang terbukti, kau tidak mengenal apa cinta itu!" Matanya sianak muda bersinar. "Apakah cinta itu?" ia menyambung, "Cinta itu melebihi jiwa sendiri! Cinta tidak menghiraukan berhasil atau gagal, terhormat atau terhina! Cinta ialah hati ditukar, dua hati menjadi satu, orang dua, sebenarnya satu! Biarpun bunyi gempa dan langit ambruk, biar angin dan mega berubah warna, cinta itu tetap dan abadi, tak nanti tergeser oleh apapun juga!" Thian Ya terdiam, tetapi otaknya bekerja. "Ya, apakah terhadap Un Lan aku tidak memikir demikian? katanya dalam hati. Hian Ki berkata pula: "Semenjak aku melihat So So pertama kali, hatiku telah aku pasrahkan kepadanya, seumurku belum pernah aku melihat seorang nona yang putih bersih, yang polos sebagai dia! Dialah yang untuk orang lain rela melupakan dirinya adalah seorang anak dara, maka itu aku junjung dia seperti aku menjunjung ibuku! Satu hari aku hidup didalam dunia, satu hari aku melarang orang berkata busuk tentang dirinya! Mengapa kau hendak memaksa aku meninggalkan dia untuk menyintai orang lain?" "Mungkinkah dia lebih menang daripada Un Lan?" kata Thian Ya seperti pada dirinya sendiri. "Bagus!" Hian Ki berseru dan tertawa, "Akhirnya kau mengerti juga sedikit! Kau tahu, dimatanya setiap orang, Kekasih dialah orang yang paling cantik manis bagaikan bidadari! Aku menyintai So So seperti kau menyintai enci Un Lan! Mengertikah kau sekarang?" Thian Ya tercengang, lalu dia melemparkan gaetannya, untuk menubruk Hian Ki dan dirangkul erat2, Diapun menangis ter-sedu2. Hian Ki tidak menyangka orang yang mempunyai nyali demikian besar bisa menangis seprti itu, Tapi iapun mengerti, Maka, ia menyekal erat2 kedua tangannya Thian Ya. "Thian Ya," katanya , perlahan, "Jikalau So So menyintai orang yang kedua, akupun bisa jadi seperti kau sekarang ini, tetapi So So sangat menyintai aku, maka, tidak ada apapun juga yang dapat memisahkan kami, Thian Ya, jangan kau bersedih untuk enci Un Lan, Didalam dunia ini tidak ada orang lain yang menyintai dia seperti kau menyintainya, Pada satu waktu nanti enci Un Lan bakal kau buat tergerak hatinya, Jikalau kamu berdua menikah, kamulah orang yang paling berbahagia, Saudaraku, kau jangan lagi memikir apa2 yang tolol. kau dengar aku, Nah, pergilah kau cari dia!" Thian Ya menyusuti air matanya, Tapi ia mesih berdiam saja; "Kau tidak tahu hatinya Un Lan," katanya kemudian. "Sebenarnya dia cuma memikirkan kau seorang, Habis bagaimana aku harus berbuat? Aku tidak suka memisahkan kalian, akupun tidak mau membuat enci Un Lan bersusah hati. . ." Ketika itu mendadak terdengar suara orang tertawa dingin sambil terus mengatakan: "Eh, anak2 tolol, kamu sedang menangisi apa?" Kedua pemuda itu kaget sekali, hingga keduanya berjingkrak memisahkan diri, Thian Ya menjadi sangat gusar; "Aku menangis sendiri, ada sangkut-paut apakah denganmu?" ia menegur, Ia pun mengangkat kepala, untuk mengawasi orang itu, Ia melihat seorang yang berusia lebih kurang lima puluh tahun, tubuhnya besar dan kekar, hidungnya bengkong, matanya celong, tetapi kedua matanya bersinar tajam, Ia terus mengawasi, karena ia merasa pernah bertemu orang ini, cuma entah dimana?. Selagi orang berdiam, orang itu tertawa lebar dan berkata pula: "Kiranya kaulah Siangkoan Thian Ya Ciangbunjin yang baru dari Butong-Pay! Dalam usia begini muda kau sudah menjadi ketua partai, apakah itu masih tidak memuaskanmu?" "Kau siapa?" Thian Ya menegur, "Aku tidak suka jadi Ciangbunjin, kau tidak mencampurinya tahu!" Kembali orang itu tertawa; "Oh, kiranya demikian sikapmu!" katanya,"Apakah mungkin Ti Wan Tiangloo hendak merampas kedudukan Ciangbunjin-mu itu untuk diserahkan kepada muridnya sendiri? Kalau benar, kau jangan bersusah hati! Aku dengan gurumu bersahabat rapat, nanti aku tunjang padamu, asal kau suka membantu aku melakukan sesuatu. . ." Thian Ya menjadi sangat tidak sabaran, ia hendak mengumbar marah tatkala kembali orang itu tertawa dan terus ia menunjuk Hian Ki seraya berkata; "Kau beritahu aku, siapa ini bocah! Benarkah dia adalah Tan Hian Ki yang diperintahkan Ciu Kong Bi untuk mencari In Bu Yang? Tahukah apa yang dia bicarakan dengan Bu Yang? Masih ada lagi seorang lain yang bernama Cio Thian Tok, apakah benar diapun telah datang kemari mencari Bu Yang itu? Aku tahu kau telah datang kerumahnya In Bu Yang, untuk meminta pulang kitab ilmu pedang, maka didalam selama dua hari, kau mesti berada dirumahnya siorang she In, Apakah yang kau lihat? Apakah yang kau telah dengar? Lekas kau beritahukan padaku!" Hian Ki sendiri berdiam saja matanya mengawasi orang itu, maka cepat sekali ia mengenalinya, Ia terperanjat, Orang ini bukan lain adalah orang yang malam2 pulang bersama Bu Yang, yang minta Bu Yang untuk menyingkirkan semua orang2 bekas pengikut Thio Su Seng, Dialah kepala komandan dari Kimi-wi (pasukan pengawal kaisar Beng), dialah Lo Kim Hong. Maka berpikirlah ia; "Ketika malam itu dia turun gunung,kebetulan Cio Thian Tok dan Cit Siu Toojin pun turun gunung bersama, saling susul, maka mungkin sekali dia dapat melihat Thian Tok, Rupanya dia takut menemui Thian Yok, atau belakang mungkin dia berbalik pikir, mungkin dia menyangka Thian Tok Mempunyai hubungan dengan Bu Yang, maka dia batal pergi dan terus balik kembali, untuk membuat penyelidikan, Aku sendiri seorang muda, yang baru pertama kali ini muncul didunia kangouw, namaku tidak terkenal, kenapa dia tahu aku?" Hian Ki menduga benar separuhnya, separuhnya lagi tidak, Sebetulnya dia secara diam2 telah dikuntit oleh seseorang dari istana kaisar, Sebabnya ialah: Cu Goan Ciang sangat memperhatikan bekas pengikut Thio Su Seng, maka itu disamping menugaskan Lo Kim Hong, ia juga mengirim orangnya yang lain lagi, Tugasnya sama, ialah menbuat penyelidikan, Ciu Kong Bi itu adalah pimpinan pasukannya Thio Su Seng dibagian Selatan, tanpa sepengetahuan Ciu- Kong Bi, dirumahnya telah disusupi mata2 pemerintah, maka itu, ketika Tan Hian Ki diberi tugas menyatroni In Bu Yang, rahasia mereka lantas saja bocor, Syukur untuk Hian Ki, ia menunggang kuda jempolan, malah ia berangkat dua hari lebih dulu, ia menjadi tidak tersusul, Untuk menyusul dia, Cu Goan Ciang menugaskan tiga jago lainnya dari istana. Kebetulan sekali, Lo Kim Hong bertemu dengan tiga rekannya itu setibanya dimulut gunung, Karena itu Lo Kim Hong jadi mendapat tahu halnya Hian Ki, Maka ia juga naik pula kegunung, ke-satu untuk mencari tahu halnya Cio Thian Tok, ke-dua untuk memcoba membekuk pemuda she Tan ini guna mengorek keterangan dari mulutnya. "Kau mempunyai Hak apa maka kau ingin memaksa aku bicara tentang dia?" tanya Thian Ya gusar. "Bagus benar, ya!" Kim Hong membentak, "Apakah kau tidak ingat siapa aku ini?" Tapi sekarang Thian Ya pun sudah ingat dan mengenalinya; "Kaulah Lo Kim Hong congci-hui dari Kimi-wi!" Ia menyahuti. "Guruku mau memandang mukamu tetapi aku tidak!" Lo Kim Hong tertawa; "Kedudukan sebagai Ciangbunjin belum tetap, apakah kau tidak ingin aku menunjangnya?" ia tanya, "kau telah ketahui aku siapa, maka mustahil kau tidak tahu siapa ini sahabatmu? Dialah turunan sisa orang2nya Thio Su Seng! Dia telah bertemu denganku, mana dapat aku melepaskannya? jikalau kau menceritakan segala apa kepadaku, bukan saja kau akan berjasa terhadap pemerintah agung, juga kedudukanmu sebagai Ciangbunjin dari Butong-Pay, tidak bakal ada orang yang berani ganggu! Ini namanya satu kali bergerak mendapatkan dua hasil sekalian! Bukankah ini bagus sekali untukmu?" Thian Ya menjadi ber-tambah2 gusar, hingga tak dapat ia mengendalikan diri lagi; "Jahanam, tutup rapat mulutmu!" ia mendamprat. "Aku Siangkoan Thian Ya, apa kau sangka aku sipenjual sahabat untuk pangkat besar?" Lo Kim Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa lebar; "Kau benar2 seorang yang masih hijau!" katanya, mengejek. "Sekali saja aku memancingnya, kau kena makan umpan! Benar saja bocah ini Tan Hian Ki adanya!" "Memang aku Tan Hian Ki, habis kau mau apa?" Hian Ki menantang, "Jikalau kau hendak bicara sama aku, bicaralah! Saudara Siangkoan, urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau, kau pergilah!" Sengaja Hian Ki mengatakan demikian, sebab maksudnya ialah untukmembuat Thian Ya dapat membebaskan diri, Mengenai diirnya sendiri, ia mau lihat keadaan, Ia tahu Lo Kim Hong lihay, Bukankah dia salah seorang jago nomor satu dari Cu Goan Ciang? Bukankah In Bu Yang pun menghormati dia? Pasti dia tak kalah kosen daripada Bu Yang, Tapi ia tidak takut. Ditantang secara begitu, Lo Kim hong tertawa mengejek; "Aku tidak percaya kau dapat bicara dengan jujur, bocah cilik!" katanya, "Siangkoan Thian Ya, kau pikirlah masak2! Untuk hari depanmu yang penuh dengan pengharapan besar, aku percaya kau bakal tidak mendustai aku!" Selagi orang membuka mulutnya, Siangkoan Thian Ya telah mengambil kembali gaetannya; "Seorang lelaki tidak dapat diperhina!" ia berseru, "Binatang, kau anggap aku sebagai satu penjual sahabat? Sungguh kau sangat menghina aku! Aku mesti mengadu jiwa denganmu! Saudara Hian Ki, kau mempunyai tugasmu, Kau pergilah!" Sebaliknya daripada mengangkat kaki, pemuda ini justeru membela. Lo Kim Hong tertawa pula; "Sungguh satu sahabat sejati!" ia mengejek. "Bocah2, kalian berebut mengantarkan jiwa, bagus sekali! Sekarang kalian tidak usah saling berebut, kamu berdua tak dapat pergi lagi!" Perkataan jago dari istana itu diikuti gerakan tubuhnya dengan kedua tanganya menyambar, tangan kiri kepada Hian Ki, sedangkan tangan kanan kepada Thian Ya, Ia mau membekuk dua anak muda ini, untuk dikompres, guna mengorek keterangannya. Siangkoan Thian Ya menyerang dengan gaetannya, tetapi terbentur tangan Kim Hong, sepasang gaetan itu terpental balik, tangan Kim Hong itu menyambar terus kedada, Thian Ya kaget, tetapi ia tidakmundur, bahkan dia maju terus, sepasang gartannya digeraki bersilang. Inilah Lo Kim Hong tidak menyangka, ia menjadi bersangsi, Biar bagaimana, Thian Ya adalah Ciangbunjin dari Butong- Pay, kalau ia membinasakannya, ia akan menanam bibit permusuhan hebat dengan satu partai kenamaan itu, Maksudnya pun cuma hendak membekuk pemada ini, guna mengorek keterangannya perihal Tan Hian Ki. Selagi Kim Hong masih ragu2 itu, Hian Ki yang telah berkelit dari sambaran, sudah menghunus pedangnya, dengan itu ia membalas menyerang. Tentu sekali, jago istana itu mesti melindungi dirinya, Diluar tahunya, selagi ia berkelit dari ujung pedang, gaetan sudah menyambar pula, maka kali ini, tidak ampun lagi, baju tangan yang kiri kena dirobek pecah, Ia menjadi panas hatinya, hingga wajahnya menjadi muram. "Baiklah, kedua binatang, kalian mencari mampus sendiri!" ia berseru. "Tuan besarmu akan membuat kalian, hidup tidak, mampuspun tidak!" Lihay jago dari istana ini, Ia menangkis pedang Hian Ki, tiga jarinya diluncurkan terus, untuk mencengkeram nadi orang. Siangkoan Thian Ya hendak menolongi sahabatnya, sebab tidak ada jalan lain, ia menimpuk dengan gaetannya yang kiri, hingga bagaikan bianglala, gaetan itu melayang kepunggung Kim Hong. Bukan main gusarnya pahlawan kaisar itu, Ia memutar tangannya dan menangkapi gaetan, untuk dicekal. "Oh, bocah tidak tahu mampus!" ia membentak, Ia mengerahkan tenaganya, membuat gaetan ditangannya itu menjadi patah dua. Sementara itu Tan Hian Ki telah lolos dari bahaya, Kim Hong tidak berhenti hanya dengan bentakannya itu, dengan hati panas, ia menyerang Thian Ya, ia menimpuk dengan sepotong gaetan orang, Maka suatu sinar kuning emas terbang kearah anak muda she Siangkoan itu! Hian Ki menolong sahabatnya, sambil melompat, ia sampok gaetan itu, Kedua senjata bentrok satu dengan lain, diantara suara nyaring, lelatu api pun muncrat berhamburan, Gaetan itu jatuh ketanah, tetapi pedang Hian Ki juga gompal! Bahkan Hian Ki merasakan telapak tangannya nyeri sekali. Siangkoan Thian Ya kaget: "Coba Hian Ki tidak menolong, pastilah punggungku ditembusi gaetanku itu," pikirnya, Tapi walaupun demikian, ia tidak jadi mundur, serentak bersama kawannya, ia maju pula, Ia menggunakan gaetan kanan dibantu dengan tangan kirinya, Hian Ki tetap menggunakan pedangnya. Mereka ini muda tetapi mereka telah mempunyai masing2 kepandaiannya, Dalam gebrakan pertama mereka tidak berdaya, selanjutnya mereka berlaku waspada. Thian Ya mengeluarkan ilmu keluarga Bouw, ia menggunakan jurus2nya Bouw Tok It yang tak pernah diajarkan kepada orang lain, maka dari itu selama kira2 duapuluh jurus ia dapat bertahan, Hian Ki pun mengeluarkan kemampuannya. Lo Kim Hong mendongkol sebagai jago nomor satu dari istana ia dipermainkan oleh dua orang bocah, karena itu, ia bertempur tidak dengan setengah hati lagi, Ia bertangan kosong tetapi tangannya dapat digunakan sebagai senjata tajam, Diantara pedang dan gaetan, ia mencoba merangsek, Menghadapi Thian Ya, ia masih me-nimbang2, tetapi terhadap Hian Ki, ia menurunkan tangan dari kematian. Setelah beberapa jurus, Lo Kim Hong menggerakkan kedua tangannya, Dengan tangan kiri ia menahan tubuh Thian Ya, dengan tangan kanan ia hendak mencengkeram pundak Hian Ki dengan maksud mencari tulang pipee yang berbahaya. Celaka kalau pundak sianak muda itu berhasil menjadi sasaran, selain tertawan, ilmu silatnya juga bakal musnah. Thian Ya melihat itu, ia menjadi kalap, Ia mainkan gaetannya untuk mendesak, guna menolong sahabatnya, Tapi ia tidak berdaya, ia terus terhalang, Akhirnya ia putus asa, ia menjadi nekat, Untuk kedua kalinya, ia menyerang dengan menimpukkan gaetannya itu, yang tinggal satu2nya itu! Jari tangannya Kim Hong baru meraba bajunya Hian Ki ketika ia mendengar desiran angin hebat, terpaksa ia menggeser tubuhnya untuk berkelit, berbareng dengan itu, Hian Ki pun membungkuk, hingga dia lolos dari cengkeraman, sedang disaat bersamaan, dia menyontek pedangnya dari bawah keatas, Dia tidak berhenti meski bahaya baru lewat, dia tak mengambil peduli musuh sangat lihay. Lo Kim Hong benar2 lihay, sambil berkelit ia menangkapi gaetan, setelah ia dapat menangkapnya, dikerahkan pula tenaganya, untuk mematahkan gaetan itu, setelah itu, tangan kirinya terus dipakai menyerang. Siangkoan Thian Ya menjerit, tubuhnya roboh, bahkan ia lantas pingsan. Hian Ki terkejut, apalagi ketika Kim Hong dengan jari tangannya menekan pedangnya, untuk mencegah sontekannya, sedang dengan sisa gaetan, dia menghajar kedada orang dimana terdapat jalan darah kibunhiat. Bersamaan dengan saat yang sangat berbahaya bagi Hian Ki itu, terdengar suara tertawa mengejek yang dingin, suaranya seorang wanita, yang disusul teguran: "Siapa yang sudah berani main gila didepan rumah keluarga In?" Kata2 itu juga diikuti terbangnya sebutir batu, yang tepat mengenai gaetan yang digunakan Kim Hong sebagai senjatanya, Karena itu, gagallah serangan yang mengancam jiwa itu. Lo Kim Hong menjadi terkejut, ia lantas menoleh; "Oh, enso In!" ia berseru. "Enso, bocah ini dialah yang hendak membunuh In Toako!" Hian Ki, yang lolos dari bahaya, juga berpaling kepada penolongnya, Ia mengenali Nyonya In Bu Yang, karena mana ia merasa bahwa ia seperti sedang bermimpi. Sepasang alisnya Nyonya In Bu Yang bangun berdiri, kedua matanya bersinar, benar ia tampak berduka, akan tetapi sikapnya keren, Itulah disebabkan kemurkaannya. "Aku tidak peduli dia siapa!" dia berkata dengan dingin. "Aku melarang kau turun tangan dihadapanku!" Lo Kim Hong melengak, Akhirnya ia mendongak dan tertawa lebar; "Aku mengira dia musuh dari In Toako, aku tidak duga bahwa enso begini melindungi dia!" ia berkata. "Dengan begini nyatalah aku siorang she Lo terlalu usil. . ." Belum berhenti suaranya pahlawan kaisar ini, tubuhnya sudah mencelat menghilang kedalam rimba yang lebat. . . Hanya sekejab, air mukanya Nyonya In berubah pula, Tak lagi sekeren tadi, Kedukaannya pun berkurang, Bahkan sekarang ia bisa tersenyum, Dengan mata tajam ia menatap Hian Ki, sinar matanya memperlihatkan hati yang berbunga. "Kaukah Tan Hian Ki?" ia menanya, sabar. Hian Ki masih seperti sedang bermimpi, ketika ia mendengar atas pertanyaan itu; "Ya, benar," sahutnya gugup, "Nyonya In, kau telah kembali?" ia balik menanya, Begitu menanya, ia menjadi menyesal, Ia sudah kelepasan bicara, Bukankah nyonya itu pergi karena saking berduka? Kenapa ia mesti menanyakan hal yang dapat membangkitkan kesedihan orang? Tidakkah ia jadi membeberkan rahasia hatinya si nyonya? Tapi ia sudah membuka mulutnya. Jawaban Nyonya In berada diluar dugaan pemuda ini, Pertanyaannya itu tidak dipandang berarti. "Memang, aku telah kembali," demikian si nyonya menyahuti. "Aku pulang untuk So So, Melihat kau, hatiku lega sebagian. . ." Hian Ki hatinya berdebaran, ia pun bingung, Nyonya In melanjutkan bicaranya tanpa memperhatikan kelakuan orang; "Apa yang kau bicarakan dengan Thian Ya, semua aku telah dengar nyata, Apakah benar2 kau menyintai So So?" demikian nyonya itu. "Dengan So So aku berkenalan baru beberapa hari," menyahut Hian Ki, hatinya pun lega, "Meski begitu aku telah merasa bahwa dialah orang yang paling terdekat dengan aku, yang paling aku sayangi, Sebenarnya, aku menyinta dia melebihi aku menyayangi diriku sendiri. "Ya, jodoh itu memang aneh sekali!" berkata si nyonya, Ia tidak menjadi gusar mendengar itu jawaban jujur, Ia malah menjadi sabar sekali. "So So tidak mengatakan apa juga kepadaku akan tetapi sebagai ibu, aku dapat merasakan hatinya itu, Aku tahu dia pun sangat menyintai kau, Aku telah mendengarnya ia memanggil namamu dalam tidurnya." Justeru disaat itu diudara terdengar alunannya nyanyian, suara yang turun dari atas bukit, Itulah nyanyian yang So So pernah perdengarkan kepada Hian Ki, ialah dua bait dari kitab syair: "Kuda putih yang bagus, makan rumput di ladangku, Mengikat dia, menambat dia, Untuk melewati sang hari ini, Dan itu orang, itu orang Dia pernah bersiar bersama... Kuda putih yang bagus, Kembalikan dia kedalam lembah, Dia menggeyam rumput hijau, Dan itu orang, cantik bagai kumala, Jangan lupa membagi aku warta, Janganlah kau menjauhkan hatiku!" Mendengar nyanyian itu, Hian Ki menjadi tidak karuan rasanya, hingga air matanya meleleh turun, Ia tidak tahu mesti bergirang atau berduka, Ia memasang telinga tetapi tak tahu pasti ia dari arah mana datangnya suara itu. Nyonya In juga berdiri menjublak, Baru selang sesaat, ia menghela napas; "Demikian sangat So So memikirkan kau," katanya, perlahan. "Dia sedang mencari kau, sayang salah arahnya. . .Menurut nyanyiannya itu, ia berada ditempat yang berlawanan dengan kita, Tetapi, tidak apa, apabila ia tidak dapat mencari kau, dia bakal pulang juga." Setelah berhenti sesaat, Nyonya In melanjuti: "Sebenarnya aku tidak ingin lagi bertemu pula dengan Bu Yang, akan tetapi untuk So So, untukmu, untuk kalian berdua, biar aku menemuinya untuk sekali lagi, Ya, mari kau turut aku!" Hian Ki sudah melangkah dengan sebelah kakinya, ketika ia menariknya pulang, Ia menggeleng- geleng kepala; "Aku tidak dapat pergi," Nyonya In memandang anak muda itu, mata siapa diarahkan kepada tubuh Siangkoan Thian Ya, yang masih rebah ditanah dalam keadaan pingsan, Ia, mengerti pikiran orang. "Kau tidak tega meninggalkan dia, bukan?" ia bertanya. "Bagus, aku memang paling senang dengan orang yang bersifat seperti kau ini, Baiklah, aku serahkan So So padamu, Sekarang aku hendak menemui Bu Yang seorang diri, Sahabatmu inipun orang baik, kalau sebentar dia sadar, kau boleh berangkat bersama2 dengannya." Heran Hian Ki mendengar perkataan bakal mertuanya itu, Agaknya si nyonya menganggap lukanya Thian Ya enteng sekali, Ia mengawasi ketika nyonya itu bertindak pergi, setelah itu lekas2 ia menghampiri sahabatnya. Thian Ya menutup rapat kedua matanya, napasnya jalan perlahan sekali, Ketika nadinya dipegang, nadi itu juga lemah denyutannya, bahkan tak beraturan, Bukankah itu tanda dari terluka hebat? Tak kuat Hian Ki menahan kesedihannya, ia lantas menangis; "Saudara Siangkoan, aku menyebabkan kau celaka. . ." keluhnya, Ia memeluki tubuh orang, lalu di-goyang2, terus ia mem-banting2 kakinya, Ia mengeluh pula; "Thian (Tuhan), oh Thian seperti tak ada matanya. . .Banyak orang jahat tidak mati, kenapa justeru saudara Siangkoan-ku ini yang dibawa pergi?" Ia menangis pula dengan terlebih sedih, Ia ingat kebaikan diri Thian Ya, seorang laki-laki sejati. Se-konyong2 Thian Ya membuka kedua matanya, Ia berjingkrak bangun melihat sahabatnya menangis, Ia telah mendengar keluhan orang. "Bagus, ya, Hian Ki, kau bocah celaka!" ia berteriak. "kenapa kau menyumpahi aku?" Hian Ki kaget, hingga ia mencelat dan tercengang, Hanya sejenak, ia lantas menjadi girang bukan kepalang. "Kau tidak mati ? Kau tidak mati ?" serunya. "Memang aku tidak mati? Kenapa kau tangisi aku?" balik Thian Ya bertanya. Dengan tiba2 Hian Ki tertawa, ia lantas menjura kearah langit; "Terima kasih Thian, terima kasih! Maafkan hambaMu yang telah menyesaliMu!" katanya. Pemuda ini tidak tahu, serangannya Lo Kim Hong ialah serangan yang tidak menggunakan segenap tenaga, Biar dia sangat gusar, pahlawan kaisar itu tidak berani membunuh Ciangbunjin dari Butong-Pay, maka serangannya merupakan totokan yang membuat Thian Ya pingsan sesaat, setelah beberapa waktu dan ketika tubuh Thian Ya di-goyang2 oleh Hian Ki, jalan darahnya menjadi pulih, seketika itu juga ia menjadi sadar. "Eh, bocah, kau sedang apakah?" tanya Thian Ya heran, "Kau menangis, kau mengeluh, kau tertawa juga! Mana Lo Kim Hong sibangsat tua itu?" "Dia telah dihajar kabur!" menjawab Hian Ki. "Kau yang menghajarnya?" Thian Ya menegaskan. "Bukan aku, tapi Nyonya In." "Nyonya In yang mana?" "Kecuali Nyonya In Bu Yang, mana ada lain Nyonya In disini?" Thian Ya heran, "Benarkah dia yang menolongi aku?" ia menegas pula. "Ah, sudahlah, tak usah kau banyak tanya2." Hian Ki memotong. "Mari lekas kita pergi kerumah keluarga In!" Thian Ya mementang matanya. "Untuk apa?" ia menanya, Ia tetap tidak mengerti. "Aku mau minta anak gadisnya dan kau minta kitab pedang!" "Sudikah dia menyerahkan anak gadisnya padamu?" Thian Ya heran bukan main. "Dia mendapat pukulan bathin didalam hati, dia malu terhadap isterinya, tidak dapat dia tidak meluluskannya." "Apa? Jadi Nyonya In yang memintanya untukmu? Oh, bocah, kau sungguh lihay! Pandai sekali kau mengambil hati mertuamu!" Wajahnya Hian Ki menjadi merah; "Jangan bergurau? saudara Siangkoan," ia kata, jengah. "Siapa bergurau? Lekas kau ceritakan duduknya kejadian, jangan ada yang kau sembunyikan!" Hian Ki kenal tabiat kawan itu, maka itu ia lantas menceritakan perihal datangnya Nyonya In sampai kaburnya Lo Kim Hong. Thian Ya melengak, ia bingung sekali, Ia bergirang untuk Hian Ki, ia pun berduka untuk Un Lan. "Baik," katanya kemudian. "Nah, kau pergilah!" "Kau ?" "Sekarang aku tidak mengharapkan lagi kitab ilmu pedang itu! Aku juga tidak sudi menerima budi orang! Tidak mau aku pergi kesana!" Hian Ki terdiam, tidak mau ia membujuk atau memaksa, Selagi berdiam itu, ia teringat kepada So So, Ia masih tetap berdiam saja, sebab ia tak dapat meninggalkan sahabatnya ini. Thian Ya juga menjublak mengawasi kawannya, Ia seperti hendak mengatakan banyak hal, tetapi mulutnya tak dapat dibuka. Ketika itu hari sudah mulai magrib, angin gunung mulai bertiup, Thian Ya baru sadar, ia merasakan dinginnya angin. "Apakah kau merasa dingin?" ia menanya dengan tiba2 mencekal tangan Hian Ki. "Tidak! Kau merasa dingin?" "Tidak seberapa, Ah, angin mulai besar, Lihat, kembang salju pun turun! Didalam hutan hawanya begini dingin, apalagi diluar, Enci Un Lan berada seorang diri, Dia luntang lantung, apakah kau tidak khawatir dia kedinginan?" Tergetar hatinya Hian Ki; "Saudara Siangkoan, aku hendak memohon kepadamu. . ." katanya. "Bicaralah!" "Kau dengar aku, pergikau cari enci Un Lan!" Thian Ya diam, kepalanya digelengkan, Cuma sesaat, lalu ia berkata dengan perlahan: "Hian Ki, jangan kau perdulikan aku, Aku telah mengambil putusan tetap akan mengikuti Pit Leng Hong, untuk menjadi sipenjahat besar! Mulai hari ini, kau lakukan tugasmu sebagai hiapsu (seorang ksatria), aku bekerja sebagai penjahat, kita tidak saling menghalangi! Nah, kau pergilah!" Hian Ki tahu orang dalam keadaan sangat berduka, "Lain orang bila putus asa, orang itu akan pergi sucikan diri, Akan tetapi Thian Ya sebaliknya menjadi penjahat! Kalau hatinya tidak kuat, ada kemungkinan dia tersesat. . ." Karena memikir demikian, Hian Ki berseru: "Jikalau kau tidak pergi cari enci Un Lan, aku juga tidak mau pergi cari So So!" Baru Hian Ki menutup mulutnya, mereka telah mendengar suara tertawa dingin, disusul dengan kata2 ini; "Tidak usah dicari lagi, aku ada disini!" "Enci Un Lan!" Thian Ya berseru. Disana berdiri Nona Siauw, mata merah dan bendul, air matanya berlinang, Dia mengangkat kepalanya, memandang langit, sembari tertawa nyaring. "Siangkoan Thian Ya, kemari!" ia memanggil, tangannya menggapai. "Eh, mengapa kau berdiam saja? Kalau kau tidak datang, aku bilang, kau merusak keluarga dewa-dewi. Coba di-hari2 biasa, dipanggil si nona, pasti Thian Ya lari menghampiri, Tapi sekarang, keadaan mereka lain, Ia berdiam terus, Ia mengetahui hatinya si nona sudah sangat terluka, Kiranya ia telah mendengar semua isi hatinya Hian Ki barusan. Hian Ki juga berdiri bengong, Sakit hatinya pemuda she Siangkoan itu. "Enci Un Lan," katanya, "Kau. . .kau. . ." Ia tidak dapat meneruskan, sedang si nona kembali tertawa nyaring, Itulah tertawa yang lebih hebat dari tangisan sedusedan. Sembari menangis, Un Lan menggapai pula; "Mari! Kenapa kau masih berdiam saja?" katanya. "Kaupun tak sudi melihat aku lagi?" Mendadak, dari tertawa, si nona menangis, sambil mendekap wajahnya, dia memutar tubuh dan lari. . . Thian Ya kaget. "Enci Un Lan, kau tunggu aku, kau tunggu!" ia berteriak seraya terus lari mengejar. Maka disitu tinggallah Hian Ki seorang berdiri bagaikan patung. Lama juga, baru pemuda she Tan ini menghela napas, Dengan sinar matanya, ia mengantarkan Thian Ya dan enci Un Lan-nya itu. "Hatiku telah kuserahkan kepada So So, enci Un Lan, karena itu seumur hidupku, aku tidak mengharap maaf dari kau. . ." katanya didalam hati, Ia terus mengambil tanah untuk dijadikan hio, diam2 ia memuji kepada Thian agar Thian Ya dan Un Lan dilindungi, agar mereka terangkap dalam pernikahan. Biar bagaimana, Hian Ki merasa, belum tentu hati Un Lan dapat terhibur benar2. Beberapa saat kemudian, barulah pemuda ini keluar dari dalam rimba, selangkah demi selangkah, ia menuju kerumah keluarga In, Tak hentinya ia memikirkan So So, Entah si nona lagi berbuat apa? Apa dia masih mencari aku, atau sudah pulang kerumah? Dan Nyonya In, apa katanya si nyonya kepada suaminya? Apa ibu itu dapat menemui puterinya? ********** In Bu Yang tengah berdiam seorang diri dikamar tulisnya, Ia menyender dijendela, mengawasi bunga bwee, setelah pertempuran yang dahsyat itu, Dipohon bwee hanya ketinggalan beberapa tangkai bunganya, Rumahnya itu kini sunyi, lebih sunyi lagi kamar tulisnya ini, Diujung tembok pun terlihat ada tanah munjul, Kesunyian itu seperti mendatangkan keseraman. . . "So So!. . ." ia memanggil perlahan. Dalam kesunyian itu, angin malam bertiup masuk dari jendela, angin itu membawa suara nyanyiannya So So, Si nona yang lagi mencari Hian Ki, dan dia belum pulang. . . Dipikiran Bu Yang telah terlintas apa yang telah terjadi, khasiat dari pil Siauwhoan-tan dan arak Hweeyang-ciu membuat dia dapat bertahan, Begitulah didalam rumah batu, ia membeber rahasianya kepada puterinya, Ia telah membuat puterinya itu sangat berduka, Sekarang ia menyesal sudah membeber rahasianya itu, Ia ingat anaknya yang manis itu meminta ia pulang untuk beristirahat, Ia menyesali kenapa puterinya justeru tidak menegur dirinya. "Kau sangat menyayangi aku, anak, Tahukah kau berapa sakit hatiku? Kau melayani aku, kau menanti sampai aku tidur pulas. . .lantas kau pergi seorang diri, Ah, anak, apakah kau kira aku tidak tahu kau pergi untuk mencari siapa? Aku hanya ber-pura2 pulas, untuk membiarkan kau pergi. . . Kembali angin bertiup masuk, Bu Yang merasakan dingin hingga ia menggigil. "Dapatkah So So kembali?" pikirnya pula. "Tak pantas aku menjadi ayahnya! Aku rela ia yang meninggalkan aku, Cuma, kalau ia tidak kembali, aku akan sendirian saja, apakah artinya hidup bagiku?. . ." Bu Yang merasakan dirinya seperti baru sembuh dari penyakit berat, tenaganya seperti habis, Kesunyian membuatnya merasa jeri, Justeru itu, ia mendengar suara tindakan kaki perlahan, Cepat ia mengangkat kepalanya. "Oh, Poo Cu!" ia berseru. "Benarkah kau? kau kembali!" Disana berdiri Nyonya In, tangannya menyingkap cabang pohon bwee, Ia berdiri diam dekat tanah yang munjul, ia bagaikan memuji didalam hati, sejenak kemudian, ia berjalan ke-kamar tulis. Bu Yang sudah menyalakan lentera didalam kamarnya itu, Dibawah sinarnya api ia melihat paras isterinya yang pucat pasi. Nyonya In menyingkir dari tatapan mata suaminya, Ia seperti menghadapi seorang asing. "Mana So So?" tanyanya, suaranya tawar. "Dia sudah pergi, dia belum kembali," sahut suaminya. "Oh, Poo Cu. . .Aku tahu kesukaranmu, Tidak selayaknya aku membunuh Thian Tok. . .Ya, seumurku, banyak kesalahan telah kubuat. . .Tidak, aku tidak berani meminta lagi keampunanmu. . ." "Sudah terlambat untukmu menyebut pula semua itu," kata Nyonya In. "Bu Yang, seumurku belum pernah aku minta apa juga dari kau, dan malam ini ialah yang pertama kali, juga yang satu2nya dan terakhir, Aku minta kau suka meluluskannya. . ." Paras In Bu Yang pucat. "Aku tahu apa yang kau kehendaki," sahutnya, suaranya tergetar, Bukankah kau hendak membawa So So pergi?" "Memang benar aku telah memikir untuk membawa So So pergi," menyahut sang isteri, "akan tetapi sekarang aku telah berbalik berpikir, Andaikata So So sudi mengikut aku, aku pun tidak sanggup membuatnya senang." "Jadi kau berpikir untuk membiarkan dia berdiam disini?" tanya suami itu, "Oh, Poo Cu, kau juga berdiamlah bersama. . ." "Aku telah berpikir, seandainya So So tinggal bersamamu, kau juga tidak dapat membuatnya senang," kata pula sang isteri. "Itu pun aku ketahui." "Aku tahu kau menyayangi So So tak kalah dari aku menyayanginya, Maka itu, kenapa kita tidak mau memikirkan jalan untuk membuat dia senang?" Bu Yang terdiam. "Kau tidak tega meninggalkan dia , aku juga!" berkata lagi isteri ini, "Tapi setelah berpikir pulang pergi, aku rasa paling benar dia meninggalkan kita. . ." Bu Yang terkejut, "Ah!" keluhnya sedih, "Aku mengerti maksudmu." "Kau mengerti, itulah bagus, Didalam dunia ini cuma ada satu orang yang dapat membuat So So bahagia dan hidupnya riang genbira!" kata isteri itu. "Tan Hian Ki!" seru Bu Yang. "Benar! Dialah sipemuda yang berniat membunuhmu!" Kembali Bu Yang menjublak. "Aku telah mencari tahu tentang pemuda itu," berkata Nyonya In, "Untuk sahabatnya saja ia suka mengorbankan diri, maka terhadap orang yang ia cintai, pasti ia tidak bakal mengecewakan, Dengan menyerahkan So So kepadanya, hatiku lega." Bu Yang menghela napas. "Semua bekas rekanku telah bersatu pada mendidik dia, maksudnya ialah supaya dia dapat membunuh aku," berkata Bu Yang. "Ya, permusuhan ini tak ada jalannya untuk dinikin habis. . ." "Pada dua puluh tahun berselang," barkata pula Nyonya In, suaranya sedih, "Kau telah minta aku mencuri kitab pedang ayah untukmu, aku telah malakukannya, Ketika itu, apakah yang kau katakan?" "Aku mengatakan aku bersedia meluluskan ribuan bahkan sampai laksaan permintaanmu. . .apa juga yang kau kehendaki, semua aku akan melakukannya, Ya, selama dua puluh tahun, aku telah berbuat salah besar kepadamu." "Selama itu dua puluh tahun, belum pernah aku minta apa juga dari kau," kata pula sang isteri, "Itulah sebabnya aku ketahui, bahwa didalam hatimi sudah tidak ada aku. . ." Sakit Bu Yang merasakan hatinya, Ia mau bicara, tetapi isterinya sudah mendahului: "Hal yang sudah2 jangan kita timbulkan lagi, Sekarang aku cuma minta satu hal dari kau, yaitu biarkan So So ikut Hian Ki pergi terbang jauh! Paling benar kalau untuk se-lama2nya diatidak bertemu pula dengan kita. . ." "Benar, supaya dia jangan ingat lagi kepada ayahnya yang membuat ia terluka hatinya, Poo Cu, aku meluluskan permintaanmu ini, Sebenarnya, aku pun ingin sekali dia dan Hian Ki terangkap jodohnya." Mendengar jawaban itu, Nyonya In memutar tubuhnya untuk berjalan pergi. "Poo Cu, apa kau tidak hendak berdiam sebentar lagi?" tanya Bu Yang, "So So bakal lekas pulang!" "Maksud hatiku sudah kesampaian," menyahut sang isteri. "Oleh karena kita bakal berpisah, perlu apa aku membuat dia bertambah berduka lagi?" "Dan kau hendak pergi kemana?" "Kau telah membunuh orang, aku hendak menebus dosamu. . ." "Thian Tok, Thian Tok, Oh, di akhirnya kau jugalah yang menang. . ." Bu Yang mengeluh. Mendengar keluhan itu, Nyonya In berpaling; "Thian Tok itu aku pandang sebagai sahabat kekal, terhadapnya tidak sedikit juga aku menaruh cinta," ia berkata. "Tahukah kau bahwa dirumahnya ia mempunyai janda serta anak piatu? Gambar ini juga hendak aku membawa pergi padanya, supaya janganlah dia mati dengan mata tidak meram. . .Ya, kalau bukan karena So So, malam ini aku pun tidak bakal kembali!" "Baiklah, Poo Cu, kau pergilah. . ." Bu Yang seperti kehabisan tenaga untuk mengucapkan kata2nya ini, Segera juga kamar tulis itu menjadi sunyi kembali. "Hidup dan mati dan alam baka, semua itu samar-samar," Bu Yang ber-kata2 seorang diri, suaranya bersenandung, "Didalam dunia, orang hidup pun lebih bersusah hati, Reruntuh bunga bwee, rembulan yang kesepian, semuanya itu mendekati kuburan baru. . .Air mata bercucuran terbawa angin Barat, dan itu membuat jantung rasanya putus. . ." Baru habis Bu Yang menutup mulutnya, ia telah mendengar suara tertawa seram yang diikuti kata2 ini: "Saudara Bu Yang, sungguh kau bergembira!. . ." Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net X. CINTA SEJATI Bu Yang tidak berpaling ia hanya menyahuti dengan tawar sekali, "Lo Tayjin, tempo satu bulan yang dijanjikan masih belum tiba!" katanya. Tertawa yang tidak menyedapkan serta kata2 yang mengejek itu dikeluarkan oleh Lo Kim Hong, mendapat jawaban yang setimpal itu, ia lalu berkata pula; "Siauwtee mendengar khabar Cio Thian Tok telah mendaki gunung ini sertqa Cit Siu si imam tua dan Pouw Kian juga turut datang, oleh karena siauwtee berkhawatir, maka itu siauwtee telah lantas kembali." Sebagai gantinya aku, ia menyebutnya siauwtee (adik yang kecil), Dengan begitu Lo Kim Hong telah merendahkan dirinya. "Terima kasih untuk perhatianmu," kata Bu Yang, tetap tawar, Ia mengucap terima kasih akan tetapi sikapnya tetap dingin, bahkan terus ia memandang keluar jendela, sama sekali ia tidak berpaling kebelakang. Lo Kim Hong tidak mau kalah berperang dingin, ia tertawa bergelak, Ia mendekati jendela, dengan tanganya ia menunjuk pada gundukan tanah kuning, katanya; "Aku tidak menyangka sama sekali Cio Thian Tok, yang membanggakan dirinya seorang gagah tanpa tandingan, sekarang ini dia telah dikubur tulang belulangnya ditempat ini! Saudara Bu Yang, mulai saat ini hingga seterusnya, tidak nanti ada seorang lain pula yang berani berebutan nama denganmu, sebagai jago satu2nya dikolong langit ini, Maka itu sungguh kau harus diberi selamat!" Mendadak Bu Yang menoleh, "LoTayjin, janganlah kau menggoda aku!" katanya dingin, "Dapatkah?" Kim Hong tercengang, "Saudara Bu Yang!" katanya sesaat kemudian, "apakah yang kau mau sampaikan? Ha, mengertilah aku, saudara, kau tidak menaruh perhatian atas nama besarmu, Tapi, tahukah kau apa akibatnya perbuatanmu ini? Tanpa kau merasa, tanpa kau turun gunung, kau sudah menolong Sri Baginda mendirikan suatu jasa besar sekali! Bukankah hal ini kau harus diberi selamat!" Bu Yang menunjukkan sikapnya keren, "Aku, membunuh Cio Thian Tok bukannya untuk kamu!" katanya, suaranya dalam. Kembali Lo Kim Hong tercengang, kemudian wajahnya memperlihatkan senyuman licik, Ia mengangkat kedua pundaknya; "Ya, aku baru saja bertemu dengan enso, yang turun gunung dengan ter-gesa2!" katanya pula, kembali ia tertawa tawar, "Saudara Bu Yang, kalian suami isteri sekian lama, mungkinkah diantara kalian muncul pula tabiat bocah2 hingga kalian menjadi cekcok?" Wajahnya Bu Yang berubah, agaknya tak dapat dia menguasai dirinya lagi, akan tetapi disaat genting itu, sedapat mungkin ia berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya; "Lo Tayjin, kau mempunyai kata2 apa lagi?" tanyanya dingin, Itulah kata2 dari tuan rumah yang bernada mengusir tamunya. Lo Kim Hong mundur satu tindak; "Seorang gagah hatinya lapang, tetapi rumah tangga apakah artinya?" katanya seorang diri. Wajah Bu Yang kembali menjadi suram; "Kau bicara apa?" tanyanya, membentak! Lo Kim Hong memperdengarkan pula tertawanya yang menyeramkan; "Tidak apa2," sahutnya tawar. "Ah, tidak perduli apa alasannya kau membunuh Cio Thian Tok, siauwtee tetap banyak berterima kasih kepadamu, Saudara In, siauwtee mengatakan terus terang, siauwtee mau menasihati kau, didalam segala urusan, baiknya saudara berlaku lapang dada sedikit, saudara harus ingat, luka dalam-mu belum lagi sembuh, kemarahan akan merusak kesehatanmu, Saudara, siauwtee ada membawa obat pil Kouwgoan-tan buatan istana, aku percaya, obat ini mungkin ada faedahnya untukmu." Didalam hati, Bu Yang terkesiap; "Jahanam ini bermata sangat tajam," pikirnya, "Cuma jikalau dia mengira aku ini terluka ditangan Cio Thian Tok, dia salah mata!" Hal sebenarnya adalah Bu Yang terluka oleh pukulan tangan Pit leng Hong yang lihay, biarpun dia telah makan obat Siauwhoan-tan serta arak Kenghoa Thianhiang Hweeciu, tenaga dalamnya masih belum pulih kembali, Ini pula sebabnya, walau ia sangat gusar terhadap Lo Kim Hong, ia masih menahan sabar se-bisa2nya, Ia menyadari, kemarahan kelewat batas bisa mengganggu kembali kesehatannya. Lo Kim Hong telah mengeluarkan tiga butir obat pilnya itu, yang ia taruh ditelapak tangannya. "Tak usah!" berkata In Bu Yang setelah melihat obat itu. Lo Kim Hong tidak menjadi gusar atas penolakan itu, bahkan dia tertawa; "Saudara mempunyai tenaga dalam yang hebat, tanpa obat ini memang kau dapat memulihkan kembali tenagamu," katanya, "Hanya, biar bagaimana, kau membutuhkan waktu lebih lama untuk kepulihannya, Tidakkah itu bakal menelantarkan usaha besarmu, saudara Bu Yang?" "Usaha besar apakah itu?" "Saudara sendiri yang telah menjanjikan siautee, untuk dalam satu bulan. . ." Bu Yang memperlihatkan pula sikapnya yang tawar; "Biar pun urusan sebesar langit, semenjak saat ini tak sudi aku mencampurinya lagi, maka itu silahkan saudara pulang saja!" "Tetapi, saudara, kata2nya seorang ksatria seperti seekor kuda jempolan dicambuk hanya sekali," Kim Hing berkata, "Saudara telah berjanji hendak bekerja untuk Sri Baginda dan untuk itu kau akan turun gunung, kenapa sekarang saudara menyesal dan menarik pulang janjiitu?" "Sebenarnya aku bukanlah seorang ksatia. . ." Lo Kim Hong menghela napas yang di-buat2; "Memang benar, dalam kehidupan manusia, dari sepuluh pengharapannya, delapan atau sembilan bagian tidak tercapai, oleh karena itu, mengapa saudara jadi begini berduka?" ia bertanya, Tapi kata2 ini tegas mengutarakan bahwa ia telah mendengar kata2 Nyonya In tadi dengan suaminya itu, bahwa dengan itu ia menyatakan kecurigaannya yang diantara Nyonya In dan Cio Thian Tok itu ada hubungan soal asmara, Dengan kata2nya ini ia telah mengundang kemarahannya Bu Yang. Benar saja, Bu Yang segera merasakan maksud orang, hingga ia menjadi sangat gusar, Tajam sinar matanya ketika ia memandang pahlawannya raja itu; "Lo Tayjin, kau benar2 telah menghina aku karena luka-ku belum sembuh?" ia menegaskan, suaranya dalam. Lo Kim Hong tertawa lebar. "Mana siauwtee berani, mana siauwtee berani!" sahutnya, akan tetapi nadanya mengejek. "Saudara Bu Yang, kalian suami isteri saling menyintai satu dengan lainnya, kamu hidup mengasingkan diri digunung yang indah, hidup kamu melebihi kebahagiaannya dewa dewi, karena itu, jikalau saudara sudah tetapkan tidak ingin mencampuri lagi urusan dunia, baiklah, siauwtee tidak berani memaksa pula." Nada suara itu tetap ada mengandung ejekan, cuma sudah sedikit lebih lunak. "Hm!" bersuara Bu Yang, sambil mengangkat kedua tangannya, "Maaf, aku tidak dapat mengantar lagi pada Lo Tayjin." Lo Kim Hong tidak berani mengambil sikap keras, walaupun dia tahu Bu Yang terluka berat dibagian dalam, Ia jeri pada ilmu pedang dan totokan Itci-sian yang lihay dari orang In ini. Habis berkata, Bu Yang mengeluarkan napas lega, lalu ia menyenderkan tubuhnya dijendela, dan memandang jauh keluar, Ia membawa sikapnya dengan tenang sekali. Lo Kim Hong telah berjalan kepintu, ketika tiba diambang pintu, mendadak ia menoleh kebelakang; "Apakah saudara benar2 sejak saat ini tak akan mencampuri lagi segala urusan dunia?" ia menegasi, suaranya mengejek, dan iapun tertawa tak sedap. "Jikalau orang tak ganggu aku, tidak nanti aku mengganggu orang lain," jawab Bu Yang, tenang meskipun hatinya masih panas. "Baiklah!" kata Kim Hong. "Sekarang aku hendak bicara tentang satu bocah she Tan bernama Hian Ki, khabarnya dia itu mau membunuh kau secara menggelap, Tentang sikapnya orang itu, aku tidak akan mencampurinya, aku hanya mau bertanya, jikalau aku turun tangan membekuk dia, saudara juga tidak akan turut campur, bukan?" Terperanjat Bu Yang mendengar kata2 itu, ia jadi berpikir karenanya; "Kalau dia tak ada hubungannya dengan aku, perlu apa aku mencampurinya?" jawabnya sesaat kemudian. Mendengar jawaban itu, Lo Kim Hong menjadi sangat gembira, Ia mengangkat kedua tangannya, dirangkapi. "Terima kasih untuk janjimu ini, saudaraku," katanya. "Nah, sekarang siauwtee meminta diri." Sementara itu Tan Hian Ki telah mendengar samar2 suara dua orang bicara, Ia bukannya mendengar suara suara Nyonya In, tetapi suara dua orang lelaki, Mendengar itu, ia tercengang sejenak, Ia datang dengan penuh harapan, tapi sekarang. . .Ia jadi ragu sebentar, terus ia berjalan kearah dalam, maka tepat sekali, diluar kamar ia berpapasan dengan Lo Kim Hong. "Hahaha!" tertawa pahlawan kaisar itu. "Bocah cilik, kau beruntung telah mendapat kembali jiwamu, bukannya kau kabur, tapi kau kembali kesini, kau seperti mengantarkan diri kedalam jaring, Haha! Benar2 Thian ada matanya!" Kata2 itu dibarengi dengan uluran tangannya, untuk membekuk dengan tangkapannya menurut tipu silat Siauwkimnaciu. Lo Kim Hong terlalu memandang ringan kepada anak muda itu, maka itu ia telah tertawa dan mengeluarkan kata2nya yang nyaring, jika tidak demikian, pastilah ia sudah berhasil dengan sergapannya, apabila itu terjadi, tentu sianak muda tak dapat berdaya lagi, Tapi ia telah memperdengarkan suaranya, Hian Ki yang mendengar suaranya segera berwaspada. Begitu orang mengulur tangan, Hian Ki bertindak kekiri, tangan kanannya digerakkan, berkelit sambil terus menangkis, menyusul dengan tangan kirinya bergerak pula, untuk membalas balik tangan lawan, Inilah pembelaan diri sambil menyerang, dan usaha ini memberikan hasil bagus. "Hm!" Kim Hong memperdengarkan suaranya, karena gagal serangannya yang berbahaya itu, "Nyalimu tidak kecil bocah, kau berani menyerang aku!" Kata2 ini diteruskan dengan serangannya yang cepat sekali, dengan jurus 'Sepasang tangan- Im-Yang', yang mirip dengan jambakan, tetapi hanya dorongan dari tenaga 'Siauwthian-chee' atau 'Bintang kecil'. Dihajar secara demikian, tak sempat Hian Ki mengundurkan diri untuk berkelit, maka ia membela diri dengan gerakannya 'Tongcu Pay-koan-im' (kacung dewa memberi hormat kepada dewi Koan Im), kedua tangannya diajukan dengan berbareng, dan begitu kedua tangan bentrok, ia kaget, sebab nyata sekali, ia kalah tenaga dari lawannya itu, bahkan ia merasakan kedua tangannya tertarik dan tubuhnya kena diputar, hingga ia tak dapat menguasai tubuhnya itu! Sembari membuat tubuh orang berputar terus, Lo Kim Hong tertawa ter-bahak2, Ia tidak mau menghajar orang dengan satu pukulan yang mematikan, ia hendak membuat pemuda itu pusing kepalanya dan kabur matanya, supaya dia roboh dengan sendirinya, Tapi mendadak, "Prang!" dari kaca jendela yang hancur, melesat keluar tubuh In Bu Yang! Lo Kim Hong terkejut bukan kepalang. "In Bu Yang, kau tidak pegang kata2mu?" ia menegur, menagih janji. "Aku mengatakan tidak mencampuri urusan biasa, tetapi ini adalah bukan urusan biasa!" menjawab orang yang ditegur, yang tertawa dingin, Belum suaranya berhenti, terlihat tangannya sudah melayang, dengan pukulan 'Pekhongciang'( Menghajar udara kosong). Kalau sudah dua jago bertempur, hebat pertempuran itu, Demikian Lo Kim Hong dan In Bu Yang, yang sama2 jago kelas satu. Lo Kim Hong melihat orang muncul, ia tertawa dingin, ia memperdengarkan ejekan, "Hm!" Belum lagi serangan tiba, ia mendahului menjambak Tan Hian Ki, yang sudah tidak berdaya, maka dengan satu sentakan, dilemparnya sianak muda, Lalu iapun berkata, menantang: "Nah, Kau hajarlah!" Tubuh Hian Ki berat seratus kati, tapi Lo Kim Hong menggunakan tenaga dalamnya, tubuh itu terlempar kearah In Bu Yang, yang justeru datang menyerang, dengan serangan seribu kati, Maka celakalah Hian Ki kalau ia sampai kena terhajar. In Bu Yang lihay, menyaksikan caranya Lo Kim Hong, ia terkejut, terpaksa ia cepat merobah serangan menjadi dorongan, ia menolak tubuh sianak muda hingga terpental balik, begitu juga dengan Lo Kim Hong, melihat demikian, ia bertindak bersamaan, Maka kejadiannya Hian Ki dijadikan bagaikan bola, dilempar ditolak pulang pergi, Kalau tidak, dia pasti jatuh terbanting dan mungkin akan terluka parah. In Bu Yang lantas berpikir, Hian Ki mesti diselamatkan, Ia mesti menolong anak muda itu atau dirinya sendiri, selagi berpikir, muncul bayangan isterinya yang wajahnya diselimuti duka, dan wajah puterinya yang cantik manis, Segera setelah itu, ia mengertak gigi, Disaat tubuh Hian Ki ditolak balik kearahnya, ia memasang kuda2, ia mengerahkan tenaganya untuk menyambut tubuh pemuda itu, dan tidak dia tolak kembali, Ini berarti ia mesti menahan pukulan Taosut Payciu dari Lo Kim Hong, Maka hebatlah ia merasakan tenaga tolakan pada dadanya, Biarpun ia lihay, tapi kini ia dalam keadaan terluka dalam, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, mulutnya pun memuntahkan darah segar, Ketika ia melihat Hian Ki, pemuda itu tertutup matanya, tak sadarkan diri. Diam2 Lo Kim Hong terkejut, dengan caranya itu mempermainkan tubuh Hian Ki, ia hendak menguji tenaga dalam dari Bu Yang, sekarang ia dapat membuktikan lihaynya orang she In itu, Kalau Bu Yang melayani terus seperti biasa, dia bakal menghamburkan tenaganya, dari itu berarti dia bakal roboh ditangan lawannya, Sekarang ia pun sudah merasakan penderitaan yang hebat sekali, Dalam keadaan terluka, dia kalah kuat, kalah tenaga. Lo Kim Hong bangsat licik, ia mempergunakan kesempatan yang baik, Tanpa menanti Bu Yang berganti napas, ia menyerang lagi dengan pukulannya yang lihay itu. Bu Yang yang melihat datangnya serangan, ia lalu berkelit, sambil berkelit ia buru2 meletakkan tubuh Hian Ki ditanah, kemudian dengan cepat ia balas menyerang, Karena ia sudah kalah tenaga, dengan sendirinya ia mundur setindak. Lo Kim Hong girang bukan kepalang, Yakinlah dia sekarang Bu Yang benar2 telah terluka parah, Ia tidak memberi ampun, sekali lagi ia mengulangi serangannya yang dahsyat itu, Dasar licik, ia menggunakan siasat, Serangannya itu ditunda ditengah jalan, untuk diteruskan diarahkan kepada tubuh Hian Ki yang rebah tak berdaya, selagi sianak muda itu masih pingsan. Bu Yang benar2 lihay, Didalam keadaan terdesak itu, ia masih dapat membedakan tipu daya keji lawannya itu, Ia melompat maju, maka sekali lagi, ia menangkis serangan siorang she Lo. Tadi In Bu Yang melawan dengan sebelah tangan, karena tangannya yang lain masih dipakai memondong Hian Ki, sekarang ia menggunakan ke-dua2 tangannya, ia dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau tenaga dalam sakit sebagai akibatnya, keempat tangan bentrok keras sekali, sampai terdengar suaranya, sesudah mana keduanya sama2 terpental mundur hingga kira2 satu tombak, yang mana membuktikan bahwa tenaga mereka adalah masih seimbang. Lo Kim Hong heran berbareng girang, Ia heran karena orang masih tetap tangguh, Ia girang karena ia percaya, orang tak akan bertahan lama, Katanya dalam hati: "Benar2 Bu Yang gagah bukan nama belaka, jikalau bukan dia tengah terluka, tidak nanti aku sanggup melayani dia, Sekarang dia sama kuatnya dengan aku tetapi sebentar, lihatlah! Aku merasakan, kekuatannya kali ini tanpa susulannya, Biarlah aku bertahan, terus melawan keras dengan keras, mustahil dia dapat bertahan terus-menerus! Haha! Dia membunuh Thian Tok, aku akan membunuh dia, maka selanjutnya tidak ada lagi orang yang dapat menandingi aku!" Girang pahlawan ini. In Bu Yang mundur untuk segera maju lagi; "Lo Kim Hong, kecewa aku menamakan dirimu seorang gagah kaum Rimba Persilatan!" katanya dingin, "Apakah kau tidak malu melayani seorang anak muda dengan caramu ini? Kalau kejadian ini tersiar umum, apakah kau tidak bakal ditertawakan orang2 gagah dikolong langit?" Lo Kim Hong tidak merasa malu, dia malah tertawa dingin; "In Bu Yang juga bicara tentang kaum kangouw, inilah keanehan dunia!" katanya mengejek. "Aku hendak menawan satu bocah, lebih dulu aku telah bicara jelas denganmu, Kau telah mengatakan tidak akan campur tangan, habis sekarang mengapa kau turut turun tangan?" "Apakah yang aku katakan?" Bu Yang menanya, "Aku lupa lagi! Coba kau mengulanginya." Dilawan sabar itu, Lo Kim Hong mendongkol. "Awalnya kau mengatakan tidak akan campur tangan urusan biasa," ia menjawab, setelah itu kau menjelaskan, "Kalau dia tidak ada hubungannya dengan kau, maka kau tidak akan mencampurinya? Kata2mu itu masih belum hilang dari telingaku, Mustahil aku sudah melupakannya?" In Bu yang mendengar jawaban itu dengan tertawa bergelak; "Jikalau kau dilain tempat membunuh orang dan membakar rumah, memang aku malas untuk mencampurinya," ia berkata, "Sekarang kau turun tangan dirumahku, apakah dengan begitu dimatamu masih ada aku In Bu Yang? Andaikata benar bocah ini mesti dibuhuh, dimana sekarang dia ada dirumahku, bukanlah tugasmu yang harus membunuhnya, Jadi karena urusan ini ada menyangkut denganku, mana dapat aku berdiam saja tidak mengurusnya?" Bu Yang bicara beralasan, tetapi Kim Hong tertawa dingin; "Jadi maksudmu kau hendak melindungi bocah ini?" ia menegaskan. Kedua mata Bu Yang membelalak; "Dirumahku, akulah yang berkuasa!" jawabnya tegas, "Dan kau tidak berhak mencampurnya tahu!" Lo Kim Hong tertawa dingin pula. "Bocah ini turunan Thio Su Seng si Pemberontak!" ia berkata nyaring, "Aku adalah Congci-hui dari Kimi-wi, maka itu urusan dia pastilah aku yang mesti mengurusnya!" "Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi," kata Bu Yang tenang. "Terpaksa aku In Bu Yang mesti menerima pengajaranmu lagi, Lo Tayjin yang mulia!" Bagaikan telah berjanji, keduanya lantas ber-sama2 maju, Bu Yang telah bicara cukup dan Kim Hong tidak mau membuka mulut lagi, Kim Hong segera menyerang dan menimbulkan angin yang mendesir, hingga mematahkan sebatang cabang pohon bwee, lalu ia menyadari telah menyerang tempat kosong, hingga ia menjadi kaget, Sebab Bu Yang, yang tadi berkelit cepat sekali, telah menyerang dia dari samping! Lo Kim Hong berseru nyaring, sambil berseru ia memutar tubuh untuk terus menyerang, jadi serangan dibalas serangan, bukannya tangkisan, melihat itu Bu Yang batal menyerang, tubuhnya berkelebat, Congci-hui dari Kimi-wi itu tidak berhenti sampai disitu walaupun seranganya itu gagal, ia melanjutkan dengan serangan susulan, Ia percaya lawan tak bakal bertahan lama, ia mendesak, tidak ingin ia memberi kesempatan pada lawan itu untuk berganti napas. In Bu Yang benar2 lihay, Selanjutnya, tubuhnya seperti berkelebatan ke-empat penjuru, didelapan penjuru angin, tubuhnya bergentayangan seperti juga berbagai serangannya, yang ia lakukan secepatnya ketika ada kesempatan, Cara bergeraknya ini dapat membuat pandangan orang menjadi kabur dan kepala pusing. Lo Kim Hong terkesiap hatinya, Ia heran juga kagum dan mendongkol karena penasaran: "In Bu Yang, sungguh kau licik!" mencaci ia dalam hatinya. "Kau tidak berani mengadu tenaga denganku, kau menggunakan siasamut ini!. . ." Memang, dalam ilmu meringankan tubuh, ilmu pedang, tangan kosong, In Bu Yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, maka dengan menggunakan ilmu silatnya ini yang dinamakan Patkwa-Yusin ciang (Memainkan tubuh didalam garis diagram), ia dapat menyingkir dari sergapan lawan, ia dapat menyerang ditempat dan disaat yang tepat, Tegasnya, ia mencari kelemahan lawannya, Dengan siasatnya ini ia membuat Lo Kim Hong ber-putar2 tidak berhentinya, hingga per-lahan2 komandan Kimi-wi itu menjadi mulai merasakan kepalanya pusing dan matanya ber-kunang2. "Inilah hebat," Kim Hong berpikir, Ia menginsafi akan bahaya yang mengancam dirinya, "Dengan cara ini, belum sempat aku membuat dia letih dan mampus, akulah yang bakal kelelahan dan mati lebih dulu. . ." Lalu dengan diam2 ia memasang mata, Ia lihay, dalam keadaan begitu, ia masih dapat berpikir tenang dan dapat juga memasang mata, Demikian cepat juga ia memperoleh kenyataan, In Bu Yang senantiasa melirik kearah Tan Hian Ki, yang rebah tak berkutik ditanah didekat tempat mereka bertarung, Ia segera mendapat pikiran, hingga iapun menjadi girang, Ia lantas mencari akal untuk menyingkir dari serangan lawan, untuk menggunakan kelemahannya itu. Lalu Congci-hui ini mengimbangi dengan mengeluarkan ilmu silatnya 'Pathong hongie' (hujan- angin didelapan penjuru), Secara demikian ia dapat menandingi ilmu silat Patkwa Yusin-ciang dari lawannya itu, cepat lawan cepat, bahkan dia berhasil mendesak In Bu Yang mundur beberapa tindak, Inilah kesempatan yang dia cari, begitu orang mundur, ia lantas tertawa terbahak, terus ia menjatuhkan diri, dan duduk numprak ditanah. "Saudara Bu Yang, siauwtee tidak terluka, cuma letih saja," katanya. "Nah, kaupun duduklah!" Dengan kata2nya ini, Lo Kim Hong bukan mengalah, ia hanya mengejek lawannya itu, Ia mau mengatakan lawannya itu sudah letih, hendak ia menggoda dengan mengajak istirahat dulu. Tentu saja Bu Yang mengerti maksud orang, ia menjadi sangat murka, tanpa memberikan jawaban, dia melompat menerjang. Lo Kim Hong melakukan perlawanan terus sampai tujuh belasan jurus, sebentar2 ia menggunakan tipu Hunkin Cokuthoat, untuk menangkap tangan orang guna dibuat patah atau sedikitnya salah urat, Ia menyerang begitu cepat ketika lawannya datang dekat padanya, Waktu itu ia kombinasikan dengan pukulan2 Kimkong-ciang (Telapak Pelindung Buddha), Tidak perduli bagaimana hebatnya penyerangan, ia tidak memberi kesempatan untuk dirinya dipancing. Disatu pihak, cara bertempur Kim Hong ini sedikit luar biasa, Dengan caranya ini, biasanya tidak ada orang yang sanggup merebut kemenangan, Tapi kali ini ia mengandung maksud lain, ia bertahan untuk maksud menguras tenaga lawannya, sebab ia tahu Bu Yang telah terluka didalam, terhadap lawan yang sehat, tidak nanti berani dia menggunakan cara begini. Sebentar saja puluhan jurus telah berlalu, Dengan cepat mereka sudah bertempur lagi tiga puluh jurus, Dan Bu Yang telah menyerang terus menerus sebanyak tiga puluh kali. "Saudara Bu Yang," berkata Lo Kim Hong sambil tertawa, Ia masih sempat mengambil kesempatan untuk berkelakar, "Sudah duapuluh tahun kita tidak pernah main2, maka sungguh aku beruntung hari ini kau sudi memberi muka padaku, kau suka memberikan pelajaran, Turut pantas, aku mesti melayani terus padamu sampai tiga hari tiga malam, tetapi kau kurang sehat, kekuatanmu itu belum pulih, sebaiknya saudara menjaga diri, jikalau kau terlalu lelah, kau nanti bisa merusak kesehatanmu itu, Ah! saudara, tidak suka aku menjadi seperti;"aku tidak ingin- membunuh Pek Jin akan tetapi Pek Jin toh mati karena gara2 aku!" Kalau itu sampai terjadi, mana bisa hatiku tenteram?" Bu Yang dapat menangkap maksud orang, Ia diejek, ia mau dibuat panas hatinya, Maka cepat ia mengendalikan diri, menahan sabar, ia bahkan perhebat serangannya, Ia juga menggunakan siasat, serangan2nya yang hebat dikombinasikan dengan berbagai gerak tipu silat, Dengan begitu telah lewat lagi belasan jurus. "Saudara Bu Yang," berkata lagi si Congci-hui sembari tertawa, "Kau sendiri mungkin dapat bertahan lebih jauh hingga beberapa jam lagi, tetapi bagaimana dengan itu engko kecil yang lagi rebah pingsan? Dia telah terkena serangan Toasut Payciu dari aku, dia terluka didalam.. Saudara, Andaikata akhirnya kau dapat mengalahkan aku, kau juga tidak nanti dapat melindungi jiwanya bocah itu. . ." Kali ini Bu Yang dapat dibuat tergerak hatinya, hingga hatinya itu tercekat, Memang benak apa yang dikatakan Kim Hong, Hian Ki terluka, dan ia pingsan, tanpa mendapat pertolongan cepat, bagaimana nanti akhirnya? Ia berpikir juga, Kalau sampai ia terbinasa, bagaimana dengan So So nanti? Tidakkah dia bakal akan sangat bersusah hati?" Oleh karena itu, tiba2 saja ia menghentikan serangannya, ketika ia mau memutar tubuh untuk memngundurkan diri, Tepat disaat ia berbalik badan, se-konyong2 Lo Kim Hong melompat bangun, maju menyerang punggung lawannya itu, Sebagai seorang jago, bisa dibayangkan kecepatannya itu, sedangkan bokongannya mempergunakan segenap tenaganya, Dan tenaga yang dikerahkan adalah tenaga yang diibaratkan dapat meruntuhkan gunung dan menggelorakan lautan. Bu Yang mengetahui datangnya bokongan, segera ia menegrahkan tenaganya untuk menangkis, dengan begitu keduanya menjadi bentrok, dan ternyata, tenaga mereka masih tetap berimbang. Lo Kim Hong tertawa ter-bahak2; "Saudara Bu Yang!" katanya, "Kau sebenarnya perlu sekali beristirahat, untuk menyembuhkan luka dalam-mu, maka aku pikir, baiknya kau serahkan saja bocah itu padaku, hendak aku serahkan dia kepada Sri Baginda, aku tidak tega untuk segera membinasakan dirinya. . ." In Bu Yang tahu bahwa kemarahannya lagi dipancing, ia tidak mau ambil peduli, Seperti tidak mendengar apa2, ia lompat kedepan untuk menyerang, Kali ini ia menggunakan jari tangannya, kala ia menyerang, Lo Kim Hong juga ikut menerjang, maka itu, mereka maju berbareng, dan mereka saling melukai lawannya! Tangan Kim Hong mampir ketubuh lawannya, dan jari tangan Bu Yang berhasil menotok pundak Kim Hong, hingga membuat pundak Kim Hong merasakan hawa sangat panas, serta berhasil melenyapkan lima bagian tenaga lawannya. Sebenarnya Kim Hong sudah menutup jalan darahnya, tetapi setelah kena ditotok, ia merasakan napasnya jadi sesak, Oleh karena itu, keduanya sama2 terkejut, Bu Yang merasakan tubuhnya disusupi oleh hawa yang dingin, maka seperti Kim Hong, ia pun berpikir: "Kalau tadi aku hanya mengarah jiwa lawan, mungkin sekarang dua2nya sudah akan binasa. . ." "Itci-sian benar2 hebat!" Kim Hong memuji, walaupun suaranya tak wajar, "Saudara In, ingin aku memberi nasihat padamu supaya kau jangan terlalu menghamburkan tenagamu, akan lebih baik bila kau dapat menjaga kesehatanmu!" Memang Itci-sian membutuhkan tenaga yang istimewa, dan Bu Yang sendiri merasakan tubuhnya dingin tak karuan, setelah menggunakan totokan sebuah jari tangannya itu, Ia cukup memahami, rasa sakitnya itu lebih banyak disebabkan oleh tangan beracunnya Pit Leng Hong, Cuma karena ia memberati anaknya, ia tidak mau meninggalkan Hian Ki, Kalau saja ia membiarkan Lo Kim Hong, dan hanya membela diri, ia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaganya, Tetapi sekarang tidak, dan ia pun terbenam dalam keraguan. Selagi keadaan diliputi suasana tegang, diluar terdengar suara nyaring halus dari seorang wanita, yang terus saja berjalan masuk, Ketika In Bu Yang menoleh , dengan segera ia mendapatkan isterinya telah kembali, Tak dapat ia menahan goncangan hatinya. . . "Poo Cu, kau, kembali!" serunya. Isteri itu tidak menyahut, Poo Cu memang telah kembali lagi, setelah ia melihat datangnya Lo Kim Hong, Ia jadi curiga, Mendengar seruan suaminya yang ia tahu keluar dari hati yang tulus, hatinya juga ikut terguncang, Ia merasa sangat berduka, dan perih didalam hatinya, lalu ia berkata sendiri; "Ah, kiranya dia masih memikirkan aku, tetapi dia tidak tahu aku datang bukan untuknya. . ." Suami isteri itu lantas memandang satu dengan lainnya, sang isteri tidak mengatakan apa2, ia hanya mematahkan sebatang cabang pohon bwee, lalu ia menghadapi Lo Kim Hong seraya menegur; "Kau berani melukai orang didalam rumah keluarga In? Lekas kau angkat kakimu!" ia tidak cuma menegur, tetapi segera disusul dengan tikaman dari cabang pohon bwee itu, yang digunakan sebagai pengganti pedang. Lo Kim Hong berkelit, tetapi karena berkelit itu, ia ditikam pula, secara beruntun sebanyak tiga kali tusukan, dimana tusukan Nyonya In mengarah ke-jalan darah soanki, giokheng dan thiankwat. Dengan menekan tanah, Lo Kim Hong mencelat mundur beberapa tindak, Ia terus tertawa dan berkata dengan dingin; "Aku telah menyangka kau telah sampai dirumah keluarga Cio, kiranya kau masih berada dirumah keluarga In ini! Ha ha! Dasar kalian sepasang suami isteri yang saling menyinta satu dengan lainnya! Sekarang kalian maju berdua, membuat aku mau tidak mau mesti mengangkat kaki juga..." Itu adalah kata2 yang mengandung ejekan, Nyonya In menuding dengan cabang pohonnya; "Sekarang ini biarpun kau ingin pergi, sudah tidak dapat!" katanya keren, Ia menoleh kepada suaminya, lalu berkata; "Bu Yang, kau lihatlah jagalah Hian Ki! Seumur hidupku, belum pernah aku membunuh orang, akan tetapi hari ini, hendak aku melanggar pantangan itu!" Nyonya In murka bukan kepalang karena ejekan itu, Ia mendapat didikan baik semenjak kecil, ia biasanya sangat sabar, dan dapat menguasai diri sekalipun dibuat gusar, tetapi kali ini nada suaranya lain, Bu Yang belum pernah melihat isterinya gusar begini, ia jadi kaget karenanya! Begitu habis kata2nya itu, Nyo nya In langsung menyerang Lo Kim Hong, bahkan ia menyerang secara ber-tubi2. Adalah maksud Kim Hong mengejek si nyonya, adalah untuk membangkitkan kemarahannya nyonya itu, supaya dalam gusarnya, si nyonya tidak dapat memusatkan perhatiannya pada ilmu silatnya, maka itu, adalah diluar dugaan Kim Hong, bahwa nyonya itu masih dapat mengendalikan diri, gerakan pedang kayunya tidak kacau, dari itu dia menjadi kaget sekali. "Bouw Tok It adalah ahli pedang nomor satu pada tigapuluh tahun yang lampau," ia berpikir, "aku tidak menyangka anaknya ini tak kalah kosennya daripada dia. . . ." Karena itu, ia bertempur dengan sangat hati2 sekali, sampai ia tidak berani mengejek lagi, Ia melawan ilmu silat Tat Mo Kiamhoat dari Nyonya itu dengan Taylek Kimkong-ciang. Di-dalam hal tenaga dalam, Nyonya In kalah dari suaminya, tetapi didalam ilmu pedang, walaupun ia hanya memegang sebatang cabang pohon bwee, ia lihay luar biasa, maka itu, senjatanya yang istimewa itu bergerak mirip pedang, Bagaimana juga Kim Hong mencoba, tidak dapat ia menghajar cabang pohon itu menjadi patah. In Bu Yang ingin melihat Hian Ki, tetapi tidak segera ia menghampiri sianak muda itu, ia hanya berdiri mengawasi isterinya, setelah beberapa jurus, baru ia mengeluarkan napas lega, dalam hatinya berkata; "Selama duapuluh tahun tidak pernah aku memperhatikan ilmu silat isteriku, siapa tahu ia mendapatkan kemajuan baik sekali, Kim Homng boleh unggul tenaga dalamnya, tetapi dengan bertempur lama, dia akhirnya bukan lagi tandingan isteriku ini." Maka ia lantas menghampiri Hian Ki, yang per-tama2 ia lakukan adalah memegang nadinya sianak muda itu, terasa kacau jalan nadinya itu, sebentar keras denyutannya, sebentar lemah sekali, Ia menjadi kaget, Benar2 sianak muda ini telah mendapat luka dalam yang parah. "Kalau aku masih mempunyai Siauwhoan-tan sebutir saja, alangkah bermanfaatnya," ia berpikir, 'Sekarang dimana aku mesti pergi mendapatkannya?. . ." Bu Yang menjadi bingung sekali, akan tetapi ia mengendalaikan diri untuk tidak menunjukkan kekhawatiran itu pada wajahnya, sebab itu dapat mengganggu isterinya, Dan ia pun berlaku tenang. "Bagaimana?" tanya Nyonya In, Selagi bertarung, ia masih mengambil kesempatan memperhatikan pemuda itu, calon mantunya. "Tidak kenapa," menyahut Bu Yang, berdusta."Sekarang aku lagi menguruti dia untuk memperlancar jalan darahnya. . ." Sebenarnya luka Hian Ki itu tak dapat disembuhkan dengan diurut saja, maka itu, walau dimulut dia berkata demikian, tapi didalam hati ia bingung tak kepalang. Disaat itu terdengarlah suara siulan dari arah belakang gunung, suara itu panjang dan jelas, tetapi dapat diduga, jauhnya masih beberapa lie, Seruan itu diulangi ber-kali, kedengarannya: "Bagaikan suara burung hoo, mengaum pendek bagaikan harimau mementang suara didalam lembah," Lo Kim Hong mendengar jelas suara itu, ia lantas tertawa terbahak, setelah itu ia juga membalas memperdengarkan suara yang sama. In Bu Yang terkejut, hingga wajahnya menjadi berkerut; "Bagus, Lo Yayjin!" katanya seraya tertawa dingin, "Kiranya kau tengah memanggil kawanmu datang kerumahku ini! Jangan kau khawatir, aku siorang she In tidak nanti berani tidak menyambut tamu yang mulia itu!" Menyusul kata2nya itu, Bu Yang pun berseru, nyaring dan panjang, suaranya jelas seperti seruan pertama tadi sehingga ia dapat mengacaukan seruannya Lo Tayjin ini, Suaranya itu mirip dengan "Gelombang menerjang pantai." Lo Kim Hong kaget, hatinya gentar, Tidak saja ia merasakan telinganya mendengung, akan tetapi seruan itu telah melenyapkan suara seruannya barusan, hingga ia menjadi gelisah, dan ia menjadi tidak tenang hatinya. Seruan Kim Hong itu adalah sambutan untuk kawannya, tidak ia sangka, Bu Yang dapat mematahkannya, Ia lantas mencoba berseru sekali lagi, tetapi karena konsentrasinya terganggu, suaranya tidak lagi sekeras tadi, bahkan rada tergetar. Pertempuran itu sendiri berjalan terus, Segera Nyonya In memperoleh hasil, Yaitu enam sampai tujuh kali ia dapat menusuk lengan lawannya. Lo Kim Hong kaget dan kesakitan, ia menjerit keras, tubuhnya melompat kearah Tan Hian Ki, Itulah ancaman bahaya untuk sianak muda, Tapi Bu Yang yang melihat gerakan lawannya itu, tanpa ayal lagi ia memapaki dengan pukulan Pekkong-ciang, Ia tidak menanti sampai musuh dapat menjejak kakinya ditanah. Lo Kim Hong mengangkat tangannya, hendak menangkis pukulan itu, Maka kagetlah ia tatkala saat ia mencoba menggeraki tangannya, tangan itu lemas, tak dapat bergerak menurut keinginan hatinya, Itu semua akibat dari tusukannya Nyonya In, yang telah mengenai otot2 lengannya, sehingga terputus karenanya. In Bu Yang yang menyerang dengan sepeunuh hati, dan serangannya itu tidak dapat tertangkis lawan, begitu papakannya berhasil, tubuh Lo Kim hong lantas melayang balik, bagaikan pohon kering, roboh terbanting keras ketanah, terus tak bergerak lagi, sebab jiwanya telah melayang saat itu juga! Nyonya In membersihkan cabang kayunya yang berlepotan darah itu, "Terima kasih untuk bantuanmu . . ." katanya perlahan, Baru sekarang ia membuaka mulutnya. "Bicara dalam hal terima kasih, selama duapuluh tahun ini, aku tidak tahu sudah berapa ribu laksa kali aku yang harus mengucapkannya terhadapmu," sahut Bu Yang, perlahan juga. Walau mereka telah menikah puluhan tahun, akan tetapi inilah yang pertama kali mereka bertempur ber-sama2 menghadapi satu musuh, dan ini juga yang pertama kali Bu Yang mendengar Poo Cu menghaturkan terima kasih padanya, Maka itu bukan main ia merasa manisnya ucapan itu, manis sekejap kemudian tercampur dengan kepahitan, Ia lantas teringat bagaimana sikapnya selama duapuluh tahun ini, ia telah perlakukan sangat dingin isterinya itu. Juga bagi Nyonya In, inilah yang pertama kali ia mendengar suaminya menyatakan penyesalannya, tanpa terasa air matanya berlinang dan mengalir turun. "Poo Cu, awas! Senjata rahasia!" mendadak Bu Yang berseru. Dan benar2 beberapa senjata rahasia menembusi pohon bwee mengarah kearah si Nyonya, Poo Cu tangkas gerakannya, dan lantas ia menyampok dengan cabang pohon ditangannya itu, sedang Bu Yang sendiri tidak cuma memberi peringatan, berbareng dengan itu ia menyentil dengan kedua jari tangannya, hingga terdengar suara bentrokan dua kali, lalu dua batang huitoo (golok- terbang), mencelat keluar tembok pekarangan. Kemudian, "Brak!" daun pintu tertendang menjeblak, dari sana muncul seorang Toojin (imam) dengan jubah hijaunya, serta dia diiringi dua orang busu (pahlawan), yang berpakaian serba- hitam. In Bu Yang segera merangkap kedua belah tangannya; "Tay Hian Tootiang, selamat bertemu, selamat bertemu," ia berkata nyaring. "Sebenarnya sudah lama sekali kita tak pernah bertemu, maka sekarang terimalah ucapan selamat dari aku, Kau telah berhasil bekerja kepada pemerintah agung! Hanya masih rada tidak memuaskan hati kau, karena kau cuma menjadi pengikutnya Lo Kim Hong!. . ." Inilah kata2 hebat, pujian yang muluk lalu dijatuhkan kaget. Tay Hian Toojin adalah seorang "panglima" gagah kelas satu dibawa ke-pemimpinan Tan Yu Liang, Di-jaman akkhirnya kerajaan Goan, selagi jago2 berusaha bangkit untuk membangun kerajaan, tiga patriot pecinta negara yang bergerak itu adalah Cu Goan Ciang, Tan Yu Liang dan Thio Su Seng yang tenaganya paling besar, Tan Yu Liang itu, yang menentang pengaruhnya Cu Goan Ciang, pernah berserikat dengan Thio Su Seng, maka itu In Bu Yang pernah bertemu dengan imam jubah hijau ini, ketika kemudian Tan Yu Liang runtuh, Tay Hian Toojin bertukar majikan, ia justeru menghamba kepada Cu Goan Ciang dengan kedudukan sebagai congkauw-tauw (guru silat utama), dari pasukan pahlawan kaisar Kimi-wi, kedudukannya ini ada dibawah kedudukan dari Lo Kim Hong, Demikian Bu Yang mengejeknya. Suara siulan isyarat yang didengar Lo Kim Hong, adalah suara dari imam ini serta dua kawannya, Mereka ini pun dapat memdengar suara balasannya Lo Kim Hong, dan segera mereka mengetahui, Lo Kim Hong tengah terlibat pertempuran, maka meskipun kemudian seruan Kim Hong dikacaukan oleh In Bu Yang, mereka tetap datang kerumah siorang she In ini, sebab inilah rumah yang menjadi tujuan mereka, Sayang mereka tibanya terlambat, Lo Kim Hong sudah menjadi korbannya Nyonya In dan In Bu Yang. Tay Hian melihat mayat Lo Kim Hong yang melintang, ia kaget bukan kepalang, Tapi ia bernyali besar dan berpengalaman, ia segera dapat menguasai diri, dan ia berpura2 tidak tahu. "Saudara In, ada terjadi apakah disini ?" dia bertanya, berlagak pilon. In Bu Yang bersikap dingin. "Lo Kim Hong melukai tamuku, aku bunuh dia!" sahutnya singkat, terus terang. "Bukankah bocah itu bernama Tan Hian Ki ?" tanya Tay Hian. "Benar!" menjawab Bu Yang. "Mustahil Lo Tayjin tidak memberitahukannya kepada saudara bahwa bocah ini adalah orang yang dicari pemerintah agung dan hendak dibekuknya ?" tanya imam itu. "Dia telah menerangkannya." Sepasang alisnya imam itu berbangkit berdiri; "In Bu Yang, inilah kekeliruanmu!" ia menegur. "Kau telah berjanji dengan Lo Tayjin, bahwa kau suka membantu dia untuk membasmi semua sisa orang2nya Thio Su Seng, kenapa sekarang kau justeru melindungi orang itu yang menjadi pemberontak? kenapa kau justeru membinasakan Lo Tayjin ?" "Apakah yang salah dari aku ?" Bu Yang bertanya, "Aku mohon keterangan!" "Kau adalah Bintang Utara dari gunung Tay San dari Rimba Persilatan," menyahut Tay Hian, "Mustahil kau tidak mengerti duduknya persoalan? Didalam kalangan Rimba Persilatan, yang diutamakan ialah kehormatan dan kepercayaan, tetapi orang semacam kau, yang memutar balik kata2mu, kau terhitung orang macam apa ?" Bu Yang tertawa dingin; "Tay Hian Tootiang, aku ingat kau adalah jago yang menjadi orang kepercayaan Tan Yu Liang," ia balik menegor, "maka sekarang, kenapa kau justeru menjadi Kimi-wi congkauwtauw dari Cu Goan Ciang? Nah, habis apakah kau hendak mengatakan tentang dirimu sendiri ?" "Jadi selama ini kau masih setia sama junjunganmu yang lama?" katanya, "Karenanya kau jadi memancing Lo Tayjin untuk terus dibinasakan!" "Hahaha, nyata kau menduga salah!" ujarnya, "Apakah kau benar2 hendak mengetahui sebabnya aku membinasakan Lo Kim Hong? Baiklah, tak ada halangannya untuk aku menjelaskannya, Per-tama2 karena disebabkan dia telah melukai sahabatku dirumahku ini, hingga dia tidak lagi memandang mukaku, dan ke-dua adalah untuk kepentinganmu sendiri!" "Tay Hian merasa heran, hingga ia mengawasi orang dengan mata mendelong. "Kenapakah untukku?" tegasnya. Bu Yang tertawa pula, "Itulah untuk mencegah kau menjadi kecewa sebagai bawahannya Lo Kim Hong!" Tay Hian tahu ia diangkat hanya untuk disindir, maka itu ia menjadi sangat gusar; "In Bu Yang!" bentaknya, "kau terlalu mengandalkan kegagahanmu hingga kau berani menghina aku!" Keadaan saat itu genting sekali, diibaratkan anak panah yang sudah siap dibusurnya, siap untuk ditarik dan dilepaskan, Justeru itu, busu berbaju hitam yang berada disebelah kiri, melompat maju kedepan In Bu Yang. "Masing2 orang mempunyai kemerdekaannya sendiri!" katanya nyaring, "Karena kau tidak sudi menghamba kepada pemerintah yang sekarang, tentu kau tidak dapat dipaksa, Sekarang mari kita bertindak menurut aturan kaum kangouw, Yaitu aku minta kau suka memberi muka kepadaku, bocah ini kau biarkan aku membawanya pulang! Tentang urusan Lo Kim Hong, tidak akan kami menarik panjang pula!" Busu itu mengatakan demikian karena jeri terhadap Bu Yang. Tay Hian Toojin tidak bersuara, Meskipun meraka ada bertiga, mereka merasa tidak unggulan melawan Bu Yang suami isteri, Bukankah Lo Kim Hong yang gagah juga telah roboh ditangan mereka ini? Cuma mereka tidak tidak melihat bahwa Kim Hong sebenarnya binasa ditangannya Nyonya In. In Bu Yang tidak lantas menanggapi, ia hanya memperdengarkan: "Hm!" Ia menatap tajam busu itu. "Aku kira siapa, tidak tahunya ahli pedang Ngobi-Pay Yang Ciauw Kok!" sahutnya kemudian, "Bagus! Kau hendak membawa pergi Tan Hian Ki, inilah gampang, Asal kamu meninggalkan dua orang untuk sebagai penukarannya, Nah, kamu berdua putuskanlah, kalian sudi atau tidak meninggalkan dua orang disini!" Orang itu memang Yang Ciauw Kok adanya, Seorang jago kenamaan dari Ngobi-Pay, cuma karena lawan yang dihadapannya adalah In Bu Yang, sedapat mungkin ia menyabarkan diri, ia terpaksa menggunakan siasat, sebenarnya, biasanya ia sangat mengagulkan kegagahannya, Sebab lainnya kenapa ia mau berdamai dengan In Bu Yang ialah kematian Lo Kom Hong ada banyak faedahnya baginya, Maka adalah diluar dugaannya In Bu Yang tidak sudi memberi muka padanya, bahkan ia seperti dipermainkan, Tentu saja, ia menjadi naik darah. "Usulmu ini usul yang baik!" katanya tertawa dingin, "Baiklah, akan kami tinggalkan dua orang untuk menjadi syarat pertukaran, Dua orang itu adalah orang2 yang bernama besar, yang telah kau kenal baik, dengan mereka ditukar sama satu bocah tak ternama, aku rasa pertukaran ini setimpal sekali!" Mendengar itu, In Bu Yang tercengang, hingga ia mengawasi dua busu itu, Yang Ciauw Kok ada menggendol sebuah bungkusan besar, bungkusan itu terus ia turunkan, lalu terus ia membukanya, maka dari dalam sana lantas terlihat dua kepala manusia yang masih berlepotan darah. Nyonya In terperanjat, ia mengenali dua kepala orang itu, sebab mereka itu adalah Cit Siu- Toojin serta Pouw Kian! Tay Hian Toojin bersama kedua busu datang ke Holan-san ini untuk membekuk Tan Hian Ki, mereka adalah orang2 pilihan didalam istana kaisar, Setibanya dikaki gunung, kebetulan merekan berpapasan dengan Cit Siu dan Pouw Kian, Mereka ketahui, dua orang itu adalah bekas orang2nya Thio Su Seng yang dari Mongolia menyulundup pulang, tidak ayal lagi mereka mengepungnya dan berhasil mereka binasakan, Mereka tidak mau mem-bawa2 mayat, dari itu mereka lalu menebas kutung kepalanya dua musuh itu, lalu digendol. Bahwa Nyonya In terperanjat, itu disebabkan ia mengetahui baik ilmu silat pedang dari Cit Siu, ilmu pedang yang dinamakan Cit Siu Kiamhoat telah tersohor didalam dunia kangouw, maka ia heran, mengapa Cit Siu dan Pouw Kian bisa terbinasa ditangan tiga orang ini, Memang Pouw Kian telah terhajar oleh Thian Tol, tetapi itu bukan alasan bahwa dia dan kawannya gampang saja dibinasakan mereka. In Bu Yang juga terkejut seperti isterinya itu. "Bagaimana?" Yang Ciauw Kok menegaskan, "Bukankah jual beli ini lebih menguntungkan kamu?" "Memang menguntungkan!" sahut Bu Yang, tertawa dingin, "Bukankah dua yang mampus ditukar dengan satu yang hidup ? Tetapi mestinya ada satu lagi, maka baiklah, kau sendiri yang menangkapnya!" Kata2 Bu Yang ini disusuli dengan satu serangan sebelah tangan, Sementara itu busu yang dikanan Tay Hian pun sudah mendahului turun tangan, hanya dia mengayunkan tangannya dua kali kearah Bu Yang dan isterinya, menimpuk dengan jarum2 yang beracun, Busu ini bernama Siang Leng Ho, dia tak ternama besar seperti Tay Hian atau jago Ngobi-Pay Yang Ciauw Kok itu, akan tetapi dialah seorang ahli senjata rahasia, Cit Siu pun mula-nya menjadi korban jarumnya, baru kemudian imam itu dibinasakan oleh tangan siorang she Yang. Dengan menerbitkan suara jarum yang diarahkan kepada Bu Yang, namun mental balik, hal mana membuat Siang Leng Ho, si-penyerang menjadi kaget sekali, hingga ia mesti menjatuhkan diri ketanah, dengan cara itu barulah ia dapat membebaskan diri dari jarumnya sendiri. Nyonya In tenaga dalamnya tidak semahir sang suami, meski begitu ia tidak sampai kena dibokong, Sebagai ganti tenaga dalam, ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dengan menjejak tanah ia mengenjot tubuhnya naik tinggi, sehingga jarum beracun itu lewat dibawah kakinya, tetapi ia tidak cuma berkelit, sambil melejit ia terus berjumpalitan, dengan pedang cabang pohonnya itu terus menikam Yang Ciauw Kok. Jago Ngobi itu kaget tetapi tidak bingung, sambil berseru ia menimpuk dengan dua kepalanya Cit Siu dan Pouw Kian, Bu Yang yang menjadi sasaran, berkelit dengan cepat, Setelah berkelit, ia terus maju, untuk meninju dada lawan, Inilah serangan pembalasannya. Tay Hian Toojin dilain pihak menangkis pedang cabangnya Nyonya In, Ia menyampok dengan hudtim (kebutan)nya, Ia menggunakan tenaga imjiu (tenaga lunak), maka itu, ia tidak dapat membuat senjata si nyonya terlepas. Bersamaan dengan itu, Yang Ciauw Kok tidak dapat membebaskan diri dari tangannya Bu Yang, ia terhajar hingga ter-huyung2. Habis menyerang itu, Bu Yang mengubah gerakan kakinya, tubuhnya diputar, maka itu, ia tidak menyusul pukulannya kepada siorang she Yang, tetapi ia justeru menghajar lengannya si imam, Serangannya ini berbareng dengan tikaman Nyonya In kearah matanya imam itu. Tay Hian memang lihay, Ia mengebut pedang cabang bwee itu, Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga bergerak, menyambut serangan Bu Yang, Ia beruntung karena dapat menangkis pedang cabang, begitu juga serangannya Bu Yang, Sebab Bu Yang tidak bisa menggunakan seluruh kekuatannya, tenaganya jadi berimbang dengan tenaga si imam. Ilmu silat pedang Nyonya In sebat sekali, setelah tusukan yang pertama ditangkis, segera ia menyusul dengan tikaman yang kedua dan ketiga. Tay Hian Toojin lantas kena didesak, Beruntung untuknya, ia ditolong oleh Siang Leng Ho, yang merayap bangun dan langsung mengayunkan tangannya, menimpuk Nyonya In dengan dua batang paku Touwkut-teng, dengan pedang cabang kayunya, Nyonya In memukul jatuh senjata rahasia itu, Oleh karena itu, si imam jadi dapat bernapas, dan bisa dia menaruh kakinya dengan tetap. Yang Ciauw Kok adalah seorang ahli, meskipun ia kalah satu jurus, ia mendapat kenyataan bahwa In Bu Yang sudah lemah sekali, Awalnya saja Bu Yang kuat, lalu tenaganya menjadi kendor, Maka jago Ngibi ini menjadi girang, lantas ia menghunus sepasang pedangnya, dan maju membantu kawannya, Dengan tangan kiri ia menikam Bu Yang, dan tangan kanannya ia gunakan menusuk Nyonya In, Berat dan hebat serangannya itu. In Bu Yang masih dapat bertempur terus, dengan sentilan dua jari tangannya, hingga terdengar suara "Traaang!" ia membuat pedang Yang Ciauw kok mental, tetapi karena Tay Hian Toojin dapat memperbaiki kedudukannya, imam ini pun lantas maju pula, kebutannya menyabet secara hebat, Lihaynya kebutan ini ialah setiap helainya bisa digunakan untuk menghajar jalan darah, totokannya lebih hebat daripada totokan jari tangan umumnya. In Bu Yang telah dipaksa untuk menggunakan pula tenaganya, Ia menyerang dengan ilmu silat Pekkhong-ciang (pukulan udara kosong), Tiga kali Tay Hian Toojin mengebut dia, tiga kali ia menangkis menghalau serangan itu, Keduanya jadi bertarung dengan seru. Sembari bertarung, In Bu Yang mencuri lihat isterinya, Ia mendapat kenyataan isterinya itu lagi didesak Yang Ciauw Kok, yang sepasang pedang lihay sekali. Bicara dalam hal ilmu pedang, Nyonya In masih menang setingkat daripada Yang Ciauw Kok, hanya dari hal tenaga dalam, keduanya berimbang, akan tetapi karena jago Ngobi itu menggunakan sepasang pedang asli, sedangkan Nyonya In berpedang cabang kayu, si nyonya merasakan kesulitan juga, sebab sembarang waktu pedang kayunya itu dapat ditebas kutung, Oleh karena itu, ia mengandali kelincahan tubuhnya. Yang Ciauw Kok kewalahan juga, sudah tigapuluh jurus ia mendesak lawannya, tetapi belum juga ia berhasil membabat kutung cabang pohon dari lawannya. In Bu Yang tahu akan bahaya, kalau pertempuran terus berjalan demikian adanya, Ia maju kepada Tay Hian, lalu ia mengerahkan tenaganya dan menghajar kembali dengan Pekkhong-ciang, Serangan ini membuat kebutannya si imam kena dimundurkan, Setelah itu Bu Yang maju setindak, dua jari tangannya menusuk. Tay Hian terancam bahaya, selagi kebutannya terhajar, tubuhnya memperlihatkan lubang kelemahan Segera ia bakal terhajar ilmu jari Itci-sian, apabila tidak segera datangnya pertolongan, Sekali lagi Siang leng Ho menimpuk dengan dua buah pakunya, menyambar dengan menimbulkan suara yang nyaring, Dengan terpaksa In Bu Yang mengalihkan serangannya, ia menghajar paku itu hingga keduanya jatuh ketanah menjadi empat potong! Tay Hian menjadi mendapat kesempatan pula, Karena ia tidak diserang terus, ia yang berbalik menyerang pula. In Bu yang lantas kena terdesak, setelah dua kali menggunakan banyak tenaga, ia merasakan dadanya mulai sesak, hawa dingin meresap ke-ulu hatinya, bersamaan dengan itu ketajaman matanya juga mulai berkurang, dan tubuhnya bergerak ayal, Walau sempurna tenaga dalamnya itu, tetapi biar bagaimana juga, tubuhnya bukan terbuat dari besi, setelah terluka ditangan Pit Leng hong dengan ilmunya Hanim Tokciang, Ditambah lagi pertarungan dahsyat dengan Lo Kim Hong, menjadikan tenaganya banyak berkurang, Sudah begitu, ia juga mesti membantu isterinya dengan keras, Maka sekarang ia bagaikan pelita yang kehabisan minyak. . . Tay Hian tidak mau mundur, lagi2 ia menyerang, Bu Yang berkelit menyamping, dari sana ia menikam dengan satu jari tangannya, Tay Hian menyangka orang menggunakan Itci-sian, saking kagetnya, dia melompat untuk membebaskan diri dari tusukan tangan itu, Disaat imam itu berkelit, In Bu Yang memaksakan mengerahkan tenaganya untuk mencelat maju dalam gerakan "Yancu coanthian" (burung walet menembus langit). Gerakan melompat ini memang perlu, untuk menjauhkan diri dari serangan pakunya Siang Leng Ho, setelah mencelat, tubuhnya itu turun dengan cepat, turun kearah Yang Ciauw Kok, langsung mengancam pundaknya jago Ngobi-pay itu. Yang Ciauw Kok kaget merasakan ada sambaran angin pada wajahnya, cepat2 ia membabat dengan memutar balik pedangnya. In Bu Yang tertawa panjang ketika tangannya itu dibabat, Ia mengancam dengan tangan kiri, ketika tangannya itu diserang, ia menarik pulang, dilain pihak, dengan tangan kanannya ia mencoba merampas pedang lawan! Berbareng dengan gerakan suaminya itu, Nyonya In juga turun tangan, ia menikam ketelapak tangannya Yang Ciauw Kok, maka dalam kagetnya, Yang Ciauw Kok terpaksa melepaskan sebelah pedangnya, yang terus dirampas si nyonya. Cepat dan hebat gerakan kedua suami isteri itu, dilain saat terlihat ditangan mereka masing2 telah memegang sebatang pedang. . .Sepasang pedang Yang Ciauw Kok yang telah mereka rampas. Begitu cepat setelah ia mempunyai pedang asli, Nyonya In langsung menerjang kembali Yang Ciauw Kok, ia tidak mau men-sia2kan waktu, ia pun berlaku sangat gesit, Ia menyerang dengan tusukan "Bidadari melempar torak". In Bu Yang juga menyerang seperti isterinya itu, maka itu disaat Yang Ciauw Kok berkelit dari pedangnya itu, ujung pedang si nyonya mampir dilengannya, sampai lengan itu tergores panjang, Ia merasakan sakit dan kaget, tubuhnya lantas terhuyung, belum sempat ia berganti napas, sekali lagi ia terluka, pundaknya kena ditusuk oleh In Bu Yang, yang telah mengulangi serangannya. "Lawan terus, Yang Laotee!" Tay Hian Toojin serukan kawannya, "In Bu Yang sudah tidak bertenaga!" Sembari berseru, ia maju menyerang Bu Yang, tangan kiri dengan jurus "Bintang mengejar- rembulan," tangan kanan dengan pukulan "Gelombang menelan perahu" Tangan yang disebelahnya itu digunakan menyerang kearah Nyonya In. In Bu Yang masih sanggup menggerakkan pedangnya menyambut kebutan si imam, Sungguh kebetulan, selagi ia bergerak, isterinya pun bergerak, maka dengan berbareng pedang mereka menghajar kebutan, Dan berbarengan dengan itu, berhamburanlah kebutan si imam yang kena dibabat kutung! Tay Hian kaget bukan main, akan tetapi walaupun hatinya mencelos, ia masih dapat menguasai diri. "Pundak rata! Pelihara dia dengan biji hijau!" ia berseru. "In Bu Yang tak dapat bertahan lama!" Itulah kata2 rahasia, untuk maju lebih rapat, dan menganjurkan kawannya menggunakan "biji- hijau", yang berarti senjata rahasia. Yang Ciauw Kok memtaati anjuran kawannya itu, Oleh karena sudah tidak mempunyai pedang, ia mengambil dua cabang pohon bwee, untuk menggunakan cabang kayu itu sebagai pedang sebagaimana dilakukan Nyonya In tadi, dengan pedang kayu itu, ia maju lagi. Siang Leng Ho juga menuruti anjuran si imam, sengan cepat ia menimpuk In Bu Yang dengan senjata rahasianya, Didalam keadaan seperti itu, In Bu Yang telah melupakan soal hidup mati, Dengan tenang ia bahkan bersenandung, begitu bebas ia bersiul panjang: "Setelah bersisa hidup habis berperang seratus kali, untuk apa takut mati? Maka lihatlah siapa yang mendahului aku pergi ke neraka!" Senandung itu dibarengi dengan gerakan pedang yang hebat luar biasa, hingga ia berhasil merontokkan paku rahasia dan lainnya, yang dilepas musuhnya susul menyusul. Tay Hian Toojin disesak, dia bertarung dengan cara berlompatan, terus menerus dia berkelit menyelamatkan diri. "Bagus!" serunya, sambil tertawa dingin, "Lihat, siapa yang pergi dulu ke neraka!" Imam ini mengetahui orang lagi nekat, ia membela diri sekuat tenaga. Disebelah sana, Yang Ciauw Kok mesti melayani Nyonya In, Ia tidak kalah dalam hal tenaga dalam tetapi ia kurang lincah, maka itu, ia didesak nyaonya itu, Tadi dengan pedang asli melawan pedang kayu, ia kena didesak, maka sekarang setelah bertukaran senjata, ia lebih tidak berdaya sama sekali atas pengaruh Nyonya itu, Bahkan belum lama, satu cabang kayunya telah dipapas kutung Nyonya In! Dari tiga jago yang menyetroni keluarga In ini, Siang Leng Ho yang ilmunya paling lemah, akan tetapi ia lihay dalam hal senjata rahasianya, biasanya ia jitu dengan setiap timpukannya, itu juga sebabnya, sekalipun In Bu Yang lebih unggul, dia sangat terganggu akan senjata rahasia lawan, untuk sesaat itu dia belum berhasil merobohkan lawannya. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, In Bu Yang kembali mengerahkan tenaganya yang tersisa, Dan sekonyong2 ia menghajar pula Tay Hian dengan pukulan "Menghajar udara kosong" itu, Awalnya ia menghalau kebutan yang lihay dari imam itu, setelah itu ia menyusul dengan tusukan "Sengliong inhong" (Menunggang naga mengajak burung hong), Dengan itu ujung pedangnya mampir didada Tay Hian Toojin, setelah itu dengan tertawa dingin ia berkata; "Aku mau lihat siapa mendahului aku pergi ke neraka ?" Tay Hian Toojin menjerit memuntahkan darah segar, Setelah berhasil menusuk Tay Hian, habis juga tenaganya In Bu Yang, tubuhnya lantas terhuyung, napasnya seperti berhenti berjalan, sudah dadanya dirasakan sakit, matanya pun kabur, Paling celaka ialah, disaat ia tidak berdaya itu, pundaknya disambar sebatang panah gelap, yang dilepaskan oleh Siang Leng Ho, yang membawa berbagai macam senjata rahasia. Yang Ciauw Kok yang melihat keadaan lawan itu, Ia tidak mau men-sia2kan kesempatan yang paling baik itu, dengan cabang kayunya, ia maju menyerang, Ia bukan menusuk atau membabat, tetapi ia mengemplang, senjatanya itu bagaikan toya turun dari atas kebawah, mengarah kepala. Hampir bersamaan dengan serangan yang mematikan itu, terdengar suara keras "Tas!", lantas darah muncrat menyembur, diikuti dengan jatuhnya sebuah batok kepala, yang terus menggelinding ditanah! Ternyata itu bukanlah In Bu Yang yang roboh dengan kepala meluncur, Tetapi Yang Ciauw Kok yang tubuhnya jatuh terbanting dengan batang lehernya telah putus, Sebab disaat ia hendak menghabisi jiwanya Bu Yang, Nyonya In lebih dulu menebas dengan cepat sekali, sehingga dialah yang terlebih dahulu menjadi korban dan berpulang ke rachmatullah! Inilah untuk pertama kalinya Nyonya In membunuh orang, meski ia gagah, tapi ia hanya berdiri menjublak melihat tubuh orang roboh tanpa kepala, dan kepala orang itu bergelinding ditanah, darahnya berhamburan, Ia berdiri diam dan hatinya memukul keras, tangan dan kakinya seperti kehilangan tenaga. Justeru itu Tay Hian Toojin, walaupun dia terluka parah, dia masih bisa melihat, pikirannya pun masih sadar, Ia menyaksikan Nyonya In membinasakan Yang Ciauw Kok, kawannya itu, ia melihat si nyonya lantas berdiri bagaikan patung, ia lantas mengerahkan sisa tenaganya, ia melompat bangun, lalu menubruk kearah si nyonya, dengan kebutannya ia menghajar punggung nyonya itu, Ia berharap berhasil, karena Nyonya In tengah berdiri menjublak. In Bu Yang masih dapat melihat tubuh isterinya terhuyung, Entah dari mana datangnya, mungkin saking murkanya, ia mendapat pula tenaganya, segera ia mengulur tangannya, ia lalu menotok dengan jari tangannya kepunggung Tay Hian Toojin, yang berdiri membelakangi dirinya, Tepat pula totokan Itci-sian itu, maka tidak ampun lagi robohlah si imam, Tetapi waktu roboh dia masih sempat mengeluarkan seruannya yang serak; "Bawa lari bocah itu! Inilah jasamu yang utama!" Teriakan itu adalah untuk Siang Leng Ho, sisa kawan satu2nya. In Bu Yang tertawa ketika ia berhasil dengan totokannya, Setelah itu, ia pun habis tenaganya, kaki dan tangannya tak dapat digerakkan lagi, maka itu, ia kaget melihat Siang Leng Ho lari kearah Tan Hian Ki, yang masih rebah tanpa sadar, Saking tidak berdaya, ia cuma bisa menjerit. Dilain pihak, Nyonya In tidak roboh, dari itu saat melihat Hian Ki terancam bahaya, ia lari mengejar, walaupun ia juga telah kehabisan tenaga, dan menyadari tidak nanti ia dapat menyandak, maka baru melangkah dua tindak, ia lantas melontarkan pedangnya, Itulah timpukan Tat Mo Kiamhoat yang disebut "Sinkiam coanin" (Pedang sakti menembus mega), Tepat serangan ini mengenai punggungnya Siang Leng Ho selagi dia membungkuk buat menyambar tubuh Hian Ki, maka itu dia tertembus pedang, tubuhnya itu tertancap ditanah tanpa bisa berkutik lagi! Untuk menimpuk, hal mana ia telah menggunakan segenap tenaganya, Napasnya Nyonya In memburuh. maka untuk mempertahankan tubuhnya supaya tidak roboh, ia menyender dipohon bwee, Ia letih sekali, seperti orang yang lagi menderita sakit berat, sebab tadi ia terhajar hebat oleh kebutan terakhir dari Tay Hian Toojin, Karena ia telah tergetar terluka pada tiga belas jalan uratnya. Sampai disini, sunyilah gelanggang pertempuran itu, dimana empat mayat rebah malang melintang, juga terdapat tiga orang yang terluka parah. Lama kesunyian berlangsung ketika terdengar suara yang lemah dari In Bu Yang! "Poo Cu!. . ." "Bu Yang!. . ." ada jawabannya Nyonya In, jawaban yang tak kurang lemahnya. Suara mereka itu bagaikan suara berbisik dari si pengantin baru, karena keduanya sekarang sangat terharu hati mereka, dengan tiba2 muncul pula rasa cinta mereka satu dengan lainnya, Inilah rasa cinta sejati. "Poo Cu, kau geledahlah tubuhnya Lo Kim Hong. . ." kemudian Bu Yang berkata pula. "Nyonya In menurut, ia lantas menghampiri tubuh orang she Lo itu, untuk memeriksa, Ia mendapatkan beberapa potong emas dan satu peles kumala, Ia buang emas itu, ia ambil pelesnya, dan ia lemparkan pada suaminya. "Bukan ini, kau geledah lagi," berkata suami itu, yang mencoba melihat isi peles itu. Nyonya In menahan napas, untuk melawan bau amis dari darah Lo Kim Hong, Kali ini dari dalam kantung samping ia menarik keluar sebuah kantung sulam, ketika ia tunggingkan itu, untuk mengeluarkan isinya, terjatuhlah tiga butir obat yang warnanya merah muda. "Mari kasih aku," Bu Yang berkata setelah ia melihat obat itu. Nyonya In berjalan menghampiri suaminya, Bu Yang mencium obat itu, ia mengangguk; "Tidak salah, inilah obat kuat Kouwpun Lengtan dari istana kaisar," ia berkata, Ia lantas pegang tangan isterinya, sesudah mencekal erat2, ia buka telapak tangannya, membukanya dengan per-lahan2, lalu obat itu diletakkan dalam genggaman isterinya itu. "Poo Cu, aku minta, kau makanlah tiga butir obat ini," ia berkata, suaranya halus. "Kau sendiri ?" si isteri balik menanya. Bu Yang tertawa sedih; "Ah, Poo Cu, apakah kau masih tidak dapat melihat?" katanya. "Aku terluka terkena Hanim- Tokciang dari Pit Leng Hong, luka-ku hebat, darahku rusak, barusan tadi aku juga telah mengerahkan seluruh tenagaku, maka sekarang, obat ini tidak bakal menolong lagi padaku, Tetapi tidak demikian dengan kau, Tiga butir obat ini dapat menolong luka getaran yang bagaimana hebat juga, maka kau makanlah!. . ." Isteri itu mengangguk; "Aku tahu," katanya, Ia lantas periksa nadinya sendiri, ia memandang suaminya itu, kemudian ia tersenyum. "Aku adalah sama dengan kau," katanya perlahan, "kita masih dapat hidup tiga hari lagi. . ." "Jikalau kau makan obat ini, paling sedikit kau bakal hidup lagi tigapuluh tahun!" kata sang suami. Isteri itu tertawa; "Itulah terlalu lama!" katanya. "Ah, dalam tempo tiga hari, kita masih dapat berbuat banyak!" Nyonya In lantas berjalan menghampiri Hian Ki, ia pegang tubuh orang, untuk bibalikkan, setelah itu dengan cepat ia membuka mulut sianak muda, lalu ia masukkan tiga butir obat Lengtan itu! In Bu Yang berdiri menjublak sesaat; "Poo Cu," katanya kemudian, "kiranya demikian rasa cintamu kepadaku, aku. . .aku. . ." Ia bicara dengan nada suara sangat sedih, lalu ia tak dapat melanjutinya, Ia mengangkat kepalanya memandangi isterinya itu. "So So adalah seorang anak yang manis," berkata isteri itu perlahan, "adalah kita yang bukan ayah-bundanya yang baik. . .Entah bagaimanakah perasaanmu sendiri. . .Buat aku, aku merasa malu. . ." "Aku berlipat lebih malu daripada kau," kata Bu Yang, air matanya bercucuran. Nyonya In menghela napas dalam2, kemudian sambil menunjuk tubuh Tan Hian Ki yang rebah dihadapan mereka, ia berkata; "Matanya So So jauh lebih tajam daripada mata kita, Anak ini baik hatinya, ia polos dan sederhana, ia dapat dibuat harapan, maka itu, dengan aku memberikan tiga butir pil, kau harus dapat mengerti maksud hatiku, Mengertikah kau?" "Aku mengerti, Kalau sebentar dia mendusin, So So tentu juga sudah pulang, maka didepan mereka berdua akan aku meluluskan keinginan mereka, supaya mereka dapat menjadi suami isteri, Poo Cu, kau. . ." Isteri itu tersenyum sekelebat, dan air mukanya lantas menjadi guram pula; "Aku tidak dapat menanti sampai pulangnya So so," ia berkata. "Ah, kasihan So So. . . Anaknya Thian Tok pun belum dewasa, dia lebih2 harus dikasihani. . .Sebenarnya aku hendak memelihara dan merawat dia hingga besar dan dia menjadi seorang yang berguna, tetapi sekarang, aku tidak dapat lagi, Tetapi gambar itu, pernah aku menjanjikan Thian Tok untuk mengantarkan kerumahnya, dari itu aku mesti pergi kesana dan aku mesti tiba dalam tempo tiga hari." Tenang suaranya nyonya In ini tetapi sebenarnya hatinya kusut, dan Bu Yang bisa merasakan juga goncangan hati isterinya hanya dengan mendengar saja suaranya, Ia berdiam, Sebelumnya ia menyangka isterinya itu hendak mati bersama dengannya, siapa tahu, ternyata orang masih mempunyai pikiran lain, Biar bagaimana, ia berduka, Tapi, ia bangga mempunyai isteri seperti Poo Cu, Ia melengak sebentar dan akhirnya tertawa panjang. "Poo Cu," katanya, "selama duapuluh tahun, belum pernah aku perlakukan kau dengan baik, maka siapa sangka, selagi tidak bisa kita terlahir dalam tahun yang sama, dalam bulan dan hari yang sama, Sekarang kita bakal menutup mata dalam tahun, bulan dan hari yang bersamaan! Isteriku, apa lagi yang aku siorang she In hendak memintanya pula? Poo Cu, kau pergilah! Segala apa yang tidak benar dari pihakku terhadapmu, biarlah dilain penitisan saja aku menebusnya. . ." Nyonya In menunduk, "Bu Yang. . ." katanya, perlahan, Ia berhenti sebentar, kemudian baru ia meneruskan: "urusan dibelakang hari adalah urusan yang samar2, maka itu kalau untuk urusan yang sekarang ini kau dengar pesanku, aku sudah akan merasa puas, Baiklah, aku berangkat sekarang! Aku khawatir dalam tempo tiga hari aku nanti tidak dapat sampai dirumah keluarga Cio, maka itu baiklah aku pinjam kuda putihnya Hian Ki, kalau nanti ia mendusin, kau beritahukanlah suruh dia bersama So So pergi kerumah keluarga Cio untuk mengurus jenazahku, untuk dia sekalian mengambil pulang kudanya itu, Ah, mungkin... mungkin ada terlebih baik untuk tidak memberitahukan pada mereka, biarkan aku menitahkan anaknya Thian Tok saja yang mengantarkan kuda ini. . ." Bu Yang berdiam, ia mengawasi isterinya berjalan keluar, Kuda putih Hian Ki berada diluar pintu pekarangan tengah memakan rumput, ketika Bu Yang keluar, ia lihat isterinya sudah naik keatas punggung kuda itu. Nyonya In tertawa sedih, lalu ia mengangkat cambuknya; "Didalam dunia ini, tidak ada pesta yang tidak berakhir!" katanya nyaring, "Demikian hari ini kita berpisah! Didalam hatimu ada aku, didalam hatiku ada kau, bukankah ini ada jauh terlebih bermakna daripada impian?" Cambuk itu digetar keudara, mengancam sang kuda putih, kuda itu lantas mengerakkan keempat kakinya, untuk berlari, dan akan segera lenyap dalam cuaca samar2. Inilah yang dinamakan berpisah mati, bercerai hidup. . . Bingung Bu Yang mengawasi isterinya itu, yang telah dibawa lari sang kuda turun dari gunung, setelah orang sudah tak tampak lagi, baru ia menghela napas panjang, Ketika ia berpaling, ia merasakan sunyi segala apa, hingga tak tahu ia mesti berduka atau bergembira, Ia ingat, selama duapuluh tahun, ia seperti asing dengan isterinya itu, baru hari ini, ia mengerti akan sang- isteri, Bukankah si isteri telah membeberkan rahasia hatinya? Dengan tangannya memainkan cabang pohon bunga bwee, hati suami ini bekerja. "Aku tidak menyangka mereka berdua demikian mirip satu dengan yang lain, sama2 bertulang gagah seperti baja, sama2 berperasaan halus bagai air. . . Ah, segala perbuatanku yang bersalah tak dapat ditutup dengan apapun juga. . . ." Diluar kamar, sang angin malam menebusi pohon2 bwee, Diatas pohon itu ada tersisa bunga, dan sekarang bunga itupun rontok pula. Tiba2 Bu Yang ingat almarhum isterinya, Selama duapuluh tahun, hampir setiap malam isteri itu jalan mondar mandir dibawah pohon bunga bwee ini, setiap ia melihat bayangan isterinya itu diantara bunga2, Dan sekarang ia seperti melihatnya pula. . . "Soat Bwee!" mendadak ia berseru dan ia maju menubruk. Pohon bwee lantas ber-goyang2, daun2nya pun pada rontok, Dalam sekejap itu, Dimatanya Bu Yang terbayang dua bayangan, yakni bayangan isterinya yang pertama, yang telah meninggal dunia, dan isterinya yang belakangan, yang baru saja pergi meninggalkan dirinya, Lalu dalam hayalnya, ia mendapatkan dua bayangan itu bercampur menjad satu, tidak bisa ia membedakan lagi, yang mana Poo Cu, yang mana Soat Bwee, Ketika ia menubruk, ia menubruk bunga bwee, sebab ke-dua2 bayangan itu telah lenyap seketika.. Sang malam semakin larut, dan sekarang sang rembulan telah mulai muncul. In Bu Yang berjalan mondar mandir dibawah pohon bunga bwee itu, Tidak tahu ia, berapa lama sudah ia berada disitu, melainkan sang rembulan yang naik terus, dan terus bergeser kearah barat. Seperti biasa, dari dalam rimba datanglah pekikan si-kera dan mengaumnya sang harimau, Mendengar suara hewan tersebut, Bu Yang bagaikan tersadar dari mimpi yang menakutkan, Didalam pekerangannya itu, tersinari cahaya rembulan, ia melihat malang melintangnya mayat2, ia menjadi muak, Maka berkatalah ia didalam hatinya: "Tidak dapat aku membiarkan semua makhluk kotor ini menodai bungaku ini!" Ia lantas menjemput peles perak yang tergeletak ditanah, Itulah peles, yang ia dapatkan dari tubuhnya Lo Kim Hong, didalam sana ada pil Hoakut-tan, yaitu obat untuk memusnahkan mayat, yang biasanya dipakai setelah membunuh orang, untuk menghilangkan jejak tubuh, Nyonya In tidak mengenal obat itu, dan tadi hampir saja ia akan pakai sebagai obat biasa. Tanpa buang waktu lagi, In Bu Yang gusur beberapa mayat itu, dibawa keluar, ketempat yang sepi, disitu ia menumpuknya, lalu ia gunakan obatnya Lo Kim Hing itu, Setelah itu semua mayat itu berubah menjadi cair, dan disitu juga ia pendam semua sisa tubuh2 itu. Setelah selesai, tiba2 ia ingat: "Mereka ini adalah bangsa telur busuk semuanya, tetapi kalau aku dibandingkan dengan mereka, dapatkah aku?. . .Aku benci mereka itu, selayaknya, aku juga harus membenci diriku sendiri!" Manusia itu, disaat ajalnya akan tiba, biasanya pikirannya menjadi sadar, ia ingat baik sekali segala macam perbuatannya yang sudah2, Demikian dengan In Bu Yang, Ia bukan sedang menghadapi kematian, tetapi mendadak ia ingat akan segala perbuatannya itu: ada yang baik, ada yang buruk, tetapi lebih banyak yang buruk, dan itu tidak dapat ditebus dengan segala yang baik! Sementara itu angin bertiup semakin keras, hingga In Bu Yang merasakan hawa dingin yang meresap ke buku2 tulangnya, Kembali, dengan se-konyong2, ia ingat kepada Tan Hian Ki, Segera ia masuk kedalam, lalu ia pondong tubuh anak muda itu, Ketika ia memeriksa nadinya, nadi itu tenang2 saja, Hanya orangnya masih belum mendusin. Diantara sinar rembulan Bu Yang memandang wajahnya anak muda itu, Tiba2 ia merasakan sesuatu yang luar biasa, Pemuda ini, yang tidur demikian tenang, mirip dengan So So anak gadisnya yang ia sayangi itu, Maka ia menatapnya terlebih jauh. Ah! inilah roman yang ia merasa kenal, seperti dimana ia pernah melihat wajah semacam ini, Maka ia lantas mengingat2nya, Tengah ia meng-ingat2 itu, ia tertawa dengan sendirinya. Ketika dahulu waktu ia mengasingkan diri di Holan-san, bukankah Tan Hian Ki ini masih seorang bayi? Maka kenapa ia heran untuk wajah orang, Tapi ia tidak mengerti, terhadap bocah ini, ia seperti mempunyai hubungan bathin yang kuat, hubungan yang bukan disebabkan kaitannya dengan So So anak gadisnya itu. Bu Yang membopong Hian Ki kekamar tulis, lalu ia merebahkannya diatas pembaringan, Dengan selimut ia menutupi tubuh itu, kemudian ia menurunkan kelambu, Perbuatannya ini mirip dengan pelayanannya So So diwaktu ia masuk tidur. Setelah itu ia menyalakan dupa, Ia juga membuka sebuah daun jendela, dan mengundang masuknya angin malam yang membawa harumnya bunga dan bau rumput, Ketika ia memandang keluar, ia melihat sinar rembulan telah berada ditengah2 cakrawala. "Ah, mengapa So So masih belum kembali?" ia menanya dirinya sendiri. XI. Lagi CINTA SEJATI. So So tengah mencari Hian Ki, Ia tidak mengetahui pemuda itu justeru berada didalam kamar tulisnya, lagi tidur nyenyak. . . . Ditengah gunung tampak si puteri malam naik dengan perlahan2, Didalam rimba, kecuali suara tindakan kakinya, hanya ada suara daun2 yang rontok, Adalah suara daun yang rontok itu mengganggu sekali hati yang risau, Masih So So berjalan terus didalam rimba, Ia bergidik kalau dari jauh ia mendengar auman hariman dan pekikkan kera yang memecah kesunyian sang hutan, suara mana terbawa oleh angin malam, So So tidak takut, Hanya hatinya tidak tenang karena urusan ayahnya. Mimpi pun tidak dia, bahwa ayahnya telah melakukan perbuatan jahat, dosa yang tak terampunkan, Tetapi bagaimana juga dia tetap adalah ayahnya, Ayahnya itu telah menceritakan segala apa kepadanya, dan ia dapat melihat mata yang penuh dengan sinar kesengsaraan hati, juga mendengar suara yang bergetar pilu, dari seorang berdosa yang hampir melepaskan napasnya yang terakhir, Maka itu, kuatkah dirinya menegur ayahnya itu? Lalu ingatlah ia kepada Tan Hian Ki, Hian Ki yang sangat ia harapkan, Hanya dengan berada disampingnya Hian Ki, orang yang paling ia percayakan buat andalan, baru takutnya itu dapat dikurangi sedikit. . . Mendadak didalam rimba itu terdengar suara orang berlari2, seperti orang sedang berkejaran, Apakah itu adalah Hian Ki? Kalau benar, dia bersama siapakah ? Tindakan kaki itu lantas datang semakin dekat, Lalu terdengar suara panggilan ber-ulang2; "Enci Un Lan! Enci Un Lan !" Suara panggilan itu menggetar, tanda suara dari hati yang goncang, Suara itu mirip dengan suara ayahnya ketika didalam goa, saat ayahnya me-manggil2 padanya, Ia mengenali, orang itu bukanlah Tan Hian Ki tetapi Siangkoan Thian Ya. So So melompat naik keatas sebuah pohon, matanya memandang kearah dimana suara ber-lari2 itu terdengar. Disana tampak seorang wanita dengan rambut riap2an, lagi berlari kencang sekali, dan dia berlari terus walaupun ada teriakannya Siangkoan Thian Ya, teriakannya itu sampai terdengar parau, Tidak juga mau dia menghentikan larinya. "Ah, dialah Siauw Un Lan!" pikir So So, "Kenapa dia menjadi begini? Apakah dia telah mengetahuinya urusan engko Hian Ki dengan aku?" Dalam masa terajuk sang cinta, perasaan seorang nona paling gampang tersinggung, paling gampang ia ingat dan berandai2 dalam halnya nona yang lain. Tiba2 So So menjadi ikut merasa kasihan terhadap Un Lan, Ia memang bersimpati pada siapapun yang bersahabat dengan Hian Ki, asal yang berhubungan baik dengan Hian Ki-nya itu, tidak perduli orang yang hendak merampas Hian Ki dari tangannya. . . Dan lantas saja So So menguntit dua orang itu, Untuk itu ia dapat bertindak dengan leluasa sekali, Dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia menang jauh daripada Un Lan dan Thian Ya, Jangan kata disaat itu selagi dua orang itu tak tenang hatinya, sekalipun di-saat2 biasa, tidak nanti mereka dapat mengimbangi. Siangkoan Thian Ya baru saja pulih tenaganya, telah sekian lama ia mengejar, masih tidak dapat ia menyandak si nona, Hatinya menjadi gelisah. "Enci Un Lan!" ia memanggil dengan tajam, "kau mau hidup atau mati, aku tetap akan menemani bersama kau! Apakah benar didalam hatimu cuma ada satu Tan Hian Ki?" Sampai disitu, Un Lan menghentikan larinya, Ia tertawa dingin sambil menoleh, "Inginkah kau mati bersama aku?" ia menanya. "Sudah sekian banyak tahun, apakah kau masih belum tahu hatiku?" balik tanya sianak muda. Un Lan berkata pula dengan dingin; "Tampaknya kau sangat menurut pada Tan Hian Ki! Hian Ki menguatirkan tidak ada orang yang menginginkan aku, maka dia menghendaki kau menjadi seperti bayanganku mengikuti aku! Hm! Kecewa kau menjadi seorang laki-laki!" "Eh, apakah maksud dari perkataanmu itu?" Thian Ya tanya, "Tan Hian Ki menghendaki aku mencari kau, itu juga karena maksud yang baik." Un Lan memperlihatkan wajah yang muram, diterangi sinar rembulan, tampak kulit wajahnya yang pucat, yang membuat dingin hati siapa yang memandangnya, melihat paras itu, Thian Ya melengak. Jarak diantara mereka hanya satu tindak, Thian Ya sudah mementang kedua tangannya, akan tetapi ia tidak berani menghampiri, untuk merangkul. "Maksud baik?" kata Un Lan dingin, "Kalau begitu, aku bersyukur tak habis2nya, Baiklah, Siangkoan Thian Ya! Benar2kah kau hendak hidup dan mati bersama denganku?" "Kau titahkan saja," sahut Thian Ya, "Kedalam air, kedalam api, aku akan terjun! Seratus kali juga, tidak nanti aku menolak!" "Bagus!" kata si nona, tetap dingin, "Nah, pergilah kau bunuh Tan Hian Ki! Habis itu kau kembali kesini, nanti kita sama2 terjun kedalam jurang ini!" Siangkoan Thian Ya kaget, hingga ia berjingkrak, "Enci Un Lan! dia berseru. "Kau. . .kau. . .kau gilakah?" Cinta dan benci bagaikan hanya terpisah sehelai kertas, Un Lan sangat menyintai tetapi juga ia sangat penasaran, dan pula ia sangat gusar, maka ia ingin mati bersama, So So mengerti perasaannya itu, tapi tidak demikian halnya dengan Siangkoan Thian Ya, maka pemuda ini kaget tak terkira. Melihat orang terdiam, Un Lan berkata pula, dingin; "Nah, baiklah, pergi kau temani sahabat baikmu itu, jangan lagi kau melibat pula aku!" kata2 ini ditutup dibarengi gerakan tangannya, menotok kearah pemuda didepannya. Siangkoan Thian Ya tidak berprasangka apa2, ia kena ditotok dengan jitu, maka seketika itu juga dia terguling robah. Melihat itu si nona tertawa terbahak, nyaring sekali, terus dia lari bagaikan angin puyuh ke- dalam rimba yang lebat! Syukur Siangkoan Thian Ya tidak terluka parah, begitu cepat ia dapat mengempos semangatnya, tenaganya pulih, lalu ia bangun berdiri, sesudah ia menggerakkan kaki dan tangannya, tidak terdapat kekurangan sesuatu apa, ketika ia hendak mengejar si nona, Tapi rimba lebat sekali, dan si nonapun telah lari dengan keras, kemanakah dia dapat dicari? Ketika itu dilangit terlihat melayang mega hitam, sang Puteri Malam kena terhalang karenanya, menyebabkan rimba itu menjadi gelap dan seram, begitu juga hati Thian Ya menjadi kusut sekali. Siangkoan Thian Ya adalah seorang pemuda yang hatinya bebas, inilah untuk pertama kali ia mendapat pukulan yang hebat itu, Ia menjadi seperti orang kalap. "Enci Un Lan! Enci Un Lan!" ia ber-teriak2 pula didalam rimba itu, berteriak se-keras2nya. "Hai, Kaukah yang memanggil nama Nona Siauw?" sekonyong2 datang teguran yang tak ter-duga2. Justeru saat itu gumpalan mega tadi melayang terus melewati rembulan,maka cahayanya si Puteri Malam mulai tampak lagi, dan disitu, dihadapannya, Thian Ya melihat empat orang dengan pakaian mereka yang serba hitam, Dengan lantas mereka itu mengambil sikap mengurung. Orang yang berdiri dikiri adalah seorang tua dengan tubuh kate, romannya bengis mirip malaikat Hian Tan Kong, Dia maju sambil berjingkrak, matanya mendelik, Agaknya dia hendak menelan bulat2 pemuda she Siangkoan ini. "Kau siapa?" bertanya Thian Ya dengan mendongkol. "Aku memanggil enci Un Lan-ku, ada sangkut pautnya apa dengan kamu?" Orang kate itu maju satu tindak mendekati, matanya menatap tajam. "Hm!" terdengar suaranya yang dingin seram, "Kaukah Siangkoan Thian Ya?" ia menanya. "Habis kenapa ?" "Kaukah ahli waris yang baru diangkat dari Butong-pay ?" Siangkoan Thian Ya heran, Tentang diangkatnya dirinya menjadi Ciangbunjin, ahli waris yang akan memegang tampuk pimpinan partainya, masih belum resmi, dan yang mengetahuinya pun hanya beberapa tetua partainya, maka heran dia, kenapa orang tua ini telah mendapat tahu juga? Bukankah dia ini orang luar? Berbareng dengan itu, ia juga muak melihat kelakuan orang. "Habis bagaimana?" ia menanya. Belum berhenti suara pemuda ini, tiba2 sebelah tangan siorang tua sudah melayang kearah telinganya, Inilah serangan yang tidak di-duga2, syukur ia bermata jeli dan gesit, dengan berkelit ia meluputkan telinganya sebagai sasaran, Hanya karena serangan itu sangat dahsyat sambaran anginnya, menyebabkan ia merasa sedikit sakit pada kulit pipinya, Oleh karena itu, ia menjadi naik darahnya. "Oh, bangsat tua!" ia mendamprat, "Apakah kau kira aku dapat dibuat permainan?" Kata2 ini dibarengi Thian Ya dengan serangannya "Kwahouw tengsan"(Menunggang harimau mendaki- gunung), semacam tipu silat dari "Tiangkun"(kuntaow panjang). Siorang tua menangkis, terus ia berlenggak dan berkata sambil tertawa lebar; "Mengandali jumlah yang banyak untuk menghina orang, itulah perbuatan biasa dari partai kamu Butong-pay! Bouw Tok It tidak mempunyai anak atau cucu, maka itu pembalasan atas dirinya harus ditimpahkan kepada dirimu! Sekarang kau berlakulah jinak, kau berlutut dan meng-angguk2 tiga kali kepada kami, lalu kau turut segala perintahku!" Siangkoan Thian Ya tidak pandai beradu bicara, ia tidak menggubris perkataan orang, ia hanya melanjutkan penyerangan beruntun hingga tiga kali, Dengan itu ia mengumbar hawa amarahnya. Mau tidak mau, siorang tua muka hitam itu, menjadi terdesak, hingga ia mundur tiga tindak, Menyaksikan itu, siorang berpakaian hitam yang berdiri disebelah barat berseru; "Ti Toako, buat apa bicara saja tidak karuan dengan dia?" "Benar!" menimbrung siorang berpakaian disebelah utara, "Ti Toako, kamu berdua saudara baiknya menghajar habis dirinya! Apa yang kita kehendaki, Mustahil tak akan didapatkan?" "Kamu benar!" tertawa siorang tua kate itu, "Adikku, mari! Eh, bocah kau tidak tahu diri, maka dilain tahun hari ini adalah hari ulang tahun kematianmu!" Atas seruan itu, dari sebelah kanan, seorang tua lain, yang bertubuh kate juga, sudah lantas menyahuti seraya dia mengajukan diri, dari itu, Thian Ya lantas dikepung berdua dikiri dan dikanan, Dua yang lain, kawannya dua penyerang itu, lalu memasang mata. Sekarang Siangkoan Thian Ya baru dapat melihat tegas dua musuhnya itu, Mereka sama2 bertubuh kate, usianya juga hampir sama, yang terlihat berbeda secara menyolok sekali, ialah yang satu bermuka merah, yang lainnya hitam, yang satu bertangan hitam seperti tinta, yang lain merah seperti sapuan cusee, dan setiap kali tangan itu menyambar, anginnya menyiarkan bau bacin. Siangkoan Thian Ya terkejut, dia lantas berseru; "Hai, dua bangsat tua bangka, apakah kamu Kauwhun Siangsat?" Pemuda ini menduga tepat, Memang dua orang tua itu ialah Kauwhun Siangsat,(Dua malaikat jahat Tukang membetot arwah), Merekalah dua saudara kembar, yang hitam mukanya si-kakak, bernama Ti- Eng, pelajarannya ialah Tiatseeciang,( Tangan pasir besi) dan yang bermuka merah sang adik, namanya Ti Pa, kepandaiannya yaitu Ceksee-ciang,(Tangan pasir merah), Tangan mereka itu beracun, siapa kena terhajar, akan keracunan, dalam tempo duabelas jam setelah racunnya bekerja, binasalah si korban, Karena itu, mereka diberikan julukan yang menakutkan, Untuk golongan Hitam dipropinsi Shoatang, nama mereka sangat tersohor. Siorang tua muka hitam itu tertawa ter-bahak2 mendengar pertanyaan pemuda itu; "Kau telah mengetahui namanya Kauwhun Siangsat, bocah!" katanya mengejek, "Kenapa kau tidak hendak lantas berlutut dan meng-angguk2 tiga kali kepada kami?" Si muka merah sebaliknya membentak; "Kau masih hendak melawan? Hm! Hm! Benar2kah kau tidak lagi menghendaki jiwamu?" Siangkoan Thian Ya adalah seorang yang bertabiat keras, dia lebih gampang dihadapi dengan sikap lunak, daripada diperlakukan kasar, demikian, sikapnya dua saudara she Ti itu cuma membangkitkan kekesalannya, hingga ia tidak memperdulikan walau mereka itu lihay dan kenamaan. "Baru orang2 semacam kamu dengan dua pasang kuku anjing kalian!" katanya balik mengejek, "tidak nanti kamu dapat membetot arwah orang atau merampas roh manusia!" Kata2 ini dibarengi serangan dengan tipu silat "Membengkokkan busur memanah burung rajawali," tangan kiri menyerang Ti Eng, tangan kanan menghajar Ti Pa, Maka repotlah dua saudara kembar itu. Pertempuran berlangsung terus, dengan cepat telah berjalan hingga belasan jurus, Sebab ke-dua2 pihak bersikap bengis, Dua saudara Ti penasaran dan hendak lekas menyudahi, sedangkan Thian Ya hendak membela diri serta melampiaskan kekesalannya, Selama itu, kedua malaikat jahat itu kewalahan juga. "Hm! Hm!" Ti Eng kemudian mengeluarkan suaranya yang dingin. "Adik, bocah ini tidak tahu mampus tidak tahu hidup, mari kita kepung dia sepert kita mencekuk kura2 didalam keranjang!" Perkataan itu dibuktikan dengan penyerangan, yang disusul oleh Ti Pa, mereka menyerang dengan serentak, Dengan cepat mereka merangsek, mendesak sehingga gelanggang menjadi ciut, dan lantas Thian Ya menjadi terancam bahaya. Dengan dua musuh bertangan beracun, ia sebenarnya kalah angin, Untuknya, penyerangan hanya dapat dilakukan setiap ada lowongan, tetapi sekarang, kesempatan itu seperti telah ditutup, Dan dialah dipihak yang diserang! Desakan Ti Eng dan Ti Pa berlangsung terus, mereka maju dengan perlahan, kalangan terus menjadi semakin ringkas, Thian Ya melihat itu, ia mengerti ancaman bahaya itu bagi dirinya, maka ketika kalangan tinggal kira2 delapan kaki, mendadak ia berseru nyaring, tangannya digerakkan, dari tangan terbuka menjadi kepalan, dengan tangan ia menyerang bagaikan "kapak- membelah gunung" atau "martil memecah batu" Ia telah menggunakan dua2 Kimkong-ciang,(Tangan- Kimkong) serta Lohan-kun,(Kepalan arhat), guna menggempur kedua musuh tangguh itu, Ia pun telah mengerahkan semua tenaga sesuai yang diminta dua rupa ilmu silat itu. Itulah ilmu warisannya Bouw It Siok, yang mahir kedua ilmu luar dan ilmu dalam yang telah menciptakan pukulan menukar tangan terbuka dengan kepalan. Dua saudara Ti itu segera juga ber-teriak2; "Celaka bocah ini nekat!" Sembari berteriak, mereka mengundurkan diri, mereka mengambil sikap membela diri, Rupanya mereka berlaku cerdik, tidak mau mereka keras dilawan keras. Memang benar Thian Ya telah berlaku nekat, Kalau ia terhajar Ti Eng atau Ti Pa, celakalah dia, Sebaliknya kalau mereka itu terkena kepalannya, mereka pun bakal dapat dapat susah, mereka bisa mati seketika atau ringannya terluka parah. Kauwhun Siangsat adalah orang2 kenamaan, malu mereka roboh ditangan seorang muda, sedang mereka pun telah merasa pasti bahwa merekalah yang bakal meraih kemenangan. Siangkoan Thian Ya tidak mau men-sia2kan kesempatan yang baik, Satu kali ia sudah lolos dari kepungan, tidak ingin ia nanti kena terkepung lagi, Ia menyerang terus ber-tubi2, dengan pelbagai pukulannya, yang semuanya jurus2 dari Kimkong-ciu dan Lohan-kun itu, antaranya jurus "Membentur roboh tiang langit" "Meng-injak2 gunung Holao-san" dan "Lo Cia mengaduk laut" Setiap serangan itu bertambah kehebatannya, Di-akhirnya, sambil melompat menubruk, dia menghajar dengan tipu silatnya "Burung garuda menyerang diudara" kepada Ti Pa, yang diarah batok kepalanya! Orang she Ti siadik itu menjadi kaget sekali, untuk menyelamatkan dirinya, ia menjatuhkan tubuh ketanah, terus ia bergulingan beberapa kali. Dengan begitu bebaslah Thian Ya dari kepungan yang telah terpecahkan itu, Akan tetapi ia bebas bukan untuk dapat bernapas, Segera ia diserang pula, kali ini oleh siorang berbaju hitam yang tadi ber-jaga2 disebelah timur. "Bocah yang baik, kau hendak kabur?" demikian dia itu membentak dengan ejekannya. "Jangan- harap! Disini masih ada aku Thongciu Siang San Liong!" Dan dia maju dengan Kauwkin Hongliong-pian,(Cambuk Naga Berduri) yang panjangnya setombak lebih, maka waktu digeraki, ujung cambuk itu mengeluarkan suara angin keras, Karena panjangnya itu, kalau dipakai mencambuk memutar, jangkauannya jadi luas beberapa tombak, Siapa yang kena terhajar, jangan kata langsung oleh cambuknya, kelanggar durinya saja, sudah celaka. Maka beratlah Thian Ya, yang bertangan kosong itu, Begitu diserang ia menjejak tanah, untuk melompat keatas, setelah cambuk itu melewati kakinya, ia berjumpalitan, lalu turun disebelah belakangnya sekitar tiga tombak jauhnya, Ia baru mendarat belum lagi kuat kuda2nya, seorang musuh yang berjaga2 disebelah barat, juga melompat maju menikam dirinya dengan pedang ditangannya, sasarannya adalah punggung orang, Dia merasa pasti dan dia bakal berhasil, sambil menikam itu dia tertawa ter-bahak2 lalu berseru; "Kau hendak lari, bocah cilik? Hm, disini ada aku Kongya Liang!" Siang San Liong dan Kongya Liang ini juga adalah orang2 jahat kenamaan dari Golongan Hitam, bahkan mereka lebih terkenal daripada Kauwhun Siangsat, Maka mendengar nama mereka, Siangkoan Thian Ya menjadi terlebih kaget lagi. Murid Butong Pay ini kenal baik aturan dari partainya, apa lagi sekarang ia telah dipilih sebagai Ciangbunjin, Adalah aturan itu yang melarang orang Butong Pay menjadi penjahat, bahkan tak boleh juga menjadi piauwsu,(Orang yang mengantar/melindungi barang berharga dan uang) Karena itu meski pihak Butong tidak bersahabat dengan kaum Golongan Hitam, mereka juga tidak bermusuhan, lebih2 Thian Ya ini, yang baru mulai muncul dalam dunia kangouw, Kenapa sekarang ia dihadapkan musuh2 yang kesohor ini, malah jiwanya se-akan2 hendak dirampas mereka itu? Tidak sempat Siangkoan Thian Ya untuk berpikir, Heran tinggal heran, sedangkan ia lagi terancam bahaya, Maka ia mesti berusaha, untuk melindungi dirinya. Siang San Liong dan Kongya Liang sudah merangsek, yang satu dengan cambuk panjang, yang lain dengan pedang pendek, Hanya aneh mereka ini, selagi mendesak, mereka agaknya tidak mau menurunkan tangan jahat, meskipun sianak muda terpaksa mundur, mereka tidak lantas melukai, hanya lawan dipaksa kembali kekalangan dimana tadi dia dikepung dua saudara Ti, hingga dia kembali terkurung pula Kauwhun Siangsat! Tindakan Siang San Liong dan Kongya Liang ini adalah cara kaum Golongan Hitam menolong kawan mereka untuk mendapat muka, Ti Eng lantas tertawa lebar. "Terima kasih, saudara2!" ia mengucap, Ti Pa sebaliknya gusar dan ingin melampiaskannya, tanpa berkata-kata, ia menyerang dengan hebat, tangannya kelihatan merah, bau bacinnya terbawa angin pukulannya, Ia menyerang kedadanya sianak muda. Siangkoan Thian Ya repot atas desakan musuh, sedangkan kepalanya dirasakan pusing akibat bau bacin itu, maka atas serangan dahsyat itu, ia merasa tidak berdaya untuk menghindarkan diri lagi. Disaat yang sangat berbahaya itu, telinga sianak muda ini mendengar suara nyaring, tetapi halus; "Paman Ti, berlakulah murah hati!" Ternyata pada saat kritis itu muncul Siauw Un Lan, Hal itu membuat Thian Ya keheranan, dan Ti Pa melengak, ia menarik pulang serangannya itu, Otot dijidatnya pada timbul dan terlihat matang biru. Siangkoan Thian Ya juga melengak, Ia sebetulnya mau memanggil si nona, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, jalan darah Siauwhu-hiat dirusuknya telah kena ditotok, maka tidak ampun lagi, robohlah tubuhnya, Sebab ia telah diserang Kongya Liang, yang menimpuk dengan sebutir batu pada jalan darahnya itu. Walaupun tubuhnya tidak dapat bergerak, Thian Ya tetap bisa melihat dengan kedua matanya, Ia mendapatkan dua saudara Ti dan Siang San Liong serta Kongya Liang itu berdiri dalam dua baris, terhadap Siauw Un Lan mereka bersikap menghormat, Kemudian terdengarlah suaranya Ti Eng itu; "Dengan titahnya Lootocu, nona diminta pulang!" "Aku tidak mau pulang!" menjawab Un Lan. "Lootocu kangen sekali terhadap nona," berkata pula Ti Eng, "Sekarang ini Lootocu sudah memilih hari yang baik untuk ia mencuci tangan guna membungkus pedangnya dan menutup pintunya, Maka itu diminta nona suka pulang untuk mewakilkan menjadi penggantinya!" "Aku tidak mengharapkan itu!" kata si nona pula, singkat. Matanya Kongya Liang berkedip, Ia maju satu tindak; "Nona Siauw," ia berkata, "ayahmu sudah berusia lanjut, ia tidak mempunyai anak laki2 kecuali kau satu anak perempuan, maka juga usahanya ini, yang ia bangun dengan susah payah, adalah bagianmu! Mungkin kau tidak mengharapkan warisan ini, akan tetapi kau juga tentu ingat ayahmu itu. . ." Un Lan terdiam. "Ayahmu telah mengatakan, nona," berkata Siang San Liong, yang turut bicara, "Asal nona pulang, se-gala2nya ayahmu akan mendengar kata2mu, Urusan dengan keluarga Kim itu ayahmu tidak akan menyebutnya pula." Siangkoan Thian Ya dapat mendengar semua pembicaraan itu, ia tertegun, Ia heran mendapat keempat jago Shoatang itu demikian menghormati Un Lan, tetapi keheranan itu lantas merupakan kesadaran setelah mendengar kata2nya Ti Eng, bahwa orang tua si nona hendak mencuci tangan, serta menanggalkan pedang dan menutup pintunya. "Jelaslah kiranya ayah dari Un Lan ini adalah pemimpin kaum Rimba Hijau," katanya didalam hati. Sudah tiga tahun ia berkenalan dan bergaul dengan Siauw Un Lan, belum pernah ia menanyakan asal-usul si nona, Memang pernah nona itu menyebutkan bahwa dia berasal dari keluarga yang mengerti ilmu silat, Kata nona itu, "Kalau seorang pria boleh merantau mencari pengalaman, kenapa seorang wanita tidak?" Sikap ini ia hargai, Ia merasa angan2 si nona mirip dengan angan2nya sendiri, Karena itu, senang ia mengikat janji sendiri untuk menyintai si nona, agar kelak si nona ini bisa menjadi isterinya, Ia menganggap si nona adalah seorang nona yang gagah perkasa dan mulia, tidak tahunya, sekarang ternyata dialah puterinya seorang bandit. . . . Tetapi Thian Ya masih berpikir terus, Apakah artinya Puteri seorang bandit? Dapatkah ia memandang hina kepada nona itu? Ia menjadi berduka sendirinya, Ia hargai nona itu, ia berlaku jujur terhadapnya, siapa tahu si nona justeru mengelabuinya, si nona menyimpan rahasia dirinya, dan ia dipandang sebagai orang luar. . . Kenapa si nona meninggalkan rumahnya? Adakah sebabnya itu? Apakah sebab itu? Bukankah si nona wajahnya masgul? Dan ia sendiri, mengenai kedatangannya kerumah In Bu Yang, untuk meminta kitab ilmu pedang, tidakkah iapun telah mendustai nona itu? Kecuali dalam urusan ini, apakah si nona masih menyembunyikan soal lainnya lagi? Nona Un Lan seperti memikirkan sesuatu, ia berdiri menjublak, matanya mengawasi pemuda didepannya, Hati Siangkoan Thian Ya bergoncang keras. "Kenapa kamu menangkap dia?" si nona tanya. Ti Eng menjura, "Harap nona ketahui, bocah ini bernama Siangkoan Thian Ya," ia menyahuti, menerangkan, "Dialah Ciangbunjin yang baru dari Butong Pay," "Aku tahu!" kata si nona singkat. "Memang," berkata pula Ti Eng, "Kalau Lootocu bukannya telah mendengar selintingan dan khawatir nona nanti kena terpedaya, tidak nanti dia menjadi demikian gelisah dan memerintahkan aku menyusul nona." Sembari mengatakan begitu, Ti Eng tersenyum menyeringai. "Ya, dia Ciangbunjin dari Butong Pay, Habis bagaimana?" Un Lan tanya, Ia tidak menggubris sikap orang. "Ayahmu telah malang melintang diselatan dan utara Sungai Besar, seumur hidupnya belum pernah ada orang yang berani memusuhi dia," menjawab Ti Eng, "hanya satu kali saja, diluar tahunya, dia roboh ditangannya satu bangsat tua, Dia menganggap itulah suatu hinaan besar untuknya, Bangsat tua itu ialah Bouw Tok It, Ciangbunjin generasi kedua dari Butong Pay!" "Tentang itu ayah pernah menceritakan padaku," kata pula Un Lan, "Habis ada apa hubungannya itu dengan dia ini?" Mendengar itu barulah Thian Ya sadar, Pantas ketika pertama kali mendengar ia adalah Ciangbunjin, ahli waris dari Butong Pay, nona itu terperanjat. Ti Eng memperdengarkan dengan suara "Hm!" beberapa kali. "Kenapa tidak ada hubungannya?" sahutnya, "Dialah cucu murid Bouw Tok It! Dialah ahli waris Butong Pay!" "Peristiwa telah berselang tigapuluh tahun," berkata si nona, "ketika itu dia ini masih belum lahir! Aku bilang tidak ada hubungannya, tetap tidak ada hubungannya!" "Kalau nona mengatakan hendak melepaskan dia, budakmu yang tua tidak berani menentangmu," berkata Ti Eng, "hanya budakmu khawatir Lootocu sebaliknya mengatakan ada hubungannya, dan budakmu ditegur, maka kalau itu sampai terjadi, sungguh aku tidak sanggup menerimanya!" Sepasang alisnya Un Lan berbangkit berdiri, "Kau cuma tahu membebaskan dia!!" ia membentak, "Aku sendiri yang nanti bicara dengan ayahku!" Inilah kata2 si nona yang diharapkan Ti Eng, Itu artinya ia telah lepas dari tanggung jawab, Memang ayahnya itu memerintahkan mencari anaknya untuk diajak pulang, sebab ia mendengar kabar sianak berhubungan erat dengan Siangkoan Thian Ya. "Ti Toako," berkata Kongya Liang, "karena nona suka pulang bersama kita, baiklah kita lepaskan saja bocah ini, Cuma kitab ilmu itu harus kita minta pulang darinya," Un Lan heran, "Kitab pedang apakah itu?" tanyanya. Sementara itu Kongya Liang, dengan satu totokan jari tangannya, telah membebaskan Siangkoan Thian Ya. "Enci Un Lan, kau hendak pulang kemana?" menanya sianak muda, Ia baru berjalan mendekat, namun segera ia dihalangi oleh ke-empat orang. "Dengan memandang nona, kami beri ampun padamu!" Kongya Liang mengatakan, "Apakah kau masih tidak mau mengembalikan kitab ilmu pedang Tat Mo Kiampouw itu?" "Tat Mo Kiampouw apakah itu?" Thian Ya balik menanya. "Kau berlagak pilon saja, bocah!" kata Kongya Liang, tertawa dingin, "Tat Mo Kiampouw apa, kau bilang? Kiampouw yang tigapuluh tahun lalu Bouw Tok It ambil dengan tipu dayanya yang licik! Apakah itu bukannya Tat Mo Kiampouw? Habis apakah itu?" "Aku justeru menghendaki kitab itu!" sahut Thian Ya, "Habis apa yang mesti aku serahkan padamu?" Kongya Liang menatap. "Mustahil bila Bouw Tok It membawa kitab itu kedalam peti matinya?" dia tanya, "Kau ahli waris Butong Pay, kalau kitab tidak ada ditanganmu, habis dimanakah adanya?" Un Lan menjadi heran, Ia menyelak didepan Kongya Liang. "Kalau kitab pedang itu adalah kitab miliknya Butong Pay, perlu apa kita menghendaki itu?" ia kata, "Tidakkah itu akan jadi merusak nama baik ayahku?" Kongya Liang memperlihatkan wajah heran, "Ah, nona," katanya, "Apakah ayahmu belum pernah memberi keterangan kepadamu? Kitab itu pada asalnya bukan kepunyaannya Bouw Tok It!" "Mustahil kitab itu adalah milik ayahku?" si nona tanya, Ia pun heran, "Belum pernah aku mendengar ayah me-nyebut2 tentang kitab pedang itu." ""Hal yang se-benar2nya," berkata Ti Eng, "Tat Mo Kiampouw itu bukan kepunyaannya Bouw Tok It, bukan juga kepunyaan ayahmu, hanya setelah sampai saat ini, orang yang bersangkutan dengan kitab pedang itu telah menutup mata, maka kecuali ayahmu tak ada lain orang yang tepat untuk menjadi pemiliknya," So So yang ditempat persembunyiannya diatas pohon telah mendapat dengar semua pembicaraan itu, ia juga turut merasa heran. "Dahulu ibuku telah membantu ayah mencuri kitab itu," katanya didalam hati, "karena perbuatannya itu, ibu menyesal seumur hidupnya, Pasti sekali ibu tidak mendustai aku...Kenapa kitab itu bukan miliknya engkong luarku?. . ." So So heran, Siangkoan Thian Ya terlebih heran pula, Memang Pit Leng Hong pernah mengatakan bahwa kitab pedang itu bukan milik kakek gurunya, tetapi Pit Leng Hong juga mengatakan, kitab itu adalah milik seorang sakti yang menyerahkan kepada seorang gagah terkenal yang sama tersohornya dengan kakek gurunya itu, Orang gagah itu ialah Tan Teng Hong, Maka kenapa sekarang ayahnya nona Un Lan pun bersangkutan dengan Tat Mo Kiampouw itu ? Un Lan tak kurang herannya, Ti Eng tertawa, ia berkata pula; "Kalau nona kurang jelas, silahkan nona pulang untuk menanyakannya kepada ayahmu, Eh, bocah, kau telah mendapatkan kembali nyawamu, apakah kau masih tidak rela mengeluarkan kitab itu?" Kata2 yang belakangan itu ditujukan kepada Siangkoan Thaian ya. Thian Ya panas sekali hatinya, "Kitab itu tidak ada hubungannya dengan aku?" ia berkata nyaring. "Baiklah, aku beritahu kepada kalian! Tat Mo Kiampouw berada ditangannya In Bu Yang, jikalau kalian menghendakinya, pergi kalian ambil sendiri pada In Bu Yang itu, jangan kalian gembrengin aku! Sekarang ini aku hanya hendak bicara dengan tenang dengan enci Un Lan!" Siang San Liong, yang sejak tadi berdiam saja, memperlihat wajah bengis, "In Bu Yang!" katanya, "Dimana adanya dia?" "Dia ada diatas gunung Holan-san ini!" sahut Thian Ya , nyaring pula. "Hm, kau menggunakan nama In Bu Yang untuk menggertak kami?" kata Kongya Liang, dingin. Tapi, Ti Eng berpikir lain, "Nona, apakah bocah ini bicara benar?" ia menanya Un Lan. "Tentang kitab pedang itu aku tidak tahu sama sekali," menyahut si nona, "Hanya mengenai Siangkoan Thian Ya, belum pernah dia berkata bohong, dan ini aku ketahui dengan baik!" "Kalau begitu, maafkan kami hendak geledah dulu padanya!' berkata Ti Eng. Alisnya si nona berdiri, "Ti Eng!" serunya bengis. "Nona," kata orang she Ti itu, hormat. Tapi dengan dingin, ia menambahkan; "Maafkan budak tuamu yang berlaku kurang ajar! Bukannya budakmu tidak mau memberi muka kepada nona, hanya saja kitab pedang itu adalah sangat penting, jikalau tidak sekarang aku menggeledah dia, akan lenyaplah kesempatan ini! Kalau nanti Lootocu menegur, siapakah yang berani bertanggung jawab? . . . Geledahlah dia!" Un Lan gusar hingga dia menggigil, Empat orang itu memang adalah pengikut ayahnya, akan tetapi memang benar, mereka juga masih terhitung pamannya sendiri, Bahwa Ti Eng menyebut dirinya "Budak tua," itu cuma sebagai tanda menghormat, Sebenarnya, ayahnya pun memandang tinggi pada Ti Eng dan kawan2nya itu, Kalau mereka ini tidak mentaati titah ayahnya, bagaimana pertanggung jawabannya nanti? mengerti akan hal ini, Un Lan menjadi serba salah. Justeru itu Ti Eng sudah lantas melompat kedepan Thian Ya, "Bocah yang baik, angkat tangan!" ia membentak dengan perintahnya. Siangkoan Thian Ya menjadi sangat gusar, benar ia telah angkat sebelah tangannya, tetapi ia lakukan itu sebagai satu serangan, Dan diapun berseru; "Kenapa aku mesti mengijinkan kamu menggeledah aku?" Hampir saja Ti Eng kena dihajar, Dia menjadi gusar sekali, "He, bocah, kau berani berlaku kasar! bentaknya, "Kalau begitu, kau mesti dibekuk dulu!" Habis berkata, Ti Eng balas menyerang, perbuatannya itu diikuti Ti Pa saudaranya, Dengan berbareng mereka menggerakkan tangan mereka, disertai dengan dua buah rantai besi! memperdengarkan suara yang nyaring. Ke-dua2 rantai itu mengarah kebagian lehernya Siangkoan Thian Ya, seperti hendak dikalungkan. Kongya Liang dilain pihak menekan dengan pedangnya kepada punggung orang, sedang Siang San liong dengan cambuknya menyambar kedua kaki orang. Diserang berbareng secara demikian, biarpun ia sangat gagah, Siangkoan Thia Ya tidak berdaya, Disaat ia bakal kena disambar cambuk dan dikalungi rantai, mendadak saja terdengar seruan seorang wanita: "Tahan!" Seruan itu seperti datang dari tempat jauh, terdengarnya berulang2, Suara itu halus tetapi berpengaruh, dan dapat mendatangkan rasa hormat orang. Ti Eng terkejut, sedang tiga kawannya pada melengak, Tapi, didalam hati mereka, mereka berkata; "Tidak, tidak bisa jadi dia! Mana mungkinkah dia?" Tengah mereka itu terbengong, mendadak terlihat suatu sinar berkelebat didepan mata mereka, Sinar itu bagaikan bianglala yang menyambar turun dari langit, Menyusul sinar itu, muncullah seorang wanita pertengahan umur, yang tangannya mengibaskan sehelai selendang merah, gerakannya sangat lincah, Dan belum sempat mereka melihat jelas, senjata mereka berupa cambuk, pedang pendek dan rantai besi, telah kena dilibat selendang itu! Herannya Siangkoan Thian Ya juga tak kalah dengan keempat lawannya itu, Suara wanita itu bukanlah suara Siauw Un Lan, Ia lantas mengangkat kepalanya, untuk melihat, lalu ia mendengar lagi suaranya wanita itu; "Benar apa yang ia katakan! Kitab pedang itu memang ada ditangannya In Bu Yang!" Saat itu keempat jago Rimba Hijau itu berdiri tegak bagaikan patung, tidak berani mereka mengeluarkan suara, mereka seperti lagi menghadapi sesuatu yang sangat berpengaruh, wajah mereka pucat pasi, tanda dari rasa takut yang hebat, Seperti ketakutan mereka saat menghadapi majikan mereka! Beberapa saat kemudian, adalah Ti Eng yang tersadar lebih dulu, Lalu ia mengeluarkan suara tertahan "Mari!" katanya, Dengan dipinpim olehnya, tiga orang kawannya mengikuti dia berlutut dihadapan wanita itu. "Toa siocia, kau. . .kau. . ." kata mereka, suaranya menggetar, "Ini. . .ini. . ." "Tidak salah, inilah aku!" menyahut wanita itu, yang mempunyai wajah yang cantik, lalu sebelah tangannya dikibaskan, "Apakah kamu tidak mempercayai kata2ku?" "Hanya, ini. . .ini bagaimana sebenarnya?" menanya Ti Eng gugup. "I. . .In. ." "Diam!" membentak si wanita, "Aku melarang kamu menyebutkan pula nama itu! Aku juga melarang kalian mengatakan pada siapapun, bahwa kalian telah bertemu dengan aku!" Ti Eng berempat saling memandang, Tidak ada satu diantaranya yang berani membuka mulut. Siangkoan Thian Ya menjadi semakin heran, Beruntun beberapa hari ia telah menemui hal2 aneh, dan hari ini adalah yang ter-aneh. "Siapakah nyonya ini?" pikirnya, "Kenapa empat jago Rimba Hijau ini demikian takut dan begitu menghormatinya? bahkan takutnya mereka itu jauh melebihi pada enci Un Lan! Kenapa mereka memanggilnya dengan sebutan Toa siocia? Bukankah, dari nada suara panggilan mereka, empat jago ini seperti mengakuinya bahwa mereka adalah bujang atau budak2nya nyonya ini?" Selagi Thian Ya masih terbenam dalam pikirannya itu, Siauw Un Lan telah mendahului dia mengajukan pertanyaan, karena si nona ter-lebih2 heran lagi daripada pemuda ini, Dia telah berpikir ber-ulang2, Seingatnya belum pernah sekalipun bertemu dengan nyonya ini, maka heranlah dia, melihat bawahan ayahnya demikian menurut kata2nya si nyonya, Lalu ia maju satu tindak; "Aku mohon bertanya, apakah she-mu, Nyonya, dan dengan ayahku bagaimana kau memanggilnya?" Wanita itu tersenyum, Ia menggerakkan tangannya, memberi tanda untuk Ti Eng berempat agar berbangkit. "Apakah nona ini puterinya Siauw Koan Eng?" ia tanya mereka itu, Sama sekali ia tidak segera memberikan jawaban kepada si nona. "Benar," menjawab Ti Eng mengangguk, "Siauw Tocu menggantikan memegang pimpinan tocu sudah duapuluh tahun," Nyonya itu tertawa, ia menoleh kepada si nona yang menanyanya. "Kau bertanya aku ini siapa, nona kecil?" katanya manis. "Pergi kau pulang, kau tanyakan ayahmu, lantas kau akan mengetahuinya! Hari ini adalah kali pertama kau bertemu denganku, aku tidak mempunyai apa2 untuk dihadiahkan padamu, maka itu aku hanya dapat mengucapkan beberapa patah kata,'Manusia itu ada mempunyai saat2 berduka dan bersuka-ria, bercerai dan berkumpul, diibaratkan rembulan ada saatnya guram dan terang bercahaya, bundar dan somplak, Itu artinya didalam dunia ini tidak ada benda yang sempurna dan tanpa cacat, Maka itu andaikata kau mempunyai sesuatu yang tidak menyenangkan atau mencocoki hatimu, jangan kau simpan itu didalam sanubarimu." Mendengar itu, Un Lan tercengang, Ia melihat sinar mata tajam dari si Nyonya seperti menyapu wajahnya, bahwa hanya dalam saat sekejap itu, si Nyonya seperti telah mengetahui rahasia hatinya, Ia merasakan, hanya dengan beberapa patah kata si Nyonya itu, hatinya seperti telah dapat diredakan banyak. . . Diantara mereka itu, masih ada seorang lain yang tak kurang herannya, Dia itu adalah In So So, Saat dia mengawasi wanita itu, dia merasa hatinya tidak tenteram. "Ah, dia mirip dengan ibuku!. . ."demikian sekilas pikirannya, "Bukan hanya mirip dalam sifat, dalam wajahnya yang terlukis kedukaan, sinar matanya yang seperti menyembunyikan sesuatu. . ." Tanpa sadar, So So jadi mengingat akan ibunya sendiri, Ia ingat kematiannya Cio Thian Tok itu dimalam yang menakutkan. "Ya, kemanakah ibu telah pergi?" ia bertanya pada dirinya. Nona yang harus dikasihani ini, sedikitpun ia tidak mengetahui bahwa ibunya pernah kembali dan telah bertemu dengan ayahnya, untuk minta diri, untuk pamitan. . . Lamunan So So telah dibuyarkan oleh suaranya si Nyonya, Sebab pertanyaan Nyonya itu yang ditujukan kepada Siangkoan Thian Ya telah menggoncangkan hatinya, Karena pertanyaan itu mengenai diri "Tan Hian Ki". Siangkoan Thian Ya sendiri sebaliknya tengah memikirkan nama "Siauw Koan Eng," Pernah ia mendengarnya nama itu, Tiba2 ia ingat! Pernah gurunya Bouw It Siok, pada suatu ketika menyebutnya nama itu, Itulah namanya seorang pemimpin Rimba Hijau di-lima propinsi Utara, Ketika itu, ia tidak memperhatikannya, Sekarang ini lain, Ia tidak menyangka bahwa Siauw Koan Eng itu adalah ayahnya Siauw Un Lan. Tiba2 lamunannya dipotong si Nyonya, Thian Ya lantas mengangkat kepalanya, mengawasi Nyonya itu, Ia mendapatkan si Nyonya tengah memandang dirinya. "Bukankah kau Siangkoan Thian Ya?' Nyonya itu menanya, "Bukankah Tan Hian Ki itu sahabat karibmu?" "Tidak salah!" ia memberi jawabannya. "Kenalkah kau pada Hian Ki?" Sinar matanya si Nyonya itu bercahaya, "Sekarang, dimana Tan Hian Ki?" ia bertanya tanpa memperdulikan pertanyaan yang diajukan kepadanya. "Dia baru saja pergi mengikuti Nyonya In," sahut Thian Ya. "Nyonya In itu siapa?" si Nyonya menanya. "Isterinya In Bu Yang, Digunung Holan-san ini, dimana ada Nyonya In lainnya lagi?" Tiba2 wajah si Nyonya menjadi guram, sinar matanya pun tak bercahaya lagi seperti tadi. "Apa?" katanya, suaranya bergetar. "Hian Ki. . .dia. . .dia pergi kerumah keluarga. .keluarga In ?" Siangkoan Thian Ya mengawasi, Ia heran akan kelakuannya orang, setelah itu terdengar si Nyonya menghela napas. "Oh, pohon bwee yang habis menderita dimusim dingin, dapatkah kau mempertahankan dirimu lagi dari serangan sang angin?. . ." katanya perlahan, Kemudian ia menoleh kepada empat jago Rimba Hijau itu, sembari mengibaskan tangannya, lalu ia berkata nyaring; "Ti Eng, Ti Pa, pergilah kalian! Ingat pesanku, apa yang terjadi dan lihat hari ini, jangan kau beritahukan pada orang lain dan siapapun juga!" Setelah mengucapkan begitu, tanpa menanti jawaban dan menunggu orang berlalu, nyonya ini terus memutar tubuhnya, lalu pergi, Gesit sekali gerakannya itu, ia tidak tampak seperti berlari, namun dalam sekejap saja sudah tak tampak lagi bayangannya. Menyaksikan caranya orang berlalu itu, Siangkoan Thian Ya terkejut, Ia tahu ilmu meringankan tubuh apa yang telah digunakan nyonya luar biasa itu, Sebab itulah ilmu "Mengeser rupa,- menukar bayangan" ilmu meringankan tubuh yang lihay dari Tan Teng Hong, seorang tayhiap yang namanya kesohor sejajar dengan kakek gurunya. So So yang mendekam dibelakang pohon kayu besar, mengawasi nyonya itu berlalu, hanya sekelebat saja tampak punggungnya, lalu sekejap kemudian telah menghilang, Berbareng dengan kepergiannya nyonya itu, lantas ia teringat sesuatu hal. "Dia sangat memperhatikan Hian Ki, adakah dia ibunya Hian Ki?" ia tanya dirinya sendiri, Ia pernah mendengarnya Hian Ki menyebut ibunya itu, disaat itu ia seperti berkesan baik terhadap ibu orang, maka sekarang saat memikir si nyonya, ia merasakan kemiripannya, Tanpa terasa, ia menjadi girang hatinya, Hanya ia merasa heran mengapa nyonya itu melarang Ti Eng dan kawan2nya menyebut nama ayahnya. "Melihat sikapnya, mendengar suaranya, ia sepertinya membenci keluarga In. . ." pikirnya pula, "Ada hubungan apakah diantara dia dengan keluargaku?. . ." Segera ia mendengar suaranya Un Lan, yang berbicara seorang diri: "Ah, siapakah dia?" Nona ini maksudkan ialah nyonya yang luar biasa itu. "Nona Siauw, silahkan kau plang," berkata Ti Eng, yang menyahuti si nona, walaupun bukannya ia yang ditanya, "Setibanya kau dirumahmu, segala apa akan lantas menjadi jelas." Un Lan menoleh kepada Thian Ya, hanya sekejap, lantas ia menjawab siorang she Ti itu; "Baiklah, mari kita pulang bersama!" katanya, "Mari kita melanjuti pekerjaan ayah yang ujung goloknya berlumuran darah!" "Enci Un Lan, kau tunggu aku," berkata Siangkoan Thian Ya, "Kalau mau jadi penjahat, marilah kita ber-sama2 pergi lakukan!" "Eh, bocah cilik, kau banyak rewel!" kata Siang San Liong, yang tertawa mengejek, "Untuk menjadi penjahat juga kau belum tepat!" Lalu ia mengulur cambuknya, untuk menghalangi, Un Lan memandang kelangit, ia tertawa sedih; "Benar, tiap orang ada masing2 jodohnya," katanya, "jodoh itu tidak dapat dipaksakan, Sebagaimana manusia, ada waktunya bersedih dan gembira, berpisah dan berkumpul, demikian juga dengan rembulan, ada kalanya guram gelap, ada waktunya juga bundar dan bercacat. . .Ya, benarlah katanya si nyonya, maka Siangkoan Thian Ya, kau berdiamlah disini, kalau sebentar kau bertemu dengan Tan Hian Ki, kau wakilkan aku memberi selamat padanya, aku mendoakan dia dan si nona In itu hidup bersama sampai tua, tak ada dukanya, tak ada sedihnya, biar seumur hidup tidak ada hal2 yang melukai hati mereka!" Terharu si nona ketika ia mengutarakan itu, So So dan juga Thian Ya yang mendengarnya itu dengan jelas, Nyatalah si nona masih menyintai Hian Ki, Siangkoan Thian Ya berdiri menjublak, dan dari mulutnya itu berulang keluar kata2; "Benar, orang ada masing2 jodohnya, jodoh itu tidak dapat dipaksakan. . . .Kata2 itu jelas ditujukan kepadanya, Ia mengangkat kepalanya, ia melihat si Puteri Malam diatas pohon, Un Lan sebaliknya telah pergi jauh. . . . Siangkoan Thian Ya merasakan kesepian yang dahulunya tak pernah ia rasakan, Didalam dunia yang luas ini, tidak dapat ia menemukan seorang juga yang menyatu dengan hatinya, Ada Un Lan tetapi hati si nona tidak menyintai padanya, Ia lantas ingat Hian Ki, Tidak salah, Hian Ki pernah berkorban untuknya, dia dianggap sebagai saudara kandung, tetapi, Hian Ki juga tidak mengerti akan perasaannya, Ia menjadi merasa tidak karuan, ia merasakan dirinya seperti benar2 sendirian, Ia merasa didalam dunia ini, orang yang benar2 mengerti dan memahami dia ialah hanya gurunya yang baru, guru yang tubuhnya bercacat itu. . . "Suhu, suhu," ia lalu ber-kata2 seorang diri, "suhu, kenapa untukku kau masih hendak merampas pedang itu, serta kitab ilmu pedang itu juga? Sebaiknya kita ber-sama2 cepat2 meninggalkan tempat ini yang melukakan hati. . ." Se-konyong2 pemuda ini mendapat jawaban yang tidak ia duga2. "Thian Ya, ah, kau disini? Apakah yang kau ucapkan itu?" Itulah suaranya seorang tua, dengan suara yang dalam. Dengan cepat anak muda ini menoleh, maka tampaklah disana kelima gurunya, yang tengah berjalan memasuki rimba, Ia menjadi berdiri tercengang. "Cara bagaimana kau dapat lolos dari tangan lihay si bangsat tua In Bu Yang?" Ti Wan bertanya, "Ah, apakah kau terluka?" Melihat Thian Ya diam saja, Ti Wan Tiangloo menyangka keponakan muridnya itu telah terluka dihajar In Bu Yang. Siangkoan Thian Ya mundur satu satu tindak; "Mulai saat ini dan selanjutnya, aku tidak akan perdulikan lagi urusan Tat Mo Kiampouw itu!" katanya tiba2. "Jikalau kamu menghendakinya, pergilah kamu minta sendiri pada In Bu Yang!" Ti Wan heran hingga ia melengak, "Apa kau bilang?" dia menegasi. "Coba kau periksa nadinya," berkata Ti Hong Tiangloo. "Mungkin benar2 dia telah terluka. . ." Siangkoan Thian Ya mengibaskan tangannya, " Siapa bilang aku terluka?" tanyanya. "Baik, urusan Kiampouw, kita bicarakan saja dikemudian hari," kata Ti Hong, "sekarang mari kita pulang dulu ke Butong-san!" Empat imam yang lainnya mengangguk berbareng, Mereka sependapat , In Bu Yang tidak dapat diajak bicara, dilawanpun mereka tidak dapat mengalahkannya, dari itu paling benar mereka pulang dulu kegunung Butong-san, untuk memastikan dulu kedudukan Cingbunjin mereka itu, Baru kemudian menyusun langkah selanjutnya, apakah mereka nantinya akan mengumpulkan orang2 Rimba- Persilatan dari golongan cianpwee, untuk ber-sama2 mereka datangi pula In Bu Yang, guna menghukum. . . . Tapi, mereka mendapat sambutan yang diluar dugaan mereka, Siangkoan Thian Ya mengangkat kepalanya dan berkata dengan jelas dan tegas: "Aku tidak mau pulang ke Butong-san! Aku pun bukan lagi Ciangbunjin dari Butong Pay!" XII. TIDAK KESAMPAIAN. . . Ti Wan Tiangloo heran bukan main. "Siangkoan Thian Ya!" ia membentak. "Apakah kau sudah gila? Kenapa kau melepaskan kedudukanmu itu yang demikian baik?" "Aku tidak suka akan kedudukan itu, tetapi pasti ada orang lain yang menginginkannya!" menyahut Thian Ya tenang. Matanya imam itu membelalak. "Siapakah yang menghendaki itu?" ia menanya, berteriak. "Supek, beberapa suheng yang menjadi muridmu, semuanya lebih menang daripada aku," sahut Siangkoan Thian Ya. "Hm!" imam itu mengejek, "Siapakah yang telah mempengaruhi dirimu?" "Akulah yang ingin mundur sendiri!" menyahut pula Thian Ya, "Dengan begitu tidak usahlah supek dan susiok sekalian bersusah hati lagi mengurus aku, Beberapa suheng itu tentulah sudah menerima panggilanmu dan telah tiba di Butong-san, maka itu untuk apa aku pulang ikut membantu meramaikan ?" Ti Wan memang telah mempunyai pikirannya sendiri, ia bermaksud hendak mengatur murid2nya itu, bagaimana cara agar bisa merebut kedudukan Ciangbunjin, untuk salah satu muridnya itu, Tapi sekarang rahasia hatinya itu telah dibeber oleh Siangkoan Thian Ya, ia menjadi malu dan gusar. "Kau ngaco belo!" ia membentak pula, "Apakah kedudukan Ciangbunjin boleh dibuat permainan? Andaikata benar kau hendak menyerahkan kedudukan itu kepada suhengmu, kau juga mesti pulang dulu ke Butong-san, disana kita nanti mengadakan rapat untuk membicarakan dan memutuskannya!" Siangkoan Thian Ya tertawa dingin; "Kenapa mesti begitu rumit, mem-buang2 waktu?" ia berkata, "Sejak hari ini, aku bukan lagi Ciangbunjin dari Butong Pay! Maka itu urusan dalam partaimu, aku tak akan mencampurinya lagi!" Ti Wan girang bercampur sangat mendongkol. "Kau berani mengkhianati partai dan sucouw?" ia membentak dalam murkanya. "Terhadap budi dan pelajaran suhu Bouw Tok It tidak berani nanti aku melupakannya," berkata Siangkoan Thian Ya, "Akan tetapi didalam Rimba Persilatan, sesudah guru menutup mata, kalau murid mencari guru lain, hal itu bukanlah tidak diperbolehkan." "Bagus benar!" Ti Wan berteriak, "Kau telah berguru lagi kepada siapa?" Empat imam lainnya pun juga gusar sekali. "Butong Pay adalah partai sejati dalam Rimba Persilatan!" kata mereka itu. "Semenjak dahulu, ada juga orang yang membuang apa yang sesat untuk kembali kepada jalan yang benar, tidak ada yang melepaskan jalan yang benar untuk pergi kepada yang sesat!" "Ngaco belo!" membentak yang lain, "Masa seorang Ciangbunjin pergi memasuki partai lain?" Maka itu berisiklah suara mereka berempat, Dalam keadaan kacau itu, karena murkanya lima tetua dari Butong Pay itu, Justeru dari tempat jauh terdengar suara 'ting tong'nya tongkat besi, suara itu datangnya cepat sekali. Butong Ngoloo dapat mendengar suara tongkat itu, wajah mereka berubah dengan segera, Tanpa terasa, suara mereka terhenti serentak. Segera setelah itu terdengar suara tertawanya Pit Leng Hong, yang terus berkata; "Kelima tua bangka dari Butong Pay, bukankah aku Pit Leng Hong tidak mendustai kalian? Bukankah Ciangbunjin kalian telah mengangkat aku menjadi gurunya karena atas kemauannya sendiri, dan bukannya aku yang merampas dia? Haha, Siangkoan Thian Ya, kau telah mendengar tegas, bukan?" Siangkoan Thian Ya menjura; "Semua aku telah mendengarnya dengan jelas," sahutnya. Butong Ngoloo saling mengawasi. "Pit Leng Hong!" kemudian Ti Wan Tiangloo berkata dengan gusar. "Kau hebat sekali ya! Kau harus ketahui, Butong Pay tidak dapat dihina sembarang orang!" Pit Leng Hong tertawa ter-bahak2, Ia memutar tongkat besinya, Dengan begitu mukanya yang jelek menjadi bertambah jelek, mehjadi bengis menakutkan, Dia tertawa dingin. "Biarpun aku Siorang she Pit sudah bercacat, aku tidak merasa takut pada siapa juga!" katanya nyaring, "Baiklah, Biarpun kalian kaum Butong Pay adalah laksana gunung Tay San yang dapat menimpa mengubur, aku siorang she Pit akan melonjorkan tanganku untuk menahannya!" Saking murkanya, paras kelima tetua Butong Pay itu menjadi merah padam, tetapi meskipun demikian, mereka harus menguasai diri mereka, Ditangan In Bu Yang mereka telah terluka terkena pukulan Itci-sian, meski mereka sudah makan obat Siauwhoan-tan, kesehatan mereka belum pulih kembali, sedang kepandaiannya Pit Leng Hong ini mereka telah menyaksikannya dengan mata mereka sendiri, Mana dapat mereka melawan keras dengan keras? "Hari ini dapat kau mengumbar bacotmu!" membentak Ti Wan, "Kau tunggu saja lagi sampai tiga bulan, biar nanti aku akan mengumpulkan semua rekan Rimba Persilatan untuk membuat perhitungan denganmu!" Pit Leng Hong tertawa terbahak; "Siapa yang mempunyai kesabaran untuk menunggu sampai tiga bulan!" katanya memandang hina, "Tiga hari juga aku tak sudi menantinya!" "Kau suka menanti atau tidak, terserah kepadamu!" berkata Ti Wan. "Kami akan mencari dirimu untuk berurusan atau tidak, itulah tergantung pada kami sendiri! Biarpun kau menjelajahi ke-ujung langit, tetap aku pasti akan mencari dirimu!" Lagi2 Pit Leng Hon tertawa. "Hm!" ia bersuara, seraya ia menancapkan tongkatnya ditanah, matanya mengawasi Butong Ngoloo berlalu pergi, Dengan mengejek, ia berkata; "Sesudah tiga bulan kamu hendak mencari aku? Haha! waktu itu kamu boleh pergi menghadap Giamlo Ong (Raja neraka) untuk meminta orang!" "Suhu," berkata Siangkoan Thian Ya kaget, "walaupun beberapa paman guruku telah berlaku lebih mementingkan dirinya sendiri, tetapi mereka bukanlah orang2 berdosa tak berampun, maka itu andaikata dibelakang hari, mereka sampai datang untuk menuntut balas, aku minta sudilah suhu memandang diriku dan janganlah suhu berlaku bengis terhadap mereka. . ." Pit Leng Hong memperlihatkan wajah guram bercambur sedih, ketika ia tertawa, ia tertawa berduka; "Siapa yang mengatakan aku hendak membinasakan mereka itu?" katanya, "Ah, anak, kau tidak mengerti apa2, Jodoh kita bakal akan segera berakhir, maka kenapa kau masih menyebut- nyebut hal2 dibelakang hari?. . ." Aneh, Thian Ya mendengar kata2 gurunya itu, ia heran bukan kepalang. "Kalau begitu, apakah artinya kata2 suhu bahwa jika hendak menagih orang kepada raja akhirat?" katanya dalam hati, Karena penasaran, ia lantar menanya: "Suhu, kita baru saja bertemu lagi, mengapa suhu menyebut jodoh kita bakal habis? Apakah mungkin tecu telah melakukan sesuatu kesalahan?" Pit Leng Hong meng-geleng2kan kepalanya, ia tertawa pula, tertawa pilu, dan terlihat kepalanya mengeluarkan keringat, lalu seperti ada hawa yang keluar bagaikan uap. "Pedang Kungo-kiam serta kitab pedang Tat Mo Kiampouw, dua2nya tidak dapat aku mengambilnya kembali untuk diserahkan padamu," berkata ia masgul. Siangkoan Thian Ya menduga gurunya bersusah hati karena disebabkan pedang dan kitab itu, buru2 ia berkata: "Segala benda sampiran itu, tecu juga tidak menghiraukannya lagi! Suhu, untuk tecu kau telah menempur In Bu Yang, hal itu saja telah membuat tecu sangat bersyukur! Suhu, marilah kita cepat berlalu dari tempat yang tidak karuan ini!" Siangkoan Thian Ya berkata demikian karena ia tidak mengetahui bahwa gurunya ini sudah terkena totokan Itci-sian dari In Bu Yang, hingga dia terluka didalam badan, bahkan luka itu lebih hebat dan parah dari luka yang didapat oleh In Bu Yang darinya, dan tadi sikap Pit Leng Hong terhadap Butong Ngoloo, lima tetua dari Butong Pay itu hanyalah gertakan belaka. Dengan bantuan tongkat besinya, Pit Leng Hong pun duduk, "Mari dengar, anak, kemari," ia berkata per-lahan2, "Tidak boleh tidak, tentang kitab pedang itu mesti hari ini aku menceritakannya kepada kamu, jikalau tidak, lain hari tidak ada kesempatannya lagi." Siangkoan Thian Ya hatinya berdenyutan, Ia melihat bagaimana sungguh2 sikap gurunya itu, Ia menjadi berkhawatir dibuatnya. Ketika itu rembulan mulai bergeser ke-tengah2 cakrawala, Dalam kesunyian sang malam, dari atas gunung terdengar pula suara auman siraja hutan. "Selam beberapa hari ini kau telah menemui tak sedikit kejadian2 yang luar biasa," berkata itu guru, "dan seperti malam ini dapat juga membuat ciut hati orang, maka tidaklah heran bila kau ingin cepat2 berlalu dari gunung ini, Pada duapuluh tahun yang lampau, aku juga pernah menemui malam yang seperti ini, bahkan kejadiannya lebih mengherankan lagi. . ." Siangkoan Thian Ya memasang telinganya. "Ketika itu aku pun masih muda belia seperti kau sekarang," Pit Leng Hong mulai bercerita lebih jauh, "Semangatku sedang ber-kobar2, aku ber-cita2 membangun suatu usaha besar, Kakakku Pit Leng Hi, berdiam didalam markasnya Thio Su Seng, namanya saja ia menjadi pangcu (ketua) dari Kay Pang (partai Pengemis di Utara), namun segala pekerjaannya, sebenarnya akulah yang mewakilkan dia mengurusnya, Tabiatku juga gemar pesiar dan merantau, maka itu pernah juga aku pergi ke-selatan dan utara Sungai Besar, bahkan sampai juga ditapal batas." Siangkoan Thian Ya ketarik hatinya, ia mendengarkan terus, "Pada suatu hari, tibalah aku digunung Bekcek-san," Pit Leng Hong melanjuti, "Didalam gunung itu aku tersesat, Kala itu disaat magrib ketika aku dengan tiba2 melihat angin menderu2 , kemudian pada waktu yang bersamaan aku juga mendengar suatu suara yang datangnya dari bawah kakiku, Awalnya aku menyangka pada bumi yang gempa, Tapi tak lama kemudian, aku mendengar suara yang menyayatkan hati yang keluarnya dari dalam tanah, Dimana tanah dibawah kakiku pada saat itu tiba2 terasa menjadi lembek dan buyar, Aku lantas menusuk dengan tongkatku, Dan ternyata aku mendapatkan sebuah liang yang mirip seperti mulut goa, Mulut goa itu tertutup batu, Lalu batunya lantas aku geser kesamping, kemudian terlihatlah sebuah goa batu yang kosong. Siangkoan Thian Ya menjadi semakin tertarik. "Aku memberanikan diri, Dengan bantuan tambang, aku turun kedalam lubang goa itu, Didalam keadaannya agak gelap, tetapi didalam gelap itu aku melihat berkelebatnya pelbagai senjata tajam, aku merasakan desiran angin yang ditimbulkan pelbagai senjata itu, Ternyata disitu ada orang yang sedang bertempur. Dulu pernah aku meyakinkan cara melepaskan senjata rahasia, dan itu aku pelajari ditempat terang, maka itu bila ditempat gelap, mataku menjadi kurang awas, Lalu aku berdiam tidak bergerak, dan memasang mata terus, beberapa saat kemudian, ketika aku sudah mulai menjadi terbiasa, walaupun masih samar2, tetapi aku sudah dapat melihat adanya tiga orang yang sedang bertarung, yaitu dua orang yang bertubuh besar sedang mengepung seorang tua, dan siorang tua itu terlihat berbaring rebah diatas pembaringan tanah sedang menangkis golok dan pedang dua orang itu secara bergantian, serangan yang dilancarkan dengan cara membacok dan menikam itu kelihatannya sangat dahsyat, akan tetapi yang kadang2 mengeluarkan suara seruan dan jeritan itu justru adalah dua orang pengeroyok itu! Maka dari itu, kejadian itu sungguh luar biasa." Setelah berhenti sejenak, lalu dilanjutkan lagi, "Ketika itu aku masih muda, aku biasanya selalu menuruti kehendak hatiku, Dua orang bertubuh besar dan kuat mengepung seorang tua, bahkan seorang tua yang kelihatannya lagi sakit, hatiku menjadi panas, Itulah perbuatan yang tidak pantas, hina sekali, Maka timbullah niatku untuk membantu siorang tua, Lantas saja aku mengambil keputusan, seketika itu juga aku melompat, dan maju menerjang dengan memutar tongkatku," Akan tetapi, sebelum seranganku tiba, aku justru telah mendengar suara teriakan siorang tua: "Anak muda, kau mundur jauh sedikit! Hati2, supaya kau sendiri tidak turut terlibat dan terpelanting!" "Hebat tenaga dalam siorang tua, suaranya itu mendengung didalam goa, Aku tercengang bahkan heran, dan cepat-cepat aku mundur kebelakang, Untung buatku, mataku semakin terbiasa diruang yang gelap itu, Sekarang aku dapat melihat siorang tua menggengam sebatang rotan, dengan itu ia melayani kedua penyerangnya itu, dan juga melihat bagaimana dua musuh itu dapat kena dia permainkan, bagaikan kucing menggoda tikus, Buyarlah serangan kedua orang itu, Beberapa kali terlihat mereka mencoba menyingkir, tetapi selalu saja mereka terhalang oleh rotan yang cukup panjang itu, Akhirnya baru aku menginsafi bahwa siorang tua itu sangat lihay, Karena itu, jadi timbul rasa kasihanku terhadap dua penyerang itu, Yang sebelumnya aku muak terhadap mereka, yang telah menghina seorang tua yang sakit2an pula, Begitulah aku memintakan keampunan untuk mereka." Kataku: "Karena sudah jelas mereka tidak dapat melukai kau,Loojinkee, baiklah mereka disuruh pergi saja." 'Orang tua itu tertawa ter-bahak2. "Baiklah!" katanya, 'Dengan memandang kau, saudara kecil, 'suka aku memberi sedikit kelonggaran. . .' Dan kata2 itu dibarengi dengan dua serangannya yang saling susul, hebat sekali serangannya itu, Diluar dugaanku, kedua lawannya itu terbinasa seketika. 'Mari!' ia memanggil aku, tangannya menggapai, dan aku lalu menghampirinya, 'Kau meminta ampun untuk mereka ini, tahukah kau, siapa mereka?' ia tanya aku, suaranya dingin, Aku memang tidak kenal mereka, maka aku lantas menjawab dengan terus terang, bahwa aku tidak tahu. 'Bukankah kau datang kemari untuk mencari kitab pedang Tat mo Kiampouw?' siorang tua tanya lagi padaku. Atas pertanyaannya ini, aku menjawab bahwa aku sebenarnya belum pernah mendengar tentang kitab ilmu pedang itu, Mendengar jawabanku ini, agaknya dia menjadi terlebih lunak. 'Jikalau bukannya tadi aku melihat hatimu baik,' katanya kemudian, 'hari ini kau jangan harap dapat keluar dari goa ini, Kau lihat! Selama duapuluh tahun lebih, mereka yang pernah datang kegoa batu ini, mereka semua berkumpul disitu!' Dia menunjuk, dan aku mengikuti jari tangannya itu, Terlihat dipojok tembok banyak bertumpuk tulang-belulang dan tengkorak manusia, Bergidik aku menyaksikan semua kerangka itu. Siorang tua itu menghela napas panjang, Ia berkata pula: 'Sama sekali bukannya aku kejam, tetapi jikalau aku membiarkan mereka keluar lagi dari sini, maka didalam dunia kangouw bakal terbit gelombang yang semakin dahsyat, kata peribahasa, Jin wi cay su, niauw wi sit bong, (Manusia mati karena harta, burung mati karena makan), Inilah tepat sekali, Demikian juga dengan mereka yang paham ilmu silat, banyak diantaranya yang terbinasa karena pedang mustika, atau kitab ilmu pedang yang luar biasa, Semua itu hanya disebabkan satu kata2 tamak! Tapi kau beda, kau datang kemari bukan dengan sengaja, suka aku. . . untuk pertama kali. . . .bertindak diluar kebiasaan, aku akan membiarkan kau pergi keluar. . .Ah, anak muda, siapakah namamu?' Untuk pertanyaan itu, aku memberitahukan she dan namaku, Mendengar itu, matanya siorang tua terbelalak. 'Pernah apakah kau dengan Pit Ceng Coan?' dia tanya, Itulah ayahku, aku menjawab. 'Pit Leng hi?' dia tanya lagi, Itulah kakakku. 'Lantas saja dia tertawa ter-bahak2, Jikalau begitu, kau bukanlah orang luar!' katanya gembira, 'Pernahkah ayah dan kakakmu itu menyebut namaku? Aku adalah Tamtay It Ie,' Mendengar nama itu, aku heran hingga aku memperdengarkan suara kaget, Aku tahu Tamtay It Ie ini, Dia masih termasuk golongan cianpwee dari ayahku, dan dia telah menghilang sejak beberapa puluh tahun yang lampau, siapa tahu dia sebenarnya masih hidup, Tamtay It Ie menunjuk kepada tumpukan tulang belulang manusia itu, 'Aku mentertawakan mereka,' ia berkata, perlahan, 'sebab mereka tidak sanggup membuang ketamakkan mereka, Karena kitab ilmu pedang, mereka terbinasa, Hanya tadinya, akupun hampir tak beda dengan mereka itu, Hanya karena kitab pedang, aku mengasingkan diri, aku rela hidup sepi selama sisa hidupku, Hendak aku meyakinkan semacam ilmu silat yang sakti, Tetapi sekarang walaupun aku berhasil juga, aku sendiri bakal tidak bisa hidup lebih lama lagi. . .' Aku terbengong mengawasi orang tua itu, dia rebah diatas pembaringan dengan wajahnya yang menandakan bahwa dia sedang diserang penyakit, tubuhnya kurus hingga menggiriskan hati bagi yang melihatnya, Tapi dia masih dapat tertawa tawar, lalu ia berkata lagi: 'Kau tentu tidak dapat melihat bahwa sebenarnya aku telah Cao hwee jip mo (tersesat jalan), hingga sebagian dari tubuhku tak dapat digerakkan lagi, Selama setengah bulan ini, aku hidup hanya mengandalkan pada batu stalactite,' Mendengar keterangannya orang tua itu, aku merasakan lidahku menjadi kering, Selama setengah bulan orang tak makan nasi dan lainnya, kecuali batu itu, Orang yang demikian sempurna tenaga dalamnya, sungguh sukar dicari keduanya. 'Tamtay It Ie meneruskan ceritanya; 'Kitab pedang Tat Mo Kiampouw itu asalnya ialah warisan dari Tat Mo Couwsu (Bodhidarma) pendiri dari Siauwlim Pay, buah hasil setelah bersamedhinya selama delapan belas tahun menghadap tembok, Sesudah menciptakan ilmu pedangnya itu, Bodhidarma lantas menbuat kitabnya, Maka itu, untuk dapat meyakinkan ilmu pedang itu. terlebih dahulu orang mesti mempunyai latihan tenaga dalam yang sempurna dasarnya, Inipun sebabnya kenapa didalam kitab ada tertera kecuali ilmu pedang juga terlampir ilmu melatih jalan pernapasan untuk mengempos semangat, Beberapa puluh tahun aku sudah berdiam didalam goa ini untuk meyakinkannya, namun aku hanya dapat melatih bagian luarnya saja, tidak berani aku menyebutnya sudah meyakinkan dengan mahir.' 'Disaat berakhirnya kerajaan Song,' orang tua itu menerangkan lebih jauh, Siauwlim Pay terpecah menjadi Siauwlim Pay dan Butong Pay dan kitab Tat Mo Kiampouw ini telah terjatuh kedalam tangan Butong Pay itu, Sesudah penyerbuan bangsa Mongolia, kitab ilmu pedang ini hilang tidak ketahuan rimbanya, karena itu para jago2 silat dari berbagai golongan sibuk mencarinya, untuk mendapatkannya kembali, Barulah pada tigapuluh yang berselang aku berhasil memperoleh keterangan, Kiranya ditengah kalutnya peperangan, kitab itu telah dirampas oleh seorang guru negara bangsa Mongol bernama Atujin, Belasan jago Butong Pay yang melindungi kitab itu, yang mencoba menyelamatkan diri, telah terbinasa dalam peperangan itu, Itulah sebabnya kenapa prihal kitab itu menjadi hilang jejak, Atujin sendiri tidak mengerti akan isinya kitab, lalu ia serahkan kitab itu kepada muridnya yang bernama Moa Ek Can, Murid ini mengetahui pentingnya kitab itu, tetapi ia juga tidak dapat meng-artikan isinya, lalu untuk memperoleh hasil ia mendapat suatu akal, Ia lantas mengundang ahli2 silat pedang, alasannya ialah untuk meyakinkan ber-sama2, Dari sepuluh orang yang diundang, yang sembilan menolak, jago2 silat yang menerima undangan itu, akhirnya celakalah dirinya, Moa Ek Can sangat licik, Ia selalu mencurigai ahli2 silat itu, ia khawatir, setelah jago2 itu mengerti ia takut kitab itu akan disalin dan dibawa pergi, Maka ia tidak pernah memperlihatkan kitab itu secara utuh seluruhnya, ia menyalinnya menjadi banyak bagian secara terpisah2, ia menyuruh mereka masing2 memahami bagiannya, Dan ia juga gagal dengan usahanya yang licik ini, Sebab mana dapat kitab itu di-pecah2? Dengan dipisahkan, artinya tak akan dapat dipahami dengan sempurna, Namun usaha kerasnya akhirnya berhasil juga walaupun hanya sedikit, Lalu datanglah tindakannya yang terakhir, yang telengas, Semua ahli silat undangannya itu diracun, agar ia sendirilah yang akan menjagoi dunia! Tapi ada seorang ahli dapat meloloskan diri, hanya sewaktu melarikan diri, ia kena terpanah dengan anak panah beracun,' 'Kau tahu, jago silat yang berhasil buron itu adalah salah satu sahabatku,' siorang tua itu melanjutkan, 'Ketika hampir tiba saatnya ia hendak menghembuskan napas terakhirnya, ia membuka rahasia itu kepadaku, Setelah mengetahui rahasia itu, aku lantas bertindak, Tujuanku ada dua, per-tama2 aku tidak ingin kitab ilmu pedang itu terjatuh kedalam tangan bangsa Mongolia, Kedua, aku sendiri berharap untuk menjadi jago silat nomor satu dikolong langit ini, Begitulah dengan diam2 aku pergi ke-istana kaisar Mongolia, disana aku berhasil mencuri kitab ilmu pedang itu, Untuk itu aku sampai mesti membinasakan delapan belas pahlawan bangsa Mongolia itu, Aku lantas melarikan diri, untuk mmenyingkir dan akhirnya aku bersembunyi mengasingkan diri didalam goa ini,' Aku menjadi sangat kagum saat mendengar penuturan Tamtay It Ie itu, Sungguh ia hebat, Dan untuk ilmu silat pedang itu, hampir separuh hidupnya ia tak pernah melihat sinar matahari, Kemudian aku tidak dapat berdiam diri mendengarkan saja, Lalu aku berkata; 'Sekarang ini dunia sedang kacau, orang2 gagah tengah berjuang untuk mengusir bangsa asing, Aku rasa waktu berhasilnya hanya tinggal menunggu hari saja, maka itu aku ingin dapat berdiam disini untuk merawat kau, loojinkee, Aku percaya setelah kau sembuh, bukankah kau dapat keluar dari sini untuk mewujudkan impianmu?' Tamtay It Ie menyeringai mendengar kata2ku itu, 'Karena kerasnya tekadku mempelajari ilmu pedang, aku tersesat,' ia berkata, berduka, 'sekarang ini tidak ada obat lagi untuk menyembuhkan aku, bahkan aku tidak tahu lagi, berapa lama aku akan tinggal hidup didalam dunia yang fana ini, Hanya karena maksud hatiku belum tercapai, kalau nanti aku meninggal dunia, mataku susah dimeramkan. . ." Siangkoan Thian Ya terus mendengarkan. Pit Leng Hong melanjutkan lagi; "Aku lantas bertanya, apa lagi yang diberatkan siorang tua, Dia menghela napas dan berkata: 'Separuh dari hidupku aku gunakan untuk memahami kitab itu, akhirnya aku berhasil juga, Karena tidak boleh kitab ini mengikuti aku terkubur didalam goa, aku mau mencari satu orang yang dapat dipercaya dan diandalkan, untuk membuat kitab ini tersebar terus turun temurun,' Mendengar itu, hatiku tercekat, Tamtay It Ie melirik diriku, Ia berkata: 'Kau berhati mulia, kau dapat menjadi orang perantaraku, tetapi dengan kepandaian kau seperti sekarang ini, apabila kau mem-bawa2 kitabku ini, kitab ini bisa membuat kau celaka, Maka itu, tidak dapat kitab ini aku serahkan padamu,' Ia lalu terus menunjuk kepada tumpukan tulang belulang orang korban2nya itu, katanya; 'Inilah manusia yang tidak tahu diri, yang berani datang kemari untuk memperoleh kitab ini, Ya, dengan kepandaian yang mereka punyai, walaupun mereka berhasil mendapatkan kitab, mereka juga tidak dapat berbuat apa2, sebab belum cukup pengetahuan bagi mereka untuk meyakinkannya,' Mendengar itu, aku berdiam saja, hanya aku sedikit gegetun. Tamtay It Ie menghela napas, lalu ia melanjutkan lagi perlahan2: ' Di-hadapan mataku hanya ada tiga orang yang dapat mewariskan kitab pedang ini, Dari mereka itu, yang satu belum tentu sudi menerimanya, Orang yang kedua justru tak aku sukai, tidak nanti akan aku berikan kitab ini padanya, Maka itu kini tinggallah orang yang ke-tiga, Dialah Tayhiap Tan Teng Hong,' Mendengar itu, aku heran sekali, aku lantas bertanya, siapa dua orang itu yang disebutkan duluan, 'Tiga orang yang aku maksudkan itu,' ia menyahuti, 'yang pertama adalah Pheng Hweesio, Yang lainnya yaitu Bouw Tok It, dan yang ketiga ialah Tan Teng Hong yang telah aku sebutkan, Pheng Hweesio adalah seorang guru besar, pelajarannya pun pelajaran asli, pastilah dia tidak akan menghiraukan kitab pedang ini, maka kalau aku serahkan kitab ini kepadanya, dia bisa akan merasa terhina, Dia lebih lihay daripada aku, mana mau dia menerima warisan dari aku? Orang yang kedua adalah Bouw Tok It, Dalam hal ilmu pedang, dialah orang satu2nya dijamannya itu, Karena kitab ini asalnya kepunyaan Butong Pay, tepat kalau kitab diserahkan padanya, tetapi mengenai dirinya, aku bersangsi dan aku bercuriga, Sebab aku mempunyai tabiat yang aneh, Semakin orang menghendaki kitab ini, semakin tidak sudi aku memberikan padanya, pasti aku tidak akan memberikannya!" Mendengar sampai disitu, Siangkoan Thian Ya memotong; Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan couwsu Bouw Tok It," kata dia, "Akan tetapi aku pernah mendengarnya dari orang-orang tua tentang perbuatan2nya yang mulia, Kenapa Tamtay It Ie mengatakan demikian tentang dirinya?" "Memang!" sahut Pit Leng Hong. "Pada awalnya akupun berpikir seperti kau ini, aku sampai menanyakan dia, Atas pertanyaanku itu, dia menunjuk kepada salah satu dari dua penyerangnya yang baru saja dia binasakan itu, Kau lihat, dia berkata, orang ini ialah murid kepala dari Bouw Tok It, Tidak tahu darimana Bouw Tok It dapat selintingan, dia telah memerintahkan muridnya ini datang mencariku, untuk meminta kitab kembali dengan paksa, Maka itu tak sudi aku memberikannya! Memang kitab ini milik Butong Pay, tetapi setelah kitab ini menghilang begitu lama, dan aku yang mendapatkannya dengan taruhan nyawaku, serta aku telah menggunakan separuh usiaku untuk meyakinkannya, dengan sendirinya aku pantas menjadi si-pemilik dari kitab ini! dan Butong Pay tak lagi berhak untuk memintanya kembali!" Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya berpikir; "Benar-benar soal yang pelik sekali, Couwsu ingin cepatcepat mendapatkan kitab ini kembali, karenanya dia jadi dipandang sebelah mata oleh Tamtay It Ie, Melihat persoalannya, sebenarnya tidak terlalu penting," Tengah ia berpikir, Pit Leng Hong sudah berkata lagi; "Setelah bicara jelas tentang kitab pedang itu, Tamtay It Ie lantas meminta aku suka pergi mencari Tan Teng Hong, untuk menyampaikan pesan, supaya Tan Teng Hong segera datang mengambil kitab itu dari dirinya, Aku menerima tugas itu dengan senang hati, Sebabnya? pertama, karena aku memang mengharapkan Tayhiap Tan Teng Hong itu, dan yang kedua, aku memang punya tujuan sendiri. . ." Disaat mengucapkan demikian, pada wajahnya yang jelek itu terlihat rona merah, seperti orang yang lagi merasa jengah. Siangkoan Thian Ya merasa heran, tetapi ia berdiam saja, Ia hanya memasang telinga, lalu Pit Leng Hong melanjutkan lagi; "Sekarang ini aku telah tua dan jelek wajahku, maka itu kalau aku menceritakan riwayatku dulu itu, mungkin kau tak akan mentertawakan aku, Dahulu Bouw Tok It dan Tan Teng Hong itu sama2 terkenal, orang2 gagah di jamannya menamakan mereka dua Tayhiap tanpa tandingan, Sementara itu mereka sama-sama mempunyai anak dara yang luar biasa juga, ke-dua2nya nona itu elok bagaikan bunga, indah bagaikan kumala, dan dua2nya juga pintar dan gagah, Puterinya Bouw Tok It bernama Poo Cu, sedangkan puterinya Tan Teng Hong ialah Soat Bwee, Banyak kaum pendekar muda didunia kangouw, tidak ada seorang juga yang tidak berharap menjadi menantu salah satu diantara mereka itu, Ketika itu aku belum sejelek sekarang ini, terhadap Nona Tan, aku pernah memikir yang muluk-muluk, Maka aku pikir, setelah nanti pertemuanku dengan jago tua itu, aku akan mempergunakan kesempatan ini untuk menjalin hubungan erat dengan Tan Teng Hong, karena Aku sangat mengharapkan, setelah aku membantu dia mendapatkan kitab ilmu pedang, aku akan lebih leluasa membuka mulut dengan mengirim seorang perantara untuk meminang puterinya. Sebelum aku meninggalkan goa, aku pergi mencari banyak buah2an dan juga memburu seekor babi hutan, semua itu aku serahkan pada Tamtay It Ie untuk makanan dia beberapa hari, Setelah itu, aku lalu berangkat menuju kerumah Tan Teng Hong, Namun perjalananku kali ini kurang beruntung, karena setibanya aku dirumah keluarga Tan itu, kebetulan tuan rumah sedang bepergian, Atas pertanyaanku maka aku diberitahukan, bahwa Nona Tan baru saja menikah pada bulan yang lalu, dan mempelai laki2nya ialah sahabat kakakku. . In Bu Yang, Kepergiannya Tan Teng Hong inipun untuk mengantarkan puterinya itu, Oleh sebab itu, aku menjadi sangat berputus asa, Meskipun begitu, aku tidak lantas meninggalkan rumah keluarga Tan itu, aku masih berdiam beberapa waktu untuk menantikan kembalinya tuan rumah, Ketika kemudian Tan Teng Hong pulang dan menerima pesanku, dia girang bukan kepalang, Dia memuji tinggi diriku, Dia mengatakan aku benar2 berbaik hati dan tidak tamak, bahwa aku dapat dipercaya dan dapat memegang kehormatan orang2 kangouw, Dihari kedua, dia lantas ajak aku berangkat ke Bekcek-san, untuk menjumpai Tamtay It Ie, Setibanya digunung itu, aku harus mentaati aturan yang keras dari kaum kangouw, Yaitu disaat seorang Cianpwee bila hendak mewariskan sesuatu kepada orang yang bakal jadi ahli warisnya, selaku orang luar tidak dapat aku hadir bersama, maka itu, aku tidak turut masuk kedalam goa, setelah menunjukkan letak goa itu kepada Tan Teng Hong, aku lantas disana duduk seorang diri untuk menantikan. Akan tetapi, Ternyata kedatangan kami berdua telah terlambat, sebab, ketika kami tiba, Tamtay It Ie sudah menutup mata, Sudah begitu, Tan Teng Hong juga kalah selangkah oleh Bouw Tok It, Karena Bouw Tok It begitu ia kehilangan murid kepalanya, dia lantas datang mencari, Dan dia sampai digoa lebih dulu satu tindak daripada Tan Teng Hong, dia bahkan telah berhasil mendapatkan kitab Tat Mo Kiampouw itu, setelah mendapatkan kitab itu ia bergirang bukan main, sampai2 ia seperti lupa daratan, ia me-muji2 dengan suara keras, Saat itu, Tan Teng Hong juga telah tiba, Maka bertemulah kedua orang kenamaan itu didalam goa rahasia itu. Berbicara terus terang, hal pertemuannya mereka itu, baru belakangan hari aku mengetahuinya dengan jelas, waktu itu aku tak tahu bagaimana persoalannya mereka jadi bentrok, Mereka sama2 kesohor, tetapi hanya karena kitab pedang itu, mereka jadi seperti lupa diri, mereka telah bertempur hebat antara hidup dan mati! Sungguh, itulah pertempuran yang sangat dahsyat, Tan Teng Hong mempunyai pedang Kungo-kiam, pedang pusakanya, sebilah pedang mustika pula, Begitu bergerak, dia lantas berada diatas angin, Dari dalam goa, mereka bertempur sampai keatas, dan sampai pula keluar ditempat terbuka, yaitu diatas puncak yang datar, Keduanya telah mengeluarkan segenap kepandaian mereka masing2, semua pukulan-pukulan yang mematikan. Aku menyaksikannya sambil sembunyikan diri dibelakang batu, aku sampai susah bernapas, Aku tidak berani mengeluarkan suara. Pertempuran itu berlangsung sampai seribu jurus lebih, berlanjut terus hingga matahari mulai doyong kebarat, Sampai akhirnya, pedang mustika dari Tan Teng Hong dapat membabat putus pedangnya Bouw Tok It, Melihat itu, aku girang bukan main, Aku memang meng-harap2kan Tan Teng Hong yang memperoleh kemenangan, dalam kegiranganku, aku melihat didalam arena pertempuran terjadi hal yang diluar dugaan, Setelah pedang terkutung, bukannya Bouw Tok It menjadi terdesak, tapi justru dia jadi lebih lihay, dia berkelahi dengan lebih bersemangat, Ternyata dia telah menggunaka ilmu simpanannya yang telah diyakinkan olehnya puluhan tahun yaitu ilmu silat Tayceng Hiankang. Bicara dari hal tenaga dalam, dijaman itu adalah Pheng Hweesio yang nomor satu, Dibanding dengan Tan Teng Hong, Bouw Tok It menang seurat, karena itu, mereka jadi berimbang, Sesudah bertempur sekian lama, keduanya menjadi letih dengan sendirinya, Selama itu, pedangnya Tan Teng Hong telah melukai Bouw Tok It dibeberapa tempat, Bouw Tok It sebaliknya dapat menghajar Tan Teng Hong dengan dua sabetan tangan terbuka. Sampai pada satu ketika, se-konyong2 Bouw Tok It berseru dengan ancamannya: 'jikalau tetap kau tidak tahu diri, akan aku rampas pedangmu!' Diancam begitu, Tan Teng Hong menjadi sangat murka. 'Baiklah!' serunya, 'jikalau kau sanggup merampas pedangku, didalam kalangan kangouw sudah tidak ada lagi orang yang bernama Tan Teng Hong!' Tan Tayhiap pintar dan halus budi pekertinya, biasanya kalau bergaul dengan orang, ia bersikap lemah lembut, akan tetapi kali ini ia dihina Bouw Tok It, ia menjadi seperti kalap, Maka ia menyerang secara hebat sekali, Ia sepertinya bersedia untuk binasa bersama! Dengan tiba2 saja pedangnya berkelebat, dan pundak Bouw Tok It mengucurkan darah segar, tetapi Bouw Tok It malah tertawa Terbahak, sebab dipihak lain terlihat Tan Teng Hong terhuyung mundur beberapa tindak, paras mukanya pucat pias, dan juga dua buah gelang pedangnya telah kena dirampas putus oleh Bouw Tok It! Demikian hebat keadaan mereka berdua, Saking kaget dan takut, aku jadi lupa akan diriku sendiri yang sedang bersembunyi, aku berseru! sambil berteriak, akupun melompat keluar dari tempat persembunyianku, Segera aku mendengar suara tertawa nyaring yang panjang, yang berkumandang dilembah, sedang Bouw Tok It tak tampak lagi bayangannya, sebab ia telah angkat kaki karena menyangka aku adalah kawannya Tan Teng Hong, Dilain pihak, Tan Teng Hong duduk numprah ditanah. 'Syukur ada kau! katanya padaku. Ternyata Tan Teng Hong terluka didalam, lukanya itu lebih parah daripada luka pedang dari Bouw Tok It, Cuma waktu itu ia memaksakan diri, dia tidak mau memberitahukan kepadaku, Sesudah beristirahat sebentar, dia lantas mengajak aku lekas pulang, Aku mengantarkan dia sampai dirumahnya, Dia terluka parah dan sangat letih, keesokannya dia jatuh sakit, dan lantas mengirim orang ke Huiliong Pang (Partai Naga Terbang), mengundang Pangcu (ketua)nya partai itu, Yaitu Siauw Koan Eng. . ." Siangkoan Thian Ya terperanjat; "Siauw Koan Eng?" tanyanya. "Bukankah ia yang mempunyai beberapa pengikut yang lihay, seperti Ti Eng dan Ti Pa serta Siang San Liong dan Kongya Liang ?" Pit Leng Hong meng-angguk2 seraya menunjukkan roman heran; "Nyatanya bukan sedikit urusan kaum kangouw yang kau ketahui," katanya, sambil terus melanjuti: "Sebenarnya mereka itu berasal dari orang2 tidak ternama, tetapi setelah dipimpin Siauw Koan Eng, baru mereka memperoleh nama besar, Siauw Koan Eng itu adalah calon murid dari Tan Teng Hong, Belakangan lagi baru aku mendapat tahu, Tan Teng Hong memanggil muridnya itu untuk memesan agar si-murid mengurus jenazahnya nanti." Kalau itu adalah pesan terakhir, mengapa Tan Teng Hong tidak memanggil pulang saja anak dan mantunya? Siangkoan Thian Ya tanya. "In Bu Yang berada jauh di Kanglam dan waktu itupun tengah pecah peperangan, Tan Teng Hong sendiri lagi menghadapi saat-saat kritis, mana ada waktu lagi untuk memanggil itu anak dan mantunya?" menjawab Pit leng Hong, "Hanya saja, sungguh aku tidak menyangka, lantaran aku kebetulan bertemu dengan Tamtay It Ie, aku jadi seperti terlibat urusan mereka itu, Di-malam saat Tan teng Hong menghembuskan napasnya yang terakhir, hanya ada aku dan Siauw Koan Eng didepan pembaringannya, Tan Teng hong memberitahukan kepada Siauw Koan eng perihal kitab pedang itu serta segalanya, sampai dia bertempur dengan bouw Tok It, sehingga mendapat luka itu, Pada akhirnya, dia minta kami suka menerima pesannya, Dia kata: 'Dari kalian berdua, yang satu adalah murid angkatku, yang lain ialah orang yang mengetahui duduknya persoalan dari awal hingga akhir. Pit Leng Hong kaulah orang yang mengajak aku menemui Tamtay It Ie, dan yang membuat Bouw Tok It kaget sampai melarikan diri, yang merawati dan mengantar aku sampai dirumah ini, kalau tidak ada kau, tentulah aku terbinasa ditengah jalan, Maka itu aku sangat bersyukur kepadamu, Kalau aku telah menutup mata, pesanku aku serahkan pada kalian berdua, Diantara kalian tidak perduli siapa, Siapa yang sanggup merampas kitab ilmu pedang itu dari tangan Bouw Tok It, maka kitab itu menjadi hak miliknya, Aku berharap sukalah kalian menjalankan baik2 pesanku ini, Disini aku telah menulis surat wasiatku, dimana aku telah mencatat segala sesuatu dengan jelas, dari itu, andaikata dikemudian hari karena kitab ini terjadi kesulitan dengan pihak Butong Pay, kalian boleh perlihatkan surat wasiatku ini, Untuk saat ini, surat wasiat ini biarlah Pit Leng Hong yang pegang,' Habis berkata demikian, berhenti sudah napasnya, Maka demikianlah akhir perjalanan dari seorang Tayhiap (Pendekar) yang tidak beruntung, yang telah berpulang kealam baqa dengan membawa penasaran. ." Pit Leng Hong menghela napas panjang, setelah itu baru ia meneruskan lagi; "Sesudah Tan Teng Hong menutup mata, aku lantas bersepakat dengan Siauw Koan Eng, Kami telah setuju untuk menggunakan segala cara dan kebiasaan kami, untuk mendapatkan kembali kitab pedang itu, hanya ada sedikit beda dari amanat Tan Teng Hong, kamu berjanji, siapapun diantara kami berdua yang berhasil, kitab itu harus diberikan kepada puterinya Tan Teng Hong, se-kali2 kami tidak boleh memilikinya sendiri." "Bukankah pikiran ini asalnya keluar dari suhu ?" Siangkoan Thian Ya tanya. "Benar," jawab Pit Leng Hong. "Bagaimana kau dapat mengetahui itu ?" Siangkoan Thian Ya tersenyum, Didalam hatinya, ia berkata: "Rupanya suhu tidak dapat melupakan puterinya Tan Teng Hong, Nona itu sudah menikah, belum tentu dia mengetahui apa yang suhu pikirkan tentang dirinya. . .Untuk si nona, suhu berani hendak merampas kitab dari tangannya ahli pedang nomor satu dikolong langit itu, inilah cara menyatakan cintanya yang sangat dalam, Kalau begitu, dibanding aku dengan Siauw Un Lan, aku kalah. . ." Pit Leng Hong melanjuti lagi penuturannya: "Kami berdua menginsafi bahwa kepandaian kami masih sangat rendah, masih kalah sangat jauh dibanding dengan Bouw Tok It, oleh karena itu kami berjanji akan meyakinkan dulu ilmu silat kami selama sepuluh tahun, setelah itu baru kami pergi mencari Bouw Tok It, Walaupun ada janji itu, aku sendiri tidak dapat bersabar demikian lama, Begitulah, baru lima tahun semeninggalnya Tan Teng Hong, seorang diri aku telah pergi mencari Bouw Tok It." "Kenapa begitu ?" Siangkoan Thian Ya tanya, heran. "Ketika itu Thio Su Seng telah mati dalam peperangan disungai Tiangkang, Bersama dia telah binasa juga kakakku, Pheng Hweesio dan yang lainnya, Dari tiga pahlawan Thio Su Seng, yang dapat meloloskan diri hanya In Bu Yang satu orang, Isterinya In Bu Yang yaitu Tan Soat Bwee, puterinya Tan Teng Hong, kabarnya pun turut terbinasa didalam peperangan di Tiangkang itu, Mendengar kabar itu, tentu sekali akupun berduka, Disamping itu, kemudian aku mendapat kabar lain, yang membuat kedukaanku bertambah, Itulah kabar bahwa tidak lama setelah meninggalnya isterinya, In Bu Yang telah menjadi menantunya Bouw Tok It." "Ada kemungkinan In Bu Yang tidak mengetahui sebab dari kematian mantan mertuanya, biarpun begitu, aku sangat merasa menyesal untuk Tan Soat Bwee, Sayang, belum lagi jenazahnya dingin, suaminya sudah menikah lagi, bahkan yang dinikahi justru puteri musuh ayahnya, Setahu kenapa, semenjak saat itu aku jadi membenci In Bu Yang, Sebenarnya dari kakakku, secara tidak langsung aku pernah pelajari ilmu silat Siauwyang Hiankang dari Pheng Hweesio, tetapi karena tekad yang keras, aku tidak terus mempelajarinya sampai sempurna, aku ambil jalan lain yang singkat, yaitu aku meyakinkan dengan satu ilmu lain yang tak kalah sakti bernama Hanim citsat-ciang, Aku percaya, apabila aku dapat meyakinkannya selama sepuluh tahun, aku akan sanggup melayani seorang jago kelas satu, tetapi aku tidak dapat bersabar, aku khawatir Bouw Tok It keburu mewariskan kepandaiannya kepada menantunya, Benar aku membenci In Bu Yang, akan tetapi pada waktu itu, tidak terlintas pada diriku untuk membinasakan orang yang pernah dinikahi Tan Soat Bwee." Siangkoan Thian Ya heran akan sikap orang ini, tetapi ia berdiam saja. "Kebetulan tahun itu Bouw Tok It merayakan ulang tahunnya yang ke-51," Pit Leng Hong kembali melanjuti ceritanya, "Aku lantas mencari keterangan tentang keluarga Bouw Itu, Aku memakai perantara para anggota2 dari Kay Pang (partay Pengemis), Lalu tepat dihari pesta ulang tahun itu, aku menyusup diantara tamu2 undangan, Sewaktu Bouw Tok It melayani tetamunya, dengan diam2 aku masuk kedalam kamar tidurnya, Adalah maksudku untuk mencari dan mencuri kitab pedang itu, Disaat aku baru menemukan dua gelang, yang Bouw Tok It rampas dari pedang Tan Teng Hong, tiba2 aku mendengar tindakan kaki orang diluar pintu, cepat2 aku menyembunyikan diri dikolong pembaringan, Ternyata yang datang itu bukannya Bouw Tok It, tetapi adalah In Bu Yang bersama isterinya yang baru dinikahi, Aku lantas mendengar suaranya In Bu Yang: 'Kau cepat cari kitab pedang itu, aku akan menunggu kau diluar, di-gunung2an palsu, Kalau ada sesuatu, aku akan memberi tanda dengan berdehem dan batuk2,' Ketika itu ditangan In Bu Yang ada membawa sebatang pedang, yaitu pedang pusaka dari Tan Teng Hong, Menurut Tan Teng Hong oleh Siauw Koan Eng pedang itu akan diserahkan kepada Tan Soat Bwee, maka itu, melihat pedang itu ada ditangan In Bu Yang, aku jadi curiga. Aku kenal pedang itu, maka tentu Bouw Tok It pun mengenalnya, Andaikata dia benar2 tidak tahu bahwa In Bu Yang adalah bekas menantunya Tan Teng Hong, tapi dengan melihat pedang itu, seharusnya ia bercuriga, dengan demikian, kenapa Bouw Tok It justru menikahkan puterinya pada In Bu Yang? Selagi aku berpikir demikian, aku mendengar suara perlahan dari Bu Yang yang me-manggil2: 'PooCu! Poo Cu! Atas panggilan itu, isterinya lantas saja membenahi barang2 yang telah ia geser, Baru saja ia selesai, gorden pintu telah tersingkap, dan Bouw Tok It berjalan masuk diikuti keponakannya, yaitu Bouw It Siok. Bouw Tok It heran melihat anaknya itu; 'Ah, kiranya kau disini!' kata si-ayah itu. 'Bu Yang diluar lagi mencari kau,' Anak itu cerdik, ia menyahuti; 'Aku khawatir ayah kena diloloh, maka itu aku datang kemari untuk melihat, Mau apa Bu Yang mencari aku?' Sang ayah tertawa dan berkata; 'Mana begitu gampang2 aku diloloh hingga mabuk? Oh, ya, Bu Yang ada diluar, pergi kau tanya sendiri padanya!' Anaknya itu lantas bertndak keluar, selang sesaat, setelah berlalunya anaknya itu, aku mendengar suara Bouw Tok It; 'Orang mengatakan anak perempuan berpihak pada orang luar, ini adalah benar, bukan omong kosong belaka. . .Hm! It Siok, selama kau berada ber-sama2 Bu Yang, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri dia itu?' 'Aku tidak melihat sesuatu,' menyahut It Siok, sang keponakan. Bouw Tok It lantas me-nepuk2 perlahan pada tembok, disitu ia memutar sebuah batu bata dan mencabutnya, maka disitu terlihat sebuah kotak yang terbungkus kain sulaman, Ia meletakkan kotak itu diatas meja. Karena kitab pedang ini, sia2 belaka Tan Teng Hong mengorbankan jiwanya,' katanya menghela napas, 'selama banyak tahun terakhir ini, hatiku pun tidak tenteram, Kau adalah anggota keluarga Bouw, anggota satu2nya yang pria, oleh sebab itu dikemudian hari kitab ini mesti diwariskan kepada kau, maka itu ilmu silat pedang Tat Mo Kiamhoat selanjutnya akan menjadi ilmu pedangnya keluarga Bouw, Eh, It Siok, tahukah kau kenapa aku mengambil In Bu Yang sebagai menantuku ? "Inilah justru hal yang hendak aku tanyakan kau, paman,' sahut It Siok. Itu disebabkan karena isterinya yang telah meninggal dunia adalah puterinya Tan Teng Hong, menerangkan Bouw Tok It, Ketika dahulu waktu Tan Teng Hong bertempur dengan aku memperebutkan kitab ini, aku menduga dia pasti binasa dibawah pukulan dari ilmu silatku Tayceng Sinciang, maka itu aku percaya, selain Tan Teng Hong, tidak ada orang Rimba persilatan yang mengetahui kitab ini ada padaku. Akan tetapi Tan Teng Hong mempunyai anak perempuan serta mantunya, Pada saat ajalnya Tan Teng Hong, adakah dia memberitahukan hal kitab pedang ini kepada anak dan mantunya itu? Inilah soal yang selalu membuat aku berpikir, Sebenarnya aku juga berniat membinasakan Bu Yang, Namun perbuatan itu sepertinya bertentangan dengan hati-nuraniku, Semasa hidupku aku selalu menganggap diriku seorang yang mulia, karena itu belum pernah aku membunuh seseorang yang tidak bersalah dan berdosa. Bahwa aku telah mencelakai Tan Teng hong, itu juga kulakukan karena saking terpaksa, dan peristiwa itu membuat aku sangat menyesal dan berduka hingga sekarang, Oleh karena itu, mana dapat hanya disebabkan kecurigaan saja aku membunuh Bu Yang? maka dari itu, aku lantas nikahkan Poo Cu kepada Bu Yang itu, Dengan begitu aku bisa menyelidiki Bu Yang, apakah dia mengetahui atau tidak tentang kitab ilmu pedang ini, Andaikata benar dia mendapat tahu, dengan adanya ikatan mertua dan menantu, aku percaya urusan bisa disudahi saja, Tapi sebenarnya In Bu Yang adalah seorang yang licin, yang harus diwaspadai, sebab selama beberapa bulan ini, tidak pernah ia membuka rahasia mengenai urusan kitab ilmu pedang ini, Aku Khawatir, sepeninggalnya aku nanti, tidak ada orang lain yang dapat mengendalikan dia, Poo Cu benar adalah anakku, akan tetapi aku tidak ingin kitab ini terjatuh ketangan orang lain she, Maka inilah sebabnya kenapa sekarang aku bicara jelas begini, kepadamu, Aku ingin kau membantu aku menyelidiki Bu Yang dan Poo Cu, tentang gerak-geriknya, apabila kau mendengar atau melihatnya, kau mesti cepat2 memberitahukan padaku, Kau tahu, kejadian barusan membuat aku tak dapat tidak bercuriga. . ." Mendengar sampai disitu, bulu-roma Siangkoan Thian Ya bangun sendirinya, pikirnya; "Sucouw menyebut dirinya orang gagah dan mulia, siapa tahu diapun selicik ini, Dari sini dapat diketahui ternyata kitab Tat Mo Kiampouw itu adalah barang yang membawa sial," Habis menutur begitu, Pit Leng Hong pun menghela napas, Ternyata pandangan dan anggapan dia mirip dengan Siangkoan Thian Ya, Setelah melegakan dadanya, ia melanjuti lagi; "Sungguh, kitab ilmu pedang itu tak sedikit mencelakai orang, Aku melihat dan merasakannya sendiri, bagaimana satupersatu jago2 silat telah membuang nyawanya, bahkan aku sendiri telah dibikin jadi bercacat dan jelek semacam ini karenanya," Waktu dia mengucapkan perkataan itu, suara Pit Leng Hong makin lama semakin lemah, napasnya makin mendesak. "Sudahlah, suhu," kata Thian Ya, coba menghibur, "urusan yang memilukan ini baiknya jangan di-sebut2 lagi. . ." Tetapi Pit Leng Hong berpikir lain, Lalu ia berkata pula; "Beberapa saat kemudian, Bouw It- Siok pun berlalu, maka didalam kamar itu tinggallah Bouw Tok It seorang, Kitab ilmu pedang pun tetap terletak diatas meja, Tidak berapa lama kemudian, Bouw Tok It duduk menyender ditempat tidur, kedua kakinya diturunkan hingga kedua kaki itu tepat berada didepan hidungku, Hatiku menjadi tegang sendirinya, Inilah saat yang paling baik untuk aku turun tangan, Mungkin diluar sadarku sendiri, aku telah mengeluarkan sedikit suara, Sekonyong2 aku mendengar bentakannya Bouw Tok It; 'Siapa yang sembunyi dikolong pembaringan? Lekas keluar!' Aku tidak memberikan jawaban, sebaliknya, aku mengerahkan tenagaku pada kedua tanganku, lalu dengan hebat aku sambar kakinya, dengan begitu kuku tanganku telah mencakar luka jalan darah yongcoan-hiat dikakinya itu, Lantas hawa dingin yang beracun dari tanganku itu menyerang masuk kedalam jalan darahnya itu, terus menerjang ke-ulu hatinya, Bouw Tok It boleh menjadi seorang ahli silat kenamaan dijamannya itu, Tapi mana dia ketahui ilmu silat tanganku yang istimewa! Hanya saja dia memang sangat lihay, meski dia sudah terluka, tapi dia masih dapat menggunakan tenaganya dan mendepak aku, hingga aku terguling roboh, Ketika dia telah melihat diriku, Dia tertawa dingin dan berkata; 'Kiranya kau, Giokbin Kayhiap Pit Leng Hong! Apakah perlunya kau mendekam dikolong pembaringanku ini?' Aku menghendaki kitab pedang,' aku jawab dia, 'Kau serahkan kitab itu padaku, nanti aku berikan kau obat pemunah untuk mengobati lukamu,' Tapi dia tertawa lebar dan berkata; 'Aku siorang she Bouw, selamanya belum pernah aku mengemis apapun juga dari orang lain! Lagi pula orang dengan kepandaian seperti kau ini, mana dapat kau melukai aku?' Mendadak wajahnya berubah menjadi bengis, dia membentak diriku; 'Ha, Engkaukah orang itu yang di-Bekceksan!' Dia rupanya telah mengenali suaraku, Aku menjadi nekat, mendadak saja aku menubruk dia, tanganku menyambar beruntun hingga tiga kali, dan diapun menjadi sangat gusar, sambil berteriak dia menyabet tanganku hingga patahlah sebelah lenganku, Dengan tertawa dingin dia berkata lagi; 'Baiklah, kau harus diberi tanda mata!' Aku lantas merasakan sambaran angin pada mukaku itu lalu seperti di-tusuk2 rasa dingin, Dalam kaget dan takut, aku melompat ke jendela, Bouw It Siok yang telah mendengar suara berisik, segera muncul, akan tetapi ia tidak berhasil membekuk aku. "Dan bagaimana dengan kakek guruku itu ?" tanya Thian Ya, suaranya tergetar. "Bouw Tok It berniat menyiksa aku, dia tidak sadar bahwa dirinya telah terkena tanganku," berkata Pit Leng Hong, menyahuti, "Dia telah terhajar pukulan Hanim Citsat-ciang, tenaganya tak dapat menuruti kemauan hatinya, dia menolak obat pemunahku, dengan begitu, karena pukulan hawa dinginku sudah menyerang sumsumnya, maka walaupun ia percaya akan kesempurnaan tenaga dalamnya, tapi semua itu sudah terlambat untuk dapat menolong dirinya, dan dia hanya mengobral mem-buang2 tenaganya sendiri, Semenjak itu dia rebah diatas pembaringannya, tubuhnya makin lama menjadi semakin lemah, Setelah tenaganya habis, matilah dia secara tiba2, berbareng dengan itu, In Bu Yang si-menantu yang manis setelah dapat mencuri kitab ilmu pedangnya itu, juga segera mengangkat kaki meninggalkan rumah keluarga Bouw!. . .Tapi bagaimana dengan aku? Penderitaanku lebih hebat dan menyedihkan daripada Bouw Tok It itu, Aku berubah menjadi seorang yang setengah hidup setengah mati, aku telah bercacat lengan dan mukaku, yang menjadi begini jelek, aku menjadi sipengemis yang celaka, Lenyap sudah semangatku, Semangat yang hendak menunggangi harimau dan menakluki naga, pupus cita2ku terbawa hanyut sang air!" Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bergidik sendirinya, Sungguh hebat peristiwa yang panjang ekornya itu, Setelah sekian lama mereka berdiam, lalu Pit Leng Hong berkata lagi, suaranya serak dan perlahan, katanya; "Sekarang ini pelakunya bakal tiba pada babak penutupnya, In Bu Yang telah terhajar pukulanku Hanim Citsat-ciang, paling lama dia hanya dapat bertahan tiga hari, maka itu sekarang lekaslah kau pergi kerumah dia, kau salin kitab ilmu pedang itu yang telah dia ukir didalam kamar batunya, setelah itu, kau rusak dan musnahkan temboknya itu! Selanjutnya kaulah satu2nya orang yang mewarisi ilmu silat pedang Bodhidarma itu! Cepat, cepat pergi! Jangan takut! Sekarang ini biarpun Bu Yang dapat mengukir langit, dia tak dapat berbuat apa2 lagi terhadap dirimu!" PENUTUP. SEMUANYA DIBAWA HANYUT. . . "Sudahlah, jangan sebut2 lagi kitab pedang itu!" barkata Siangkoan Thian Ya. "Siapa yang memiliki kitab itu, dia tidak akan ada hari akhir yang beruntung! Suhu, paling benar kita cepat meninggalkan tempat hantu ini! Pit Leng Hong membuka mulutnya tetapi suaranya sangat perlahan, dengan susah payah barulah Thian Ya dapat mendengar, Ia menjadi kaget sekali. "Suhu!" katanya, suaranya gemetar, "Apa suhu bilang? Apakah suhupun terluka oleh pukulan Itci- Sian dari In Bu Yang itu? Apakah suhu juga mau pergi ?" Pit Leng Hong mengangguk, lalu ia memperlihatkan senyuman sedih, tangannya diangkat, dipakai untuk menunjuk kerumah keluarga In, Tidak lama kemudian, parasnya seperti membeku, ketika Siangkoan Thian Ya mengulurkan tangannya untuk meraba, tubuh gurunya itu sudah tidak ada napasnya lagi. . . . Mendadak saja anak muda ini merasakan dadanya sesak, pikirannya kacau, Ia ingin menangis dan menjerit, tetapi suaranya tak mau keluar, Tidak ada jalan lain, ia lalu menyingkapi tumpukan rumput, dan menggali tanah, kemudian didalam sana ia letaki tubuh gurunya, lalu diuruk, untuk ditutupi. . . "Tan Teng Hong! Tan Teng Hong!" mendadak Siangkoan Thian Ya ber-seru2 sendirinya, Itulah nama yang ia rasanya kenal baik, Siapakah yang pernah menyebutnya? Se-konyong2 terdengar suara tajam didalam rimba, lalu sebuah tubuh manusia terlihat mencelat, lari kearah rumah keluarga In. "So So!" berteriak Thian Ya, yang dapat mengenal tubuh orang itu, In So So tidak berpaling, dia lari terus, Rupanya dia telah dapat mendengar semua perkataannya Pit Leng Hong. Heran Thian Ya, "Kalau dia telah bersembunyi disini dan mencuri dengar pembicaraan kami, kenapa dia tidak mau menemui aku ?" Thian Ya tanya dirinya sendiri, Hati anak muda ini menjadi goncang, tubuhnya menggigil, Lantas saja ia lari, untuk menyusul In So So. . . ***** In Bu Yang menanti sekian lama, puterinya masih belum kembali, Ia membuka lebar jendela dan pintunya, untuk membuat sinarnya rembulan dapat memancar masuk, masuk bersama bayangannya pohon bwee, kedalam kamar tulisnya itu, Waktu itu si Puteri Malam sudah berada di-tengah2 cakarawala, menandakan hari sudah jauh malam Angin bersiursiur, membawa harumnya bunga bwee. In Bu Yang berdiam, pikirannya terlintas segala peristiwa yang telah berlalu, Ya, segala macam perbuatannya, ada yang baik, ada juga yang buruk, Bagaikan kilat, semuanya itu datang dan pergi, Dalam keadaan tidak karuan rasanya itu, ia mendengar tindakan kaki yang ringan, hingga ia terperanjat. "So So!. ." serunya, Lalu; "Ah!. . .kau. . ." Itu bukanlah So So, puterinya, tetapi adalah seorang lelaki yang tubuhnya kasar, yang usianya sudah lima puluh tahunan, Mukanya orang ini ada bekas luka goresan, kumisnya pendek dan kaku. In Bu Yang yang telah mengawasinya, segera ia mengenalinya, "Kaukah Siauw Koan Eng, pangcu dari Huiliong Pang! katanya. Orang itu mengangguk; "Ingatanmu masih bagus!" sahutnya, "Ketika kau menikah dengan Siocia kami, aku pernah gajak gijik membantu kamu, aku telah membantu mengatur pesta! Hanya, kau sekarang telah menjadi menantunya keluarga Bouw, kau bukan lagi menantu keluarga Tan! Ha, sungguh sukar bila kau masih ingat kami!" Itulah kata2 yang bernada sindiran. "Habis kau mau apa?" menanya Bu Yang, suaranya dingin. Siauw Koan Eng pangcu dari Huiliong Pang (partai Naga Terbang) menyahuti dengan sabar; "Maksud kedatanganku," katanya, "pertama, untuk meminta kitab ilmu pedang, dan kedua untuk meminta orang," In Bu Yang mendongak dan tertawa lebar. "Kembali datang seorang yang mau minta kitab ilmu pedang!" katanya nyaring, "Ha, apakah kaupun tepat memiliki kitab ilmu pedang itu?" Siauw Koan Eng tetap berlaku tenang, "Jikalau Siocia kami masih belum meninggal dunia, kitab ilmu pedang itu memang mesti menjadi miliknya," ia menjawab, "tapi karena kau sekarang adalah menantunya keluarga Bouw, sedang kitab ilmu pedang keluarga Bouw itu dapatnya dari hasil mencuri dari keluargan Tan, mana dapat kitab itu tetap berada ditangannya menantu dari musuhnya Tan Teng Hong? sedangkan Tan Teng Hong itu hanya mempunyai aku murid satu2nya!" In Bu Yang tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya. "Kitab ilmu pedang itu tidak mungkin aku dapat membawanya keliang kubur, meski begitu, tidak dapat aku kembalikan kepada kau! Sekarang tentang orang! Siapakah dia yang hendak kau minta aku serahkan?" "Pit Leng Hong!" sahut Siauw Koan Eng singkat. In Bu Yang bergidik dengan tiba2, Hanya sebentar, lantas ia tertawa pula ter-bahak2. Siauw Koan Eng menjadi gusar; "In Bu Yang, kau tertawakan apa?" dia membentak. "Aku tidak menyangka," menjawab Bu Yang, "Pit Leng Hong si-siluman begitu aneh tetapi masih mempunyai sahabat karib, dan kau sebagai sahabat yang kesudian mengurus jenazahnya!" "Apa?" tanya Koan Eng heran, "Apakah Pit Leng Leng telah mati?" In Bu Yang menyahutnya dengan tawar: "Pit Leng Hong telah terhajar olehku dengan Itci-sian, dan telah tertutup tujuh jalan darahnya, maka aku percaya dia tidak bakal sanggup keluar dari gunung ini, jikalau kau mencari dia, tak usah sampai satu harian, asal kau mengitari tempat ini sejauh sepuluh lie, pasti kau bakal menemukan mayatnya!" Matanya Siauw Koan Eng menjadi gelap secara mendadak, kemurkaan dan kedukaannya berkumpul menjadi satu, Sekonyong2 ia tertawa bagaikan kalap. "In Bu Yang, kau. . .kau bagus sekali, sudah menurunkan tangan jahatmu itu!" ia berseru, "Pit Toako, ah Pit Toako! Ingatkah kau dahulu kita telah menerima pesan dari guru yang baik hatinya dan bagaimana kita telah bersumpah, walau tubuh kita hancur lebur, kita akan dapatkan kitab Tat Mo Kiampouw itu? Kau memang adalah seorang ksarria, kau menepati sumpahmu! Hanya tidaklah kau duga, kau bukannya mati ditangan bangsat tua she Bouw itu, kau justru terbinasa ditangan mantu yang jempolan dari Tan Teng Hong, ditangannya In Bu Yang! Oh, guruku yang baik dan kau Pit Toako, mana dapat kalian di-alam baqa memeramkan mata? Pit Toako, kau sebagai orang luar tetapi kau mendahului aku mati, apakah dengan begitu tidak kecewa aku yang menjadi murid partaiku ?" Hebat suaranya Siauw Koan Eng ini, bagi pendengarannya Bu Yang itu adalah terlebih hebat daripada cacian, Akan tetapi, In Bu Yang juga baru sekarang mengerti duduknya persoalan, katanya dalam hati: "Aku menyangka Pit Leng Hong dan mertuaku tidak mempunyai sangkut pautnya satu dengan lain, aku heran kenapa diantara mereka ada sakit hati yang begini hebat, tak tahunya semua itu kiranya disebabkan oleh kitab ilmu pedang. . ." Dalam murkanya itu, Siauw Koan Eng menatap dengan mata tajam, In Bu Yang juga mengawasi, lalu dengan nada dingin dia bertanya: "Siauw Koan Eng, apakah benar2 kau hendak menempur aku?" Koan Eng tidak takut, dia menyambut tantangan itu, Sebenarnya Koan Eng bisa muncul disitu adalah untuk mencari puterinya, Setelah dia mengutus Ti Eng berempat, dia mendapat kabar bahwa Siangkoan Thian Ya berada bersama seorang yang bernama Tan Hian Ki, orang yang sedang dicari pihak pemerintah, sebab Tan Hian Ki dipandang sebagai pemberontak, setelah dia menerima kabar ini dengan perasaan khawatir, sebab Siangkoan Thian Ya dan Tan Hian Ki itu adalah sahabat-sahabat puterinya, Sekarang Hian Ki lagi dikepung2 pahlawan2 kaisar, Inilah barbahaya, Dia khawatir puterinya dipincuk Siangkoan Thian Ya, Kalau itu sampai terjadi, ada kemungkinan puterinya nanti akan celaka ditangan pahlawan2 kaisar itu, Dia juga khawatir Ti Eng berempat tidak nanti sanggup melindungi puterinya, Maka itu, dia melakukan perjalanan dengan ter-gesa2, Sebenarnya dia tak tahu bahwa In Bu Yang tengah mengasingkan diri digunung itu, Hanya, setelah memasuki gunung, secara tidak sengaja ia menemukan bekas jejak tongkatnya Pit Leng Hong. Dengan Pit Leng Hong, dia sudah lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu, tapi setelah melihat bekas tongkat itu, dia percaya sahabatnya itu juga berada didalam gunung ini, dan dia percaya pasti ada sebab2nya kenapa Pit Leng Hong itu bisa berada digunung ini. Oleh sebab itu, ia lantas mengikuti bekas jejak tongkat itu, untuk mencari sahabatnya, Diluar dugaannya ia telah menyusul sampai dirumahnya keluarga In, Maka bertemulah ia dengan In Bu Yang, Tapi, yang terlebih tidak disangka, disini ia mendengar kabar buruk tentang diri Pit Leng Hong, Prihal kematian diri sahabatnya itu. Ia adalah muridnya Tan Teng Hong, walaupun murid tidak resmi, namun Tan Teng Hong telah membantu dirinya, hingga ia menjadi pemimpin utama kaum Rimba Hijau dilima propinsi Utara, Maka itu, tentu saja ia selalu mengingat akan kebaikan dan kecintaan dari gurunya itu, oleh karenanya iapun selalu ingat akan pesan gurunya mengenai kitab ilmu pedang. Dan pula ia ingat Pit Leng Hong walau sebagai orang luar, tetapi Pit Leng Hong telah mengorbankan dirinya, Dilain pihak, ia merasa muak terhadap In Bu Yang, Orang she In ini adalah Mantu keluarga Tan, kenapa samapai ia melupakan ikatan keluarga itu? Kenapa, selain sudah menikah dengan puterinya Bouw Tok It, dia juga membinasakan Pit Leng Hong? Maka itu naiklah darahnya, ia tidak menghiraukan lagi akan hidup matinya! Demikian katanya: "Sekali pun Bouw Tok It aku tak takut, kenapa aku mesti jeri terhadapmu?" dia berteriak, "Baiklah! Jikalau kau benar mempunyai kepandaian, ayo! kau binasakanlah aku sekalian!" Dia menatap muka orang, hingga dia dapat melihat bekas luka diwajah Bu Yang, luka bekas goresam pedang, In Bu Yang mengawasi dengan sikapnya yang dingin, yang memandang ringan. "Kau hendak menuntut balas untuk Pit Leng Hong?" katanya, "Nah, inilah saatnya yang paling baik! Eh, mengapa kau masih tidak mau turun tangan ?" Siauw Koan Eng berseru keras, bersamaan dengan itu sebelah tangannya diangkat lalu diayunkan kebawah dengan jurus "Menggempur gunung Hoa San," ia arahkan batok kepala sebagai sasaran, Ia menyadari bahwa ia bukanlah tandingan In Bu Yang, maka itu ia telah mengerahkan segenap tenaganya, untuk menyerang antara hidup dan mati, atau se-tidak2nya akan terluka bersama. Atas ancaman bahaya itu, In Bu Yang tidak bergerak, ia terus duduk diam, tanpa menangkis, tidak berkelit, dan wajahnya tidak wajar. Melihat itu, Siauw Koan Eng menjadi heran, hingga ia membatalkan serangannya, lalu ia mengawasi, maka segera terlihat olehnya perubahan atas wajah Bu Yang itu, yang sekarang parasnya menjadi matang biru tipis dan sinar matanya menjadi guram, mirip dengan matanya bangkai ikan. Ah!" ia berseru akhirnya. "Kau pun telah terhajar Hanim Citsat-ciang dari Pit Leng Hong?" "Maka itu, aku mengatakan bahwa inilah saat yang paling baik untukmu!" menjawab Bu Yang sambil tertawa menyeringai. "Kenapa kau masih tidak mau turun tangan? Jikalau kau berhasil membunuh aku, aku tanggung namamu bakal menggemparkan Rimba Persilatan, dan semenjak hari ini hingga seterusnya, kaulah orang gagah satu2nya dikolong langit ini!" Siauw Koan Eng merasa ragu, tangannya itu berhenti diatas kepalanya In Bu Yang, Ia sendiri adalah seorang jago kangouw, dan selalu menganggap dirinya gagah, karena itu mana dapat ia menurunkan tangan kepada seorang yang tak bersedia untuk melawannya, apalagi lawannya itu adalah seorang jago yang tengah menderita luka parah? Namun, jikalau ia benar2 melewatkan kesempatan emas ini, dibelakang hari ia pasti akan mengalami kesulitan, Bagaimana kalau nanti In Bu Yang dapat sembuh dari lukanya ini? Siapa nanti yang dapat mengalahkan dirinya? Tidak dapat Siauw Koan Eng bersangsi lama2, Akhirnya ia berseru: In Bu Yang, jangan kau memancing kemarahanku! Biarlah dunia mentertawakan diriku, tapi hari ini, aku mesti membinasakan kau, seorang manusia tak berbudi!" Sambil berseru begitu, ia gerakkan pula tangannya. Tepat disaat yang kritis itu, mendadak terdengar suara seruling yang seakan datang dari tempat yang jauh. . . Awalnya, suara itu halus terdengar, lalu nadanya dengan cepat berubah menjadi tinggi, kemudian iramanya berubah lagi, seperti gembira bercampur duka, bagaikan orang menangis ter-sedu2, mirip tangisan janda yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya, dan dilain saat lagi, suara itu dingin bagaikan es membeku. . . . Selagi suara seruling itu merayu-rayu, wajah Siauw Koan Eng pun menjadi pucat sekali, karena dihadapannya, ia melihat tubuh In Bu Yang bergemetar keras, menggigil seluruhnya, Mana ia dapat menghajar lawan dalam keadaan seperti itu? Se-konyong2 Siauw Koan Eng menjerit tajam, tubuhnya melompat keluar, sedang In Bu Yang tetap duduk berdiam bagaikan patung batu yang tak bernyawa. Tiba diluar, Koan Eng memanggil nyaring dengan suara menggetar: "Toa. . .toasiocia, ini..ini.. apakah ini mimpi belaka?. . ." "Ya, apakah ini adalah impian?" demikian terlintas dipikiran In Bu Yang. Itulah suara seruling yang dikenal baik, yang mengingatkan Bu Yang pada saat2 dari tigapuluh tahun yang telah lampau Ketika itu ia bersama Tan Soat Bwee ber-main2 dengan gembira dan asyik, Soat Bwee yang tengah gembira meniup seruling. . . Akan tetapi ini bukanlah mimpi, ini adalah kenyataan. Sesaat kemudian, terdengarlah satu suara, suara yang menggoncangkan hati. "Bukan, ini bukanlah impian. . .Yang benar adalah aku telah kembali. . .Kau datang kesini, apakah yang kau cari?" demikian suara itu, jawaban yang merupakan pertanyaan juga. "Aku. . .aku. ." sahut Siauw Koan Eng. "Kitab ilmu pedang. . .Pit. .Pit Leng Hong. . .Dia bersama aku telah menerima pesan terakhir dari ayahmu, untuk mendapatkan kembali Tat Mo Kiampouw, dan diserahkan padamu, Pit. . .Pit Leng Hong. .dia mati karena mencari kitab ilmu pedang itu. . ." Tidak tegas kata2nya Koan Eng, suaranya pun menggetar, suatu tanda betapa tegangnya perasaannya, Kalau dia berkhawatir, Sebaliknya In Bu Yang sangat ketakutan, dia sampai seperti merasakan telah hilang kesadarannya. . . Dalam kehidupannya, In Bu Yang telah mengalami entah berapa banyak ancaman bahaya, entah sudah berapa banyak pula musuh tangguh yang dia hadapi, tetapi belum pernah dia merasakan saat yang seperti ini, sekarang ini dia merasa menjadi begini lemah dan tak berdaya, Selamanya belum pernah ada seorang pun seperti wanita ini yang dapat membuatnya demikian takut, Inilah wanita yang pernah sangat menyintainya, tetapi sekarang dia merasakan takut yang luar biasa, sedangkan sebelumnya, tidak pernah seharipun ia tidak mengingat wanita ini, tetapi sekarang begitu si wanita muncul, ia menjadi takut terhadapnya! Diluar terdengar suaranya Siauw Koan Eng, samar2 dan menggetar: "Siocia, karena kau sudah datang, tidak usahlah aku mencapaikan diri lagi meminta kitab ilmu pedang itu, hanya sayang, kau telah datang terlambat satu tindak, karena kitab itu, Pit Leng Hong telah berkorban jiwa." "Apa, Pit Leng Hong?" bertanya si wanita, "Apakah dia Giokbin Kayhiap si Pengemis Mulia- Berwajah Kumala? Ah, kitab ilmu pedang itu entah telah mencelakai berapa banyak orang. . ." Wanita ini tidak begitu berduka mendengar kematiannya Pit Leng Hong, sebab dia datang untuk suatu urusan lain. Siauw Koan Eng menghela napas perlahan, Ia mengetahui juga sedikit tentang perasaan hatinya Pit Leng Hong, maka ia tidak menyangka si wanita yang Pit Leng Hong cintai itu, sedikit pun tidak mengetahui isi hati orang, bahkan namanya pun hampir telah dilupakan. . . "Kalau begitu, Siocia, biarlah aku pergi lebih dulu," kata ia pula, "Aku masih hendak menolong Pit Leng Hong mengurus jenazahnya itu." "Baiklah, kau boleh pergi," menyahut si wanita, yang dipanggil Siocia (Nona) itu, "Anak perempuanmu baru saja ber-sama2 Ti Eng dan Ti Pa sekalian pergi turun gunung. . ." "Oh, begitu?" kata Koan Eng agak kaget. "Jadi benar Un Lan ada disini?" Habis berkata, dia lalu melompati tembok pekarangan, dan lantas meninggalkan rumah In Bu Yang itu. Tindakan Siauw Koan Eng yang berat dan cepat itu dirasakan Bu Yang seperti menginjak hatinya. Dengan kepergiannya Koan Eng, maka disitu tinggallah si wanita seorang diri, Suara langkahnya lantas saja terdengar perlahan, Dia tengan berjalan masuk kedalam kamar, Tangannya memegang seruling kumala, bajunya putih laksana salju. Dimatanya Bu Yang, sidia masih seperti dahulu, ketika dia berjalan mondar mandir diantara pohon2 bwee itu, Yaitu sehabis meniup sebuah lagu, lalu ia akan ber-jalan2, perlahanlahan, Sudah duapuluh tahun mereka berpisah hidup ibarat bercerai mati, namun terlihat lagi sekarang wajahnya tetap tidak berubah, hanya gerak-geriknya sedikit beda, tidak seperti dulu lagi, Dahulu dia adalah seorang Nona yang lincah, tetapi sekarang alisnya yang kecil berkerut karena menanggung duka, Ia tidak berani mengawasi dia, ia tidak berani menatap sinar matanya itu... Sinar mata yang tajam, melebihi tajamnya pedang Kungo-kiam, yang membuat orang lain tak dapat menatapnya, Wanita itu berjalan terus, setindak demi setindak, hingga berada didepannya. Siapakah wanita ini? Dialah Tan Soat Bwee, isterinya yang terdahulu, atau isteri pertamanya si In Bu Yang! Benarkah itu? Bukankah dahulu In Bu Yang telah menyaksikannya dengan kepala dan matanya sendiri, tubuh isterinya itu telah digulung gelombang sungai Tiangkang, dan dibawa hanyut pergi? Tetapi sekarang bagaimana dia dapat muncul disini dengan tidak kekurangan sesuatu apapun, dan dengan keadaan sehat walafiat. "Bu Yang, kau baik," katanya, "Ya, kau baik. . ." Bu Yang berseru, "Soat Bwee! Kau. . .kau. . ." Dia hendak melompat maju, tetapi dia terhalang oleh tatapan mata dingin dari wanita itu. Keduanya berdiri diam, sinar mata mereka bentrok, Cinta dan penasaran mengaduk menjadi satu- dalam hati Soat Bwee, Beberapa saat kemudian, baru ia berkata, perlahan sekali; "Kau tentunya telah menyangka sudah lama aku telah terbinasa, hanya sayang Thian (Tuhan) tidak sudi menuruti pengharapanmu itu, Aku masih belum mati! Apakah kau menyesal dan putus asa? Aku tahu, sekarang ini kaulah ahli pedang nomor satu dikolong langit ini, maka itu kau hunuslah Kungo-kiam, kau boleh bunuh lagi diriku!" "Soat Bwee! Soat Bwee!" kata Bu Yang, suaranya bergemetar. "Sudahlah, kau jangan mengucapkannya lagi. . ." Tapi Tan Soat Bwee tertawa dingin, "Haha! In Bu Yang yang menganggap dirinya orang gagah, ahli pedang yang terbesar, juga tahu takut! Pada duapuluh tahun yang silam, kau telah joroki aku tercebur kedalam sungau Tiangkang, waktu itu kau sedikitpun tidak terlihat jeri, maka kenapa sekarang kau takut?" Bu Yang mukanya pucat pias bagaikan mayat, tubuhnya menggigil, mulutnya ber-gerak2, seperti ia hendak mengatakan sesuatu, ia telah mencobanya, tetapi gagal, Kata2nya itu tercegah suaranya Tan Soat Bwee, suara yang mengandung kemarahan; "Apakah kau takut aku bicara?" demikian isteri itu, "Aku justeru hendak membuka mulutku! Ketika dahulu waktu kau joroki aku kedalam sungai Tiangkang, tahukah kau apa yang ada didalam pikiranku kala itu? Hari itu junjungan kita bertempur mati2an dengan Cu Goan Ciang, kau bersama aku telah merampas sebuah perahu kecil, diantara gelombang yang dahsyat, terjadi hujan anak panah yang deras dan kita menerjang keluar, Aku telah terkena panah beracun dari musuh, napasku tinggal satu2, Ketika itu aku berpikir, walaupun kau sering mengatakan padaku bahwa kita akan selalu sehidup semati, tetapi waktu itu hatiku tak tega mengajak kau mati bersama... Aku melihat kau juga terluka, sedang waktu itu perahu kita hampir terkejar musuh. . . Ketika itu aku merasakan sangat bahagia, aku berani bersumpah kepada Tuhan. . .bahwa ketika itu aku menyintai kau melebihi daripada aku menyayangi diriku sendiri, lebih berlipat seratus kali, mungkin juga seribu kali! Ketika itu aku menguatkan diriku, aku pergi keluar perahu, niatku untuk terjun kedalam sungai, agar kau dapat terluput dari kejaran musuh, Akan tetapi kau. . .adalah waktu itu, kau telah muncul dan berada dibelakangku. . .Aku menyangka kau dapat menerka maksud hatiku, dan kau hendak mencegah aku mencebur, tetapi siapa duga, kau justeru menolak punggungku, kau menolak dengan kuat hingga membuat aku tercebur kedalam gelombang sungai Tiangkang itu! Haha, In Bu Yang! Coba kau terlambat sedikit saja menjoroki aku, sudah pasti aku telah melompat kedalam air, waktu itu tentulah aku akan mati dengan rela, karena aku mati untuk orang yang kucintai, Tapi sekarang, aku belum mati, sebaliknya kau, kau telah mati dalam hatiku!" Muka Bu Yang dari biru menjadi pucat, dari putih menjadi merah, dan dari merah kembali putih pula. . .ia berganti rupa beberapa kali, Dan beberapa kali ia mau membuka mulut, tetapi selalu gagal, Akhirnya, dapat juga ia berkata perlahan; "Kalau aku mengingatnya sekarang, sungguh aku ingin mati waktu itu. . .Ya, selama dua puluh tahun ini, aku telah membuatnya kau sengsara, tetapi aku sendiri, mana pernah aku hidup bahagia? Setiap hari, setiap malam, aku selalu menegur diriku sendiri, aku tersiksa liangsim- (hati nurani)ku, Kesengsaraanku itu mungkin terlebih hebat daripada siksaan dalam delapan belas tingkat Neraka, Tidak, aku tidak berani memohon maaf dari kau! Nah! kau cacilah aku, kau cacilah secara hebat, sesukamu!. . ." Tan Soat Bwee terus tetap bersikap dingin, tapi pada sinar matanya terlihat masih ada sisa dari rasa kasih sayang saat ia menyapu pada wajah suaminya itu, Dan ia tidak membuka mulutnya meski Bu Yang meminta ia mencacinya. "Kau tidak sudi mencaci aku, aku akan mencaci diriku sendiri," berkata pula Bu Yang, "Soat- Bwee, tahukah kau apa yang aku pikir waktu itu? Ya, Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, kau masih memikir untuk aku, sedangkan aku, aku memikir untuk diriku sendiri! waktu itu kau terluka parah, aku merasa bahwa aku tidak akan sanggup menyelamatkan kau, maka aku berpikir: 'Daripada kau ditawan musuh, hingga kau bakal menderita siksaan dan sengsara, lebih baik kau kupendam dalam ganasnya gelombang sungai Tiangkang itu,' Pikiranku itu sebenarnya adalah pikiran untuk menghibur diri sendiri, semuanya palsu belaka, Sebenarnya aku mempunyai maksud lain, Maksud yang aku tidak dapat mengatakan untuk menjelaskannya, Sebenarnya aku takut mati, dan aku tamak akan kehidupan, disaat yang genting dan berbahaya itu, aku melepas kewajibanku melindungi isteri, aku hanya berpikir bagaiamana cara meloloskan diri sendiri, bahkan aku berpikir, setelah kau menutup mata, aku akan menjadi ahli pedang nomor satu dikolong langit ini! Memang, banyak orang2 yang menganggap aku adalah seorang yang gagah perkasa, tetapi mana mereka tahu, bahwa hatiku sebenarnya busuk sekali! Disaat yang kritis seperti itu, aku justru menjoroki kau kedalam sungai! Dan aku telah mengambil pedang pusakamu! Didalam kepungan musuh, aku menerobos keluar, belum lagi pakaianku kering, aku telah lari pergi mencari Bouw Tok It, Semua itu aku lakukan untuk kepentingan diriku sendiri, agar aku dapat menjadi jago pedang yang utama, Ya, Soat Bwee, kau cacilah aku, kau cacilah!" Air matanya Tan Soat Bwee mengalir turun, tetes demi tetes, Ia tidak menyangka bahwa In BU Yang akan memberikan pengakuannya itu, Maka hatinya yang lembut dan mulia, lantas hendak memaafkannya, Tapi ia masih dapat menguasai dirinya, Dan ia tertawa dingin. "Maka dengan begitu jadilah kau menantunya keluarga Bouw itu!" katanya tajam, "Ha, aku sampai lupa! Sampai sekarang ini, aku masih belum melihat pengantinmu yang baru itu! Mana pengantinmu itu?" Soat Bwee bukannya tidak tahu, Waktu telah lewat duapuluh tahun, Bu Yang dan Poo Cu telah menikah lama, tetapi kata2 "pengantin" itu telah keluar dengan sendirinya. In Bu Yang tertawa sedih. "Dia?" katanya. "Dia sudah pergi. . .Siapa yang mementingkan dirinya sendiri, lambat laun dia pun bakal disia2kan oleh orang lain. . .Kau menganggap aku telah mati, maka dia. . .dia tentu telah menganggapnya aku telah mati juga. . .Aku ingat, seumur hidupku, belum pernah aku memuji didepanmu, memuji wanita yang kedua, akan tetapi sekarang tidak dapat aku tidak mengatakannya, Sesungguhnya, Poo Cu mirip dengan kau, dialah seorang nona yang baik sekali, tetapi aku, dengan segala kepalsuan aku telah menipu dia, aku telah menipunya untuk kepentinganku menyuruh dia mencuri kitab ilmu pedangnya Bouw Tok It! Itulah aku, dari isteriku yang pertama telah aku dapatkan pedang mustika nomor satu dikolong langit ini, dan dari isteriku yang kedua, aku memperolehnya kitab ilmu pedang yang tidak ada tandingannya dalam dunia ini! Dengan begitu jadilah aku jago pedang nomor satu didalam dunia, Tapi akibatnya, aku kehilangan cintanya kedua isteriku. . .Ah, kitab ilmu pedang itu masih mempunyai ceritanya sendiri yang ber-liku2, Sebenarnya, Soat Bwee, kitab itu adalah kitab milik ayahmu, maka sekarang didalam dunia ini, kau pemilik yang sah dari kitab itu!" Soat Bwee tertawa dingin. "Aku telah sangat menderita, duapuluh tahun aku menanggung penasaran," ia berkata, "sekarang aku datang mencari kau, apakah kau anggap aku datang untuk kitab ilmu pedang itu?" Bu Yang mementang semua pintu dan jendela. "Aku menginsafi bahwa kesengsaraanmu itu tak dapat kutebus," ia berkata, perlahan sekali, "Selama duapuluh tahun ini, aku selalu memikirkan daya untuk mengurangi penderitaanku, tetapi selama ini belum pernah aku berhasil menebus dosaku, Hanya, aku tahu, tidaklah sukar untuk kau mengetahui isi hatiku yang se-benar2nya, Nah, cobalah kau melihatnya! Itu bunga bwee diluar jendela! Cara mengaturnya kamar tulis ini! Semuanya itu aku mengikuti caramu!" Mau tidak mau, Soat Bwee memandangnya, Diluar terlihat sisa2 pohon bwee yang daun2nya telah rontok, tetapi dicabangnya masih ada beberapa kuntum bunga itu, Iapun memandang ke sekeliling kamar tulis itu, Ia memandangnya tanpa mengeluarkan suara. In Bu Yang melanjuti: "Aku telah mengajarkan anak perempuanku memasak sayur yang biasa paling kau sukai, aku menyuruhnya membuat pakaian yang paling kau gemari, Sekarang dia telah berusia delapan belas tahun, Tanpa terasa aku telah mengajari dia, hingga dia menjadi mirip dengan kau, hatinya begitu lembut, begitu jujur, dalam kehidupannya dia tidak mengetahui bahwasanya dunia ini begitu kotor, Itu disebabkan aku ingin selalu melihat bayanganmu didalam dirinya!" Dengan sangat perlahan Soat Bwee mengucapkan sesuatu, Kata2nya Bu Yang ini sangat menyentuh hatinya, Sebenarnya ia sangat bersedih, tetapi iapun lega dan terhibur, maka tanpa merasa, buyarlah sebagian dari rasa penasarannya. "Benarkah itu?" katanya perlahan, "Kau pun telah mempunyai seorang anak perempuan?" Bu Yang mengangguk, "Kau tunggu sebentar," katanya, "dia akan segera pulang." Tapi, tiba2 Soat Bwee merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan hatinya. "Bu Yang!" katanya tajam, "Tahukah kau, kenapa malam ini aku datang mencari kau? Tahukah kau apa yang ada dalam pikiranku? Sebenarnya aku telah bersumpah, selama sisa hidupku ini, tidak sudi aku melihat kau lagi, aku juga tidak menghendaki kitab ilmu pedang itu, akan tetapi aku telah melanggar sumpahku itu! Kau tahu, ini semua kulakukan demi anakku, untuk seorang anak laki-laki2!" In Bu Yang terkejut. "Apa?" katanya. "Anak laki2mu? Oh, jadi kita mempunyai seorang anak laki2 ? Tan Soat Bwee mengangguk perlahan, "Disaat kau menjoroki aku kedalam sungai Tiangkang, aku tengah mengandung dua bulan," menerangkan isteri ini. Bu Yang menjerit, dia berjingkrak, lantas dia memukul dadanya, Air matanya pun segera bercucuran deras. "Aku pantas mati, aku pantas mati!" ia men-jerit2. "Oh, hampir akupun membinasakan anakku sendiri. . ." Amarahnya Tan Soat Bwee bangkit kembali. "Dia bukanlah anakmu!" katanya sengit, dan dingin. "Seumur hidupnya dia belum mengetahui bahwa dia mempunyai seorang ayah seperti kau!" "Ya, memang benar demikian," kata Bu Yang, perlahan. "Memang aku tidak lagi mempunyai muka untuk menjadi ayahnya. . ." "Selama duapuluh tahun, aku sendiri yang memelihara dan merawat dia," berkata Soat Bwee, "akulah yang telah mendidik dia menjadi seorang manusia yang hatinya putih bersih, Dia dengan kau sudah tidak ada hubungan apa2! Aku telah mengatakan padanya, bahwa ayahnya telah lama mati!" Hati Bu Yang terasa sakit bagai di-sayat2, Tidak berani ia memandang sinar mata isterinya itu, Setelah ia terdiam sekian lama, beberapa saat kemudian baru ia membuka mulutnya. "Soat Bwee, aku mengerti kau, "ia kata. "Kau tidak menghendaki ia mengenali ayah semacamku ini, Memang aku tidak pantas menjadi ayahnya! Sekarang aku hanya ingin minta kau dapat menceritakan sesuatu tentang anak itu, kemudian biarlah aku akan melihat dia, untuk satu kali saja. . .Ah, kita sudah berpisah duapuluh tahun lamanya, kalau di-hitung2, dia tentu telah berusia duapuluh tahun juga, Selama duapuluh tahun itu bagaimana kehidupan kalian ibu dan anak?. . ." Hati Soat Bwee tercekat. "Ya, mungkin mereka bakal bertemu juga," pikirnya, Ia mengawasi suaminya itu. Bu Yang berada didepan jendela, berdiri diam, wajahnya basah dengan air mata, tangannya memegang sebatang cabang pohon bwee, agaknya dia menahan tubuhnya dengan mengandalkan pohon bwee itu, kemudian ia menghela napas. "Jikalau bukan karena dia, tidak nanti aku hidup sampai sekarang ini," ia berkata sesaat kemudian. "Ketika kau joroki aku kedalam sungai, walaupun aku terluka parah, aku berupaya melawan arus yang dahsyat, disebabkan untuk melindungi dia, Aku bergulat melawan gelombang, dan akhirnya aku berhasil menyelamatkan diriku, Demikian, bersama dia aku hidup, kami bersama hidup selama duapuluh tahun ini. . . Selama duapuluh tahun itu, aku mengajari dia ilmu surat, aku juga ajari dia ilmu silat dan jurus pedang, Semua paman2nya adalah bekas rekan2mu dulu, semuanya turut menurunkan ilmu silatnya, Duapuluh tahun aku hidup menyembunyikan diri, tidak ada seorangpun juga yang mengetahui aku masih hidup dalam dunia ini. . ." Bu Yang terkejut, "Semua bekas rekanku mengajari dia ilmu silat?" ia menanya. "Benar! Tapi mereka tidak tahu, bahwa dia adalah anakmu," sahut isteri itu. "Aku hendak menjadikan dia seorang yang berkepandaian tinggi, maka dengan membekali warisan bekas junjunganku, aku memerintahkan dia pergi mencari Ciu Kong Bit, dan Ciu Kong Bit menganggap dia adalah anaknya bekas rekannya, melihat dia cerdas dan nyali besar, dia sangat disayangi, oleh paman2 lainnya, mereka juga memberi ilmunya dengan sungguh2. Ya, sekarang aku baru mengerti, semua pamannya itu, bekas rekan2mu semua, ternyata juga mempunyai maksud tertentu. . ." Ciu Kong Bit itu adalah kepala dari bekas pengikutnya Thio Su Seng, setelah runtuh sang junjungan Thio Su Seng, dia menyembunyikan diri, tetapi dia tetap ber-cita untuk bangkit kembali, guna melanjutkan angan2 besar dari junjungannya itu. Tubuh Bu Yang gemetaran. "Apa maksud dari mereka itu?" ia bertanya. Soat Bwee tertawa dingin. "Mereka bermaksud menyuruh dia membunuh kau!" sahutnya. "Apa? Dia hendak membunuh aku?" Bu Yang menegaskan. "Mereka itu tidak tahu bahwa dia adalah anakmu," kata pula Soat Bwee. "Tetapi mereka tahu Cu Goan Ciang mau mengundang kau turun gunung!" Bu Yang menjadi sangat bernapsu. Cepat bilang, Cepat!" desaknya, "Siapakah namanya anak kita itu?" "Aku tidak menghendaki dia she In, aku ingin dia memakai she-ku," sahut sang isteri. " Dia bernama Tan Hian Ki! Bukankah dia pernah datang dirumahmu ini? jikalau bukan karena dia, tidak bakalan aku datang kegunung Holan-san ini! Eh, eh, Bu Yang, kau. . .kau kenapakah?" Tubuh Bu Yang mendadak limbung, tanpa berdaya dia roboh terbanting, mukanya pucat sekali bagaikan mayat. "Oh, Thian!. . ." keluhnya tajam. Sekarang mengertilah Bu Yang akan segalanya, Tan Hian Ki itu adalah puteranya sendiri, Tetapi Tan Hian Ki juga adalah pemuda yang sangat dicintai puterinya! maka inilah pukulan sangat hebat untuknya. Soat Bwee heran bukan main, ia kaget bukan kepalang, Kenapa suaminya itu roboh? Kenapa dia bisa pingsan secara demikian mendadak? Tanpa pikir panjang, ia menubruk suami itu, untuk disadarkan dirinya, Setelah duapuluh tahun, inilah kali pertama tangannya kembali menyentuh tangan suami itu, Dan tangan itulah yang pada duapuluh tahun yang lalu menjoroki dia tercebur ketengah gelombang sungai Tiangkang! sesaat kemudian Bu Yang sadar, Saot Bwee hendak menarik pulang tangannya, tapi mendadak ia merasakan tangan Bu Yang itu dingin sekali, Ia lalu menatap Bu Yang juga menatap dirinya, maka kedua mata mereka bentrok satu dengan lainnya. Soat Bwe melihat wajah Bu Yang sangat guram, sinar matanya merah tua, "Kenapa?" tanyanya. "Apakah kau terluka parah? Mengapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?" Soat Bwee adalah seorang ahli silat, ia mengerti luka yang didapat Bu Yang tak dapat diobati lagi, Saat itu, buyarlah segala budi, dan segala sakit hati, Ia dapat merasakan bagaimana tangan Bu Yang meng-usap2 tangannya, mengusap dengan perlahan seperti duapuluh tahun yang lampau itu. . Hati Bu Yang telah dilimpahkan semua kepada anak gadisnya, "Kalau So So ketahui ini. . ." pikirnya, Ia tidak berani memikirnya, "Syukur So So belum pulang. . ." Tan Hian Ki dan In So So adalah anak Bu Yang, dan kedua anak itu saling menyintai! Kalau saja mereka sampai menikah, menjadi suami isteri!. . . Ia menguatkan hatinya, ia mencoba bangkit bangun, Lalu ia berkata keras: "Soat Bwee, Lekas! cepat! cepat kau bawa dia pergi!" Tapi Soat Bwee bingung, tak dapat ia memahami hati suami itu, Ia tidak menginsafi luka hati suami yang sangat hebat berlipat ganda, daripada luka hatinya sendiri. Soat Bwee menjublak, Ia melihat tubuh Bu Yang itu gemetaran, lalu ia melihat mata Bu Yang itu diarahkah kepembaringan didalam kamar tulis itu, Dan kelambu pembaringan itu mendadak bergerak sendirinya, Segera satu pikiran melintas dikepalanya. "Apa?" serunya, ""Hian Ki disini?" Hian Ki baru saja sadar, ia membuka matanya dengan perlahan2, ketika ia menyingkap kelambu, justru ia melihat ibunya menghampiri dirinya, Bermimpikah dia? Ia lantas menggigit jari tangannya! Oh, tidak! Ia sadar! Soat Bwee girang bercampur sedih, "Hian Ki! Hian Ki!" serunya, "Kau baik?" "Baik, ibu!" sahut anak itu cepat. "Aku terluka dari Lo Kim Hong, lalu aku, ditolong oleh dia! dan Hian Ki menunjuk kepada Bu Yang. Soat Bwee melirik suami itu, ia berkata dengan dingin, "Kiranya kau. . .kau juga. . . Sebenarnya hendak Tan Soat Bwee mengatakan, ". .kau juga masih mempunyai kasih sayang seorang ayah. . ." akan tetapi ia menjadi terkejut sekali, Ia melihat mata Bu Yang mendelik, tangannya di-ulap2kan, lalu ia berseru dengan suara serak: "Cepat kalian pergi, lekas! Pergilah yang jauh, untuk selama2nya jangan kalian menginjak lagi gunung Holan-san ini. . ." Tiba2 saja, Soat Bwee menjadi gusar, "Bagus ya!" ia berseru. "Kau mengusir kami! Duapuluh tahun kami ibu dan anak hidup bersama, siapa. . .siapa. . ." Bu Yang menguatkan hatinya, ia memotong: "Sudah, jangan bicara lebih jauh! Lekas pergi, cepat!" Dalam gusarnya Soat Bwee heran. "Dia ketakutan! Apa yang dia takuti?" pikirnya. Hian Ki juga heran bukan kepalang. "Selama duapuluh tahun ibu tidak pernah keluar dari rumah, kenapa sekarang ibu bisa kenal In Bu Yang?" Ia melihat sikap yang luar biasa diantara ibunya itu dengan In Bu Yang, ia menjadi heran pula, Inilah sangat mengherankan, Suasana saat itu sangat tegang, Maka, dari bergirang, Hian Ki jadi menggigil sendirinya. "Anak Ki, mari kita pergi!" tiba2 Soat Bwee berkata, Anak itu dicekal tangannya oleh ibunya, tetapi Hian Ki berontak, Ia tampaknya sangat bingung. "Tidak," katanya perlahan, "Aku mau menanti pulangnya So So. . .Ibu, kau tentu akan menyukai dia. . ." Hati Soat Bwee terkesiap, Hendak ia bertanya, "Siapa, itu So So?" Tetapi puteranya telah maju dua tindak, mendekati Bu Yang, dengan sinar mata memohon, ia kata perlahan: Kau telah menjanjikan aku, agar So So mengikuti aku pergi, maka itu aku hendak menantikan dia kembali, sampai dia kembali!" Kata2 itu terdengar oleh Soat Bwee bagaikan Halilitar, Tengah ia bingung , ia melihat wajahnya Bu Yang pucat bagaikan mayat, tubuh Bu Yang limbung, Justru pada saat itu, terdengar Hian Ki menjerit tajam, matanya tertuju keluar kamar, Disana, dibawah pohon Bwee, satu bayangan orang berkelebat melintas, terlihat ujung baju melambai diantara sambaran angin. "So So! So So!" Hian Ki memanggil, "Ibuku. . . ." Mendadak kata2 ini terhenti, Ia kaget, ia melihat wajah So So sangat pucat, seperti orang yang sangat ketakutan, seperti hatinya sangat terluka, Semuanya itu tampak nyata disinar matanya si Nona. Hian Ki menjadi sangat bingung, "So So!. . ."ia memanggil lagi, Tapi ia tidak dapat meneruskannya. So So menutupi mukanya, dia menjerit hebat, lantas dia berlari, pergi. Hanya meninggalkan suara tangisannya yang ter-gerung, yang masih terdengar. . . Soat Bwee berdiri menjublak, tenaganya seperti habis, Sekarang mengertilah dia akan segala apa yang terjadi, Hanya Hian Ki yang masih bingung, yang masih gelap, Tapi ia ingat akan So So, maka iapun lari tanpa memikir lagi, menyusul! Ia telah melompati tembok pekarangan, tanpa ibunya dapat mencegah dirinya, sebab ibunya saat itu tak dapat lagi menggerakan kakinya. . . Pada saat bersamaan, terdengar pula jeritannya Bu Yang, dan tubuhnya terus roboh, dari mulutnya terdengar keluhan: "Inilah dosaku. . .Inilah dosaku. . ." Suaranya itu makin lama makin lemah. Soat Bwee merasakan tubuhnya beku, ia memaksa membuka kedua matanya, Ia pun memaksa untuk bergerak, menghampiri suami itu, Ia tidak berani memikir, ia tidak berani membuka suara juga.. "Biarkan mereka pergi. . ." kata pula Bu Yang, "biar mereka pergi. . Aku minta kau bakar rumah ini, lantas kau bawa pulang abuku ke Kanglam. . .Aku tidak mau dikubur ditempat yang melukakan hati ini. . ." Sampai disitu, suaranya tak lagi terdengar nyata, Sebenarnya dia masih dapat bertahan hidup lagi tiga hari, tetapi pukulan bathin yang diterimanya hebat sekali, dan dia tak kuat menahannya, Maka itu, jago pedang nomor satu dikolong langit ini, saat itu juga telah berpulang kedunia lain, matanya tertutup rapat tak melihat lagi. . . Itulah berpisah mati, bercerai hidup selama duapuluh tahun, dan sekarang, berpisah untuk se-lama2nya, tak bakal bertemu lagi. . . . Maka Soat Bwee tidak tahu ia menyintai atau ia membenci, ia seperti lagi bermimpi. . Suaminya, puteranya. . . Suaminya, puteranya. . .Kemana mereka pergi. . .Hatinya sangat kusut, sangat pepat, menangis pun tidak ada air matanya, Ia merasa lebih celaka, lebih sakit hati, daripada saat ia dijoroki Bu Yang kedalam gelombang sungai Tiangkang itu. . .Hebat sangat pukulan ini, maka iapun menjerit, tubuhnya roboh disamping tubuh Bu Yang. . . . Digunung Holan-san masih ada dua orang lagi, yang sangat sakit hatinya, Mereka adalah In So So dan Tan Hian Ki, Hampir So So tidak dapat bertahan, tetapi ia berlari terus, ia lari untuk menyingkir dari Hian Ki, Ia telah tahu segala. . . . Diantara angin yang ber-tiup2, terdengarlah jeritannya Hian Ki, jeritan yang keluar dari tersayatnya hati: "So So, So So! Kau tunggu aku! So So, meskipun kau tidak sudi memperdulikan aku lagi, kau haruslah mengucapkan sepatah kata. . ." Tapi So So tidak mau berhenti lari, tidak mau dia berpaling, Diantara mereka hanyalah sang angin yang menjadi pesuruh mereka, untuk menyampaikan jeritan Hian Ki itu dan tangisannya So- So. . . . Hati Hian Ki sangat kalut, samar2 ia merasakan duduknya persoalan, tapi ia penasaran, ia ingin mengetahui dengan jelas, Ia melihat bulan begitu indah, ia seperti mendengar pula nyanyian So- So tinggi diatas gunung, tapi malam ini, alam itu sama seperti sediakala, Hanya So So yang lenyap. . . . Hian Ki mengejar terus, se-kuat2nya, Makin lama, terpisahnya ia dengan So So semakin dekat. "So So," ia berkata, "kau mengatakan, didunia ini hanya akulah orang yang terdekat denganmu, yang paling rapat, bahwa selanjutnya, tak perduli diujung langit, didasar lautan, kau hendak mengikuti aku, supaya kita tetap selalu bersama. . . . Tapi, So So, sekarang. . . kau. . . kenapakah?. . . ." "Tidak, tidak, Hian Ki, tidak dapat!" demikian suara si nona. "kau tidak tahu, Hian Ki!. . ." So So berlari terus, ia lari semakin kencang, Ia mendaki, mendaki keatas hingga hampir sampai dipuncak. . . Se-konyong2 ada suara panggilan, nyaring: "Saudara Hian Ki! Saudara Hian Ki!" Hian Ki segera menoleh, ia melihat Siangkoan Thian Ya, Karena ia berpaling, lari Hian Ki tertahan, maka So So telah terpisah lagi dari dirinya beberapa puluh tombak. "Saudara Thian Ya, lain kali saja kita bertemu lagi!" menjawab Hian Ki. Akan tetapi Thian Ya lari mendatangainya, napasnya tersengal2, dia seperti kehabisan napasnya "Saudara Hian Ki. . ." katanya. "Tat Mo Kiampouw itu milikmu! Kungo-kiam milikmu juga!" Hian Ki heran. "Apa?" dia tanya, Tapi dirinya berlari terus, bagaikan terbang, tanpa menoleh. "Eh, eh, perlahan sedikit!" Thian Ya men-jerit2. "Kau dengar aku!. . ." Hian Ki tidak menghiraukannya, dia melompat ketempat yang tinggi, Disana dipuncak gunung, terlihat baju So So berkibar2, tubuhnya ber-goyang2. . . .Pemuda itu menjerit keras, tubuhnya melesat dengan gerakan "Yancu coanin," (Burung walet- menembus mega), Ia mencelat beberapa tombak, kearah puncak gunung. Sia-sia Siangkoan Thian Ya mengejar, apalagi dia telah terlalu letih, hingga dia tak tampak lagi tubuh Hian Ki sahabatnya itu, Tetapi dia tetap masih men-jerit2: "Saudara Hian Ki, bukankah kakek luarmu bernama Tan Teng Hong? Tat Mo Kiampouw itu dicuri Bouw Tok It! Kungo- Kiam milik isterinya In Bu Yang yang pertama! Semua itu harus menjadi milikmu. . . ." Siangkoan Thian Ya hanya mengingat baik2 kata2 gurunya Pit Leng Hong, Guru itu mengatakan, kitab ilmu pedang harus dikembalikan kepada anaknya Tan Teng Hong, Dia tidak tahu bahwa Tan Soat Bwee masih hidup didalam dunia ini, dia hanya ingat Tan Teng Hong itu kakek luarnya Hian Ki, Dia wataknya kasar tetapi dia jujur, dia tidak memikir hubungannya antara Hian Ki dan So So, dia melainkan ingat pesan gurunya yang mesti diwujudkan, maka dia lari menyusul Hian Ki, untuk menyampaikan kata2 itu. . . . Se-konyong2 terdengar suara nyaring: "Ser!" Bagaikan guntur disiang bolong! Lalu Hian Ki mengerti segala persoalannya Mendadak So So mengayunkan tangannya, melemparkan Kungo-kiam, suaranya terdengar bergetar: "Hian Ki, Hian Ki, kau. . .kau sudah mengerti bukan? Jangan kau dekati aku!. . ." Saat itu Hian Ki seperti kehilangan semangatnya, tetapi ia lari terus, ia bagaikan tak dapat mengendalikan dirinya, Ia tak tahu, So So itu hendak menyingkir darinya atau Nona itu terpeleset, mendadak tubuh So So itu terjatuh kebawah gunung, kedalam jurang yang ribuan tombak dalamnya! Angin gunung men-deru2, diantara lembah2 terdengar jeritannya Hian Ki ber-ulang2, jeritannya bagaikan kalap, Bersamaan juga terdengar suara sambutan Siangkoan Thian Ya yang menjerit pula: "Telah terjadi apakah?" Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Disekitar gunung masih terdengar jeritannya Hian Ki; "So So! So So!" bagaikan orang kalap, Hian Ki terus mencari keseluruh penjuru, Tentu saja, dia tidak dapat menemukan si Nona. Juga Siangkoan Thian Ya, ia tidak tahu kemana harus menyusul Hian Ki! Jauh disana terlihat api ber-kobar2 besar, angin gunung men-deru2, dilain bagian, masih juga terdengar jeritannya Tan- Hian Ki. Dan rumahnya In Bu Yang, rumah itu telah menjadi abu, menjadi puing! Maka segala2nya, Cinta dan Kebencian, segala dosa, semuanya hanyut terbawa air. . . . TAMAT. Kisah selanjutnya "PENG CONG HIAP ENG" ( DUA MUSUH TURUNAN ) Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net